Quantcast
Channel: Blog Sastra F. Rahardi
Viewing all 484 articles
Browse latest View live

PENJARAHAN II

$
0
0

Selat Panaitan
jernih dan tenang
sesosok perahu panjang
terlentang dan terayun
digoyang gelombang alun
mesin disel entah berapa PK
tak bersuara
hanya cakrawala
hanya sepi lengkungan  pantai
dan tali sauh yang terentang
kadang kendor
kadang tegang.

Mengapa awak perahu itu
yang mungkin berjumlah belasan
tampak sibuk sekali
beberapa berkelebatan di air
kadang bergegas ke permukaan
menarik napas dengan deras
lalu menyelam lagi
tanpa tabung oksigen
tanpa altimeter
hanya kaca mata sederhana
sementara
awak yang lain menyiapkan jaring
mengisi drum-drum plastik
kantong-kantong plastik
dengan air laut.

Hari baru pukul sembilan pagi
cuaca cerah
setelah beberapa hari kemarin angin barat
hujan dan gelombang besar
habis-habisan
melabrak perairan Taman Nasional
Ujung kulon.

Teluk Panaitan itu
berperairan sangat tenang
tak ada riak gelombang
hanya sisa-sisa alun
yang datang dari samudera Hindia
lalu lengkungan langit
biru tapi keras.

Air laut jernih
nun di dasar sana
gugusan karang  tampak putih
lalu ikan hias warna-warni
bagai kibasan sampur para penari
bedaya serimpi
kadang kuning
kadang merah
kadang biru
cerah sekali.
ikan-ikan lain yang melintas cepat
sambil memiringkan tubuhnya
tampak seperti kelebatan samurai
putih dan tajam.

Cahaya matahari
yang jatuh di air
terpental dan buyar
lalu menyebar bagai tusukan jarum
ribuan dan langsung menghunjam
ke pelupuk mata.

Nun di dasar teluk sana
para penyelam itu
menebar racun potasium
ikan-ikan besar segera oleng
dan pingsan
ikan-ikan kecil mungkin langsung mati
lobster yang bersembunyi di sela-sela
karang juga teler
anemon yang tersiram potasium itu
menjadi layu
karang-karang mengeriput
gurita segera menjulur-julurkan
tentakelnya lalu menjauh
kerang dan kepiting
mengubur diri dalam-dalam di balik pasir.

Para penyelam itu sibuk
memburu ikan napoleon
yang kelengar dan mabok
lalu dijaring dan dibawa naik
lobster yang ngumpet di sela-sela karang
ditarik paksa
karang-karang yang menghalangi
dicongkel
dipalu dan dilinggis.

Matahari makin keras
udara berkeringat
angin laut mengibarkan baju-baju
ikan napoleon dan lobster itu
dicemplungkan ke  drum
air laut yang bersih
dengan oksigen murni
dan satwa-satwa laut itu
terbangun
bergerak-gerak
dan segar kembali.

Hongkong
kawasan bisnis yang sibuk
dan kaya itu
bukan hanya perlu cula badak dan
kontol macan
dia juga senang lobster dan ikan nepoleon
dan dolar Hongkong yang dikibas-kibaskan
aromanya tercium sampai ke teluk Panaitan
Taman Nasional Ujung Kulon
dan puluhan perahu
ratusan awaknya
tak gentar menghadapi cuaca buruk
angin barat
dan gelombang pasang.

Para petugas Taman Nasional
yang gajinya pas-pasan
mereka cuekin
sebab di perahu itu
ada aparat keamanan berseragam
dan bersenjata
yang siap mengamankan
dan menyukseskan penjarahan.

Hongkong
etalase kultur Cina
yang dikemas stereofoam
dan dipoles lipstik Inggris
Apalagi yang kau maui
otak monyet yang disedot hidup-hidup
atau mumi mini
yang digali dari makam-makam
kuno
di bumi Makasar?

Sarang walet
liur burung kecil
pemangsa serangga itu
juga tersedot
mangkuk-mangkuk porselin
ruang restoran yang hangat
bumbu pedas
lampion yang bergoyang-goyang
dan tubuh-tubuh keringatan
obrolan
tawa
asap rokok
judi mahyong
dan transaksi bisnis
kelas New York, Paris dan Tokyo.

Hongkong
rantai apakah yang menggandeng jantungmu
dengan denyut gua Sang Hyang Sirah
di Taman Nasional Ujung Kulon?

Tonjolan-tonjolan karang raksasa
tebing cadas tegak lurus
yang menjulang ratusan meter
hajaran ombak yang keras dan
menghentak
orang harus berteriak-teriak
untuk berkomunikasi satu sama lain
karena desau angin
dan gelora ombak itu
tak pernah reda sedetikpun
gemuruh
keras
dan serba raksasa.

Perahu-perahu nelayan
kapal-kapal mancing
enggan mendekat ke mari
takut terseret arus
atau dihempas gelombang
membentur karang.

Hongkong
daya gaib apakah yang kau sihirkan
hingga di malam gulita
sesosok perahu bergerak mendekat
ke Sang Hyang Sirah
membuang sauh
lalu beberapa orang menceburkan
diri ke dalam gulungan ombak
berbekal jerigen kosong
lampu senter terbungkus plastik
dan galah-galah bambu
mereka berenang mendekat ke mulut gua
di tonjolan karang besar itu
kalau nasib baik
mereka bisa merapat
lalu masuk ke celah-celah karang
kalau lagi apes
gempuran gelombang
akan membanting tubuh-tubuh kecil itu
menghempas dinding karang.

Di gua itulah
burung-burung walet membangun
sarang
untuk menaruh telur
dan melanjutkan keturunan.

Hongkong
betapa kuat dan jauh
jangkauan tanganmu
hingga bisa menyentuh
sudut paling sepi
di ujung paling barat pulau Jawa.

Gua-gua itu
burung-burung kecil yang terus terdesak
dengan tekun meneteskan liurnya
lalu mengoleskannya di tonjolan karang
di sudut gua yang gelap
jauh
terpencil
dan terlindungi
deburan ombak.

Tetapi
sampai juga tangan-tanganmu itu ke sana
menjarah
menghempaskan telur-telur
anak-anak walet
ke dalam deburan ombak.

Hongkong
begitu perlukah liur burung itu
untuk membangkitkan daya hidup
syahwat
atau mitos kuno yang
dilanggeng-langgengkan
atau apa?

“Kami hanya sekadar mencari nafkah
Kami diupah Rp 20.000,- per hari
apa pun yang kami dapat.
Kalau kami mendapat banyak,
toke-toke itu akan memberi
persenan
bisa sepuluh ribu, duapuluh ribu
bisa juga sampai limapuluh ribu.
Lumayan
daripada jadi nelayan
atau memburuh di pabrik.
Sebab menjadi petani
tanah sudah tak ada lagi.”

Menjarah?

“Ya kami tahu masuk
dan mengambil apa pun
di Taman Nasional
memang dilarang.
Kecuali mancing
mengambil air
atau berlindung ketika badai datang
atau menginap di malam hari.
Tetapi itulah kerja kami yang
paling banyak menghasilkan uang.
Lobster
ikan napoleon
dan sarang walet
yang lain-lain tak seberapa.”

Hongkong
petugas Taman Nasional itu
pasti belum pernah menjejakkan kakinya
di trotoarmu yang padat itu.
Barangkali Menteri Kehutanan
Dirjen
paling banter Kepala Taman Nasional
yang pernah sempat menghirup
asap hiomu
dunia petugas jaga wana hanyalah
bivak sederhana
menu yang hanya itu-itu saja
keluarga yang jauh di kota
perahu karet
HT
dibentak-bentak atasan
dan honor yang tak seberapa.

Hongkong
metropolitan di pinggir Pasifik itu
pasti jauh dari angan-angan petugas jagawana
sesuatu yang tak pernah terbayangkan
tetapi, ke metropolitan yang jauh itulah
satwa-satwa yang mereka jaga
ditangkap dan dikirim.

Laut
gua-gua walet
terumbu karang
potasium dan dolar
dan perut yang lapar
dan bujukan para toke
semua bergulir
berputar
teraduk-aduk
hingga perut siapapun akan mual
kadang harus muntah-muntah
dan kemudian demam
nyamuk-nyamuk di muara Cigenter
di pos Karangranjang
malaria adalah acara rutin keluarga
keluarga jagawana
keluarga nelayan
keluarga penjarah
tetapi bukan keluarga para toke
yang telah merentangkan benang panjang
dari gua-gua sepi di pantai karang itu
dengan restoran-restoran bintang
di jantung Metropolitan Hongkong.

Puisi dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik



PENJARAHAN III

$
0
0

Senin pukul 10.00
percakapan telepon
antara Ir. Harjuno
eksekutif muda sukses
anak jenderal purnawirawan kondang
dengan teman selingkuhnya
Diah Banowati
mantan peragawati sukses
selebritis kenamaan ibukota.

“Lu jangan brengsek!”
“………………”
“Kagak bisa.”
“………………”
“Ya pokoknya nggak bisa.”
“………………”
“Coba!”
“………………”
“Ya coba saja kalau berani.”
“………………”
“Gua perkosa lu!”
“………………”
“Ya, tapi diwakilkan satpam.”
“………………”
“Tidak bisa. Minggu depan ini saya
masih ke Madrid lalu terus ke Rio.”
“………………”
“Ya, Pert kan deket. Kita kedip
juga nyampai.”
“………………”
“Nggak apa-apa. Tahu juga nggak apa-
apa. Bini gua kan baik.”
“………………”
“Ya cowok lu itu yang memang cemburuan.”
“………………”
“Makanya!”
“………………”
“Minggu ini lagi! Saya sudah janji sama
Oom Bimo.”
“………………”
“Boleh. Lu mau ikut juga boleh.”
“………………”
“Ya hutan! Namanya juga Ujung Kulon.”
“………………”
“Ada. Hotelnya juga ada.”
“………………”
“Oom Bimo pakai heli.”
“………………”
“Ada, kapalnya sudah nunggu di sana.”
“………………”
“Enak saja, dia bawa! Dua lagi.”
“………………”
“Ya nggak tahu cabo mana yang dia tenteng.
Dari Bongkaran ‘kali!”
“………………”
“Gila lu!”
“………………”
“Udahlah!”
“………………”
“Apa? Steak badak? Steak celeng
ya banyak!”
“………………”
“Banteng bisa.”
“………………”
“Ya biar Oom Bimo yang telepon Menteri!
Gua nggak ada urusan.”
“………………”
“Di kantornya.”
“………………”
“Ya kan ada helipadnya.”
“………………”
“Ya jam-jam segini.”
“………………”
“Lo Oom Bimo kan nggak bisa bangun
pagi.”
“………………”
“Brengsek bener.”
“………………”
“Pert lagi.”
“………………”
“Lu kebelet banget sih sama cowok Aborigin.”
“………………”
“Tititnya kecil! Mending sama Arab.
Atau sama gua.”
“………………”
“Terserah.”
“………………”
“Ya, kan Oom Bimo bawa dua. Lu
nggak ikut satunya ya buat saya!”
“……………..”
“Idih, amit-amit. Udahlah gua mau
kerja.”
“……………..”
“Ya ngerjain sekretaris. Namanya juga
sekretaris baru, cantik lagi.”
“……………..”
“Udahlah, udah, udah!”
“……………..”
“Bodo!”
“……………..”

Kapal-kapal troling itu berderet-deret
di dermaga Pulau Peucang
ada yang buang sauh agak jauh
di tengah
ada yang merapat di pantai yang putih
jumlahnya puluhan
ada yang mancing dasar
untuk dibakar malam ini.

Peucang
sebuah pulau karang kecil
yang tak akan pernah tampak
di peta Indonesia
dia menempel di ujung semenanjung
paling barat Pulau Jawa
dan hanya dipisahkan
selat yang tenang sekali
namun berarus deras di bawah sana.

Pasir putih yang sangat halus
pohon ketapang raksasa
jambu kopo
pandan laut yang berjajar rapat
sumur yang hanya berjarak beberapa meter
dari pantai
tapi airnya sangat jernih dan tawar.

Dermaga itu menghadap ke selatan
ke arah daratan semenanjung Ujung Kulon
dengan latar belakang Gunung Payung yang
hampir selalu berkabut
di arah barat sana Tanjung Layar
dengan menara suarnya yang menjulang
dan malam hari
selalu menyala, mati, menyala, mati
dengan interval yang sangat panjang
seperti denyut jantung yang
sangat lemah
sangat mencemaskan.

Peucang adalah contoh atol tropis
dengan hutan hujan dataran rendah
yang masih utuh
meranti
jamuju
berangan
melinjo
burahol
belimbing wuluh
rusa jawa yang jinak
biawak
dan babi hutan bisa tiba-tiba
menerobos belukar lalu melintas
dekat sekali
ke dua sejoli
yang sedang berselingkuh
Ir. Harjuna dan Diah Banowati.

“Ini kan padepokan Eyang Abiyoso
yang asri
di pinggiran hutan
lalu resor itu
restoran itu
adalah pendopo tempat menerima
cantrik-cantrik.
Mereka
cantrik-cantrik itu tinggalnya
di bivak sana!”
“Ya. Lalu gua Harjuna dan lu Banowati
lagi berduaan dan mau NGENTOT!”
“Hus! Saru Kangmas! Ngentot itu
sangat, sangat kasar.
Mengapa tidak bersetubuh atau bersebadan!
Tetapi itu nanti.
Sekarang kita kan sedang kasmaran.
Sedang memadu cinta!”
“Diancuk lu!
Katanya mau steak banteng?
Atau hiu?
Oom Bimo  dapat hiu gede sekali!”
“Badak Kangkas. Saya ngidam steak badak.
Kalau tidak saya ngambek lo!”
“Bodo amat! Lu mau ngambek, mau ngewek,
mau ngentot. Terserah. Gua mau ngrokok!”
“Jangan kangmas Harjuna. Rokok itu racun.
Rokok itu akan membunuh kita pelan-pelan.
Kanker! Kanker paru-paru.
Aku mau paru goreng! Paru badak!”
“Badak melulu! Memek lu memek badak!”
“Kok saru lagi Kangmas?
Telingaku risih lo mendengarnya.
Dan air liurku nyaris menetes
membayangkan lidah panggang.
Lidah badak!”
“OOM BIMO!!! MANA CABO SATUNYA?
SELESAI BELUM? CABO YANG INI LAGI
KUMAT AYANNYA!”

Dor!
Tembakan itu dari arah
padang Cidaun
tempat banteng-banteng merumput
Dor
Sekarang sangat dekat
di pelataran resor
Dor
Rusa jantan besar tersungkur
Dor
Biawak telentang
Dor
Monyet terkapar
Rrrrr …………
Rubber boat merapat
banteng jantan besar
dilemparkan ke pasir
diseret
dikerek
lalu dikuliti
dan dicincang
Dor
Monyet betina bunting juga ditembak
Dor
Merak jantan kelepak-kelepak-kelepak
Dor, dor, dor
babi, babi, babi
kawanan babi
Dor
kancil
Peucang!

“Ya, orang Sunda bilang kancil itu
Peucang.”
“Ini Pulau Peucang? Pulaunya Kancil?”
“Mari kita memanggang Peucang!”
“Badak! Aku merindukan aroma badak panggang!”
“Ngentot lu! Badak tidak boleh ditembak.
Tinggal 50 ekor badak cula satu di planet ini!”
“Pokoknya Badak Kangmas! Badak!”
“Lu yang gua tembak kalau resek melulu!”

Diah Banowati
anggun dan sexy
mantan peragawati top
bintang selebritis ibukota
merogoh saku jeansnya
mencomot HP
memencet-mencet nomor
lalu menempelkan di kuping

“Siang Oom!”
“………………….”
“Ya saya!”
“………………….”
“Di Peucang Oom.”
“………………….”
“Ya. Banyak, sama teman-teman.”
“………………….”
“Sudah! Ya banyak.”
“………………….”
“Banyak sekali. Nanti malam barbequenya.”
“………………….”
“Katanya sih. Tapi Oom, saya ingin badak.
Satu …. saja Oom! Boleh kan?”
“………………….”
“Ngentot lu! Di sini nggak bakalan
ada HP bisa nyangkut!”
“Sebentar ya Oom………….Nih, Menteri Kehutanan!
Lu ngomong sendiri!”
“……………….???”
“Halo, eh maaf Pak!”
“………………….”
“Ya!”
“………………….”
“Ya Pak!”
“………………….”
“Ya!”
“………………….”
“Siap Pak!”
“………………….”
“Maaf Pak. Ya. Heli masih Pak.
Masih ada di sini. Ya, cukup Pak!”
“………………….”
“Mampus lo! Pokoknya gue mau
sate badak!”

Rrrrrr……………..
heli terbang
senapan dipasang
heli menyeberang selat
ke arah padang Cidaun
heli berputar-putar
merendah
membidik
berhenti di udara dan
Dor!
(yang kena banteng)
Dor!
(banteng lagi)
Dor-dor-dor
(tiga banteng tersungkur)

“Kok banteng melulu Oom Bimo!”
“Ya memang susah badaknya. Mana coba?”

Diah Banowati
Cantik dan ngebet daging badak
dia ambil HP
dia pencet-pencet nomor
ditempelkan di Kuping.
“Kolonel Haryo ya? Ini Diah. Tolong
dengan Bapak!”
“………………….”
“Bapak siapa lagi! RI I!
Masak mau bapak gua nyambungnya ke elo!”
“………………….”
“Siang Pak!”
“………………….”
“Memang berisik!
“Di Heli!”
“………………….”
“Sama Oom Bimo!”
“………………….”
“O…….!”
“………………….”
“Ya, ya!”
“………………….”
“Ya.”
“………………….”
“Yang brewokan itu kan?”
“………………….”
“Nyari badak kok susah ya Pak?”
“………………….”
“Bagaimana?”
“………………….”
“Ya, itu kan di Afrika Pak!”
“………………….”
“Saya mau yang di sini.”
“………………….”
“Di Ujung Kulon!”
“………………….”
“Ya sekarang ini saya sedang di Ujung Kulon!
Dikiranya Bapak di mana?”
“………………….”
“Ah, bapak ini!”
“………………….”
“Bagaimana?”
“………………….”
“Siapa?”
“………………….”
“Suwito?”
“………………….”
“Oom Bimo tahu?”
“………………….”
“Ya, ya. Dag, Pak!”

Suwito
Raden Mas Suwito Kartorejoso
Jawa
tapi sudah 40 tahun di Banten
dia dipanggil
dijemput Heli
di drop di Peucang
dengan rubber boat ke Cidaun
lalu membaca jampi-jampi
mengerahkan tenaga batin
memanggil Sang Badak.

“Pi jompa jampi
banteng lunga badak teka
ora nyruduk malah silo
tak beleh gulumu
tak bujeli culamu
Pi jompa jampi
mandi!”

(Tra mantera mantera
banteng pergi badak datang
tidak menyeruduk malahan bersila
saya sembelih lehermu
saya potong culamu
tra mantera-mantera
mujarab!)

Dari arah gerumbulan
badak jantan besar menyembul
dan mendekat

“Ono opo kang?”
“Lo, badak kok iso ngomong ki piye?”
“Yo iso wong crito kok!
Rak yo do slamet to kang sampeyan?”
“Yo becik-becik wae!”
“Awakmu piye?”
“Elek kang! Elek banget!”
“Kok elek piye to?”
“Yo elek. Wong arep kok beleh!”
“Iki rak mung tugas ta!
Jane aku yo ora tegel!
Wong badak bagus-bagus ngene kok dibeleh!
Eman banget jane!”
“Nek eman yo ojo kok beleh!
Aku tak lunga yo?”
“E……ojo. Mengko disik!”
“Mengko-mengko yo tetep
arep kok beleh to?”
“Ngene! Cekelno banteng siji
lanang sing gede. Dandanono badak.
Den ayune siji kae pancen edan tenan kok!”
“Den ayu sopo kang?”
“Den ayu Diah!”
“Ayu tenanan opo kang?”
“Lo kowe iki rak badak. Ojo melu-melu!”
“Ben badak nanging rak lanang to kang?”
“E, ojo melu-melu edan kowe.
Kae ki demenane jendral
konglomerat, mentri, presiden!
Presiden wae yo isih melu-melu kok.
Kowe sisan!”
“Aku Kang?”
“Badak ora susah melu-melu.
Wis kono ndang nyekel banteng.
Sing gede yo? Lanang lo!”
“Iyo Kang!”
“Badak edan!”

(Ada apa kang?-Lo, badak kok bisa bicara,
ini bagaimana?
-Ya bisa, ini kan hanya cerita? Bagaimana kabarnya kang?
Baik-baik saja kan?
-Ya, baik-baik saja, anda bagimana?
-Jelek kang, jelek sekali!
-Jelek bagaimana?
-Ya jelek karena mau kamu sembelih!
-Ini kan hanya sekadar tugas, sebenarnya saya juga tidak sampai hati.
Badak ngganteng-ngganteng begini kok mau disembelih.
Sayang sekali sebenarnya.
-Kalau sayang ya jangan disembelih. Saya pergi dulu ya?
-E…..jangan. Nanti dulu.
-Nanti-nanti juga akan tetap kamu sembelih kan?
-Begini, tolong tangkapkan banteng satu, jantan, yang besar.
Berilah pakaian badak.
Den ayunya itu memang benar-benar gila kok.
-Den ayu siapa kang?
-Den ayu Diah.
-Ayu beneran kang?
-Lo kamu ini kan badak. Jangan ikut campur.
-Biarpun badak tapi kan jantan kang?
-E, jangan ikut-ikutan gila kamu. Dia itu simpanannya jenderal,
konglomerat, menteri,  presiden. Presiden pun masih ikut-ikutan.
Kamu lagi!
-Saya kang?
-Badak tidak usah ikut-ikutan! Sudah sana cepat-cepat
menangkap banteng.
Yang besar. Jantan ya!
-Iya kang!
-Badak gila!)

Badak jantan besar itu
melangkah pergi
Raden Mas Suwito menunggu
dua jagawana juga menunggu
tak lama kemudian
badak yang tadi itu datang lagi
dengan menyeret banteng jantan
gemuk dan besar.

“Lo, kok durung kok dandani? Kowe ki sembrono!”
“Yo iki, delengen disik. Wis matuk opo durung?
Nek durung yo tak golekke maneh sing luwih gede.”
“Yo uwis! Iki wae! Ayo, cekat-ceket lek didandani!”
“Sim salabim! Abrakadabra! Dadiyo badak!
Cring-cring-cring.
Wis Kang. Wis dadi badak.”
“Lo, culane kok telu ki piye?
Badak ngendi culane telu?”
“O, cring-cringe mau ping telu. Kakehan kudune
pisan wae yo Kang?”
“Badak gendeng kowe ki! Wis ngerti cringe kudu siji
kok ya dipingteloni. Sengojo to kowe ki?”
“Lali aku Kang. Wis iki wis tak ilangi culane sing loro.
Ngene to?”
“Na, yo ngene iki. Badak bagus tenan kowe kuwi!”
“Opo maneh Kang!”
“Wis. Do nrimo yo Dak.”
“Podo-podo Kang. Sampeyan isih nang Banten?”
“Yo isih. Arep ngopo maneh? Wong wis tuwek kari nunggu mati.”
“Wis to? Aku tak lungo yo Kang!”
“Lungoo!”
“Ora sido kok beleh to?”
“Ora-ora!”
“Yo maturnuwun tenan.
Tak-ding-ding-tak-ding-jreng……”

(Lo, kenapa belum didandani? Kamu ini bercanda.
-Ya ini, dilihat dulu. Sudah cocok atau belum? Kalau belum saya carikan lagi yang lebih
besar.
-Ya sudah. Ini saja. Ayo cepat-cepat didandani.
-Sim salabim! Abrakadabra! Jadilah badak!
Cring, cring, cring. Sudah kang. Sudah jadi badak.
-Lo, kenapa culanya ada tiga? Badak dari mana yang bercula tiga?
-O, tadi cring-cringnya tiga kali. Kebanyakan. Mestinya kan cukup satu ya kang?
-Badak gila kamu ini. Sudah tahu kalau cringnya cuma sekali kok dibaca tigakali.
Sengaja kamu ini ya?
-Lupa saya kang. Sudah, ini dua culanya sudah saya buang. Begini kan?
-Nah, ya begini ini. Betul-betul badak ngganteng kamu ini!
-Apa lagi kang?
-Sudah, terimakasih ya dak!
-Sama-sama kang. Anda ini masih di Banten?
-Ya masih. Orang sudah uzur begini, tinggal menunggu mati.
-Sudah kan? Saya boleh pergi kan?
-Pergilah!
-Tidak jadi disembelih kan? Tidak, tidak!
-Ya terimakasih sekali. Tak-ding-ding-tak-ding-jreng….)

Pulau Peucang
dua resor ber-AC
satu resor country
restoran
kantor
bivak-bivak
di sekelilingnya hutan
benar-benar hutan lebat
dan di tengah-tengah lapangan rumput
bisa untuk helipad
biasa untuk lalulintas monyet
untuk mondar-mandir biawak
dan tempat rusa-rusa pamer tanduk
yang bercabang-cabang
tetapi malam ini api unggun besar
panggangan steak
panggangan sate
kerumunan laki-laki dan perempuan
semuanya jetset
semuanya berpasang-pasangan
semuanya sedang berselingkuh-selingkuhan.

“Mana badakku? Oom Bimo!
Suwito kok lama amat sih?”
“Suruh itu Kangmasnya nyusul!”
“Iya ini. Balita satu ini. Maunya netek melulu!”
“O……Itu dia Mbah Suwito!”
“Dan badaknya!”
“Lo, masih hidup!”
“Gila! Dituntun mex!”
“Benar-benar Rambo Banten dia!”
“Abah Suwito!”
“Lo, itu kan banteng?”
“Iya. Kok banteng?”
“Banteng dengkulmu. Lihat baik-baik.
Pelototkan matanya!”
“Banteng!”
“Iya banteng Mbah!”
“Oom Bimo, kok banteng sih?”

Raden Mas Suwito
memang menuntun banteng jantan besar
ke arah api unggun.
“Sim salabim, abrakadabra banteng dadio badak
Cring!”
“Badak!”
“Ya badak besar sekali!”
“Badak kan? Dari tadi yang saya tuntun ini ya badak! Bagaimana?”
“Badak!”
“Ya Badak!”
“Bagaimana Mbak Diah? Sembelih?”
“Lo itu kan banteng Mbah?”
“O, matane isih awas genduk iki!”
“Yo awas wong guruku karo gurumu podo kok!”
“E la dalah! Yen ngono kowe
sing dadi badake nduk. Sim salabim, abrakadabra.
Cring, cring, cring.
Dadiyo badak cula telu!”
“E. Mbahe kok kurangajar to!”
“Lo badaknya ada dua!”
“Ya ada dua, yang satu cantik!”
“Hanya satu! Yang satunya jadi banteng lagi!”
“Ini badak kok sexy sekali sih?”
“Ya, telanjang bulat lagi!”
“Kita sembelih yo, lalu dipanggang!”
“Jangan! Kita perkosa dulu ramai-ramai!”
“Ayo……..!”
“Awas! Jangan rebutan! Antre satu-satu!”
“Ayo, kita antre sembako!”
“Embah duluan. Embah itu harus nomor satu!
Aku belum pernah dapat yang seperti ini.
Ini yang sering di Tivi itu kan?”
“Lo, bantengnya jangan dilepas Mbah!”
“Wah bantengnya ngamuk!”
“Aduh, aduh!”
“Lari, lari!”
“Tolong aku keiinjek.”
“Aku ditanduk. Aduh pantatku!”
“Rokku sobek!”
“BHku lepas. Tolong!”
“Celana dalamku! Lo? Ternyata aku tidak pakek
celana dalam dari tadi itu!
Tolong banteng itu mengejarku!”

Gaduh
berlarian
restoran terbakar
api berkobaran
semua menuju kapal
tak ada yang berani ke hutan
onggokan daging
api unggun
tikar
darah
aroma parfum yang mesum
kilatan lampu blitz
kameraman yang terjatuh
sambil tetap mengambil gambar
reporter yang tergopoh-gopoh
menyodorkan mik.

“Ini tadi kejadiannya bagaimana Mbah?
Kok lalu kacau begini?”
“Sontoloyo!”
“Embah tadi menangkap banteng atau badak Mbah?”
“Sontoloyo!”
“Tadi Embah kelihatan mau memperkosa Mbak Diah.
Sudah sempet belum Mbah?”
“Sontoloyo!”
“Tadi kelihatannya Mbak Diah sudah mau nyerah lo.
Apa Embah masih kuat?”
“Sontoloyo tenan!”

Pulau Peucang kembali sepi
kadang angin itu terasa sangat kencang
lalu sayup-sayup
kedengaran debur ombak di Tanjung Layar
kadang deru mesin perahu
terdengar menjauh
lalu hilang
sekali-sekali jerit rusa betina
memanggil anaknya
dan lengkingan anaknya
menyahut entah dari mana.

Pohon ketapang raksasa
di pangkal dermaga
dahan-dahan nyamplung
yang menjuntai
jauh ke pasir pantai
serangga malam
ya, bunyi serangga malam itu
sebuah simponi purba
entah mimpi
entah nyata
nyaris tak ada
bedanya.

Puisi dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 


SIDANG ISTIMEWA PARA BADAK

$
0
0

Seratus ekor badak bercula satu
daratan Ujung Kulon
(Bukannya di Ujung Kulon tinggal sekitar
50 ekor badak saja?)
Seratus ekor badak
(Aku maunya 100; ini fiksi, bukan reportase, goblok!)
Seratus ekor badak cula satu
daratan Ujung Kulon
(Kalau fiksi kenapa tidak seribu atau
sejuta sekalian?)
Seratus ekor badak
Seratus!
(Cerewet amat kamu itu! Seribu itu terlalu banyak,
apalagi sejuta. Nanti susah ngitungnya!)

Seratus ekor badak berkumpul
di sepetak sabana
di daratan Ujung Kulon
mereka bersidang
Sidang Istimewa guna membahas
masa depan bangsa badak
termasuk tuntutan
dikembalikannya seluruh pulau Jawa
secara bertahap ke pangkuan
bangsa badak.

Sidang Istimewa itu
tidak dibuka oleh siapa-siapa
dan tidak dipimpin oleh siapa-siapa
seekor badak jantan tua
yang umurnya sudah lebih 100 tahun
datang agak terlambat
bersama seekor cucunya yang masih kecil.

“Maaf saya terlambat. Langkah saya
sudah tidak setangkas dulu.”
“Tidak apa-apa Mbah. Belum dimulai.”
“Kalau begitu ayo dimulai saja. Atau masih ada yang
harus ditunggu?”
“Tidak ada. Banteng memang diundang untuk
mengirim wakilnya sebagai peninjau
tetapi mereka tidak mungkin datang.
Mereka tidak suka dengan sidang-sidang seperti ini.”
“Usul! Di akhir sidang nanti, kita deklarasikan
kemerdekaan badak dengan seluruh pulau Jawa
sebagai wilayah kita yang berdaulat.
Kita usir saja  manusia ke pulau Sumatera atau Kalimantan.”
“Jangan terburu-buru. Deklarasi memang pasti kita lakukan
tetapi tidak sekarang.”
“Lalu kapan?”
“Ya, kapan deklarasi kemerdekaan badak kita ucapkan
kita umumkan?”
“Kita sudah bosan disekap di semenanjung sempit seperti ini.
Kita perlu tempat luas. Paling tidak Jawa Barat.
Mestinya seluruh pulau Jawa.”
Badak tua itu tiba-tiba terisak
dia menangis sesenggukan.

“Aku sedih. Cerita kakekku dulu, mereka biasa
bercengkerama mulai dari rawa- rawa  di sekitar Jakarta
sampai ke kaki Gede dan Pangrango.
Di sana masih ada tempat yang bernama kandang badak.”
“Sudahlah Mbah. Tidak usah menangis. Kita pasti menang Mbah!”
“Itu hanya harapan semu Cu!  Hanya untuk menghibur diri.
Sekadar pelipur lara. Itu semua mustahil.
Manusia teramat kuat.”
“Dan jahat.”
“Ya jahat. Manusia memang sangat jahat. Lebih jahat dari setan.”
“Jadi apa agenda sidang kali ini?”
“Kita harus ziarah.”
“Ya, itu bagus. Ide cemerlang.”
“Kita ziarah ke Kandang Badak lalu turun ke Jakarta.
Kita harus  menduduki kota manusia itu.”
“Hati-hati kalau bicara. Di sini juga ada intel.”
“Intel?”
“Ya, mata-mata.”
“Siapa?”
“Mungkin salah satu atau beberapa di antara kita.”
“Mustahil!”
“Mungkin kalajengking atau burung pelatuk itu.
Siapa tahu dia sengaja dikirim kemari oleh
bangsa manusia untuk memata-matai kita.”
“Jangan terlalu curiga. Ayo kita lanjutkan sidang ini.
Kita boleh teriak-teriak, boleh memaki-maki, boleh wolk out,
boleh interupsi, yang penting tidak menyeruduk!”
“Bajingan sampeyan ini! Anjing! Dasar sok
ingin kuasa. Lalu sampeyan itu diam-diam
mengangkat diri sendiri jadi pimpinan
sidang. Begitu?”
“Taik lu! Aku tidak sedang memimpin.
Kamu itu yang sok tahu monyet!”
“Ngentot semua! Dasar kontolnya telah
dikebiri. Ini sidang tahu! Sopan sedikit
kenapa sih? Sidang itu ada tata tertibnya.
Ya Mbah?”
“Itu tadi semua, anjing, monyet, ngentot, tai
dan lain-lain itu kan sumpah serapahnya
manusia. Apakah bangsa badak mau ikut-
ikutan rusak seperti manusia? Kita ini dalam
kondisi kritis. Populasi kita tinggal 50 ekor.”
“Seratus Mbah!”
“Kata siapa?”
“Lo kata embah tadi, tadi sekali itu
katanya seratus?”
“Ya, itu tadi kan kata yang ngarang buku ini.
Sekarang saya maunya limapuluh saja.
Ya biar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Tahu kan kalian semua? Kita sedang kritis!”
“Ya kritis!”
“Krisis Mbah!”
“Kritis atau krisis Mbah?”
“Kritis! Yang sedang krisis itu manusia
bukan kita. Karenanya kita musti inget.
Siapa di antara kita yang paling tua?”
“Simbah!”
“Ya Embahlah yang tertua di antara kita!”
“Bagaimana? Setuju?”
“Setujuuuu!!!”
“Jadi sebaiknya saya sebagai badak tertua,
kalian angkat jadi Presiden!”
“Wuuuu……!”
“Yang ada Presidennya itu manusia Mbah!”
“Inget Mbah, sudah jompo!”
“Jompo cula bujelmu itu! Aku masih gagah.
Masih pantas jadi Presiden!”
“Tapi badak tidak perlu presiden Mbah!”
“Ya, badak cukup punya tetua, sesepuh!”
“Yang punya presiden manusia Mbah!”
“Ya Mbah!”
“Kita bisa sidang tanpa sesepuh tanpa pimpinan.
Mari kita lanjutkan.”
“Sampai di mana tadi?”
“Katanya ada yang usul ziarah? Teknisnya bagaimana?
Meskipun kita hanya 50 ekor tetapi tetap harus diurus baik-
baik. Ada yang mau melaporkan sesuatu?”
“Ada! Saya badak no 16. Umur 40 tahun. Istri satu, anak dua
dan hidup bahagia. Saya setuju ziarah tetapi lebih dulu
harus ada yang ke Badui Dalam untuk menghadap Puun.
Kita harus minta jimat dan jampi-jampi agar bisa menghilang.
Sebab kalau tidak, begitu kita keluar dari hutan ini, manusia akan
menangkap lalu membantai kita beramai-ramai.”

Badak-badak itu
padang sabana
rumputan
matahari yang temaram
angin
aroma tahi banteng
suara kepak sayap enggang
badak-badak itu terdiam
mereka mengheningkan cipta
meskipun tanpa aba-aba
tanpa pengibaran bendera
tanpa komandan dan inspektur upacara
tanpa dentuman meriam 17 kali
badak-badak itu menunduk
limapuluh ekor
jumlah yang sangat sedikit
yang selalu dipelototi
mata para tauke
dari Hongkong sana.

“Mengapa kami harus bercula?”
“Mengapa gundukan jelek itu
harus menempel di moncong kita?”
“Dosa apakah yang telah diperbuat nenek moyang kita
hingga cula itu harus kami bawa-bawa sampai ke abad ini?”
“Mengapa cula itu tidak menempel di pantat banteng yang montok itu?”
“Kontol macan!”
“Ya, Harimau Jawa itu juga entah mengapa harus
menanggung nasib yang malang.”
“Apa salahnya punya kontol?”
“Apakah itu dosa?”
“Ya, setelah harimau bali dan harimau jawa punah
kini yang diburu harimau sumatera!”
“Marilah kita berdoa!”
“Tidak usah. Doa tidak ada gunanya kalau cula itu masih
menempel di sini.”
“Bagaimana Mbah?”
“Nah, bolak-balik akhirnya ya tanya sama Mbah!”
“Habis bagaimana Mbah?”
“Ya, Embah kan yang paling tua, paling banyak pengalaman.”
“Makanya aku harus jadi presiden. Presiden badak!”
“Tidak pantas Mbah! Juga tidak lazim.”
“Sesepuh sajalah. Embah sesepuh kami semua!”
“Tidak mau. Aku harus jadi presiden!”
“Sudahlah Mbah! Jadi presiden itu tidak enak.
Cobalah tanya sama presiden manusia!”
“Pokoknya kalian mau atau tidak? Kalau tidak mau
ya sudah saya pergi!”
“Jangan Mbah! Jangan!”
“Biarkan saja dia pergi. Dasar tua bangka tidak tahu diri!
Sudah sana minggat!”
“Kami juga sudah bosan melihat tampang peyotnya itu!”
“Ya sudah, kalau begitu saya tetap di sini saja.
Tidak jadi presiden ya tidak patheken. Tetapi aku tetap
yang paling tua kan?”
“Nah, begitu kan sama-sama enak!”
“Kita memang tidak perlu ngotot-ngototan.”
“Siapa lagi yang mau laporan?”
“Saya. Badak jantan nomor 20. Umur 30 tahun
bujangan.”
“Duda! Begitu saja malu!”
“Ya tepatnya begitulah. Istri gue disembelih orang
dua tahun silam. Padahal dia lagi bunting tua!”
“Sudahlah singkat saja jangan malah ngelantur
soal bini segala diceritakan. Ini sidang istimewa.
Bukan forum untuk mencurahkan isi hati karena
bininya mati disembelih orang. Kalau bicara soal bini,
bini saya dua ekor juga tinggal satu karena yang satu
ditembak orang dan diambil culanya.
Tapi saya tidak cengeng. Tidak pernah saya ……”
“Lo, malah dia sendiri yang ngelantur!”
“Sudahlah siapa tadi yang mau laporan?”
“Saya. Badak no 20. Saya pernah ke Badui dalam dan
bertemu Puun lalu diberi mantra untuk menghilang.
Mantra ini bisa diajarkan ke badak lain asal mau puasa
tiga hari tiga malam. Malam yang ketiga kita tidak boleh tidur
setelah itu, kalau kita baca mantra tersebut kita akan dapat menghilang.”
“Menjadi siluman ya?”
“Bukan. Kita tetap badak biasa tetapi tidak dapat terlihat
oleh mata manusia.”
“Benarkah itu?”
“Kenapa tidak bilang-bilang kalau bisa menghilang?”
“Ya kenapa pergi ke Badui selonang- selonong begitu saja?”
“Sudah ijin sama Embah atau belum?”
“Apa urusannya dengan Embah? Saya mau ke Badui,
ke Banten, ke Gunung Pangrango  bukan urusan Embah!”
“Ya memang, tetapi kalau Embah diberitahu
kan dia bisa memberi restu.”
“Saya tidak butuh restu!”
“Mantra! Mantra! Mantranya tadi bagaimana?
Saya sudah pengin menghilang tahu.”
“Lo, kita harus puasa dulu. Puasa ngebleng.
Tidak boleh makan, tidak boleh minum, tidak boleh menggauli istri.
Kita harus diam dan mengheningkan cipta.”
“Usul. Saya badak nomor tujuh. Sebaiknya sidang ini ditutup saja.
Bubar. Saya mulai bosan mendengar celotehan tak bermutu begitu.”
“Nah ini dia. Coba, silakan badak nomor tujuh berbicara.
Pasti bermutu dia!”
“Tidak! Status saya di sini hanya pendengar.
Rugi saya kalau harus bicara!”
“Kalau begitu memang ditutup saja sidang ini. Ya Mbah?”
“Kesimpulannya?”
“Ya, keputusan kita apa?”
“Apa kita semua harus menanggalkan cula kita?”
“Apakah sudah ada mesin kloning agar kita bisa
menggandakan diri secara kilat menjadi sejuta ekor?”
“Itu mimpi saudara! Mimpi!”
“Benar ya Mbah?”
“Semua benar. Kita bangsa badak ini tidak salah.
Kalau tidak percaya mari kita tanyakan kepada
sesama bangsa hewan di Taman Nasional ini.”

Badak-badak itu
dataran sabana
belukar di sana-sini
matahari yang muram
langit yang tersaput kabut
tak terasa angin mulai agak dingin
jejak-jejak badak
lalu kawanan banteng masih tetap
merumput di ujung sabana
di sebelah sana
mereka akan terus merumput
sampai matahari lengser
di arah Tanjung Layar sana.

Puisi dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 


EPISODE SIANG

$
0
0

Peluru-peluru tajam
kadang anak panah
mungkin pisau belati
ribuan
ratusan
jutaan
dipancarkan dari langit
dan membabat daun-daun
mencacah awan comulus
jadi serpih kecil-kecil lalu
hanyut ke pantai selatan.

Tombak-tombak runcing
pedang
gergaji mesin
turun dari langit
lalu menancap di punggung
menikam di pipi kiri kanan
menebas leher-leher kekar
dan menghunjam dalam-dalam
menembus jantung
yang dengan setia sedang
memompa puluhan liter darah.
Angin lalu sangat kencang
ada yang berkobar-kobar di langit sana
dan itu pasti sangat panas
tetapi biarkan saja
angin itu masih harus  kencang
dan semua meliuk-liuk
biru
hanya di sana-sini
serpih-serpih putih itu terus bergerak
berkumpul sebentar
lalu berpencar lagi.

Semua gelisah
batu-batu menggeliat
dahan-dahan marah
lalu merontokkan ranting kering
dan aroma tanah naik lalu
berusaha menembus kerimbunan
tajuk
lapis demi lapis.

“Aroma apa ini?”
Seekor perkutut kaget lalu terbang
ke arah timur.

“Aroma Tuhan ya? Atau Setan?”

Sekawanan belalang gerah lalu
melompat dan melesat
menghindari tokek
tetapi aroma tanah itu terus naik
lalu hilang
tak tercium apa-apa lagi.

Daun-daun seperti berkedip
berkilatan
ada yang layu
tetapi pura-pura lentur
melenggang-lenggok
padahal angin telah seperempat jam
diam dan beristirahat.

“Selamat siang.”
Kata belalang dengan nada santun
“Selamat siang.”
Jawab kupu-kupu dengan suara sendu
“Hari ini kita makan apa?”
“Aku suka kuncup bunga jambu.”
“Aku lebih senang terbang tinggi lalu melayang
bersama angin mengapung berteman awan
matahari sedang panas-panasnya
udara cerah ya?”
“Memang, tetapi kita harus hati-hati.”
“Itu benar! Kita memang dituntut waspada.”
“Musuh ada di mana-mana.”
“Pemangsa! Kita harus awas.
Tidak boleh sejenak pun terlena.”
“Caranya?”
“Buka mata, pasang telinga, siapkan sayap-sayap
dan pusatkan perhatian pada hal-hal yang mencurigakan.”
“Jadi kita harus terus-terusan tegang?”
“Ya. Itu penting. Kendor sedikit saja, jiwa akan melayang.”
“Betapa hidup menjadi capek kalau begitu. Hidup lalu
menjadi sia-sia. Apa gunanya punya nyawa kalau
terus-terusan tegang dan tegang!”
“Jadi kamu mau lembek-lembekan?”
“Bukan. Aku mau menari mengikuti irama angin
putaran daun-daun dan gerak matahari
dari timur sampai ke barat.
Malam hari akan kuikuti bulan dan bintang-bintang
yang memenuhi langit.”
“Selamat Siang”
“Selamat Siang”
“Sampai Jumpa!”
“Dag!”

Mereka
belalang dan kupu-kupu
berpisah secara baik-baik
mereka memilih jalan masing-masing
menuju ke kebahagiaan abadi.

Ke mana mereka akan terbang?
ke taman yang penuh bunga-bunga?
ke ladang yang penuh tanaman jagung
dan singkong?
atau ke punggung gunung Payung
yang gelap dan lembap
penuh duri-duri rotan
liana
duri-duri nibung
atau menyisir pantai selatan
dari Karang Ranjang
ke Cibandawoh
lewat jalan setapak
di bawah deretan jambu hutan
yang pangkal batangnya barut-barut
tergesek tanduk rusa yang gatal
dan selalu digosok-gosokkan
hanya ke pohon jambu.

Daun-daun jambu tua
tersipu-sipu dan kemerahan
lalu kalau angin menyentaknya
dia akan oleng pelan-pelan
meluncur jatuh dan meniarap
menyentuh rumputan.

Berjalan di rumputan itu
yang empuk berbantalkan humus tebal
sambil mendengar pantai selatan
selalu menggerutu berkepanjangan
lalu setiba di Cibandawoh
kita akan mendapati badak-badak
sedang berkubang
di lubuk-lubuk berlumpur
di bawah rumpun pandan
dan tajuk bintaro
yang penuh bunga-bunga putih
dan buahnya yang bulat lonjong
hijau berbintik putih
lalu merah tua cemerlang setelah matang
dan bersamaan buah-buah pandan itu
yang kuning oranye
akan luruh lalu hanyut
ke laut
mungkin akan terdampar
di Cilacap sana
atau di pulau Tinjil
atau hanya di sepanjang pantai
menuju Cibunar
tak ada yang tahu persis rencana
Tuhan yang maha rumit bagi manusia
tapi sangat sederhana bagi buah pandan
dan bintaro.

Buah-buah pantai itu
juga keben
nyamplung
ketapang
termasuk kelapa
selalu bergabus tebal dan bertempurung
hingga tahan terapung-apung
dan terendam air asin
berminggu bahkan berbulan-bulan
sampai akhirnya terdampar di pasir
yang jauh dari sang induk.

Di sana
di kehangatan matahari
dan kelembapan hujan
akan segera tumbuh tunas
dan akarnya yang akan menghunjam
ke pasir dalam-dalam.

Badak-badak
dan kubangan itu
teduh
dan sepi sekali
hingga setiap gerak yang sekecil
apapun
akan kedengaran mengejutkan
gerak pelan kaki  belalang
yang menyentuh ranting kering
kepak sayap kupu-kupu
seakan menimbulkan getar
yang menyentak
sampai ke dalam dada.

Angin yang datang  palan-pelan
atau menerjang dengan kekuatan penuh
selalu mengantarkan berita
apakah di seberang sana
hadir marabahaya atau
aman-aman saja.

Indera penciuman badak
sudah sangat disiapkan
untuk menangkap sinyal-sinyal
demikian
sejak jutaan tahun silam.

Tetapi
matahari abad XX
sering memancarkan granat
bom bius
peluru tajam
gergaji mesin
pisau-pisau guilotin
mesin pencacah daging
penggiling tulang
penyamak kulit
bahkan tukang-tukang opset
dengan mesin jahitnya
didrop langsung
dari langit sana
bersamaan dengan cahaya-cahaya silau
yang menyakitkan mata
perih dan berair.

Mungkinkah badak-badak itu
perlu diperiksa matanya
diukur plus minusnya
dihitung silindrisnya
dengan komputer canggih
lalu dibuatkan framenya
atau bisa dengan lensa kontak?
mungkin beberapa di antara
mereka perlu operasi
katarak.

Bisa jadi indera canggih
warisan jutaan tahun silam itu
tak berdaya lagi menghadapi
parfum perancis
obat gosok
minyak angin
tisu pengusir nyamuk
atau aroma permen karet?

Badak
kapankah kalian bersedia
masuk ke lab
untuk menjalani kloning massal
hingga cula-cula itu
bisa diproduksi
dengan biaya murah
dalam jumlah tak terbatas?

Kapankah jejak genetikmu
bisa dirunut ke belakang hingga
bisa benar-benar tercipta
dinosaurus dan mastodon
paling tidak macan jawa
yang telah tersingkir itu
bisa dipanggil pulang dari alam baka
dan dikirim ke gunung Payung
itu semua jelas sangat diperlukan
tetapi kapan?

Kapan kalian bersedia
jadi jinak seperti kuda poni
atau gajah-gajah sirkus
hingga posisimu kuat dan aman
lalu anak-anak sekolah
dapat mengelus-elus
baju zirahmu yang tebal
dan berlipat-lipat.

Bukan seperti sekarang
anak-anak sekolah itu
telah mengepung habitatmu
dengan sampah plastik
stereofoam
kaleng-kaleng
botol-botol plastik
bungkus permen
musik disko
metal
lalu warna-warni baju mereka
telah menyilaukan mata biawak
yang mengendap-endap
di bawah batang ketapang yang tumbang
dan mulai lapuk.

Matahari adalah bola kristal
yang ditaruh di tengah-tengah langit
lalu nenek sihir
Nyai Roro Kidul itu
mengganti sapunya
menukar kereta kencananya
lampor-lampor itu
telah masuk musium
dan yang melayang-layang di langit
hanya kelebat helikopter
dengan raungannya yang memekakkan telinga.

Dari mana datangnya peluru-peluru
pisau-pisau
anak panah tajam
kadang-kadang tombak.

Apakah untuk menghalau dengung nyamuk
memang diperlukan satu batalyon
artileri berat
dengan panser dan tank
lalu meriam ditembakkan
dan clurit diimpor dari Madura
juga kukri tajam itu
dengan pasukan bersorban
Gurkha
apakah mereka juga perlu segera didatangkan
langsung dari Nepal
dari lereng Himalaya yang dingin itu?

Kulit-kulit tebal
belukar kemadu berdaun lebar
dan super gatal
tapi daun-daun itulah
kesukaan badak
mungkin dari sanalah energi kehidupan itu
dikumpulkan
diperas
lalu menggumpal jadi
jimat yang menonjol
di culamu.

Selamat siang kubangan
lumpur kelabu kecokelatan
sekarang matahari bukan lagi kristal bening
bukan lagi peluru-peluru dan pedang tajam
awan-awan comulus bak kapas itu
lama-lama hangus dan menghitam
tiba-tiba angin diam
gumpalan awan itu lalu jadi tirai
abu-abu
kilat berloncatan
dan ketika angin kembali
beraksi
maka hujanpun turun dengan
sangat lebatnya
tetesan-tetesan kasar itu bukan peluru
bukan pedang atau mata tombak
tetapi permukaan lumpur di kubangan
sesaat jadi seperti kaca yang penuh lubang
karena tetesan-tetesan
deras dan tajam.

Sungai Cibandawoh
lalu meluap
muara itu disulap
menjadi rawa-rawa cokelat
yang luas sekali.

Selamat siang kubangan
masihkah badak-badak itu
akan datang lagi
lalu menceburkan diri
dan berendam
di rawa-rawa cokelat ini
kapankah hujan itu berakhir
lalu bola kristal itu kembali
menyala lalu
menghangatkan rumpun honje
yang bunganya mulai memerah
kapankah kau akan
datang lagi
badak?

Puisi dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 


RAHASIA CULA

$
0
0

Mengapa cula itu
tonjolan keras di moncong itu
dicari-cari
lalu dijual dengan harga mahal?

Mengapa pemilik cula itu harus dibunuh
padahal kata ahli farmasi
dalam cula itu hanya ada zat tanduk
hanya ada karbon.

Jadi cula itu sama saja dengan
tanduk kerbau
kuku sapi
bulu bebek
atau rambut bintang film Holywood
jadi mengapa?

“Ya tidak mengapa-mengapa
sesuai hukum ekonomi
kalau yang minta banyak
padahal barangnya sedikit
harganya lalu jadi mahal
semakin susah dicari
akan semakin besar orang berminat
dan berani membayar mahal.”

Tetapi marilah kita temui
seorang pakar pengobatan tradisional
dari timur
dia etnis Cina
beragama Kristen
namun juga tetap menganut Kong Hu Cu
dan belajar Zen Budha serta Thao
dia sudah lewat 70 tahun
sehat
berwajah cerah
tampak jauh lebih muda
dibanding usianya.

Sehari-hari
kelihatan dia hepi-hepi saja
meskipun jelas miskin
tinggalnya di pojokan kota
administratif Depok
Jawa Barat.

Namanya?
nomor teleponnya?
alamat lengkapnya?
tarifnya kalau konsultasi?
semua itu ada tetapi
tidak akan dimuat di buku ini
sebab tulisan ini fiksi
bukan features atau
reportase atau news
tetapi supaya kelihatan
lebih serius
inilah petikan wawancara itu.

(P) = pertanyaan
(J) = jawaban

(P) Oom kelihatan masih muda.
Seperti baru umur 50-an.
(J) Tetapi usia kan jalan terus.
Jatah hidup saya paling banyak hanya tinggal
20 tahun lagi.”
(P) Wah, oom ini! Bisa saja lo oom
mencapai usia 100 tahun atau lebih!
(J) Untuk apa? 90 tahun cukup!
(P) Oom, menurut ilmu pengobatan Cina
cula badak itu berkhasiat untuk apa?
(J) Mendatangkan kekuatan.
(P) Kekuatan seks maksudnya?
(J) Termasuk!
(P) Tetapi menurut dunia farmasi, cula badak hanya
mengandung karbon. Jadi sama saja dengan tanduk kebo.
(J) Memang. Tetapi Ilmu pengobatan Cina
dasarnya bukan farmakologi. Cula badak itu mengandung
bio energi yang sangat kuat.
Jauh lebih kuat dari taring singa atau tanduk banteng.
(P) Jadi memang benar cula badak bisa mendatangkan kekuatan?
(J) Tergantung orang percaya pada ilmu pengobatan Cina
atau tidak. Kalau orang tidak percaya ya tidak akan
muncul khasiatnya.
(P) Jadi kalau kita percaya, makan tulang ayam juga bisa sembuh?
(J) Minum air putih juga bisa sehat kalau kita yakin.
Tetapi kandungan bio energi di masing-masing benda tidak sama.
Cula badak itu kandungan bio energinya tinggi.
Tinggal kita siap atau tidak menyerap bio energi tersebut.
(P) Tetapi kasihan kan badaknya punah.
(J) Itulah keserakahan. Mestinya cukup culanya dipotong
lalu diobati hingga badaknya bisa tetap hidup.
(P) Tetapi ada juga yang percaya bahwa meminum
ramuan cula badak dan  kontol macan
bisa membuat seseorang jadi presiden?
(J) Jadi raja juga bisa, jadi Tuhan kalau pengin juga mungkin.
Sudahlah, soal punah atau lestari itu
terlalu membosankan bagi saya.
Anda tolong bertanya yang pokok-pokok saja.
Yang esensial.
(P) Contohnya oom?
(J) Misalnya bertanya tentang diri saya.
Dari tadi kok yang ditanyakan yang menyangkut orang lain.
Anda ini menganggap diri saya apa?
Aku ini belajar budaya Cina sudah 50 tahun lebih.
Anda bagaimana?
(P) Kalau begitu saya akan tanya tentang hobi oom saja!
(J) Wah kalau hobi saya itu bermacam-macam dan berkembang terus.
Waktu anak-anak dulu hobi saya main gundu dan layangan.
Setelah remaja hobi saya pacaran.
Pacar saya sampai tujuh orang dan semua cantik-cantik.
(P) Setelah dewasa oom?
(J) Setelah dewasa hobi saya ngumpulin duit.
Saya lalu jadi kaya. Tetapi ya itulah.
Harta kan hanya sementara.
Saya lalu jatuh miskin karena terlalu baik
hingga banyak ditipu orang.
(P) Putera-putera oom?
(J) Saya tidak menikah. Meskipun pacar saya banyak
saya memutuskan untuk  tidak menikah. Mungkin
anak biologis saya juga banyak, tetapi saya tidak tahu.
(P) Oom merasa kesepian sekarang?
(J) Ya kadang-kadang. Tetapi hati saya lebih sering ramai.
Saya senang main musik dan menyanyi dalam hati.
(P) Apakah oom merasa gagal dalam hidup ini?
(J) Juga kadang-kadang. Tetapi setelah
saya timbang masak-masak, akhirnya saya
dapat meyakinkan diri saya bahwa saya ini termasuk
orang sukses. Saya belum pernah masuk penjara,
tidak punya musuh malahan dicintai banyak orang.
(P) Apakah ada cita-cita oom yang belum tercapai?
(J) Ada. Satu. Yakni saya ingin mati secara alamiah
tanpa merepotkan orang lain.
(P) Kalau saya ingin tahu lebih banyak tentang
khasiat cula badak?
(J) Itu sebaiknya Anda tanyakan langsung pada
yang bersangkutan.
(P) Maksud oom pada badaknya?
(J) Ya.
(P) Terimakasih.

Badak itu besar dan berat
dia diam
dia menatap manusia di depannya
dengan sorotan sangat tajam tetapi
lembut
sorot itu memancar
dari butir matanya yang kecil
terlalu kecil dibanding badannya
yang besar dan kaku itu.
Wawancara ini berlangsung
di hamparan rumpun honje
di bawah tajuk meranti
badak itu angker dan dingin.

“Saya Wartawan.”
Badak itu diam
“Saya ingin menanyakan perihal khasiat cula Anda itu!”
Badak itu masih diam
“Apa benar di dalam cula Anda itu terkandung
bio energi yang maha dahsyat?”
Badak itu tetap diam
“Kata orang, kalau mereka meminum ramuan
cula Anda itu, dicampur dengan kontol macan
maka mereka bisa jadi presiden?”
Badak itu tersenyum.
“Jadi Anda memahami bahasa manusia. Oh my God!
Jadi Anda tahu?”
Wartawan itu mendekat lalu menepuk-nepuk
pundak si badak. Badak itu meneteskan air mata.
“Anda terharu? Aduh! Ternyata badak juga bisa terharu.
Boleh saya memotret?”

Wartawan itu lalu membidikkan kamera.
Dia mengatur diafragma
menyetel kecepatan
memutar zoom
lalu memfokus
badak itu tampak tegang
dia mendengus
matanya memerah dan berkilauan
seperti planet mars waktu
malam berlangit cerah
tiba-tiba ketika klik
badak itu menggerakkan seluruh
badannya ke depan
langkahnya berderap seperti
langkah tentara berlarian
kepalanya ditundukkan
lalu culanya diserudukkan
wartawan dan kameranya
terjengkang ke belakang
badak itu terus berderap-derap
dan wartawan itu merasa dirinya
kembali jadi mahasiswa
yang sedang demo di garis depan
lalu diseruduk panser
dan pingsan
mungkin koma.

Entah berapa hari
entah berapa malam
ketika sang wartawan
siuman
lingkungan terasa nyaman
hangat
bersih
bau wangi
udara juga segar
sang wartawan itu semula
ingin bertanya
“Aku di mana?”
tetapi itu terlalu klise
dia lalu berpikir sejenak
pertanyaan apa yang mesti dia ajukan
tetapi dia lalu memutuskan
untuk tidak bertanya-tanya.
“Mungkin aku justru harus menjawab.”
Maka diapun lalu merancang-rancang jawaban.
Tetapi menjawab apa?
Menjawab siapa?
“Jadi sebaiknya aku memberikan  pernyataan saja.”
Maka diapun lalu merancang-rancang pernyataan.
Tetapi sebelumnya dia mengedarkan pandang
ke kiri dan ke kanan
dalam cahaya lampu terang benderang
dia melihat manusia-manusia
entah siapa
tetapi itu tidak penting.
“Siapapun mereka
harus mendengar pernyataan pertamaku ini.”
Maka diapun lalu mengumpulkan tenaga
dan menggetarkan pita suaranya
sambil berucap.

“Saya sudah sadar!”
di luar dugaan
manusia yang berada di kiri dan kanannya
tampak kaget tetapi gembira
mereka berpaling ke arahnya sambil
buru-buru mendekat dan menunduk
tangan-tangan itu lalu memegang tangannya.
“Sokurlah, kamu sudah sadar!”
“Alhamdulillah!”
“Puji Tuhan!”
“Akhirnya sadar juga dia!”
Lalu ada yang menangis
ada yang memeluk-meluknya
lalu dokter dan perawat datang
dan memeriksanya.

Badak adalah binatang yang baik
binatang yang tidak suka mengganggu
sesamanya
apalagi mengganggu manusia
apalagi dia wartawan
yang hanya sekadar mau memotret.

“Jadi Mas ini sebenarnya mau memotret?”
“Sudah Pak. Sudah memotret.”
“La ini to hasilnya. Ada enam frame yang dia hasilkan.
Mula-mula seluruh badan makin lama makin mendekat
sebelum akhirnya menyeruduk.”
“Untung tidak diinjak perutnya ya?”
“Badak itu kaget. Mungkin dia pernah melihat
temannya mati dibidik bedil. Badak kan tidak tahu bedanya
bedil dengan kamera foto.”
“Apakah badak itu besar?”
“Apakah dia sebesar panser?”
“Dia pasti besar sekali dan culanya itu lo, serem!”
“Memang pada culanya itulah terkandung misteri badak.”
“Misteri?”
“Ya, misteri energi purba yang entah
bagaimana juntrungannya.”

Cula
mengapa kau tiba-tiba mencuat
di ujung hidung itu?
mengapa tidak di pantat
atau di punggung
atau di kepala seperti lazimnya
para binatang lain?
atau di kaki
bukankah ayam jantan culanya
justru berada di kaki?
bisakah cakar ayam berikut tajinya
itu kita telan utuh-utuh
agar dapat mendatangkan
kekuatan jasmani dan rohani?
atau tanduk kerbau itu
bisakah dipepes dan dikukus
lalu disuapkan ke para jompo
atau perlu digiling halus
diperas
diseduh
lalu dimasukkan dalam dot
dan disumpalkan ke mulut bayi?
atau harus dilebur ke dalam
dada para ibu hingga bayi-bayi
yang meneteknya
akan tumbuh jadi Superman
jadi Rambo yang dengan
pisau dan bedilnya
memberondong dan menyembelih musuh
seperti memotong ayam?
seakan-akan Tuhan memang
sengaja menyembunyikan sesuatu
dia sengaja tidak pernah mau berterus terang
selalu ada yang dibiarkan gelap
dan tidak pernah terjawab.
Benarkah?

Cula itu
mengapa harus digergaji
mengapa harus disatukan dengan
otak monyet
dengan kontol macan
dengan ginseng korea
mengapa tidak dibiarkan saja
dia tetap bertengger di
hidung badak lalu
diusap-usap
dielus-elus
hingga badak-badak itu jinak
dan mau ikut rombongan sirkus
terbang dari Paris ke New York
dengan super kargo Galaxy
disambut dengan tepuk tangan
dan siraman sampanye
mengapa hutan tropis basah itu
tinggal secuil lalu cula-cula
beterbangan ke Hongkong
mengapa Hongkong
mengapa bukan Vatikan atau Mekah
mengapa harus selalu Hongkong
dan Cina
mengapa bukan Batak
bukan Aborigin
bukan Badui Dalam
apakah karena mereka etnis terbesar
di planet ini
atau sejarah mereka yang sangat
panjang dan jauh ke belakang sana
atau karena mata mereka yang sipit itu
yang persis mata badak?

Cula itu
tiba-tiba harus terlepas
dari moncong yang kekar
tiba-tiba darah itu harus tumpah
lalu serasah honje
biji-biji keloncing
dan duri nibung yang tajam
tak ada artinya apa-apa.

Kita tidak boleh berpikir
tidak perlu merenung
semua harus cepat
semua harus tergesa-gesa
sebelum patroli jagawana
mahasiswa pecinta alam
dan para wartawan datang
lalu foto badak yang kaku
dan berdarah itu
terekam lalu meluncur ke satelit
dan beredar ke seluruh penjuru planet.

Daratan Ujung Kulon
mendung dan murung
burung enggang tak lagi
mengepakkan sayap
pucuk-pucuk burahol yang dulu
merah jambu
kini menua lalu rontok jadi
serasah cokelat
duri-duri rotan yang tajam
akhirnya mengalah
dia patah lalu terinjak-injak
dan lapuk jadi humus
mungkin rayap atau cacing
masih harus menyempurnakannya
sebelum musim kemarau tiba
dan banteng-banteng itu
seperti digiring oleh Hyang Syiwa
mereka merumput, minum
tidur-tiduran
dan hujan yang lebat hanya
sedikit membasahi pokok-pokok
fikus yang bertajuk lebat dan besar
fikus-fikus itu bagai payung raksasa atau tenda
lalu rusa pun aman dan hangat
mendekam di bawahnya.

Puisi dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 


PENJELASAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG BADAK

$
0
0

Menteri itu
berbaju safari dan berkeringat
dia gerah
padahal ruang itu sejuk ber-AC
dia was-was
padahal tak ada musuh mengancam
dia prihatin
padahal anak istrinya di rumah
berkelebihan
dia gemetaran
padahal yang dihadapinya
hanya wartawan
kameraman
dan petugas keamanan istana.

“Begini saudara-saudara ……..”
“Katanya badak cula satu di Ujung Kulon hilang ya pak?”
“Cula berikut kepalanya utuh sudah dipajang
di Hongkong ya pak?”
“Kabarnya badak-badak itu diculik oleh ninja
dan saat ini sudah ada di Florida untuk diternakkan di sana…….”
“Kabarnya yang menculik makhluk angkasa luar ya pak?”
“Katanya bapak justru …….”
Menteri kehutanan itu kuyu
dia menunduk
matanya terpejam
keduabelah tangannya diangkat
ke atas
telapak tangannya dibuka lebar-lebar
persis jagoan yang menyerah kalah
karena diberondong pertanyaan gencar.

Sambil terus tertunduk
sambil merem
sambil angkat tangan
dia dituntun ajudan
lalu didudukkan di kursi pesakitan
di atas meja
di depan jidatnya
puluhan tape recorder
dan mikropon berserakan
lampu blitz berkilatan
lampu kamera tivi disorotkan
puluhan wartawan itu gelisah
dan gaduh.

Setelah meneguk air putih
menteri kehutanan itu menebarkan pandang
ke kiri
ke tengah
ke kanan
lalu balik lagi ke kiri
lalu mulutnya disenyumkan
dengan penuh keyakinan
“Begini saudara-saudara
saya memang baru saja melaporkan
kepada bapak Presiden
bahwa badak-badak bercula satu
di Taman Nasional Ujung Kulon
telah raib
Para petugas jagawana yang rutin melakukan
pelacakan jejak dan kotoran
telah melaporkan hasil negatif.
Pemotretan dengan 100 kamera otomatis
yang disebar di 100 lokasi selama
3 bulan juga nihil.
Terakhir, hasil pemantauan melalui
satelit dengan peralatan super canggih
juga hanya menunjukkan
gambar-gambar banteng
macan tutul
monyet
celeng
dan tikus.
Jadi, dugaan sementara
badak-badak itu sudah tidak berada
lagi di Taman Nasional Ujung Kulon
mungkin berada di tempat lain
mungkin juga telah punah
tetapi tidak tertutup kemungkinan
badak-badak itu telah raib
secara gaib.
Untuk itu di sebelah saya ini
ada eyang Gendeng Saestu
seorang tokoh paranormal yang akan
membantu memberikan penjelasan. Silakan eyang.”
Eyang itu tampak masih sangat muda
dan klimis
berjas dan berdasi
potongan rambutnya cepak
sorot matanya tajam
dan tubuhnya sempurna atletis
dia ganteng
tak ada sedikitpun kesan
bahwa dirinya paranormal.

Setelah membetulkan letak
duduknya
Eyang Gendeng Saestu berdehem
“Ehem”
Lalu dia manggut-manggut sendiri.
“Terimakasih bapak menteri.
Saudara-saudara, rekan-rekan wartawan
saya ini dulu juga wartawan lo.
Waktu masih di Yogya saya mbantu-mbantu KR.
Kadang diminta untuk ngisi konsultasi macem-macem.
Tapi terutama ya yang menyangkut nasib
jodoh, rezeki atau soal bisnis dan pangkat.
Kadang-kadang ada yang manggil
ke Jakarta
lalu tahu-tahu saya diminta bapak
Presiden untuk membantu mengatasi
berbagai gejolak yang saat ini terjadi
di tanah air kita tercinta.
Jadi kemudian wartawannya terpaksa
saya tinggalkan.
Tetapi
nurani saya masih nurani wartawan
saya masih dapat merasakan denyut
profesi sampeyan-sampeyan ini
jadi, kembali soal badak
seperti yang tadi telah diutarakan
oleh bapak menteri kehutanan
kondisinya memang seperti itu
raibnya secara mistik
jadi bukan raib sembarang raib
saya kira untuk sementara seperti itu dulu sebab
penjelasan dari bapak menteri sudah
cukup gamblang.”

Wartawan
Yang sedari tadi hanya mendengar
dan mencatat serta merekam
kini berebutan bertanya
mereka sangat menginginkan
rincian penjelasan
dan serangkaian pernyataan
namun menteri itu
paranormal itu
hanya tersenyum
sembari mengangkat kedua telapak tangannya
yang terbuka.

“Cukup, cukup itu saja
nanti akan ada penjelasan lebih rinci lagi
kalau segala penelitian dan pengamatan
telah selesai dilakukan
sekian dan terimakasih.”

Wartawan-wartawan itu
lalu seperti kerumunan semut
yang merelakan mangsanya
lepas dari kerubutannya
beberapa orang masih terus berusaha
menguber menteri dan paranormalnya
sampai ke mobil
tetapi menteri itu
paranormal itu
hanya tersenyum
hanya melambaikan tangan
nun dari balik
kaca mobil mereka yang teramat sangat
gelapnya.

Berita tentang raibnya badak bercula satu itu
segera menyebar ke mana-mana
permata satwa dunia
mamalia purba yang tinggal puluhan ekor
di ujung barat pulau Jawa itu
tiba-tiba lenyap.

Radio
koran
televisi
kantor berita
majalah
tabloid
bulletin ilmiah
berita internet
telepon
faximile
desas-desus
sebuah desas-desus yang sangat kuat
telah menyebar bagai kanker ganas
menyusup ke istana merdeka
menyelinap ke rumah-rumah petak
meluncur di jalan tol
mendarat di bandara Soekarno-Hata
dan tergeletak begitu saja di
suite room Grand Hyatt di jantung
jalan Thamrin Jakarta.

“Bagaimana ceritanya?”
“Ya, katanya  pasien di semua rumah sakit di Jakarta
telah terjangkit penyakit badak
kulit mereka menjadi sangat keras
hingga tidak bisa disuntik atau dioperasi.”
“Bagaimana itu?”
“Apakah benar mbakyu!”
“Saya tidak tahu. Kalau memang benar ya aneh sekali ya?”
“Tetapi lalu bagaimana kalau orang sakit harus operasi
tetapi kulitnya tidak bisa diiris karena tebal dan  keras
seperti kulit badak?”
“Mungkin dengan gergaji listrik.”
“Laser! Pasti dengan sinar laser!”
“Semua sudah dilakukan tetapi hasilnya kurang memuaskan.
Sekarang Ikatan Dokter Bedah itu sedang mengadakan
seminar ilmiah di Puncak Pas.”

Sementara itu
polisi-polisi
intel
detektif swasta
wartawan senior dan
beberapa paranormal
telah menemukan sebuah rumah mewah
dengan halaman seluas 500 ha
dan penuh badak bercula satu.

“Lo, jadi ke sana to badak-badak kita
dibawa?”
“Rumah siapa itu?”
“Lokasinya?”
“Kok berani-beraninya ya?”
“Kok bisa ya?”
“Apakah berita ini benar-benar akurat?”
“Jangan-jangan hanya isu?”
“Sensasi!”
“Ya, jangan-jangan supaya korannya laris.”
“Kita perlu cek and ricek.”
“Itu hukumnya wajib.”

Maka suatu pagi
rombongan menteri kehutanan
lengkap dengan jajaran di bawahnya
juga di samping-sampingnya
juga di depan dan di belakangnya
komplit dengan wartawan
ajudan
dan aparat keamanan
meluncur menuju Sentul
tempat rumah yang penuh badak itu.

Jalanan ber-Hotmix yang lapang
dan sepi
kiri kanan rumpun bambu jepang
rapat tetapi ramah
lalu sebuah gerbang berportal
dan bersatpam.

“Inikah rumah itu?”
“Ya. Ya inilah dia!”
“Rumah siapakah ini?”
“Katanya rumah mas Tomy ya?”
“Tomy siapa?”
“Tomy kita?”
“Tidak tahu!”
“Bukannya ini rumah oom Liem?”
“Bukan! Saya justru diberitahu
bahwa ini vilanya pak Bob!”
“Bob siapa, Liem siapa? Yang namanya Bob dan
Liem itu banyak lo. Bob Sadino! Liem Swie King?
“Lo, lo, lo, kok plangnya bertulisan begitu?”
“Rhinocheros Hill?”
“Ya, punya siapa ya?”
“Jangan-jangan ini punya bapak?”
“Bapak siapa? Bapak yang ada di surga?”
“Atau bapak jenggot?”
“Lo, kok cuma patung-patung?”
“Patung badak?”
“Ya semua cuma patung?”

Rombongan menteri kehutanan
wartawan
kameraman
aparat keamanan
semua terkesima
patung-patung itu
berjumlah puluhan
berdiri berpencaran
sangat naturalis
benar-benar hidup
benar-benar persis badak.

“Mungkin dari fiber ini!”
“Logam. Sepertinya logam!”
“Kayaknya besi!”
“Jangan-jangan titanium!”
“Awas, jangan disentuh lo. Siapa tahu ada radioaktifnya.”
“Ya, kita memang harus hati-hati.”
“Ekstra hati-hati!”
“Jadi bapak menteri percaya?”
“Ya, semua cuma patung pak?”
“Beritanya dulu dari mana sih pak?”
“Masa menteri dikibuli?”
“Siapa pak yang memberi info?”
“Bisa jadi semua ini hanya kamuflase!”
“Patung-patung itu sekadar alat pengalih perhatian.
Badak yang asli ngumpet di gerumbulan sana.”

Aparat keamanan dan wartawan lalu
menyisir medan
halaman rumah itu sangat luas
pohon-pohon
semak belukar
rumput
parit
bukit-bukit
danau buatan
air terjun tiruan
jalan setapak
jalan mobil
helipad.

Tetapi setelah lebih dari dua jam
dijelajahi
lengkap dengan anjing pelacak
dan detektor badak
hasilnya tidak ada.

“Benar pak, di sini tidak ada badak!”
“Tetapi, menurut petunjuk dari paranormal,
seluruh badak bercula satu dari kawasan Ujung Kulon
telah diangkut kemari!”
“Ya, benar pak. Memang benar.”
“Satu-satu, badak yang telah terjaring dan terbius itu
dibawa kemari dengan heli.
Tetapi begitu sadar, berdiri sebentar,
badak-badak itu berubah kaku lalu diam saja
dan menjadi patung.”
“Harus discan. Apa ini mumi asli atau patung atau malah fosil?”
“Lalu roh badak itu?”
“Ya, roh badak-badak itu masuk surga, masuk neraka
atau bergentayangan jadi hantu?”
“Itu yang kami tidak tahu.”
“Harus dikerahkan paranormal lebih banyak lagi.”

Dua patung badak
diangkat 12 orang
karena masih kerepotan
ditambah lagi 4 orang
sambil tetap keberatan
dua patung itu dinaikkan ke dalam truk
lalu dibawa ke Jakarta.

Menteri kehutanan
didampingi staf
didampingi aparat keamanan
dilindungi paranormal
duduk di ruang jumpa pers
menghadapi wartawan
dalam dan luar negeri.

“Saudara-saudara.
Kemarin siang, saya dan aparat keamanan,
telah datang ke sebuah vila di kawasan Sentul,
kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Menurut kabar, di sanalah badak-badak
dari Ujung Kulon yang menghilang itu disembunyikan.
Menurut penjelasan penjaga vila,
badak-badak Ujung Kulon itu telah ditangkap
dengan jaring dan ditembak peluru bius
lalu diangkut dengan helikopter.
Namun ketika kami lakukan penggerebekan
yang kami jumpai hanya patung badak.
Menurut pengakuan penjaga vila
begitu badak-badak dari Ujung Kulon itu sampai di Sentul
dan sadar, mereka segera menggeliat-geliat
berdiri
kejang-kejang
kaku dan jadi patung
dua patung yang ada telah kami ambil
untuk diteliti lebih lanjut.
Beberapa paranormal telah kami
kerahkan untuk terus mengejar
roh para badak
sebab kami khawatir
roh-roh badak itu telah
bergentayangan masuk rumah sakit
merasuki pasien
hingga mereka menjadi berkulit tebal
tidak dapat disuntik
maupun dioperasi.
Itulah sementara penjelasan
dari saya
Ada pertanyaan?”

Para wartawan itu
para fotografer dan cameraman
semua resah
apa yang harus mereka tanyakan?
apakah mereka harus selalu bertanya
dan selalu mengharapkan jawaban?
Apakah wartawan tidak boleh diam
sambil mengamati
sambil mencermati
menghirup napas dalam-dalam
menenangkan diri
hingga bisa rileks
santai
lalu menyiapkan head line
berupa sepotong dinamit
dan seutas detonator
lalu mereka pun berteriak beramai-ramai.

“Sorak-sorak bergembira
bergembira semua
sudah pecah otak kita
juga otak pembaca
mari kita ledakkan
kepala kita semua
agar kita bisa bebas
dari amukan badak!”

Para wartawan itu
lalu berjingkrakan
mereka menari-nari
aparat keamanan kaget
menteri kehutanan bengong
paranormal menjadi normal
mereka ikut berdiri
para wartawan terus berjingkrakan
beberapa orang mulai menyerang
mereka menyeruduk
kekuatan mereka luar biasa
meja-meja berjumpalitan
tembok ruang pers jebol
mereka terus berjingkrakan dan
menyeruduk
upaya paranormal untuk
mengatasi keadaan
tetap sia-sia
menteri kehutanan
segera diamankan
dia dilarikan ke pusat pemberitaan
TVRI dan
memberikan penjelasan secara
sentral kepada seluruh pemirsa
di Indonesia

“Saudara-saudara
baru saja saya terlepas dari
amukan roh badak
yang telah menyusup masuk ke dalam
tubuh para wartawan
mereka semua saat ini
masih mengamuk di departemen kehutanan.
aparat keamanan
dan paranormal
sedang berusaha untuk mengatasi keadaan
diharapkan
dalam waktu dekat ini
situasi sudah
dapat dikendalikan.
Sekian.”

Puisi dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 


MENGHILANGKAN DIRI

$
0
0

Saudara-saudara para badak
marilah kita menghilangkan diri
dari semesta alam ini.”
“Menuju surga?”
“Tidak!
Surga hanya milik manusia,
Tuhan dan malaikat-malaikat.”
“Menuju neraka?”
“Juga tidak.
Neraka hanya untuk setan-setan dan
konon manusia yang berdosa.”
“Lalu ke mana?”
“Ya, ke mana?”
“Kita tidak akan ke mana-mana
kita akan jadi hantu
akan jadi kenangan
dan akan hidup abadi.”

“Mari kita muksa.”
“Murco.”
“Gaib.”
“Menyatu dengan Hyang Widi Wasa
melebur jadi lumpur
lalu menguap jadi debu
jadi awan dan terbang
sampai ke Bangkok
sampai ke Brunei
lalu menyeberang Pasifik
dan terdampar di Hawaii
meleleh
meluncur bersama lava
yang membara
dan membeku serta dingin
hanyut dibawa gelombang Pasifik
lalu berselancar bersama tubuh-tubuh
kekar dan atletis
mari kita melenyapkan diri
hancur bersama daun-daun
ranting-ranting kering
dan lapuk
dihisap cendawan
dimakan belatung
digerogoti rayap.”

“Mari!
kita bercengkerama
di perut belalang
dan berwisata
di kelenjar lalat
dan jika lalat dan belalang itu
dipatuk burung jalak
kita akan bisa ikut bersiul
berkicau dan menyanyi memuliakan
pagi.”

“Mari kita menyatu dengan
desau angin
gemericik air Citerjun
dan derap irama
sayap-sayap albatros
yang mengarungi samudera
melintasi benua-benua.”
“Tetapi untuk apakah
itu semua?”

“Ya untuk apakah kita mati?”
“Untuk apa?”
“Tidak untuk apa-apa
kematian tidak pernah ada
kita tidak akan pernah bisa
lepas dari jagat raya
kita tidak akan pernah bisa
lenyap dari semesta ini
semua hanya siklus
air akan menjadi uap lalu mengembun
dan menetes
rumput dan daun-daun yang kita makan akan
menjadi darah menjadi daging
menjadi tulang
menjadi tahi
lalu tahi itu dimakan kumbang
dan tahi itu bisa terbang
tahi itu bisa naik ke langit
lalu didorong angin
dan menyusup masuk ke dalam
surga lalu para malaikat
dan roh manusia-manusia
yang suci bersin-bersin.”
“Matahari akan mati?
Kapankah
super nova
lubang hitam
kubangan
kita harus nyemplung ke sana.?”

Maka badak-badak itupun
lalu mencemplungkan diri
ke dalam lumpur lalu
bersukaria
dan berendam-rendam.

Ketika itulah suara keras
menderu-deru
makin lama makin bergemuruh
dan dekat
dan tampak sebuah helikopter
mengapung di udara
badak-badak itu heran
dari dalam heli itu
tiba-tiba
terlempar sebuah jaring
yang besar dan sangat kuat
seekor badak tertangkap lalu
dibawa terbang
tak lama kemudian
heli itu datang lagi lalu
menembakkan peluru bius
seekor badak tertembak lalu teler
dan dimasukkan jaring lalu
dibawa terbang
heli itu tampaknya dilengkapi
alat pelacak badak
sehari itu tertangkap empat
sampai lima ekor badak.

Di angkasa badak itu meronta-ronta
berontak tapi sia-sia
heli itu meluncur ke arah timur
melintas gunung Honje melintas kota
Rangkas terus ke timur
ke arah Sentul
ke arah sebuah rumah
dengan halaman entah berapa hektar.

Heli itu memutar dan merendah
badak-badak itu diturunkan
jaring dilepas
lalu badak-badak itu
bergerak
menggelepar
berdiri
dan mengeras
jadi kaku
jadi patung badak.

“Lebih baik kita murco
dan jadi hantu gentayangan
daripada jadi penghias taman”
kata badak itu begitu temannya datang.

“Pak, kok badaknya jadi patung?”
“Itu memang patung. Patung naturalis
yang dikerjakan oleh titisan Rodin
yang sekarang berdomisili di Pandeglang
Banten!”
“Nyoman Nuarta?”
“Bukan. Dia kan akan membuat patung
garuda raksasa. Ini kan patung badak.”
“Tadi bergerak-gerak lalu berdiri
tetapi tiba-tiba jadi kaku dan keras!”
“Itulah hebatnya sang pematung titisan Rodin.
Dia bisa menyihir penonton hingga
seakan-akan patung itu benar-benar hidup.”
“Tapi itu Pak! Heli itu datang lagi!
Coba nanti bapak lihat.”

Heli itu datang lagi.
Seekor badak  diturunkan.
Jaring dibuka. Badak itu bergerak-gerak,
berdiri, sempoyongan, menggelepar-gelepar
lalu meregang, kaku dan menjadi patung!
“Nah Pak! Bapak menyaksikan sendiri kan ini tadi?”
“Menyaksikan apa?”
“Ini tadi! Badaknya kan hidup! Tapi tiba-tiba kaku lalu menjadi patung!”
“Itulah hebatnya pematung kita. Itu tadi bagian dari kreasi seninya!”
“O!”
“Makanya, kamu jangan kuper!
Harus jadi anak gaul dan tidak boleh kekurangan PD!”
“Ya Pak! Terimakasih!”
“Nah sudah berapa patung badak sekarang?”
“Limapuluhan pak!”
“Berarti sudah semuanya.”
“Bapak pesannya limapuluh ya?”
“Benar! Coba nanti kau beri
nomor registrasi dan kau catat rapi
di agenda ya?”
“Perlu dilaporkan ke bagian akunting pak?
Supaya tutup tahun nanti bisa masuk neraca?”
“Itu prosedur baku! Jangan lupa pula bagian sekuriti harus ditugasi
untuk mengamankan seluruh kawasan. Sekedar
tahu saja ya, badak-badak ini seluruhnya terbuat dari
emas 24 karat!”
“Emas seluruhnya pak?”
“Benar. Tetapi sengaja diberi warna orisinil badak yakni
abu-abu kecokelatan untuk kemuflase. Untuk menghindari
penjarahan.”
“Seluruhnya berapa ton pak?”
“Sekitar 350 ton!
Semua itu nantinya akan saya selundupkan ke Hongkong!”
“Dari mana pak emas-emas ini?”
“Dari PT Aneka Tambang di gunung Pongkor.
Biasa. Saya main dengan orang dalam.
Rencananya saya juga akan membuat patung banteng,
patung rusa dan gajah.
Total beratnya sekitar 5.000 ton.”
“Ck, ck, ck! Hebat!”
“Makanya! Kamu jangan bandel!
Nanti sore kau uruskan tiket ya! Telepon saja ke Raptim.
Saya akan terbang malam ke Denpasar terus langsung ke Hawaii!”
“Siap Pak! Kopornya sudah diurus ibu ya?”
“Sudah! Nanti kalau badak-badak itu kembali hidup,
tolong disediakan makanan dan digiring ke tempat kubangan
di seberang sana ya!”!
“Baik Pak!”
“Sekarang saya mau lengser!”

Roh-roh badak itu
berkumpul di bukit Sentul
mereka heran
takjub
malam yang dingin
tetapi banyak sekali lampu
banyak sekali rumah-rumah
bau manusia
bau bensin dan solar yang dibakar
dalam mesin-mesin mobil
bunyi yang gaduh
deru motor
deru lalulintas
di jalan tol Jagorawi
tak ada lagi pohon-pohon
tak ada lagi belukar.

“Memang kita tidak perlu pohon lagi ya!”
“Kita tidak perlu kubangan tidak perlu daun-daun.
Kita merdeka.”
“Bebas. Kita bisa bergerak ke mana saja tanpa ada rintangan apa pun.”
“Kita tengok saudara-saudara kita dipulau Sumatera dan Kalimantan?”
“Badak Sumatera maksudnya?”
“Ya. Kita silaturahmilah!”
“Mengapa tidak sekalian ke Afrika?
Kita tengok saudara-saudara kita yang bercula dua.”
“Culanya ada dua?”
“Ya dan badan mereka besar-besar.”
“Serem sekali ya?”
“Lebih serem kita. Sebab kulit mereka polos-polos saja
mirip kebo. Kita kan punya baju zirah yang berlipat-lipat.”
“Saya pengin ketemu gajah.”
“Sudah berabad-abad badak jawa tidak pernah ngobrol dengan gajah.
Kapan obrolan terakhir dilakukan oleh
nenek moyang kita?”
“Mungkin limaratus ribu tahun silam.
Mungkin lebih lama lagi.”
“Lebih baik kita ketemu manusia.  Pimpinan manusia.”
“Namanya presiden. Dia tinggal di Jakarta
dan rumahnya dijaga tentara.”
“Jangan takut. Tentara kan tidak dapat melihat kita.
Ingat, kita hanya roh!”
“Mungkin kita ziarah dulu ke gunung Pangrango
ke Kandang Badak.”
“O, ya, ke petilasan para leluhur kita.”
“Mari, mari!”
“Ayo!”

Roh para badak itu
bergerak
meninggalkan bukit Sentul
mereka tidak berjalan tetapi
juga tidak terbang
mereka bergerak
karena roh tidak kelihatan
mereka tidak menabrak apapun.

Mereka melayang naik melintasi
Ciawi terus naik lagi ke Gadog.
Mereka tidak perlu merunut
jalan raya yang berliku-liku
tetapi terus langsung naik dan
mendarat di lembah
yang disebut Kandang Badak.

Udara relatif hangat
tidak sedingin di puncak Gede
atau Pangrango
di lembah ini
ada mataair kecil tapi jernih
dan senantiasa mengalir sepanjang tahun
kandang badak adalah
pertemuan dua gunung
Gede dan Pangrango
di sini ada jalan yang menurun
menuju Cibodas
ada simpangan ke arah kawah
lalu ada jalan pendakian
ke kiri untuk mencapai
puncak Gede dan ke kanan akan
sampai ke puncak Pangrango
di sinilah para mahasiswa itu
mendirikan tenda-tenda
yang berserakan di bawah pepohonan
ada juga yang ngekem di
bangunan pos.

Para mahasiswa itu
muda-muda
laki-laki dan perempuan
ada yang berpacaran
tetapi kebanyakan lupa pada urusan asmara
mereka marah
mereka kalah
di Jakarta
mereka ditembak dan beberapa orang mati
mereka diusir dari kampus mereka
lalu mengungsi ke gunung Gede-Pangrango.

“Mungkinkah tentara itu akan datang kemari?”
“Mungkin saja!”
“Kita habis kalau mereka datang!”
“Tapi kita kan pecinta alam.”
“Ya, di sini kita bukan lagi demonstran.”
“Kita sedang kalah.”
“Kita sedang mengumpulkan tenaga,
sedang mengatur siasat
dan siapa tahu roh para badak
yang menghuni kawasan ini
mau membantu kita!”
“Ya siapa tahu kita lalu jadi kuat seperti badak
yang berkulit tebal
dan bisa menyeruduk!”
Roh para badak itu
tiba-tiba merasa iba dan bersimpati
kepada para mahasiswa
mereka lalu berkomunikasi.

“Perkenalkan kami Roh para badak.”
“…………..?”
“Lo jangan takut.
Kami tidak akan mengganggu
melainkan justru akan membantu kalian!”
“Membantu? Anda ini siapa?”
“Ya siapa?”
“Kami roh para badak!”
“Roh para badak?”
“Bukan setan?”
“Bukan roh teman kami
yang tertembak bulan lalu?”
“Bukan! Kami asli roh para badak!”
“Dari Ujung Kulon sana?”
“Ya!”
“Waduh, kok tiba-tiba datang kemari?”
“Kami berziarah. Kami ingin berkomunikasi
dengan roh nenek moyang kami di sini.”
“O!”
“Lalu badan wadag kalian?”
“Ada di Sentul sana!
Kami diangkut dengan heli.”
“Apakah Anda bisa menampakkan diri?”
“Bisa! Ayo teman-teman,
kita menampilkan diri.”
“Ya inilah kami.
Asli badak cula satu dari Ujung Kulon.
Di dunia ini tidak ada duanya!”
“Wah benar!”
“Ya! Badak!”
“Oh My God! Rhinocheros!”
“Mami. Ada badak!”
“Hi, galak tidak ya mereka?”
“Tidak. Kami tidak galak. Peganglah,
kami tidak apa-apa!”

Para Mahasiswa itu
kawanan badak
udara gunung yang dingin
api unggun
kabut
malam itu mereka berdiskusi
lalu menjalin kolusi
untuk melancarkan aksi.

Puisi ini dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 

 


PANTUN MAHASISWA DAN SANG JENDERAL

$
0
0

“Di tempat yang hening ini
yang jauh dari hiruk-pikuk kota
marilah kita panjatkan doa
sesuai dengan kepercayaan kita masing-masing.”
“Kami percaya pada hati nurani.”
“Kami percaya nyali. Nyali adalah segala-galanya bagi kami.”
“Kami percaya kepada moral dan kebenaran.”
“Kami tidak percaya kepada apapun.  Kami harus bergerak.
Yang penting aksi bukan basa-basi!”
“Kami percaya kepada Tuhan, Allah yang Maha Esa.
Penguasa langit dan bumi.
Pencipta Adam dan Hawa dan seluruh dosa-dosa yang diperbuatnya.”
“Gombal! Kami percaya pada gombal yang lusuh.
Yang dikenakan para kere dan gembel yang berkeliaran di jalan-jalan.
Kami percaya bahwa betapa lusuh pun, gombal tetap penting untuk
penahan dingin dan penutup aurat.
Jadi. Marilah kita semua menutup aurat kita masing-masing
lalu  bersama-sama mengheningkan Cipta.
MENGHENINGKAN CIPTA, MULAI!”
“Jreng-jreng-jreng………” (angin)
“Tet-tet-tet, tet-tet-tet ……..” (burung)
“Dung-dung-dung, dung-dung-dung ……” (pohon bolong dipukul-pukul)

Satu menit
dua menit
satu jam
dua jam
satu hari
satu hari satu malam
angin dan hujan dan badai
kabut dingin
para mahasiswa itu tetap khidmat
mengheningkan cipta
badai makin keras
para mahasiswa kaku dan beku
tetapi tetap tegak dan
mengheningkan cipta
badai mengganas
meliuk-liuk mencapai Cibodas
turun ke Cipanas lalu berputar-putar
di Puncak Pas.

Badai gila itu membongkar
vila dan restoran
panti pijat
hotel-hotel
para pramuria berkain handuk
berlarian menyelamatkan nyawa
badai itu meluncur ke Cisarua
lalu turun ke Mega Mendung
dan pukul 12.00 tepat
telah mendarat dengan selamat
di Markas Besar Tentara Nasional Indonesia
di Cilangkap, Jakarta Timur.

Seorang Jenderal keluar
dengan pakaian dinas upacara
lengkap dengan tongkat komandonya
yang dikepit di ketiak
dia mendongakkan muka ke langit
lalu memberi hormat pada
Tuhan Yang Maha Esa
panglima segala tentara.

Tapi badai gila itu segera menyergap
dan meringkusnya
lalu menerbangkannya langsung
ke Kandang Badak di gunung Gede Pangrango.

Jenderal itu menggelepar tapi
tak berdaya
dia terombang-ambing di langit
topinya mau lepas tapi
dengan sigap dia pegangi erat-erat
sambil jumpalitan
diangkut badai
memang sungguh tidak nyaman
setelah berputar-putar selama
0,5 jam (30 menit)
tepat pukul 12.30 jenderal itu
mendarat dengan selamat
di tengah para mahasiswa
yang tengah mengheningkan cipta
di lembah Kandang Badak
di kaki gunung Gede Pangrango.
“Gedebuk!” (jenderal itu jatuh)
“Adow!” (teriaknya keras)
“Mengheningkan cipta selesai!”
“Tet-tet-tet, tet-tet-tet, tet-tet-tet
jreng-jreng-jreng, dung-dung-dung!”

Para mahasiswa mendongakkan kepala
membuka mata
ada yang menguap
ada yang menggeliat
tubuh mereka yang beku
mendadak cair
mereka capek dan kaget
demi melihat sang jenderal
terduduk di tengah arena
jenderal itu berdiri
badannya ditegakkan
dadanya dibusungkan
lalu pandang matanya ditebarkan
seperti tengah memeriksa barisan kehormatan
salah seorang mahasiswa
maju ke depan dan angkat bicara.

“Jenderal marilah kita berpantun.”
“Berpantun?”

“Belanja beras ke kedai cina
beras ditimbun tak kira-kira
bicara keras tiada guna
berbalas pantun hati gembira!”

“Hore!” (tepuk tangan mahasiswa)

“Naik kuda ke Glodok berdua
pakai sandal ke mana-mana
anak muda goblok semua
menculik jenderal semena-mena!”

“Wuu!” (tak ada tepuk tangan)

“Dewa Syiwa berselir betari
disamber laler bersayap dekil
para mahasiswa terusir kemari
diuber panser ditembak bedil!”

“Hore!” (tepuk tangan)

“Jualan obral delima jepara
mendapat untung durian muria
saya jenderal panglima tentara
bisa menggantung kalian semua!”

“Wuu….” (roh badak menggeleng-gelengkan kepala)

“Ambarawa tersaput mendung
peti batu lusuh berdebu
mahasiswa tak takut digantung
mati satu tumbuh seribu.”

“Hore!” (roh badak tersenyum).

“Lonte-lonte diperkosa kodok
kodoknya mati masuk neraka
kowe-kowe manusia goblok
kutusuk mati pakai koteka.”

“Ngawur!” (roh badak tertawa).

“Menara babil dirusak pedang
berangkat  kapal menanti sinyal
tentara dekil berotak udang
berpangkat jenderal berhati kopral!”

“Ya! Hore!”
“Kamu! Kamu! Kamu! Kamu!”
“Ayo!”

“Bininya kerokan di rumah mertua
berbekal batu disimpan di kalbu
beraninya keroyokan itulah mahasiswa
jenderal satu melawan seribu!”

“Wuuu……”
“Tidak ada seribu he!”
“Hanya duaratus! He!”

“Dewa berjejal di depan kuil
Kuil  angker  sekitar bendungan
Mahasiswa bersandal dilawan bedil
dihadang panser dihajar pentungan!”

“Ya! Betul!”
“Kami dipentung.”
“Mari kita gantung pak jenderal.”
“Gantian kita pentung.”
“Jangan!” (roh badak)
“Mengapa tidak boleh?”
“Apa karena dia jenderal besar?”
“Atau karena dia mertua kalian para badak?”
“Bukan!” (roh badak)
“Lalu mengapa tidak boleh?”

“Obral di pasar minyak kelapanya
dengan menuang di satu meja
jenderal besar banyak jasanya
jangan dibuang begitu saja.”
(Roh badak)

“Hore” (jenderal)
“Huuu! (mahasiswa)
“Wus….. (angin)

“Mencari ketan sampai Thailand
nasi uduk dimasak semalaman
berdiri di hutan capai dan kesemutan
mari duduk bersalam-salaman.”
(diam)

“Mari bangun lalu sarapan
pegang senduk di tangan kanan
api unggun perlu dinyalakan
kita duduk berhangat-hangatan.”

“Mau!”
“Ayo!”

Para mahasiswa lalu menumpuk kayu lalu menyalakannya
api berkobaran roh badak kegerahan
sang jenderal ketakutan.

“Pohon beringin di sudut pasar
hari keramat mending beramal
dingin-dingin siperut lapar
mari bersantap daging jenderal.”

“Jenderal panggang!”
“Jangan!” (roh badak)
“Kok roh badak menghalang-halangi kita?”

“Hendak mencolek si dara binal
di sana kelasi dan tuan kapitan
badak yang jelek membela jenderal
karena kolusi dan uang sogokan.”

“Hore!”
“Korupsi! KKN! Korupsi! KKN.”
“Wuuu…roh badak korupsi.”
“KKN!”
“Bakar roh badak!”
“Cincang!”
“Kita makan roh radak dan daging renderal.”
“Kita pesta kemenangan!”

“Buah cempedak jatuh di pundak
kayu belukar repot bawanya
arwah si badak sungguh tak enak
jenderal bakar alot dagingnya.”
(roh badak)

“Wuuu…….”
“Jenderal! Jenderal! Jenderal bakar!”

“Anak biawak mandi di kapal
dibasuh ombak di bahu kiri
biarlah awak menjadi tumbal
dibunuh anak tak tahu diri.”

“Mari kita sembelih!”
“Mari kita cincang!”
“Telanjangi dulu!”
“Siapkan golok!”
“Pegangi yang kuat!”
“Ayo!”
“Buset!”
“Kurus amat.”
“Tidak ada dagingnya!”
“Biarin!”
“Daripada lapar.”
“Tidak cukup ini.”
“Tidak apa-apa!”
“Biar sedikit-sedikit asal merata.”
“Pemerataan.”
“Ayo potong!”
“Lo, kok ada yang megangi tangan gua?”
“Kok kayak adegan Nabi Ibrahim mau nyembelih Ismail?”
“Berarti ada domba dong? Mana dombanya?”
“Lo, itu ada sapi?”
“Buset! Sapi kurban gemuk banget!”
“Dari mana ya dia?”
“Dari Malaikat Jibril!”
“Dari Gusti Allah!”
“Itu banteng, goblok! Roh badak yang ngambil  dari Ujung Kulon!”
“O, banteng! Gemuk dan besar ya?”
“Gua kira sapi bali. Persis soalnya!”
“Ayo potong!”
“Allahhu Akbar!”
“Allahhu Akbar!”
Banteng jantan itu diterima sebagai kurban
jenderal itu kembali memakai baju
lalu duduk di antara kerumunan mahasiswa

Kandang Badak
udara malam yang dingin
api unggun
kurban itu segera dikuliti
dipotong-potong ditusuk-tusuk
lalu dipanggang.

“Ada yang punya garam?”
“Banyak!”
“Ada yang punya merica?”
“Banyak!”
“Ada yang bawa kecap?”
“Banyak!”
“Cabe?”
“Banyak!”
“Okey!”

“Topi panjang rusak talinya
memakai surban sembari tertawa
sapi panggang enak baunya
sebagai kurban di hari istimewa.”

“Hore!”
“Hidup roh badak!”

“Pesta!”
“Kemenangan!”
“Tidak. Ini bukan kemenangan!”
“Ya! Ini baru awal dari
sebuah perjuangan panjang.”
“Ya, perjuangan panjang.”
“Ya tapi sekarang ini saya di mana?  Saya berada di mana.
Tadi saya di Mabes,  tiba-tiba kok sampai di sini  gara-gara badai!”
“Ini Kandang Badak.”
“Kandang Badak?”
“Gunung Gede-Pangrango!”
“Lo, jadi ini hutan?”
“Belantara! Dan tinggi!”
“Waduh padahal saya alergi dingin. Asmaku bisa kambuh.”
“Jenderal kok asma!”
“Asmara ‘kali!”
“Puber”
“Puber kedua”
“Keduabelas”
“Ini mahasiswinya cantik-cantik!”
“Sama saya mau oom? Dingin-dingin begini  kan empuk!”
“Doyan bener dia!”
“Gile!”
“Ame gue aje oom! Masih perawan!”
“Lo ini lokalisasi atau panti pijet?”
“Sami mawon!”
“Aku saja oom, asli indo.  Keturunan Jerman dan Jawa!”
“Jerman? Jejer kauman!”
“Wuuu!”

Beberapa mahasiswi lalu mencopoti baju mereka
mencopoti pakaian dalam mereka
melepas pakaian dinas sang jenderal
lalu live show pun dimulai.

“Porno!”
“Sadis mex!”
“Gile bener!”
“Tidak perlu ke Setdex”
“Tidak usah ke Patpong!”
“Di sini saja, di Kandang Badak.”

“Gila! Saya tidak mau! Kalian ini sepantaran  cucu-cucu saya tahu!”
“Tidak peduli. Pokoknya asyik.
Ayo siapa menyusul?”
(Tidak ada cowok yang bersedia!)
“Sudahlah oom jenderal saja cukup!”

Malam lalu selesai begitu saja
dan jadi pagi
tidak ketahuan apakah perkosaan itu
benar-benar terjadi atau tidak
ya, rekan-rekan mahasiswi, tadi malam
itu sukses atau gagal?
pak jenderal,
Anda masih bisa atau sudah menyerah?
itu semua katanya,
merupakan rahasia perusahaan
itu semua merupakan misteri kehidupan.
“Lo, apa hubungan ngewek dengan
misteri kehidupan?”
“Perkosaan! Tadi malam itu perkosaan.
Bukan suka sama suka!”
“Kasihan pak jenderal.”
“Lo, beruntung dia!”

“Mandi di kapal rusak mesinnya
mesinnya dibongkar si Raja maling
tadi pak jenderal digasak anunya
mainnya di belukar berguling-guling!”

“Ngawur!”
“Tanpa mikir!”
“Asal buka mulut!”

“Mandi di kasur empuk airnya
tititnya ngucur ngompol namanya!”
…………………………..
…………………………..

“Huu!”
“Terusannya?”
“Hayo apa hayo!”

“Kandang badak di gunung Gede
jenderal tua ramai-ramai diperkosa
…………………………….
…………………………….
“Wah!”
“Macet lagi!”
“Ayo terusin!”
“Sudah! Stop saja!

Roh badak
sekerumunan mahasiswa, mahasiswi
pak jenderal
mereka mandi
beol
cebok
kencing
menyiapkan sarapan
menyiapkan minum
berkemas-kemas
lalu turun gunung
mula-mula Kandang Batu
Air Panas
simpangan air terjun Cibereum
lalu Cibodas!

di sana sudah ada mobil
angkot
warung bakso
dan tukang es cendol.
tapi roh badak tidak perlu semuanya!

Puisi dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 



DOA PARA BADAK

$
0
0

Puncak Pangrango yang biru
puncak Gede yang tidak kelihatan
mataair yang mengalirkan air jernih
langit yang hampir selalu berkabut
pohon-pohon entah pohon apa
pakis-pakisan
tanah vulkanis
batu-batu
roh nenek moyang
padamu kami mengadu.

Sebab tak banyak lagi yang bisa diajak bicara
sebab tinggal sedikit yang bisa dipercaya
ketika pohon-pohon tumbang
diterjang gergaji mesin
ketika tanah hutan dibuldoser
lalu binatang-binatang ditembak
dan diopset
batu-batu diseret dari kali
lalu diperkosa beramai-ramai
taman nasional dijarah
gunung-gunung dibakar
siapa lagi yang bisa kami ajak bicara
selain roh nenek moyang?

Angin
ranting kering yang bergerak-gerak
bunga rododendron yang oranye
pucuk-pucuk puspa merah jambu
deretan paku tiang
lumut-lumut tebal
kayu angin
kami ingin menumpahkan
sumpah serapah
caci maki
dan amarah yang sekian tahun
diperam dan disembunyikan.

Mari kita
seruduk pos-pos jagawana
dan kita kencing dan berak bersama-sama
di lobi gedung Manggala Wanabakti
roh nenek moyang
maukah kalian menyusup
ke mimpi para mantan menteri kehutanan
lalu mengamuk di sana.

Angin
terbangkanlah sampah batin
ini jauh ke langit sana
satukanlah dengan gumpalan mendung
lalu jatuhkan dan serakkan
ke halaman kantor departemen kehutanan.

Angin
kami rindu desau
yang dingin
untaian edelweis
arbei hutan
embun dan kristal matahari
di tengahnya.

Siapa lagikah yang masih mungkin
kami ajak tertawa dan menangis bersama
sejak kadaka dibetot dari dahan-dahan tinggi
lalu dibiarkan layu dan mengering
di pinggir-pinggir jalan
dan anggrek bulan diseret
dibanting-banting lalu diborgol
dan diikat di sepetak papan kecil
lalu dibiarkan kepanasan dan kehausan
di taman yang luas
dan sepi.

Untuk apa pemilik taman itu
menjajar-jajarkan
bekisar
burung prenjak
roh nenek moyang yang purba
maukah kalian
berlarian di angan-angan
menteri lingkungan
dan kalian seruduk nuraninya
yang mungkin lebih sering
tertidur di siang bolong.

Embun
untaian berlian yang
berkilau di dahan-dahan
di ujung rerumputan
matahari pagi
yang terperangkap
di bulu-bulu halus daun edelweis.

Siapa lagikah yang masih bisa
berhujan-hujan tanpa kedinginan
roh nenek moyang yang jauh
datanglah dan mengucurlah
bersama mataair yang jernih itu
lalu mengalir ke bawah sana
dan membasahi sawah-sawah
yang sudah mengeras
penuh semen dan aspal
roh nenek moyang
maukah kalian menggumpal
jadi bulatan bola golf
lalu melesat jauh ke dalam
jantung para pejabat dan konglomerat
yang berpelukan
dan berguling-guling
di rumputan.

Roh nenek moyang
turunlah bersama kabut
bersama hujan yang akan
melarutkan top soil kurus itu
lalu jadi air bah
yang menyuburkan gang-gang becek
dan memakmurkan rumah-rumah petak
yang berjejalan di bantaran kali.

Kapankah
barat dan timur
dapat saling menyapa
utara dan selatan
mau bergandengan tangan
dan berjalan beriring-iringan
mungkinkah kiri dan kanan
tidak saling menikam
dan golok-golok hanya
digunakan untuk mengupas kelapa
dan membelah kayu bakar.

Kemiskinan
haruskah mereka itu
berhadap-hadapan dengan mall
dengan pasar swalayan
dan tempat-tempat hiburan
dengan semangat berkobar-kobar
untuk berak dan kentut
dan saling meludah
sambil menutup hidung rapat-rapat
lalu dari mana udara segar
bisa masuk ke dalam rohmu
kalau semua saluran dan lubang
ditutup rapat dan disemen
disegel dengan kawat duri
dengan portal
dengan pentungan dan tameng.

Roh nenek moyang
kami berdoa
kami meminta
entah apa namanya
mungkin semangat
barangkali nyali
atau sesuatu yang bisa jadi pegangan
bersama
semacam petuah atau slogan
atau nyanyian yang bisa
kami teriakkan ramai-ramai
kami siulkan bersaut-sautan
kami minta hal yang sangat sederhana tapi
bukan fatamorgana.

Jurang
lereng yang terjal dan hijau
kabut di kejauhan
bunyi air terjun yang samar
sebentar ada sebentar tiada
untaian bunga anting
apakah kami harus mengucapkan
selamat pagi atau selamat sore
selamat bertemu atau selamat berpisah
apakah benar
yang harus kami  ucapkan kata selamat
dan bukan uluran tangan dukacita
ikut bersimpati.

Nenek moyang
nenek moyang para badak
kami tidak minta petunjuk
kami juga enggan mohon saran
kami ingin kekuatan
kami mengharapkan nyali
hingga berani bilang ya
kalau memang ya dan
mau bilang tidak kalau
memang benar-benar tidak
dan menyebut mungkin
kalau memang
tidak tahu dengan pasti.

Puncak Pangrango
lereng kawah yang terjal
puncak Gede
bibir kawah yang tipis
batuan vulkanis
deretan santigi gunung
angin pasti sangat kencang
di atas sana
roh nenek moyang
kepada siapa lagi kami harus lari
harus ngumpet dari kejaran
peluru tajam.

Bisakah elang dan enggang itu
meminjamkan sayapnya
hingga sejenak kami bisa terbang
lalu hinggap di pucuk dahan yang tinggi
dan peluru-peluru itu akan
kehilangan kekuatan
roh angin
roh embun
roh batu-batu
kami harus lari ke mana lagi.

Dapatkah angin itu jadi tirai baja
dan embun itu jadi ujung kawat berduri
lalu batu-batu jadi benteng kokoh
yang melindungi kami
malam, siang dan pagi serta
sore hari
dari
kejaran Batara Kala
raksasa pemangsa apa saja.
Mungkin hujan itu dapat
menganyam jaring dan perangkap
untuk menjebak Hyang Maha Kala
agar tidak berani menginjak-injak
dan tidak sampai hati
menggigit dan menghisap
darah dan daging
yang lemah.

Tetapi
puncak Pangrango itu selalu bisu
kawah Gede itu hanya kepulan asap
angin itu dingin dan keras
dan embun itu sangat menyilaukan
kapan kabut itu tersibak
lalu matahari tergopoh-gopoh
merangkul dan memeluk rapat-rapat
lalu obrolan menjadi hangat
dan darah pun mencair
roh baik itu mengalir dari tumit
merata ke ubun-ubun
kapan kebisuan itu dapat dilabrak
lalu dipaksa bicara
kapan?

Roh langit
awan dan kabut yang berlomba-lomba
menjauhi cakrawala
roh bisu
marilah kita tidak
saling menuding
tidak saling menikam
roh bisu
marilah kita berlomba diam
berlomba tidak saling menyapa
tapi juga tidak saling mengganggu
marilah kita menikam
diri kita masing-masing
memarahi mulut kita
memelototi mata kita
memaki-maki kuping masing-masing
mari kita menukik ke relung jantung lalu
ikut berdegup
ikut meniti aliran aorta
masuk ke pembuluh vena dan menyusup
sampai ujung rambut
silakan.

Roh yang sempurna
tak ada lagi baik dan buruk
suci dan dosa
panas dan dingin
semua saling mengisi
saling melengkapi.

Roh nenek moyang
kami tak lagi peduli
dengan nyali
dengan semangat yang meluap-luap
dengan target kemenangan
mungkin kami hanya akan berperan
sebagai penyeimbang
agar timbangan tidak patah
agar denyut nadi tidak pecah
roh yang jahat
roh yang baik
datanglah bersamaan dan saling
berebut tempat
kami siap.

Kawah gunung Gede gemuruh
asap mengepul dan menggumpal
lalu naik jadi awan dan hujan
petir meledak dan memancarkan
api yang menyilaukan
apakah kamu mau meletus
roh gunung
meletuslah kalau waktumu memang
sudah tiba
hamburkan amarah itu
membasuh lereng yang hijau
menyiram deretan santigi
perdu gaulteria
rumpun edelweis
semua dari abu
dan akan kembali menjadi abu
tetapi mengapa hanya mereka yang
boleh membakar dan
kami yang harus hangus terbakar?
Angin
air
air yang mengkristal
dan menetes
di duri-duri arbei
api
api yang jauh di perut bumi
hangatkan mimpi tupai yang kedinginan
mimpi tikus yang kadang terlalu rakus
hangatkan pasir dan batu-batu itu
dengan lelehan lavamu
Amin.

Puisi dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 


INSIDEN SENTUL

$
0
0

Pantun pembuka:

“Bereli-reli ke sirkuit Sentul
berbalapria  finish di penjara
berkali-kali sakit dipukul
berdarah pelipis karena tentara.”

Rumah besar
modelnya tidak jelas
untuk apa juga kurang kentara
bahkan milik siapa
juga tak ada jawabnya.

Tetapi halamannya luas
total 500 hektar
hutan belantara 300 hektar
danau 30 hektar
padang rumput 50 hektar
kebun buah 60 hektar
taman 50 hektar
dan bangunan 10 hektar.

Komplek itu dikelilingi jalan
dibatasi tembok
dan sungai buatan yang
penuh buaya
aligator
dan ikan piranha.

Hutan seluas 300 hektar itu
terletak di lembah dan mengelilingi
padang rumput, kebun buah, taman
dan kompleks bangunan
yang berada persis di tengah-tengah.

Di hutan itu hidup rusa, kijang
babi hutan, banteng, macan tutul
macan kumbang, macan loreng sumatera
gajah sumatera dan singa afrika
semut, ular kobra, sanca
lebah liar dari kalimantan
dan burung gagak.

“Apa yang belum ada?”
“Badak!
Badak bercula satu dari Ujung Kulon
Badak-badak jawa yang hanya
tinggal 50 ekor itu
harus diangkut kemari.”
“Untuk apa?”
“Untuk melengkapi
jagat mikro ini.
Tanpa badak
hutan yang mengelilingi rumah mewah
menjadi tidak komplit
menjadi tidak sempurna
ibarat garam dan bumbu
diperlukannya hanya sedikit
tetap mutlak
masakan tanpa garam dan bumbu
akan menjadi hambar
tidak enak disantap.”

Bangunan dengan
taman, danau dan hutan itu
sangat misterius
tidak sembarang orang bisa masuk ke sana
kaum awam
rakyat gembel
hanya bisa menyaksikan kehebatannya
melalui tayangan tivi
itupun pada saat tamu agung
datang berkunjung
untuk main golf
santap siang
berburu
atau mancing
sambil mengayuh kano.

Tamu-tamu agung itu
diangkut dengan heli
langsung dari bandara atau
hotel bintang 5
tempatnya menginap.

Rakyat tidak punya hak untuk
menginjak rumput di taman ini
harum catleya yang potnya sengaja
ditebarkan di seantero sudut taman
hanya boleh masuk ke hidung
para tamu agung
wangi melati
mawar merah putih
kantil
kenanga
dan irisan daun pandan
hanya boleh tercium oleh
para bidadari
dan roh nenek moyang
yang kehadirannya perlu dipancing
dengan jajan pasar
nasi kuning
dan asap hio
asap kemenyan
tapa brata
pantang bersenang-senang
hanya semedi
mengatur keluar masuknya hawa hidup
mengosongkan pikiran
pasrah
sumarah
ingat pada sangkan paraning dumadi
hingga hidup jadi berimbang
harmoni.

Lalu rakyat?
wong cilik
kawulo alit
gembel
para sudra
para waysia
para paria
kaum proletar
yang selalu lapar
yang selalu menuntut dan menuntut
lalu berontak
demo
bolehkah mereka masuk
istana Sentul?

Tidak boleh
mereka akan mengganggu harmoni
mereka cukup
dihibur di Taman Mini
Taman Bunga, Taman Buah
Taman Safari, Taman Impian
dan Taman Lawang.

Tapi badak?
sekarang badak-badak bercula satu itu
sudah berkumpul di sini
meski hanya diam mematung
hanya berupa patung.

Sastro
satu-satunya rakyat gembel
yang boleh berak, kencing
dan meludahi rumput-rumput mahal itu
sudah mengemban dawuh
untuk mengumpulkan para pintar
dari empat penjuru mata angin
mereka diminta
untuk “memanggil”
roh para badak
agar mau kembali
ke badan wadagnya
lalu badak-badak itu akan
berlarian masuk hutan
menyatu dengan para satwa lainnya
berkembangbiak
beradaptasi dengan lingkungan
lalu bisa menyempurnakan kehidupan.

Para pintar
paranormal itu
berjuang keras
berhari-hari
berminggu-minggu
tanpa hasil
mereka capek
pusing
merasa bosan
dan uang lalu bukan menjadi
segala-galanya.

“Reputasiku hancur!”
“Harga diriku diinjak-injak badak!”
“Aku mau pulang saja lalu kawin lagi.
Mumpung masih ada umur.”
“Aku masih akan terus berusaha!”
“Aku mau mengerahkan roh para wali.”
“Aku akan mencoba vacum cleaner baru
untuk menyedot arwah para badak itu.”
“Aku akan menggunakan perangkap nyamuk.
Siapa tahu roh para badak itu
dapat kujaring lalu kumasukkan kembali
ke badan wadagnya.”
“Mari kita mencoba!”

Mantra
jampi-jampi itu lalu dibaca
bersama
beramai-ramai
beberapa badak mulai membuka mata
satu dua tampak bergerak-gerak
mereka mendongakkan kepala
menggerakkan kaki
lalu pelan-pelan berjalan.

“Hore!”
“Kita berhasil kang!”
“Iyo, awake dewe biso!”
“Badake urip! Urip maning!”
“Ayo kang digiring menyang ngalas
kana!”
“Ayo!”

(-Iya, kita bisa!-Badaknya hidup! Hidup lagi!
-Ayo kang, digiring ke hutan sana!)

Badak-badak itu
menggeliat
matanya merah
mereka mendengus
culanya besar dan kekar
kepala mereka menunduk dan mengancam
dua kaki depannya yang kokoh
direnggangkan.

“Dijapani maning ben lulut!”
“Empun!”
“Kok malah arep ngamuk ngono?”
“Napane sing lepat nggih kang?”
“Kowe mau mbengi nglonte yake?”
“Mboten!”
“Ngombe?”
“Mboten!”
“Keplek ya? Wah mesti da keplek
nganti mbengi. Ya ta?”
“Mboten!”
“La kok ora mandi?”

(-Dibacakan mantra lagi biar jinak
-Sudah
-Kok malahan mau mengamuk
-Apanya yang salah ya kang?
-Kamu tadi malam main perempuan ya?
-Tidak
-Minum minuman keras?
-Tidak
-Judi kartu ya? Wah pasti semua main judi sampai malam. Ya kan?
-Tidak.
-La kok tidak mujarab?)

Tiba-tiba para badak itu bergerak
para pintar
paranormal
tukang kebun
satpam
semua diseruduk dan diinjak-injak
bendungan dijebol
buaya dan piranha
hanyut ke arah Ciliwung
tembok-tembok kokoh
beton bertulang itu
roboh diseruduk cula badak
lapangan golf seperti ditraktor
pohon durian tumbang
pohon nangka tercerabut akarnya
pohon beringin kusut masai
badak-badak itu lalu berkubang
di danau buatan
yang sekarang tinggal genangan lumpur
seluruh komplek istana
porak-poranda.

Satpam
salah satu di antaranya
siuman
kaki kanannya patah
tangannya lunglai
tapi pelan-pelan masih bisa
meraih HP dan HT
dengan alat itu dia bisa mengontak
kantor pusat
ajudan boss
koramil, kodim, polres dan polsek.

Tak lama kemudian bala bantuan datang
badak-badak itu ditembak
tetapi pelurunya mental
senjata berat dikerahkan
panser didatangkan
heli meraung-raung di udara
perang!
peluru mortir itu jatuh di punggung badak
dan jegur!
tetapi badak yang sedang berkubang
hanya tersenyum
kanon diarahkan ke kepala
Dung!
kepala badak geleng-geleng
asap mengepul
badak-badak itu mengentaskan diri
dari kubangan
lalu dengan santai
bergerak ke arah utara.

Para polisi dan tentara itu dicuekin
badak-badak itu  meratakan bangunan istana
memporakporandakan taman
dan menghancurkan hutan
binatang-binatang yang ketakutan
berlarian ke arah gunung Pancar
terus naik ke Megamendung
dan menerobos Cisarua
lalu bersilaturahmi dan
minta suaka di Taman Safari.

Para badak
menjadi super
tidak tembus peluru
tidak mempan tembakan
dan bisa membuldoser tiang beton
jembatan layang.

Badak-badak itu lepas
lalu berkonvoi menuju metropolitan
Jakarta
untuk mencari dua teman mereka
yang dijadikan sampling
untuk diteliti
di laboratorium Mabes Polri.

Pak Boss
yang ketika itu sedang
berada di sebuah restoran
di Ginza
di jantung kota Tokyo
sambil merem-melek
menelan sushi
dan merangkul geisha
menerima laporan dari
Kang Sastro.

“Ketiwasan Kanjeng Sultan!
Badakipun ngamuk, sedoyo risak!
Telas!”
“Lo, sembrono kowe Tro! Para waskita piye?”
“Sami mboten kuwagang Den. Sedoyo sami mlajeng lan tinggal glanggang!”
“Waduh, kowe kok iso kecolongan ngono ki piye Tro!
Yo wis aku tak teko. Pesawatku sesuk
jam papat sore yo!”
“Nuwun inggih sendiko!”

(Celaka paduka Sultan! Badaknya mengamuk, semua rusak! Habis!
-Lo, bercanda kamu ini Tro! Para cerdik pandai bagaimana?
-Mereka tidak mampu menanggulangi Den! Semua berlarian meninggalkan tugasnya
-Waduh, kamu kok bisa kecurian begitu bagaimana Tro?
Ya sudahlah, saya akan datang. Pesawat saya besuk jam empat sore ya?
-Siap!)

Sore itu jam 18.00 WIB
Televisi mulai memberitakan
Ihwal INSIDEN SENTUL
enambelas tewas
empat satpam, dua tukang rumput
dua paranormal
dan delapan tentara semua
terinjak-injak badak
tigapuluh empat luka-luka
dan sepuluh di antaranya
menderita luka berat hingga
perlu dirawat di Unit Gawat Darurat
seluruh bangunan istana hancur
bendungan jebol
dan taman serta hutan porak-
poranda.

Buaya, aligator dan piranha
masuk ke Ciliwung dan
kali Sunter
seorang ibu rumah tangga yang
sedang cebok telah hilang pantatnya
disambar buaya
seorang penambang pasir tinggal
kerangka karena
diserbu piranha.

Para badak
yang tiba-tiba menjadi super
dikabarkan
sedang menuju Jakarta
greng-greng-greng
(Iklan)

Penonton
sebenarnya masih sangat
mengharapkan kelanjutan
berita insiden Sentul
tetapi berita selanjutnya justru
tentang kunjungan menteri koperasi
yang membagi-bagi sembako
duit IMF
sambil tersenyum-senyum.

Tetapi berita di koran justru
menyebutkan bahwa televisi swasta
itu dinilai vokal hingga
langsung dibeli oleh kerabat presiden
greng-greng-greng…….
(Sinetron)

Puisi dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 


BADAK DAN PRESIDEN I

$
0
0

Sidang Kabinet Terbatas
Bidang Politik dan Keamanan
(POLKAM)
Hadir Wapres, Menhankam/Panglima TNI
Menlu, Mendagri
Menpen, Menkeh
Menag, Menko Polkam
Menhut, Jakgung
Kapolri, Kasad, Kasau dan Kasal
Khusus diundang : Gubernur Jabar
Gubernur DKI, Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya
serta seorang tokoh paranormal
Ki Gendeng Saestu.
Fokus sidang : Insiden Sentul
dan misteri badak
Khusus dihadirkan : Satu contoh patung badak
yang disita dari Sentul
(satu lagi sedang diperiksa di lab.)

Sidang dipimpin langsung oleh Bapak Presiden
dan dimulai dengan pembacaan
sebuah pantun.

“Pesawat canggih buatan Jerman
rakitan Bandung judul ceritanya
berniat gigih keadaan aman
suratan mendung Sentul kejadiannya.”

(Tepuk tangan hangat – Wapres menyambung)

“Bila hendak menyulam lencana
udang diterkam jurus tentara
cula badak menghantam istana
sidang Polkam harus segera!”

(Tepuk tangan lagi – plus tertawa-tawa
suasana tegang jadi cair – Menhankam/
Panglima TNI menyambung)

“Hendak magrib menoleh ke sawah
lentera kota menyala mendadak
badak gaib boleh menjarah
tentara kita membela serentak.”

(Tepuk tangan makin ramai, patung badak
didorong masuk!)
“Lo, ini dia ya?”
“Ya inilah pak. Dua kita ambil.
Yang satu ada di lab. Satunya kita bawa kemari.”
“Very-very beautifull. Exelent!
Ini benar-benar ciptaan Allah Sabhanahu Wattaala
yang luar biasa.
Lihat ya, lipatan-lipatan kulitnya,
bintil-bintilnya ini. Kekar dan purba.
Dan ini, hanya satu-satunya di dunia kan?”
“Benar pak!”
“Mengapa sampai hanya tinggal 50 ekor?
Apa tidak ada technologi canggih
yang bisa mengkloningnya
hingga jadi banyak?”
“Itu tugas Menristek pak!”
“Ya, ya, pasti!
Tetapi mulai saat ini musti kita pikirken
upaya untuk penyelamatannya.
Tapi mengapa bisa tiba-tiba ada di Sentul.
Itu istana siapa itu?”
(Diam semua)
“Ya, saya tahu, Anda semua sebenarnya tahu
tetapi pura-pura tidak tahu.
Ini ukuran sebenarnya ya? Ya, hasil labnya
bagaimana? Jangan dirusak atau dipotong-potong ya?”
“Tidak pak. Di scan.
Ini memang ukuran sebenarnya pak.
Dan memang menurut hasil sementara dari lab,
ini badak hidup.”
“Hidup? Oh my God!
Jadi ini masih hidup? Kok diam? Jadi ini bukan
patung ya? Pantes! Sangat naturalis.
Ternyata ini memang asli!”
“Jadi, mungkin Ki Gendeng Saestu
bisa menjelaskan Pak! Silahkan Ki Gendeng!”
(Salaman)
“Siapa ini? Ki Gendeng?”
“Ya, ini paranormal kita yang
sudah go internasional. CIA, KGB, Mosaad
bahkan Triad dan Vatican pernah
memanfaatkan jasanya!”
“Luar biasa. Bagaimana ini Ki Gendeng?”
“Begini pak! Badak-badak ini sedang
ngrogo sukmo! Ini istilah paranormal
khusus untuk manusia.
Pada binatang tidak lazim terjadi
Mungkin yang lebih tepat istilah biologi
Mereka sedang dorman berat.
Dorman total dan sempurna.”
“Wah, jelasnya ini badak beneran
dan masih hidup ya?”
“Benar Pak. Tetapi seluruh mekanisme biologisnya
terhenti total. Jantungnya tidak berdetak,
darahnya tidak mengalir
tetapi organ tubuhnya tidak akan rusak.”
“Dipegang tidak apa-apa ya?”
“Tidak apa-apa Pak. Coba : Plok-plok-plok.
Diam saja kan?”
“Wah, saya lalu ingin naik badak!
Ini sangat langka lo! Naik Concord sudah naik kapal silem sering!
Naik kapal  induk biasa. Pesawat tempur, Volvo,
Roll Royce, kuda balap. Tetapi badak?
Presiden naik badak? Itu luar biasa!
Coba ya! Tidak berbahaya kan?”
“Ambil kursi itu!”
“Ya!”
“Awas pelan-pelan pak!”
“Cameraman, fotografer. Ayo cepat!
Ini detik-detik langka!”

Cameraman
wartawan
fotografer istana
segera berebutan mengabadikan.

Para menteri bertepuk tangan
tetapi tepuk tangan itu telah
memanggil kembali roh badak
tiba-tiba badak itu
hidup dan bergerak
kerumunan menteri dan wartawan bubar
aparat keamanan sigap bertindak
tetapi badak lebih cepat
dia melesat dan menyeruduk
cameraman jatuh dan terinjak
wartawan terjengkang
badak itu melesat keluar
dengan beringas.

Presiden tetap lengket di punggungnya
Ki Gendeng Saestu duduk bersila
dan bersemedi memusatkan pikiran
badak itu melesat ke luar lalu
gaib
tak ada yang tahu ke mana perginya.

Aparat keamanan
intel
Wapres
Menhankam/Panglima TNI
Kapolri
Kapolda
Pangdam
semua sibuk dan cemas
tapi dalam hati mereka berharap
semoga Presiden itu terus lenyap
sebab ada peluang
untuk menggantikannya.

Saat itu juga Wapres tampil
di depan pers.

“Saudara-saudara setanah air
baru saja terjadi musibah
dalam sidang kabinet terbatas
bidang Polkam tadi
Bapak Presiden telah diseruduk badak
beliau melompat
dan jatuh persis di punggung badak
para wartawan dan juga cameraman
banyak yang mengabadikan peristiwa ini
badak itu lari dan Bapak Presiden
tetap berada di punggungnya
saat ini aparat keamanan
sedang berusaha melacak
keberadaan Bapak Presiden.

Saudara-saudara sekalian
selama Bapak Presiden belum diketemukan
sesuai dengan konstitusi
tampuk pemerintahan untuk sementara
saya pegang.
untuk itu, saya instruksikan
kepada saudara Menhankam/Panglima TNI
agar segera menemukan Bapak Presiden
selain itu, ada indikasi
bahwa Bapak Presiden telah
menjadi korban persekongkolan jahat
pihak-pihak yang ingin merebut
kekuasaan
dengan mengerahkan paranormal.
Untuk itu aparat keamanan telah mengambil
tindakan terhadap seorang paranormal
bernama Ki Gendeng Saestu.
Saat ini yang bersangkutan berada
di Mabes TNI untuk dimintai keterangan
tidak tertutup kemungkinan aparat keamanan
mengambil tindakan
terhadap pihak-pihak lain yang
diduga kuat terlibat dengan
persekongkolan jahat ini.
Untuk itu marilah kita panjatkan
doa ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa
agar Bapak Presiden selamat dan
tetap berada dalam perlindungannya.
Sekian.”

Sementara itu
di laboratorium Mabes TNI
detektor radioaktif
telah menangkap adanya
gelombang radioaktif yang sangat
kuat berasal dari
sampel badak
yang sedang diperiksa.

Para petugas lab
segera dilarikan ke rumah sakit
dengan ambulan khusus
para petugas gegana Polri
segera datang dengan
pakaian dan masker
anti radioaktif
mereka akan segera melanjutkan penelitian
terhadap sampel badak
siapa tahu patung badak itu
sebenarnya
merupakan  senjata nuklir
yang dikamuflase
untuk meledakkan negeri ini.

Tetapi
lab itu kosong
badak itu hilang
seluruh peralatan dan dinding lab
telah tercemar radioaktif
tak ada peralatan yang rusak
tak ada dinding jebol
lantai dan langit-langit juga utuh
pintu pun tetap terkunci
mungkin ini perbuatan
sabotase dari paranormal
atau malahan
dari makhluk angkasa luar?

Metropolitan Jakarta sungguh
mencekam
berita tentang badak
simpang-siur dan tidak jelas
ada ancaman telepon ke media massa
para badak itu
menuntut untuk merdeka
dan mendirikan negara sendiri
dengan wilayah seluruh pulau Jawa
kalau tuntutan ini tidak dikabulkan
presiden akan dibunuh
wapres akan diamuk
dan seluruh anggota kabinet
akan diculik.

Selain telepon
dikirim pula faximile
dengan isi berita serupa
dengan tanda
telapak kaki badak.
Sebuah kantor berita asing
mendapat kiriman
dua bait pantun

“Anjing geladak burik kakinya
menggoda pesinden dibawa kabur
mending badak baik hatinya
daripada presiden berjiwa takabur.”

“Demi anak main boneka
jangan diri bertaruh nyawa
Kami badak ingin merdeka
dengan negeri seluruh Jawa.”

ttd
telapak badak

Pantun itu lalu menjadi head line
hampir semua koran
termasuk koran-koran asing
“Javan Rhinocheros Ultimate Freedom”
pantun lalu menjadi
mode yang ngetrend
acara berbalas pantun
muncul di banyak televisi
koran-koran dan majalah
membuka ruang berpantun ria
buta pantun berarti
ketinggalan jaman.

Berhari-hari
berminggu-minggu
tegang
presiden tetap tak ketahuan
di mana berada
dan tak ketahuan
nasibnya bagaimana
sampai akhirnya
dia mengirim pesan ke sebuah koran
berbentuk pantun.

“Jerigen keramat tempat muslihat
diikat benang tiga lilitan
Presiden selamat sehat walafiat
Harap tenang  jaga ketertiban.”

Presiden berpantun?
badak juga berpantun?
tetapi kondisi saat ini tidak akan jadi baik
hanya dengan pantun.
“Kita menunggu  munculnya Satrio Piningit!
Dialah yang akan turun tangan mengatasi keadaan.”
“Dia sedang berada di mana?”
“Dia sedang dipingit! Disembunyikan!
Disimpan untuk dikeluarkan pada saat yang paling tepat.”
“O, semacam kartu truf!”
“Gaple!”
“Ya, gaple! Tapi yang diperlukan sekarang ini justru semar!”
“Wuu……!”
“Super Semar ya?”
“Kuno!”
“Kita lepas Semar, dapatnya Gareng!”
“Padahal kita inginnya Gatotkaca!”
“Superman!”
“Kita itu ingin hati nurani!”
“Bagaimana?”
“Apa? Mbakyu Nurhaeni?”
“Ya siapa saja pokoknya dia dihinggapi wahyu
untuk mengatur tanah Jawa.”
“Mengatasi badak jawa saja tidak becus kok
mau memimpin tanah Jawa?”
“Indonesia!”
“Masa bodoh dengan Indonesia!”
“Majapahit itu setelah ditinggal Gajah Mada
lalu hancur. Apalagi Indonesia!”
“Lo, kita justru sedang akan melahirkan  Gajah Mada II!
Tunggu tanggal mainnya. Sebentar lagi Satrio Piningit muncul!”
“Sastro dari Pingit?  Pingit dekat Magelang itu?”
“Ya, pokoknya Jawa kan? Negara Jawa.
Jadi Pingit boleh, Magelang boleh. Asal jangan Bandung.
Itu Sunda kan? Sunda itu Pajajaran, musuhnya Majapahit.”
“Majapahit kan Jawa Timur? Suroboyo Rek!
Magelang itu Jawa Tengah. Mataram, gitu loh!”
“Goblok sampeyan niki!  Magelang itu tempat Gunung Tidar,
Pakunya Pulau Jawa. Tidak ada Tidar,  Jawa itu ambles ke laut kidul.
Tidak peduli Majapahit, Mataram atau Pajajaran akan hilang! Tahu?”
“Pulau kok dipaku? Seperti dingklik saja!”
“Lo, ini sejarah! Kalau sejarah dilecehkan ya sudah! Bubrah!”
“Dongeng! Dongeng itu lain  dengan sejarah!”
“Maksudmu dongeng itu lebih baik dari sejarah kan?”
“Paling tidak, dongeng kancil dari jaman Belanda
sampai sekarang masih sama. Tapi sejarah diubah-ubah terus
padahal peristiwanya sama!”

“Ya embuh le! Presidene piye?”
“Presiden sinten? Clinton?”
“Kok Presiden sinten?
Ya Presidene dewe ta!”
“O, kirim parikan teng koran!”
“Parikan?”
“Nggih. Dereng maos to?”
“Durung.Wis pirang-pirang dino ora moco koran ora nonton Tivi!”
“Wah, ketinggalan jaman sampeyan.
Pak Presiden slamet ning duko wonten pundi mboten ngertos!”
“Endi korane?”
“La niku!”
“Lo, iki berita selingkuh. Sopo iki? Klenton, Presiden ngendi iki?
Londo yo? Wah ayune sing didemeni.
Lo la kok akeh banget sing didemeni?
Yo jenenge Presiden! Ratu!
Rojo. Selire yo kudu akeh.
Ireng manis, lemu, gede duwur, lencir kuning
kabeh kudu dilatrani!”

(Ya, entahlah nak. Presidennya bagaimana?
- Presiden siapa? Clinton?
- Kok presiden siapa?
Ya presiden kita sendirilah
- O, dia mengirim pantun ke koran
- Pantun?
- Iya, belum membaca ya?
- Belum. Sudah beberapa hari ini tidak
membaca koran tidak menonton tivi
- Wah, ketinggalan jaman anda ini.
Pak presiden selamat, tetapi entah di mana
tidak ada yang tahu.
- Mana korannya?
Itu dia!
- Lo, ini berita perselingkuhan. Siapa ini?
Klenton, presiden mana ini? Belanda ya?
Wah cantiknya yang diselingkuhi.
Lo, kok banyak sekali teman selingkuhnya.
Yah, namanya juga presiden! Raja!
Selirnya harus banyak
Hitam manis, gemuk, tinggi besar, langsing kuning,
semua harus mendapat jatahnya!)

Presiden
badak jawa
huru-hara
harga-harga yang semakin jauh dari
daya beli
bangsa yang lembek
tapi ulet
di mana badak-badak itu?
di mana presiden itu?

“Kuah cincau dicuri unta
pak Raden bilang hendak ke Padang
tambah kacau negeri kita
presiden hilang badak menghadang.”

Puisi dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 


BADAK DAN PRESIDEN II

$
0
0

Istana Bogor
bangunan indah bergaya Barok
halaman yang luas
dikelilingi kebun raya
pohon-pohon raksasa
lapangan rumput
kawanan rusa totol
sepi
hening
kalau langit cerah
di arah selatan
agak ke baratdaya
gunung Salak itu seakan dekat sekali
dan agak jauh di tenggara
pasangan Gede dan Pangrango
tampak anggun tapi angkuh
bemo
deru bemo itu
di malam yang sudah larut
atau ketepak kaki kuda delman
yang ladam besinya
keras membentur-bentur aspal
semua itu kedengaran seperti
dari alam lain
dan bila angin bertiup agak kencang
seakan ada sebuah konser besar
yang gaungnya berkepanjangan
bergetar dan bergulung-gulung
di relung lorong
di antara pilar-pilar besar itu
lalu menggelepar di lantai marmer
di sinilah presiden itu diam dan
tepekur.

“Sudah 42 Gubernur Jenderal
menghuni bangunan ini.
Empat-puluh dua!
Tapi baru berapa Presiden?
Masih muda sekali Republik ini.
Baru 50 tahun lebih sedikit.
Sementara bangunan ini
sudah 140 tahun lebih.
Dan rusa-rusa itu?”
“Sementara kami-kami ini yang
menggantikannya tuan Presiden.”
“Badak?”
“Ya.”
“Lalu ajudan? Sekretaris? Anak isteri?
Presiden kan juga punya anak, punya isteri?
Lalu para pengawal? Paspampres?”
“Pengawal di luar sana!
Yang di istana ini hanya para petugas
dan tuan presiden sendiri!”
“Kalau begitu saya anggap saja saya sedang cuti.
Cuti besar!”
“Tetapi tuan presiden sedang kami sandera.
Tak ada seorang pun yang tahu kalau
tuan presiden ada di istana ini!”
“Lalu apa tuntutan kalian?”
“Kami menuntut merdeka.
Dengan wilayah seluruh pulau Jawa!”
“Grazy! Coba, siapa pimpinan kalian.
Kok jumlahnya seperti ribuan di luar?”
“Kami hanya limapuluh ekor dan tanpa pimpinan.
Yang di luar itu roh nenek moyang
yang jumlahnya memang ribuan.”
“Grazy! Roh badak? Apa itu?
Yang saya tahu Roch Basuki sama Rohana!”
“Tuan presiden, tuntutan kami serius.
Kalau tuntutan ini tidak dipenuhi
kami akan hancurkan peradaban manusia dan ……..”
“Silahken bunuh! Sedari lahir ke dunia ini
saya sudah sangat siap untuk mati!”
“Bukan. Kami tidak akan bunuh tuan presiden.
Tuan presiden akan abadi di istana ini!
Menyatu dengan roh para Gubernur Jenderal!”
“Oh! No!
Apa saya sudah mati? Apa ini mimpi?
Tidak kan?”
“Untuk bisa menyatu
dengan roh para Gubernur Jenderal dan hidup abadi
orang tidak harus menunggu mati.”
“Tuntutan kalian sangat tidak realistis.
That’s grazy!”
“Kami mau merdeka.
Kami tidak mau dikurung di sepetak lahan
bernama Ujung Kulon!”
“Badak!
Kalian keliru.
Kami para manusia pun juga banyak keliru
dalam menafsirkan arti kata “merdeka”.
Merdeka adalah kata yang mudah diucapkan.
Mudah dituntutkan tetapi sulit untuk dihayati.
Badak!
Di manakah letak kemerdekaan yang hakiki?
Pada lahan seluas Jawa seluas Kalimantan
atau daratan Asia?
Tidak!
Merdeka itu hanya ada di hati kita masing-masing.
Jadi, menuntut kemerdekaan kepada pihak lain adalah
hal yang mustahil.
Ketidakberdayaan, ketidakbebasan
sebenarnya kita ciptakan sendiri.
Sekarang ini saya kalian sandera.
Tetapi saya tetap merdeka dan menganggap
ini hanyalah cuti besar dan istirahat.
Dan saya bebas
untuk bersikap demikian.
Badak!
Lihatlah manusia!
mereka mengaku bebas
mereka sok merdeka
tetapi diam-diam mereka
membiarkan diri mereka dijajah
bahkan diperbudak oleh banyak hal
ada laki-laki yang dijajah isterinya
ada pengusaha yang dijajah uang
ada profesor yang dijajah ilmunya
ada orang yang diperbudak pekerjaan
dijajah oleh jabatan
dijajah harta benda
diperbudak pangkat dan kehormatan
kalian sendiri telah dijajah oleh nafsu
untuk merdeka!”
“Kami memang nyata-nyata telah
digusur dan dijajah oleh manusia!”
“Lucu! Itu lucu badak!
Justru
manusialah yang telah dijajah oleh mitos
yang menempel di culamu itu!
Manusialah yang sebenarnya telah kalian jajah
tanpa mereka sadari.”

“Badak! Manusia telah mendapatkan
satu hadiah istimewa dari sang pencipta.
Hadiah itu berupa kesadaran terhadap
diri dan lingkungannya.
Sebuah kesadaran untuk berpikir.
Sebuah karunia yang
sama sekali tidak dimiliki mamalia lain.
Tapi badak!
Apa yang dihasilkan oleh karunia itu?
Justru tragedi.
Manusia justru terjajah oleh kesadaran itu.
Manusialah satu-satunya binatang
yang tidak dapat hidup dengan stabil
bebas
dan gembira.”

“Badak!
Kemampuan berpikir yang
dimiliki bangsaku adalah
candu
racun yang telah
menjadikan manusia ketagihan
dan terus menambah dan menumpuk racun
dalam dirinya.
Kemerdekaan berpikir itu menjadi
begitu besar volumenya hingga
menyentuh ke hal yang sangat subtil
ruang
waktu
dan energi.”

“Badak!
Manusia sudah tahu dengan sangat baik benda-benda.
Mulai dari inti atom yang dikelilingi
proton dan neutron
sampai ke bintang yang dikelilingi oleh  planet
dan inti galaksi yang dikelilingi oleh
bintang-bintang dengan planetnya.
Manusia juga sudah sangat cerdik
memanfaatkan benda-benda itu.
Tetapi badak, begitu kesadaran berpikir manusia
sampai ke ruang, waktu dan energi
mereka menjadi tak berdaya.
Manusia tidak mampu
menukik lebih jauh ke dalam inti atom.
Mereka juga takluk kalau harus menembus
batas galaksi paling luar.
Waktu!
Manusia juga tak berdaya merentang batas awal
dan akhir dari sang waktu.
Dan energi?
Siapakah sumber dari seluruh energi
mulai dari gerak elektron mengelilingi inti atom
sampai ke gerak planet-planet mengelilingi bintang?
Tak ada jawaban!
Manusia
yang berotak secerdas Einstein pun
akhirnya tak berdaya lalu takluk
dan percaya bahwa ada sesuatu yang tak terbatasi
oleh ruang
oleh waktu
oleh energi.”

“Badak!
Terus terang saya iri padamu!
Makhluk merdeka yang masih bisa berlarian
makan dedaunan
menghasilkan keturunan dan
menikmati hidup!
Sungguh badak
aku iri!”

Presiden itu
istana Bogor yang anggun
hanya membisu
dan mata kecil badak itu
seperti lubang kehidupan
kecil tetapi memancarkan energi
luar biasa
presiden itu lalu berjalan
ke arah beranda
ke arah halaman rumput
ribuan badak mengelilinginya
presiden itu tersenyum
tapi matanya beku
seluruh wajahnya menyiratkan duka yang keras
senyum
senyum itu hanyalah
gerak mekanis dari bibir yang ditarik sedikit ke atas
tetapi duka itu
tetap mengambang dan membayang
sangat jelas.

“Tuan Presiden!
Duka itu tidak datang dari langit
tidak datang dari rumputan
tidak datang dari pohon-pohon
juga bukan dari burung atau jangkrik
lihatlah teratai itu
dengan tegar dia menyembul dan mekar
lalu ditantangnya matahari
dengan keindahannya
dengan kesombongannya
tetapi dia lalu sadar
dan segera merunduk
kembali menyelam
hanya kali ini dia berisi biji-biji kecil
yang akan menyebarkan benih
kehidupan baru.”

“Tuan Presiden!
waktu hanyalah siklus
tanpa awal dan tanpa akhir
sedang ruang juga baru sebatas Anda ketahui
dari orbit proton dan neutron
terhadap inti atom
sampai orbit galaksi-galaksi entah
terhadap apa.
Tetapi bukan berarti ada batas terkecil
dan batas terbesar
semua tak terhingga.”

“Tuan Presiden
duka itu
kekecewaan itu
hanya sekadar berawal dari diri Anda sendiri
pilar-pilar Barok istana ini
begitu indah bagi gubernur jenderal baru
yang tiba dengan kapal laut
dari seberang benua sana
tetapi
pilar-pilar indah ini
adalah jeruji penjara yang membosankan
bagi seorang bekas presiden yang dikucilkan
oleh penggantinya”

“Tuan Presiden!
Kalau sekarang tuan berduka
maka sumber duka itu ada di dada
atau perut atau kepala Anda!”

“Persis!
Memang begitu itu!
Kalau para badak saat ini merasa terkurung
di sebuah taman sempit
maka itu hanyalah perasaan saja.
Kemerdekaan lalu menjadi sebuah utopia!
Bahkan keinginan untuk merdeka
bisa menjadi sebuah kungkungan tersendiri
yang membuat kita menjadi
tidak akan pernah bisa benar-benar merdeka.
Karena sesudah kemerdekaan didapat
akan datang keinginan-keinginan lain.
Kita lalu menjadi budak keinginan.”

“Tuan Presiden!
Saat ini kami merdeka.
Para badak menjadi penguasa dan Anda sandera!”
“Oh tidak!
Saya tetap merdeka.
Saya justru merasa lega.
Tiba-tiba saya bisa terbebas dari kungkungan kekuasaan.
Ini enak.
Nyaman!”
“Tuan di bawah kekuasaan kami!”
“No! Yang menguasai  saya ya diri saya sendiri!
Saya bebas untuk merasa merdeka dan berpikiran nyaman! Apapun yang terjadi!”
“Kalau begitu tuan akan segera kami bunuh!”
“Good!
Itu sangat bagus!
Mati adalah kemerdekaan yang paling murni!
Dengan mati saya terbebas dari semua kungkungan!
Jadi silahken bunuh.
Silahken seruduk lalu injek-injek sampai gepeng!
Ayo! Makin cepat makin bagus!”
“Lo, kok begitu?”
“La maunya kalian para badak bagaimana?
Maunya saya keder, gemetar
memohon ampun lalu meluluskan tuntutan-tuntutan?
Begitu?
Apakah menurut pendapat kalian saya ini banci?
Atau gadis cengeng?
Saya ini Presiden!
Pemimpin 200 juta bangsa manusia
yang menguasai negara ini beserta seluruh isi-isinya
termasuk badak!
Ngerti?”
“Kalau begitu kami telah gagal menculik
Anda!”
“Tidak juga! Sebab yang kalian lakukan
sebenarnya bukan menculik
tetapi justru membebaskan saya
dari kungkungan rutinitas.
Sekarang saya mendapatkan suasana alternatif
yang sungguh sangat menyenangkan.
Terimakasih kangmas badak!”
“We la dalah.
Ketiwasan tenan!
He konco-konco para badak
termasuk para arwah leluhur.
Ayo kumpul.
Ada pengumuman penting!”

Istana Bogor
sunyi itu tiba-tiba jadi gaduh
deru telapak badak
menghentak lantai marmer
badak-badak itu
mendengus
mendongakkan cula
dan mendorong-dorong apa
saja yang dapat didorong.

“Tenang Saudara-saudara. Tenang!”
“Ya, kita tidak boleh merusak
dan melampiaskan dendam.”
“Ini peninggalan sejarah!”
“Ada arwah para Gubernur Jenderal di sini.”
“Kita harus menghormati monumen peradaban!”
“Lalu apa yang harus kita serbu?”
“Ya apa?”
“Istana monyet?”
“Bukan!
Kita akan menyerbu markas besar tentara manusia!”
“Di mana?”
“Di mana saja! Ayo!”
“Ayo!”

Para badak itu
gegap gempita
gemuruh
seperti panser
seperti tank
bergerak
pelan-pelan
tapi kokoh
yakin
dan penuh percaya diri.

Istana Bogor
kembali sepi
kembali senyap
angin
daun-daun karet hutan yang berjatuhan
lambaian cemara
harum bunga pinang
teratai raksasa dari Amazon
presiden itu
tepekur
dia diam
dan memandangi
kerimbunan tajuk
pohon-pohon raksasa
di kebun raya.

Puisi dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 


SANG NARAPIDANA

$
0
0

Rokok
rajangan daun tembakau kedu
dicampur cengkeh menado
dilinting gadis-gadis kediri
disulut dengan korek gas
lalu disedot dalam-dalam
udara dingin menjadi berasap
malam lalu
tidak terasa sepi lagi.

Anak
isteri
orangtua
pacar
teman-teman pergerakan
mereka memang di luar sana
mereka adalah harapan
juga kenangan
lagu-lagu nostalgia
dari radio kecil
yang lemah
baterainya.

Politik memang keras
berjuang menegakkan kebenaran
dan demokrasi
lalu menjadi sama
dengan copet
maling ayam
dan pemerkosa anak tetangga.

“Itu menyakitkan bukan?”
Sebuah suara
datar
berat dan dalam
bernada bariton
diucapkan pelan-pelan
tetapi jelas dan tegas.

“Siapa? Siapa yang bersuara ini? Setan?
atau hanya igauan?”
“Bukan! Aku badak. Badak bercula  satu.
Badak jawa dari Ujung Kulon!”
“Badak kok bisa ngomong! Mbel!”
“Batu atau pohon kalau mau
juga bisa diajak ngomong dan akan menjawab!”
“Mbel!”
“Maksudnya mbelgedes kan?
Tidak percaya sama saya kan?
Ini lo lihat!”

Sosok badak itu
tiba-tiba tampak
besar
kekar
kuat
dan dingin
sang narapidana kaget
takut
masih tidak percaya pada matanya.

“Tadi kuping diragukan.
Sekarang mata dipaido! Kalau mata dewek dipaido
matane sapa sing arep kok percoyo?”
“Lo iso ngomong Jowo?”
“La aku iki badak jowo, Javan Rinocheros.
Rhinocheros sondaecus!”
“Mbel. Ini siluman! Jin! Ini godaan!”
“Itu karena situ terlalu banyak nonton film di tivi!
Aku ini badak baik-baik.
Situ percaya sokur.
Tidak percaya tak tinggal pergi.”
“Nanti dulu dak!
Mengapa Anda kemari dan untuk apa?”
“Aku lagi berjuang.
Semua 50 ekor. Ingin mendirikan Republik Badak
dengan wilayah seluruh Jawa!
Ngerti?”
“Mbel! Itu ngimpi! Ilusi!”
“Sampeyan itu juga pemimpi.
Kebenaran dan demokrasi itu mustahil tegak 100%.
Jadi perjuangan sampeyan itu sia-sia.”
“Tapi harus! Sampai tiran-tiran itu keok!”
“Sama. Ilusi kami juga  harus kami uber
sampai kami punah kalau perlu.
Masak kami hanya dikasih wilayah seupilnya pulau Jawa?”
“Kan cuma 50 ekor?”
“Justru. Kami ini tahu diri.
Wilayah segitu ya cuma untuk 50 ekor pantesnya.
Coba se-Jawa, kami akan jadi 1.000!”
“Mbel!”
“Kok maido terus ta?
Kita ini sama-sama pejuang lo!”
“Maumu apa sih dak?
Ngganggu orang lagi ngelamun jorok!”
“Saya hanya mau kenalan.
Juga sama  yang lain-lain. Mereka kan baik-baik.
Tidak seperti kamu!”
“Lalu?”
“Ya sudah. Malam ini mereka akan kubebaskan.
Tembok ini akan kujebol.
Lalu mereka akan kuajak kabur ke tempat yang aman.”
“Jangan mainan lo Dak!
Mereka itu tokoh internasional.
Kalau mereka kabur, citranya akan jelek.
Aku tidak setuju.
Kami berjuang demi hukum dan kebenaran.
Bebasnya ya harus sesuai hukum dan kebenaran.
Bukan lantaran ngabur.
Emangnya maling ayam atau koruptor?”
“Terserah.
Aku yang akan menculik dan membawa kabur mereka.
Lu mau ikut oke
mau tetep di sini sebodo teing!”

Penjara Cipinang
tembok tebal
tinggi
kokoh
kawat duri
kawat bersetrum
menara jaga
lampu sorot
sel-sel berjeruji
sipir galak
ransum tidak enak
dan pas-pasan
malam itu jebol
tembok-tembok roboh
penjaga tergopoh-gopoh
tapi keburu diseruduk
dan diinjak badak
lubang keluar menganga
di mana-mana.

“Maling ayam, copet, pemerkosa,
koruptor, rampok, pembunuh tidak boleh ikut.
Yang ikut saya hanya NAPOL
narapidana politik!
Ayo!”

Sirene tanda bahaya
meraung-raung
polisi dan tentara mendadak linglung
sebelas petugas terluka parah
seratus napol hilanglah sudah
hanya napol
narapidana politik.
dan di gerbang penjara
para polisi
tentara
kanwil kehakiman
dan wartawan
hanya ketemu spanduk besar
berisi sebait pantun.

“Kain berbatik motif Cianjur
hendak diutang bayar diangsur
main politik janganlah ngawur
badak datang membawa kabur.”

(badak)

Panglima TNI
marah besar
sebab barusan
dia dimarahi Wapres

“Presiden belum ketemu
sekarang napol kabur
ini pasti ada pihak-pihak tertentu
yang mendalangi
mengatur strategi
mengorganisir
dan mendanai
kami akan terus mencari
dan menangkap
provokatornya.”

“Tangkapen Nyo!
Akulah badak yang mendalangi ini semua!”
“Edan! Tidak mungkin kalau cuma badak!”
“Lalu maunya siapa?
Ini gembong GPK? Atau PKI sekalian!”
“Lo?”
“Kaget to?
Atau ini ulama kenamaan!”
“Lo?”
“Kaget lagi? Atau ini pastor vokal?”
“Wah?”
“Makin kaget?
Ini juga mahasiswa radikal, ini intelektual kiri!
Masih kaget? Panglima kok bisanya cuma lo, wah, kok!
Tangkep kalau berani sekarang!”
“Ajudan, panggil Kasad!”
“Lo, pakai manggil ajudan. Tadi katanya mau nangkep?
Wong nduwe tangan kok pakai prentah-prentah.
Coba badak segede ini ditangkep.
Memangnya bola base ball?
Tak sruduk kamu!”
“Tolong! Ajudan! Badake ngamuk!”

Siang itu
Mabes TNI
porak poranda
diseruduk badak
sembilan paranormal ditahan
dan dijaga ketat
mereka dituduh merencanakan makar
secara spiritual
dengan tenaga gaib
tetapi
badak-badak itu
tetap tidak dapat ditangkap
tidak dapat ditembak
dia datang
lalu menghilang begitu saja
para wartawan
juga kameramen
sangat penasaran
tetapi
dapatkah mereka melawan
Gusti Allah?

Seorang wartawan
membuang kameranya
block notenya
tape recordernya
lalu duduk bersila
mengheningkan cipta
dia wartawan baik
jarang menerima amplop
hampir tak pernah menulis gosip
dia menengok batinnya
masih kotor.

Maka tengah malam dia mandi bersih-bersih
mengambil air wudlu
lalu sholat tahajut
meminta terang dari Allah
yang memberi hidup
Allah Maha Baik
kalau permintaan itu tulus
dan berangkat dari hati yang bersih
pasti terkabul
maka diapun diberitahu
di mana badak-badak itu ngumpet
dan di mana pula
presiden berada
lalu tempat para napol itu
berlindung
wartawan itu berjingkrakan.

“Berhasil!
Tadi aku sudah salaman sama presiden.
Dia di presiden suite Grand Hyatt.
Ini lo tadi dia bikin pantun :

“Pepaya penang tiada berujung
dipetik malam di negeri jiran
saya senang Anda berkunjung
titip salam melalui koran!”

Para napol itu juga kutemukan
mereka ditampung di beberapa perguruan tinggi
tapi badak-badak itu tetap
misterius
katanya mereka ada di mana-mana
di taman
di kuburan
di jalan raya
di pasar
tiba-tiba muncul
dan tiba-tiba pula menghilang
wartawan itu jumpalitan
dia bakal mencetak head line eksklusif
Pemred pun
segera siaga
mengatur strategi.
“Sewa ruang dan atap Wisma Nusantara
untuk mengintip presiden suite Grand Hyatt
telpon  ke front ofice”
“Sudah ditelepon pak
tapi mereka pasti tidak ngaku.”
“Jawabnya?”
“Memang ada presiden menginap di sana!
Tapi Presiden Petroleum Club!”
“Nah, bohong kan?”
“Benar pak! Saya sudah dari sana wawancara.
Dia sudah seminggu  ini menginap di sana!”
“Wah! Siapa benar siapa bohong nih!”
“Tentang napol?”
“Sudah dicek ke semua aktivis
ke semua perguruan tinggi DKI.
Juga ke masing-masing Senat, Dekan, Purek
tidak ada yang tahu satu pun.
Bahkan mereka ngasih info dua napol
sudah kabur ke luar negeri melalui Christmas Island.”
“Lo, kan mereka dicekal?”
“Pakai kapal dari Marina Ancol Pak!”
“Wah!”

Wartawan lain
sebenarnya sangat tidak bersih
suka menjilat pejabat
memeras konglomerat
dan menodong selebritis
tapi dia kebetulan sahabat para napol
dia diundang ke sebuah vila di Cisarua
di sana mereka rapat
mengatur strategi
menyatukan visi
dan menyerasikan gerak langkah
di lapangan
untuk apa?
menegakkan kebenaran
yang saat ini loyo?
memasyarakatkan demokrasi?
atau demonstrasi?

“Ya pokoknya kita-kita ini
ingin rakyat hidup lebih baik.
Sederhana  kan?
Arahnya ke sana!”
“Untuk itulah mari kita berbalas pantun!”
“Pusing. Pantun baik itu mbikinnya susah.
Enakan ngobrol-ngobrol begini saja!”

“Katak berdendang di bukit Zaitun
batuan bercadas dibuat alas
otaknya udang sulit berpantun
hanya yang cerdas mampu berbalas!”

“Dara dipinang centengnya engkoh
bergaun cita bersarung sutera
penjara Cipinang bentengnya kokoh
bertahun kita terkurung penjara.”

“Membeli cita berkain sulam
cinta menjulang menggapai awan
negeri kita semakin runyam
kita berjuang sampailah kapan?”

“Ya, sampai kapan?”
“Seumur hidup.”
“Kita dipenjara untuk jadi menteri
jadi presiden atau jadi pahlawan?”
“Pahlawan? Berarti harus mati dong?”
“Hati-hati bicara. Ada wartawan lo!”
“Di sini semua teman.”
“Teman bisa menusuk sembunyi tangan.”
“Menggunting dalam lipatan!”

“Taman melati di sela buah
hanjuang lurus berbatang merah
teman sejati di kala susah
berjuang terus pantang menyerah.”

“Itulah teman sejati.”
“Teman Napol.”

Rokok
asap yang memenuhi ruangan
minuman ringan
kopi
makanan kecil
suara tawa
kadang serius mereka bicara
kadang gurauan yang kedengaran
malam larut dalam obrolan
igauan
mimpi
tentang masa depan
yang harus diupayakan
agar menjadi lebih baik
dari sekarang.
“Badak-badak itu?”
“Entah!”
“Mereka akan datang sewaktu-waktu.”
“Entah kapan, entah di mana, entah
bagaimana.”

Puisi dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 


EPISODE SORE

$
0
0

Matahari jingga
bagai belahan buah semangka
mengapung di sebelah
tugu Monas
gedung-gedung tinggi
jadi terpulas rona emas.

Hujan
yang mengguyur Jakarta
siang tadi
masih tersisa di ujung daun akasia
kristal-kristal emas
tapi di tenggara sana
kelabu dan suram.

Namun secara umum
cuaca Jakarta baik-baik saja
langit mulai dingin
udara masih basah
kereta api listrik dari Kota
menuju Bogor
tampak kecapekan
dan sesak napas
dijejali manusia
di luar kapasitas.

Kere-kere
menodongkan aktingnya
yang memelas
para pengamen menggenjreng gitar
lalu menyanyi
suara loyo dan pasrah
menyembur dari matanya
lalu rokok disulut
dan asap knalpot menghambur
dari bis kota yang menderu
entah menuju ke mana.

“Inikah sarang manusia itu?”
“Mereka bersarang di kubangan semen dan aspal
yang keras dan gersang begini?”
“Mereka kawin di rumah-rumah petak
lalu bininya beranak di rumah sakit beranak?”
“Apa yang mereka makan?”
“Pucuk pakis?”
“Daun nibung?”
“Mereka makan apa saja!”
“Manusia-manusia itu kalau mati dibuang ke mana?”
“Ke laut?”
“Tidak!”
“Ada yang ditaruh di dalam tanah
ada yang dibakar!”
“Dipanggang?”
“Tidak!”
“Dibakar jadi abu lalu abunya dibuang ke laut.
Ada juga yang disimpan di rumah abu.”
“Mengapa manusia membuat sarang setinggi itu?
Kalau ambruk bagaimana?”
“Itu kuat sekali.
Tidak akan ambruk.”
“Di sini tidak ada binatang?”
“Ada.
Ada anjing gemuk-gemuk
karena tiap hari diberi daging.”
“Ada juga sapi dan kambing
dan ayam yang dibawa kemari untuk disembelih.”
“Di sana, di Ragunan, ada bermacam-macam hewan
yang dikerangkeng.
Ada macan, badak afrika, ular,
semua dikurung.”
“Di Taman Mini juga ada burung-burung yang dikurung
di kandang sangat besar.”
“Lo, di pasar Pramuka juga ada
banyak sekali binatang yang dijual.”
“Untuk disembelih?”
“Bukan!
Untuk dipelihara sebagai klangenan!”
“O!”
“Kalau begitu mari kita bebaskan mereka.”
“Ayo!”
“Jangan sekarang!
Nanti malam saja!”
“Itu lebih baik. Lebih aman!”

Sore
bau tanah basah
yang lembap dan hangat
bau hujan yang masih menempel
di daun-daun
bau kebebasan yang hanya di angan-angan
di sebuah rumah petak
di Kramat Sentiong
seorang kakek
menyeruput teh tubruk
dan dua potong kue pancong
di depannya pemuda tanggung
mengepulkan asap keretek
biru dan harum tapi hangat
di luar sana becek
dingin dan kumuh.

“Kemerdekaan itu memang mahal le!
Mahal sekali!”
“Berapa juta mbah?”
“O, tidak bisa dihargai dengan uang!”
“Lalu? Dengan cek atau giro bilyet?”
“Opo kuwi? Mahal itu, artinya tidak semua orang
bisa merdeka.”
“Jadi, yang bisa merdeka itu hanya
yang kaya-kaya begitu?”
“Lo, tidak! Tidak begitu!
Kaya, berpangkat, pinter, belum tentu bisa merdeka!”
“Merdeka saja kok susah Mbah!”
“Memang. Merdeka itu tidak mudah.
Merdeka itu harus iklas.
Tidak diikat oleh apapun.
Oleh harta, oleh anak istri, oleh atasan, oleh pangkat
oleh keinginan. Itu baru namanya merdeka.”
“La simbah kok terikat sama teh tubruk?”
“Tidak! Saya tidak minum teh tidak apa-apa.
Kalau ada diminum, tidak ada tidak apa-apa.
Itu namanya merdeka.
Pantang 100%, itu namanya justru tidak merdeka!”
“Susah mbah ngomong sama sampeyan!”
“Susah dengkulmu itu. Yang susah ya
otakmu sendiri!”

Jakarta
matahari jingga
seragam kantor yang mulai lusuh
bau keringat diguyur parfum
diterpa debu
terasa sulit menikmati kemerdekaan
di metropolitan ini
manusia
makhluk paling mulia
makhluk berderajat tinggi itu
ternyata justru tunduk pada
benda-benda ciptaannya sendiri
jam
kartu absen
program diet
rokok
para badak terhenyak
menyaksikan
kubangan beton
kubangan aspal
rumpun besi
batang-batang baja
dan belukar kawat tembaga.

Di mana gemericik air Citerjun?
ke mana gugusan kabut?
ke mana gundukan
gunung Payung itu kau pindahkan?
aliran sungai Cigenter
di sini kali Sunter tenang namun menghitam
penuh sampah kaleng dan plastik
dan daun-daun nipah
yang tegak di kiri-kanannya
telah menjadi triplek
dan dicat warna-warni
harum kembang pinang
wangi anggrek merpati
disekap di ketiak karpet
dan matahari jingga
bersiap-siap lengser
dari langit.

“Inikah duri-duri rotan itu?
mengapa keras dan dipasang
melingkar-lingkar
menghadang di pintu gerbang
melintang di jalanan?”

Lalu gemuruh lalulintas itu senyap
dan gerombolan mahasiswa
dan massa
datang dari arah sana
mereka bergerak
berteriak-teriak
dan jaket-jaket mereka
berkibaran
rambut-rambut mereka
dihajar debu dan angin
tetapi warna jingga itu
merata di wajah-wajah mereka.

“Anak-anak manusia
mengapa Anda marah?
mengapa Anda tidak tinggal saja di rumah
nonton video porno
atau makan kacang goreng
dan mendengarkan pop Amerika
sambil memeluk guling?
Mengapa wajah-wajah itu
masih saja gundah?”

Dari depan sana
pasukan anti huru-hara
bagai robot
bergerak
lalu dua gugus anak manusia itu
saling berhadap-hadapan.
Apakah ini versi terbaru dari
Bharatayuda Jayabinangun?
Atau mereka hanyalah
wayang
yang digerak-gerakkan oleh dalang?”

Pasukan berseragam itu
bersenjata lengkap
dan dikawal panser dan tank
mereka menghadang
para mahasiswa
yang telanjang
laki-laki dan perempuan
bagai adam dan hawa
yang bercengkerama di taman Eden
mereka tidak tahu dosa
mereka belum sempat menyantap
buah pengetahuan baik dan jahat
mereka bergerak
menyanyi dan bersorak-sorak.

“Padahal peluru-peluru itu
terbuat dari logam
dan sangat tajam
dan pasti akan mengoyak
daging dan meremukkan tulang
mengapa anak-anak muda itu
tidak ketakutan?”

Tiba-tiba badak itu
muncul bagai panser gaib
di antara para mahasiswa
mereka bergerak
badak-badak itu menyeruduk
dan peluru-peluru ditembakkan
tetapi badak-badak itu
terus saja bergerak
dan mendesak
menyeruduk
menginjak-injak
menggulingkan panser
dan mendorongnya masuk got.

“Lari! Lari!
Ada badak siluman!”
“Siluman badak!
Para mahasiswa mengerahkan Siluman badak.”
“Mereka dibantu iblis Komunis!”
“Iblis?”
“Setan maksudnya!”
“Ya setan Zionis!”
“Hantu badak! Ayo kita lari!”

Para mahasiswa tertegun
mereka heran
“Dari mana datangnya badak-badak ini?”
“Dari Ujung Kulon?”
“Jangan-jangan dari Ionesco?”
“Dari mana itu Ionesco?”
“Mungkin dikirim Tuhan!”
“Hus! Jangan Tuhan dibawa-bawa!”
“Dasar IQ-nya jongkok!
Badak-badak itu dikirim oleh Rahardi!”
“Siapa itu? Petugas Taman Safari atau KB Ragunan?”
“Bukan! Dia penyair! Sastrawan!”
“Lo, apa urusannya dengan badak?
Apa urusannya dengan demo mahasiswa?
Kok enak saja ikut nimbrung.
Dasar pahlawan kesiangan!”
“Jangan diomeli.
Nanti dia takut lalu lari masuk hutan!”
“Masuk hutan? Siapa? Badak-badak itu?”
“Ya, badak-badak itulah panser kita
Tank kita. Hidup badak!”
“Ayo kita serbu Istana!”
“Istana presiden?”
“Ya! Istana presiden!
Kita suruh dia mundur!
Kita ganti dengan presiden baru yang lebih muda
lebih gagah dan ganteng!”
“Hus! Presiden kita kan tidak berada di istana?
Dia hilang diculik badak!”
“Kalau begitu kita serbu Markas Besar TNI!”
“Ayo!”
“Serbu!”

Matahari makin jingga
Jakarta makin jingga
pohon-pohon juga jingga
lalu-lintas itu
kereta api listrik
seluruh penumpangnya berangsur
jingga
daun-daun akasia
tajuk asoka
deretan batang angsana
seluruhnya jadi silhuet jingga
lalu matamu sendiri
roh para badak
mata para mahasiswa itu
mata para tentara
kadang jingga
kadang tak jelas
apa warnanya.

Puisi dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 


INTEROGASI I

$
0
0

Seekor badak berhasil dibekuk
aparat paranormal
dan digiring
ke Markas Besar Paranormal Nasional
untuk dimintai keterangan.

Badak itu
telah ditotok jalan darahnya
lalu titik-titik syarafnya
simpul-simpul bioritmiknya
telah ditempeli
kertas-kertas kuning
bermantera.

Badak itu
lalu jadi kaku
tapi tetap sadar
tetap bisa melihat
tetap bisa mendengar
tetap bisa mencium udara
ruang interogasi yang sumpek
dan pengap.
“Siapa dalang dari seluruh kerusuhan
yang terjadi akhir-akhir ini?”

Badak itu berkedip tiga kali
menelan ludah
menghela napas
lalu melontarkan jawaban.

“Kuno!”
“Apanya yang kuno?
Kamu mau menghina petugas ya?”
“Ya otakmu itu yang kuno!
Tidak pernah dengar yang namanya sutradara?
Penulis cerita?
Penyusun skenario?
Pencatat script?
Lighting?
Cameraman?
Editor?
Produser?”
“Maksudmu bagaimana?
Ditanya dalang kok jawabnya ngelantur.”
“Begini. Dalang itu kan jaman dulu.
Yang menggerakkan wayang memang dalang.
Dia juga merancang cerita dan mengatur laku.
Tapi kini telah ada film, sinetron, lawak dan ketoprak humor. Semua itu hasil kerja kolektif.”

Isyarat
beberapa petugas paranormal datang
badak itu disihir
lalu meronta-ronta kesakitan
seperti tersengat setrum ribuan volt
kemudian lemes.
“Masih mau macem-macem?”
“Masih tidak mau ngaku?”
“Siapa dalangnya?”
“Siapa yang menunggangi kalian?”
“Siapa provokatornya?”
“Yang membiayai?”
“Yang mengorganisir?”
“Tujuan akhirnya apa?
Membentuk negara sendiri?
Menggulingkan pemerintahan yang sah?”
“Makar!”
“Setrum lagi!”
“Sihir! Sihir!”
“Dibuat kesurupan supaya mau ngaku!”
“Dikasih wisky biar mabuk dan ngoceh macam-macam.”
“Arak!”
“Tuak!”
“Brem!”
“Cap Tikus!”
“Oplos! Oplosan saja yang mujarab!”
“Hush! Sampanye! Vodka! Tiquila!”
“Bandrek!”
“Lo, bandrek kan tidak bikin mabuk?”
“Tapi dalam cuaca dingin begini
minum bandrek bisa menghangatkan badan!”
“Juga menghangatkan hati
menghangatkan pikiran
lalu kita bisa ngobrol santai dari hati ke hati!
Bukankah begitu badak?”
“Memang! Itu lebih bijaksana!”
“Ya ayo, ini ada bandrek ada ronde!
Semua panas! Kamu doyan kan badak?
Soalnya biasanya kamu hanya minum
air sungai Cigenter, Cibandawoh atau Cidaun.”
“Doyan! Saya pernah dijamu bandrek
oleh anak-anak Mapala!”
“Lo, di mana?”
“Dulu, ketika mereka sebulan penelitian di Cikeusik.”
“O!”
“Para mahasiswa itu muda-muda,
pintar-pintar dan baik-baik,
ada April ada Putri ada Pipit.”
“O, jadi hubungan antara para mahasiswa
dan kaum badak itu sudah terjalin lama ya?
Jadi otak dari semua huru-hara ini para mahasiswa itu ya?
Akhirnya!
Akhirnya kamu mau mengaku juga ya!”
“Lo, bukan! Bukan mereka!
Dalang dari semua ini ya yang ngarang!
Mestinya yang kalian tangkap itu bukan kami tapi dia!”
“Si pengarang?”
“Ya, dialah yang paling bertanggungjawab terhadap
seluruh kemelut yang terjadi di buku ini.
Dia pantas ditangkap, diadili
dan dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya!
Kami, para badak ini, hanyalah sekadar pelaksana.
Jadi bapak-bapak ini salah tangkap
dan salah culik!”

Para petugas itu
berseragam lengkap
mengepit map
menjinjing tas
dan meluangkan waktu
untuk menghadap diriku.

“Asallamualaikum!”
“Wallaikum Salam!
Silahken masuk silahken duduk!”
“Terimakasih Pak.
Bagaimana kabarnya setelah lengser?
Sehat-sehat saja?”
“Alhamdulillah, sehat.
Meskipun nganggur tetap sehat belum terkena stroke!
Sehat jasmani, sehat rohani.”
“Sokur Alhamdulillah!
Begini Pak, kedatangan kami-kami ini adalah
dalam rangka konfirmasi tentang berbagai isyu
yang sekarang-sekarang ini
ramai dibicarakan  masyarakat.”
“Saya tahu! Saya mengerti!
Jadi sebelum Anda-anda ini dateng kemari,
sebenarnya saya pribadi sudah merencanaken
untuk dateng ke Anda-anda
guna melaporken daripada keadaan yang sebenarnya.
Akan tetapi Anda semua telah meluangken waktu
untuk mengecek daripada isyu-isyu
yang berkembang di luar sana,
maka perlu saya tekanken bahwa
saya pribadi sebenarnya sama sekali tidak bermaksud
untuk membuat kacau daripada keadaan di negeri ini.
Maka apabila ada di antara saudara-saudara
atau siapa saja berhasil menemuken
sepatah atau duapatah kata di dalem buku saya ini,
dan ternyata bahwa kata-kata tersebut
telah menyebabken daripada kekacauan,
maka saya persilahken kepada siapa saja
untuk segera menghapusnya
dengan Tipex.
Sebab sedari dulu mula
memang tidak ada sedikitpun terbersit daripada
lubuk hati saya yang paling dalem,
bahwa ada niat untuk mengacau.
Jadi silahken!”
“Baiklah Pak.
Kalau begitu kami permisi
dan sewaktu-waktu kami mengharapkan
penjelasan lebih lanjut dari Bapak,
kami akan datang lagi.
Tetapi benar kan Bapak
yang mengarang buku ini?”
“Itu memang benar
tetapi sebenarnya tidak sengaja.
Semua kan atas kehendak yang di atas sana!”
“Maksud bapak kehendak anak-anak
yang sedang main CD player di lantai atas itu?”
“Bukan!
Maksud saya Tuhan!”
“O!”
“Tuhan itu Maha Kuasa lo!”
“O!”
“Juga Maha Murah dan Maha Baik!”
“O!”
“Coba bayangken,
dalem suasana daripada krismon demikian,
juga dalem kondisi nganggur setelah lengser,
e…….rejeki itu dateng seperti
aliran sungai Citarum.
Deras dan lancar!”
“O!”
“Makanya kalau saudara-saudara
kebetulan ada sedikit kesulitan daripada
masalah ekonomi, silahken!
Saya selalu terbuka untuk membantu daripada
siapa saja yang memang sedang sanget memerluken
uluran tangan!
Silahken!”

Para petugas itu
lalu membuka-buka map
membongkar isi tas
mengeluarkan berkas-berkas
menggelar kertas
menggenggam bolpen
menyiapkan laptop
lalu mencatat.

“Kami telah menghubungi
pengarang  buku ini dan mengorek
keterangan-keterangan penting
yang bisa menjadi  kunci
guna memecahkan berbagai permasalahan  penting
di buku ini.
Pengarang itu tetap tidak mau mengakui kesalahannya
dan justru melemparkan tanggungjawab ke  pihak lain.
Dia mengatakan bahwa
Tuhan adalah pencipta segala-galanya.
Termasuk buku yang ditulisnya,
termasuk kekacauan
yang terjadi di  buku ini.
Bukankah itu sebuah sikap tidak mau bertanggungjawab?
Padahal pada waktu dia menulis,
tidak pernah  ketahuan dengan jelas
apakah  dibantu oleh Tuhan atau oleh Setan.
Karenanya perlu dirancang
sebuah program penelitian yang menyeluruh
guna mengungkap misteri yang masih menyelimuti
diri pengarang kita ini.
Untuk itu akan segera disusun sebuah proposal guna
diajukan dalam APBN tahun depan
atau bisa pula dimintakan grant
dari USAID sebesar $ US 500.000,-
Dari hasil penelitian tersebut
akan bisa terungkap dengan jelas latar belakang
dan motivasi pengarang kita ini.
Apakah dia benar-benar berada di pihak Tuhan YME
atau justru berasal dari Setan
dengan motivasi utama menciptakan kekacauan.
Bisa pula dia itu plin-plan.
Kadang-kadang di pihak Tuhan
kadang-kadang ikut Setan.
Untuk sementara baru ini
yang bisa kami laporkan sambil menunggu
hasil survei secara lengkap.”

Markas Besar Paranormal Nasional
badak yang berhasil dibekuk
dan ditahan
para interogator
algojo
ahli-ahli sihir
ruang yang sangat mistis
aroma tiga bunga
mawar, kantil dan kenanga
wangi irisan daun pandan
bau asap kemenyan
asap dupa
asap hio
dengung mantera
irama doa
sebait pantun.

“Menari saman dikala gundah
onak dan duri di Batang Hari
mencari Tuhan tidaklah mudah
tidak dicari datang sendiri.”

Badak itu gemetar
kejang-kejang
lalu dirasuki roh nenek moyang
“Dari kemarin-kemarin saya sudah bilang.
Jangan ribut soal dalang
itu hanya ada dalam pertunjukan wayang
dalam film dan sinetron
sutradara bukan segala-galanya
masih ada penulis cerita
penulis skenario dan masih banyak lagi
ingat kan yang kubilang
kemarin-kemarin itu?”

“Benar mbah! Pengarang cerita ini
juga sulit untuk
dimintai pertanggungjawaban.
Dia terus berusaha mengelak
sambil melemparkan tanggungjawabnya
langsung kepada Tuhan YME!”

“Nah, kan sulit?
Sebab Tuhan memang sumber dari segala-galanya.
Dan kalau sudah dilemparkan ke sana
permasalahannya jadi buntu!”

“Kalau begitu kami hanya
akan minta penjelasan teknis.
Di manakah Anda
antara pukul 17.00 sd 23.00 WIB
hari Selasa tanggal 15 Desember yang lalu?”
“Di pojokan silang Monas!”
“Pojokan mana?
Pojok tenggara, baratdaya, barat laut atau timur laut?”
“Barat Laut!”
“Itu kan depan Istana?”
“Persis!
Memang saat itu saya berada tepat di depan istana!”
“Apa yang Anda lakukan pada saat itu?”
“Tidak ada. Saya hanya berdiri saja.
Kadang-kadang duduk!”
“Motivasi Anda?
Mengapa Anda berada di sana?
“Tidak ada.
Tempat itu saya pilih karena nyaman.
Di sana ada pohon trembesi besar dan rindang.
Dari sana, Istana Merdeka yang disorot lampu itu
tampak bagus sekali.
Di Taman Nasional Ujung Kulon
tidak ada pemandangan seperti itu!”
“Tetapi tempat yang indah
di Jakarta ini kan banyak.
Mengapa justru di depan istana?
Apakah bukan dengan maksud-maksud tertentu?”
“Maksud tertentu jelas ada.
Yakni Istana itu suatu ketika harus diserbu!
Tetapi bukan untuk menculik presiden.
Presiden Anda kan sudah kami kuasai!”
“Ya, di mana sekarang dia berada?”
“Di Indonesia!
Dia masih berada di sini!”
“Tepatnya?”
“Di pulau Jawa.
Tepatnya di istana Bogor!”
“Bohong. Istana itu kosong!”
“Goblok! Paranormal goblok!
Presiden Anda itu sedang saya sembunyikan di istana Bogor.
Kalau mudah dilihat orang dan ditemukan,
namanya bukan sedang disembunyikan!”
“Kapan presiden kami kalian kembalikan?”
“Bisa jadi tidak akan pernah kami kembalikan.
Kami juga memerlukan manusia seperti itu
untuk menjadi Presiden para badak
di Ujung Kulon!”

Interogasi berlanjut
pertanyaan itu terus diulang
sampai tiga empat kali
dan badak itu menjawabnya
dengan : Tadi sudah ditanyakan
dan sudah saya jawab!
lalu petugas paranormal itu
marah
dan menggebrak udara
dan petir menggelegar
lalu turun hujan lebat
selama dua hari dua malam
Jakarta banjir
rumah-rumah terendam
jalan raya jadi seperti
sungai Cigenter
mobil-mobil mogok
panser-panser terjebak genangan
para pendemo naik rakit
batang pisang melintas dari
Sudirman hanyut menuju Thamrin
lalu parkir di lapangan Monas
para badak menolong anak-anak
dan ibu hamil keluar dari rumah
lalu mengungsi ke
Koramil dan pos Kamling.

“Apakah benar ini pengaruh La Nina?”
“Mungkin juga ada bau-bau La Petite?”
“Kedengarannya seperti irama La Paloma?”
“Kalau diamat-amati sih tampak mirip La Brador!”
“La, rak ngawur! La Nina kok tekan La Brador!”
“Apakah benar Tugu Monas itu
akan tenggelam?”
“Ya bisa jadi! Terserah Tuhan dong.
Dia mau menenggelamkan Monas,
Eifel! Liberty! Pisa! Piramid
atau gunung Gede Pangrango!
Itu urusan dia.
Kami, para badak dan kalian para manusia,
marilah mencoba untuk tidak saling mencampuri
urusan Tuhan!
Mari kita urus yang memang merupakan urusan
kita masing-masing!”
“Jadi pagi ini kita harus mengurus apa?”
“Beol!”
“Ya, nomor satu beol dulu!”
“Sambil kencing kan?”
“Jelas! Setelah itu baru mandi lalu ganti baju
lalu menyeruput kopi tubruk
lalu membaca koran!”
“Itu kan manusia. Badak lain!”
“Apa badak tidak pernah beol?”
“Kok soal beol! Ganti baju, ngopi, baca koran!
Itu yang urusan manusia.
Kalau beol dan kencing dan mandi, badak juga perlu.
Hanya mandinya mandi lumpur!”
“Jadi bagaimana soal beol?
Setuju?”
“Setujuuu……..!”

Palu lalu diketokkan
ke kepala badak
sebanyak tiga kali
badak itu sempoyongan
dan pingsan.

Puisi dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 



INTEROGASI II

$
0
0

Nama?
Umur?
Pekerjaan?
Tempat Tinggal?”

Badak itu diam
namun sangat tersinggung
pertanyaan-pertanyaan itu
hanya layak diajukan
untuk manusia
bukan untuk badak.

Pertanyaan-pertanyaan
untuk badak lebih sulit
untuk dijawab : Mengapa?
Mengapa dia harus ditangkap
dipenjara
diinterogasi
disetrum
digetok kepalanya
sampai pingsan?

Mengapa?
mengapa para mahasiswa itu
harus mati
harus luka-luka
harus kesakitan?

Mengapa?
ayam dan kambing dan sapi
harus disembelih dan
dagingnya dicincang lalu
direbus, digoreng dan dipanggang
mengapa langit harus biru
tetapi kadang-kadang putih
kadang-kadang kelabu
mengapa mendung harus hitam
lalu menjadi hujan menjadi gerimis
aku ingin tahu mengapa
bukan apa
bukan siapa
bukan berapa
bukan kapan
bukan bagaimana.

Mengapa?
dan aku tidak ingin jawaban
itu datang sebagai
petunjuk
semacam petuah
atau hadiah ulang tahun
aku ingin jawaban itu seperti
tupai
yang akan terus berkelit dan
berlari kadang bersembunyi
dan aku akan terus mengejarnya
meskipun setiapkali jawaban itu
bisa kuraih dan kutangkap
dia akan melahirkan pertanyaan baru
yang jauh lebih sulit
dan membuatku
menjadi tidak berdaya.

Mengapa?
mengapa daun berwarna hijau
mengapa pohon kelapa berbatang lurus
dan terus meninggi
menantang langit
mengapa di ujung moncongku
tumbuh tonjolan kulit yang
disebut cula
mengapa?

Mengapa badak tidak seperti
kerbau tidak seperti banteng
tidak seperti rusa
tidak seperti gajah?

Manusia
mestinya kalian menyiapkan
rincian jawaban
untuk mengurai
pertanyaan-pertanyaan itu
dan bukan malah mengajukan
pertanyaan-pertanyaan matematis
pertanyaan-pertanyaan digital
yang jawabannya sudah baku.
Nama?
Umur?
Jenis kelamin?
Pendidikan terakhir?
Pekerjaan?
Alamat?
Apakah badak punya alamat?
ya, di kandang nomor sekian
di Blok Mamalia
di Kebun Binatang Ragunan
atau di Taman Safari
di Cisarua.
Tetapi di Taman Nasional Ujung Kulon
badak boleh berak di Cibandawoh,
makan pucuk nibung di Cegok
lalu berkubang di muara
Cigenter

Alamat?
apakah sepetak sabana di Cidaun
di Taman Nasional itu
bisa jadi alamat
apakah pulau Jawa juga alamat?
mungkin planet biru ini
Galaksi Bima Sakti kita
juga bisa menjadi sebuah alamat
semacam sepetak kubangan
di muara Cikeusik
atau RT sekian RW sekian
di sebuah gang sempit
di Kramat Sentiong.

Nama?
mungkin yang diperlukan hanyalah
nomor-nomor
kode-kode huruf
sekadar perangkat untuk membedakan sesuatu
dengan sesuatu yang lain

Jumlah?
mengapa diperlukan pembedaan
antara nol dan tak terhingga?
dan kapan?
waktu hanyalah titik-titik
dari sebuah siklus
dari mana?
dan mau ke mana?
sangkan paraning dumadi
tak ada gunanya diulang-ulang
sebab yang paling penting adalah
mengapa semua itu perlu ada
dan mengapa harus selalu demikian?

Mengapa belibis harus bertelur
mengapa serigala selalu melolong
di saat bulan purnama
mengapa rusa-rusa itu
hanya mau menggosok-gosokkan
tanduknya di pangkal pohon
jambu kopo
mengapa bukan di pohon melinjo
atau pohon belimbing wuluh?
dan kalong-kalong itu
mengapa tampak berat dan
lamban ketika harus
mengepakkan sayapnya
mengapa mereka
berbondong-bondong ke utara?
apakah di sana sedang banyak
buah sawo?

“Mengapa yang Anda pilih sebagai
tokoh buku ini kami para badak
dan bukan banteng atau marmut
atau kucing
Apakah Anda pernah ketemu kami
memohon ijin
atau membuat MOU?”

“Atau Anda tanpa etika
tanpa sopan santun
telah begitu saja mencatut nama besar kami
hingga Anda ini sebenarnya nebeng keren
sebab kami-kami ini kelasnya
sudah internasional
sementara Anda?”

“Berarti sebenarnya
telah terjadi manipulasi besar-besaran
coba kalau Anda itu pengarang hebat
pilih saja tokoh sentralnya
bebek tegal
simpel
sederhana
dan kelasnya ya lokal
sangat lokal
hingga kalau buku Anda itu ngetop
di tingkat nasional saja
maka yang ngetop ya Anda sendiri
lebih-lebih kalau bisa ke tingkat
regional
bebek tegal itulah yang justru
membonceng Anda
tapi kami?
NO!”
“Badak Afrika tidak ada apa-apanya
yang sekelas dengan kami hanyalah
panda raksasa Cina!
atau Yetti dari Himalaya!
Jadi jangan kami dibuat mainan
diremehkan
dilecehkan
itu namanya tidak mengenal
Hak Azasi Hewan (HAH)
Biarkanlah kami hidup
sesuai dengan
hakikat hidup kami.”

(Begini ya dak ya!
Sebenarnya saya sebagai penulis buku ini
justru ingin protes keras pada kalian
mengapa justru kalian
secara tiba-tiba
tanpa basa-basi
telah menyusup
masuk ke dalam benak saya
hingga tiba-tiba saja
bisa saya jadikan tokoh.
Padahal,
sebenarnya saya sudah mendapat tawaran
untuk menulis biografi
seorang jenderal purnawirawan
dan akan dibayar mahal
selain itu saya juga ingin menulis
tentang lonte-lonte
tetapi semua berantakan
gara-gara kalian!
Tetapi badak,
sebaiknya silang pendapat ini
kita sudahi dulu
dan nanti kita lanjutkan di forum lain
silahkan!)

“Jadi interogasi dilanjutkan?”
“Ya! Silahkan!”
“Tetapi siapa yang harus diinterogasi
dan siapa interogatornya?”
“Kok siapa?
Tadi katanya mengapa?
Siapa, apa, kapan, berapa, di mana,
bagaimana, katanya itu semua tidak penting.
Katanya yang penting mengapa?”
“Ya, maksudnya mengapa harus ada interogasi.
Mengapa bukan dialog dari hati ke hati
karena dialog jauh lebih baik
daripada monolog!”
“Tapi pengarang sukanya kan monolog!
Mana mungkin pengarang bisa
berdialog dengan pembacanya di dalam bukunya?”
“Mungkin saja!”
“Coba!”
“Saya malah akan menginterogasi mereka.
Mari kita tangkap salah seorang di antara mereka!”

Salah seorang pembaca itu
mahasiswa Fakultas Sastra UI
berhasil dijebak
oleh para badak
lalu dibawa masuk ke dalam buku ini
untuk diinterogasi!
Dia meronta-ronta
dia berontak habis-habisan
dan mencoba untuk kabur.

“Saya protes keras.
Mengapa saya tiba-tiba ditangkap
dan dibawa masuk ke  dalam buku gombal ini.
Urusan  saya masih banyak
dan semua penting-penting.
Saya masih harus koordinasi dengan teman-teman
untuk bergerak dan menuntaskan
pengadilan masalah  korupsi.
Mengapa saya dibawa kemari?”
“Mengapa Anda bertanya begitu?”
“Karena pertanyaan ini sangat mendasar.
Sangat esensial.
Saya dan juga semua mahasiswa di negeri ini
tidak mau ditunggangi oleh siapapun.
Kami bukan kuda,
bukan sepeda motor,
bukan kerbau congek.
Lebih-lebih
kami bukan badak!”
“Tidak ada yang tertarik untuk menunggang Anda.
Enakan menunggang kuda poni!”
“Lalu mengapa kami ditangkap?”
“Kami, saya (pengarang buku ini)
dan badak (tokoh buku ini)
ingin menginterogasi Anda sebagai pembaca.”
“Lo kok enak saja!
Saya sudah susah-susah membaca!
Sudah keluar  duit segala untuk membeli buku
kok malah ditangkap dan diinterogasi.
Pengarang apa itu?”
“Ini namanya demokrasi.
Saya dan badak ingin dapat masukan
bagaimana baiknya cerita ini dilanjutkan.”
“Jangan tanya saya.
Kalau mau tanya-tanya sama kritikus.
Salah satu dosen saya bisa dipanggil.
Dia sangat tajam daya analisisnya
tapi sekaligus juga sangat padat acaranya
dan tarifnya Rp 1.500.000,- per sekali tampil
ditambah transpor pesawat PP dan
akomodasi minimal bintang tiga.”
“Panggil dia.
Beri honor Rp 5.000.000,- sekali tampil.
Inapkan di hotel bintang lima diamond
dan naikkan concord
lalu jemput dengan limo!”
“Kapan?”
“Jangan tanya kapan, apa, siapa dan sebagainya.
Di sini hanya berlaku
pertanyaan mengapa!”
“Ya, mengapa?”
“Mengapa kritikus itu harus kita datangkan
dan mengapa harus
dibayar mahal?”
“Mengapa buku ini harus dikritik!”
“Culik dia dan perkosa
agar hamil dan melahirkan
kritik yang brilyan.”

“Tidak usah diculik aku sudah datang sendiri nih.
Akulah kritikus kenamaan itu.
Mengapa Anda memanggil?”
“Karena pendapat Anda penting sekali
untuk menjembatani pengarang dan pembaca.
Sekaligus untuk promosi.”
“Saya kenal Anda sudah sejak 20 tahun silam.
Dan selama 20 tahun itu
Anda hanya menghasilkan sampah.
Menghasilkan tai.
Aku muak karena seluruh karya-karya Anda itu bau!”
“Anda Keliru. Minimal kurang rinci.
Saya tidak hanya menghasilkan sampah dan tai
tapi juga kentut, keringat, kencing, daki dan ingus.
Jadi banyak sudah yang saya hasilkan.”
“Tapi semua itu berbau!”
“Jelas. Kentut presiden, kentut jenderal,
kentut artis Holywood, kentut Andapun juga bau.
“Tapi semua itu hanya berdampak
pada pencemaran lingkungan.
Lain dengan karya anda.
Saya selalu mual dan mau muntah
sehabis membaca karya-karya Anda itu!”
“Karena selesai membaca langsung bunting?”
“Saya laki-laki. Maaf!”
“Sekarang laki-laki sudah beremansipasi.
Lihat para direktur itu. Satpam itu!
Perut mereka buncit semua kan?”
“Saya sarankan dengan serius
mulai saat ini Anda berhenti menulis,
bertobat dan menjadi orang baik-baik.
Tiap minggu ke Gereja, berdoa
dan memohon ampunan Tuhan!”
“Mengapa? Mengapa saya harus berhenti menulis?
Apakah tulisan saya
telah mengganggu Anda?”
“Bukan hanya saya.
Seluruh pembaca buku Anda
telah merasa terganggu berat
karena polusi kentut dan daki dan tai
yang Anda tulis itu
telah mencemari otak mereka!”
“Kritikus! Jesus selama 33 tahun juga
telah kentut dan beol tiap hari
dan tahinya menumpuk-numpuk.
Juga Presiden Clinton
juga Ratu Elizabeth.
Selama mereka masih doyan makan
pasti menghasilkan sampah, kentut dan tai!”
“Tapi tai Anda itu nyemplung
dan hanyut di tulisan! Itu bahayanya!
Dan Anda keras kepala.
Saya sudah puluhan tahun jadi kritikus.
Saya sudah baca mulai dari Homerus,
Sartre sampai Wiji Thukul!
Jadi jangan membantah.
Stop. Berhentilah menulis.
Minimal di bab ini!”
“Itulah beda antara kritikus sastra
dengan kritikus seni lukis.”
“Maksud Anda?”
“Kalau kritikus seni lukis,
pasti tidak akan menyuruh-nyuruh pelukis
untuk berhenti melukis!”
“Alasannya?”
“Lo, belum tahu kan?
Seorang kritikus pernah bertanya
pada pelukis Affandi.
Kapan dia akan berhenti melukis?
Apa tanda-tanda lukisannya selesai (sudah jadi).
Dan jawab sang maestro itu :
Tanda lukisannya sudah jadi
dan dia harus berhenti adalah kalau dia sudah capek!
Jadi falsafah itulah
yang juga saya anut ketika menulis!”
“Lalu mengapa Anda mengundang saya?
Juga mahasiswa saya ini?”
“Bukan hanya Anda yang saya undang.
Saya juga mengundang jenderal
bahkan presiden!”
“Mereka telah Anda culik
dengan paksa!”
“Sama saja!
Ada yang harus dipaksa dengan ancaman,
dengan rayuan ada pula
yang harus dipaksa dengan uang!”
“Anda terlalu menyamaratakan keadaan
dan menggampangkan permasalahan.
Saya dan juga mahasiswa saya ini
mulai bosan dan  mau pulang.
Saya banyak urusan!”
“Pulang? Enak saja mau pulang.
Proyek ini telah mengeluarkan ongkos
hampir Rp 15.000.000,-
hanya untuk mendatangkan Anda!
Lalu Anda mau pulang begitu saja dengan alasan bosan!
Dengan alasan bahwa saya hanya
menghasilkan sampah dan tai!
Pak kritikus saya sebagai penulis,
telah sengaja memilih posisi yang kering-kerontang
dari sisi menghasilkan uang.
Sebab peluang untuk menulis naskah sinetron,
biografi jenderal atau paket bacaan
Depdikbud bagi saya terbuka sangat longgar.
Tetapi itu semua saya tolak dengan sebuah
kecongkaan dan kedunguan,
demi dunia yang kering-kerontang ini.
Lalu Anda hanya bilang singkat :
sampah dan tai!”
“O, jadi Anda tersinggung?
Sastrawan jangan gampang tersinggung!”
“Saya tersinggung bukan karena
dibilang menghasilkan sampah dan tai!
Saya tersinggung karena Anda sebagai dosen,
guru besar malahan, yang merangkap sebagai kritikus,
ternyata terlalu doyan duit.
Diskusi semacam ini mestinya kan cukup dilakukan
di beranda rumah sambil mengunyah
singkong goreng dan menyeruput teh panas.
Tetapi Anda menuntut hotel bintang,
honor gede, liputan media massa
termasuk CNN dan BBC.
Apa itu wajar?
Sementara setelah itu semua saya penuhi,
komentar Anda sepele : Sampah dan Tai!
Badak, yang sebenarnya juga protes keras pada saya,
Anda cuekin. Tidak Anda komentari.
Lalu tiba-tiba Anda mau pulang!
Bagaimana Badak?”
“Biarkan saja dia pulang Mas.
Serahkan honornya!
Mungkin kita datangkan saja jenderal Wibisono!”
“Baik, silahkan tanda tangan dulu di  sini.
Lima juta kan?”
Ini Mahasiswa Anda cukup Rp 500.000,- saja!
Sekretaris Anda Rp 50.000,-
Sopir Anda cukup dapat nasi kotak.
Selamat siang!”

Mengapa?
Mengapa seseorang harus diinterogasi
diculik
diperkosa
dibujuk dengan uang jutaan
dirayu dengan tepuk tangan
dipuja-puja dengan sorotan kamera
dan serangkaian wawancara
lalu ditokohkan
didewakan
dipuja-puja
diamini
dianggap wali
bahkan nabi
tapi kemudian dilupakan
lalu dilengserkan
diancam
diteror
didemo habis-habisan
dihujat
bahkan akhirnya diseret
ke pengadilan
dijatuhi hukuman mati
lalu dirajam beramai-ramai
di muka khalayak
mengapa?

Puisi dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 


INTEROGASI III

$
0
0

Jenderal itu
pundaknya agak melorot ke bawah
ditindih empat bintang di kiri
empat bintang di kanan
dan sederet tanda jasa di dada.

Bintang-bintang itu gemerlap
sebab berlapis emas
duapuluh empat karat.

Biasanya jenderal itu
berpenampilan gagah
lebih-lebih di depan anak buah
atau ketika disorot kamera tivi
tapi kini
dia seperti sedang berhadapan
dengan presiden
atau jenderal besar bintang lima
pamornya langsung pudar
pandang matanya yang biasa tajam
jadi lunak dan ramah
dia lalu menjadi manusia biasa
Mas Wibisono dari Klaten
yang isterinya suka bawel
dan mertuanya galak
dia lalu minta rokok.

“Merokok bisa mengganggu kesehatan!
Jenderal kok merokok!”
Badak itu membentak dengan suara keras.
Dalam hati jenderal itu heran.
Badak kok bisa ngomong?
Tapi nyalinya untuk bertanya
sudah sirna.
Dia lalu menunduk.

“Sudah berapa aktivis politik
yang kamu culik?”
“Empat puluh!”
“Buset. Banyak banget.
Kata koran-koran hanya duabelas?”
“Sumber mereka sumber sekunder!”
“O! Lalu kamu apakan mereka itu?”
“Ya didor lalu dibuang ke laut.”
“Kok sadis amat kamu itu ya?”
“Saya bagian dari sebuah sistem
dan struktur yang lebih besar lagi
yang sadis ya sistem dan strukturnya itu.
Bukan saya!”
“Lalu huru-hara itu?
Katanya yang menggerakkan dan memprovokasi
anak buah Anda?”
“Memang. Itu berlangsung sampai sekarang.
Mengapa saya hanya diam?
Kembali, saya adalah bagian dari
sebuah struktur dan sistem.”
“Lalu mahasiswa yang ditembak?
Lalu penjarahan? Perkosaan?
Pembunuhan para Ulama itu?
Pembakaran gereja, pembakaran mesjid?”
“Sudahlah, mending kita gaple saja
atau main gundu!”
“Gundu?”
“Golf goblok!”
“O, golf!”
“Itu bisa menghilangkan stres
daripada ngomong soal-soal yang Anda sebut-sebut tadi!”
“Tampaknya kamu ini takut sekali
menghadapi masalah tadi ya?
Jenderal kok penakut!”
“Bukan takut tapi bosen!
Mending kita main gaple saja.
Saya bawa kartunya kok!”
“Badak kok diajak main gaple,
kamu ini jenderal apa?
Presidenmu itu sampai sekarang  belum ketemu kan?
Presidennya diculik kok jenderalnya
tenang-tenang saja!”
“Apa kalau jenderalnya stres
harus ditunjuk-tunjukkan ke kamu,
ke wartawan, ke anak buah?
Diam-diam saya sedang mengatur strategi!”
“Saudara Jenderal, menurut Anda,
Anda itu sukses atau gagal selama ini?”
“Saya merasa dirong-rong
dari kiri dan kanan
dari atas, dari bawah,
dari depan, dari belakang
bahkan anak isteri, keponakan, menantu,
besan, saudara kandung, saudara tiri,
saudara ipar, mertua, semua merong-rong saya.
lihatlah mata saya yang cekung
rambut saya yang penuh uban dan botak di tengah
lihatlah seluruh wajah saya.
hitunglah berapakali dalam sehari
saya bisa tersenyum atau tertawa.
Sulit!”
“Jadi Anda mengaku gagal?”
“Tepatnya begitu!”
“Apakah ada niat
untuk mengundurkan diri?”
“Begini ya.
Dulu itu saya diangkat sebagai panglima secara paksa.
Tiba-tiba saja saya dipanggil presiden lalu diberitahu
akan diangkat menjadi panglima.
Waktu itu saya langsung menolak.
Pertama, saya banyak melangkahi senior saya.
Kedua, saya merasa karir puncak saya itu di Kepala Staf.
Tapi Presiden marah besar.
Dia mengatakan ini perintah, titik.
Sejak itulah sebenarnya
saya merasa hidup saya ini telah gagal.”
“Saudara Jenderal,
Anda jangan melempar tanggungjawab ke pihak lain.
Lalu semua disalahkan.
Anda sendiri kan pribadi yang lembek!”
“Itulah repotnya.
Sebenarnya saya menjadi tentara
itu pun bukan kehendak saya.
Ibu saya itu dari saya masih di TK
sudah ribut agar saya masuk AMN.
Saya sendiri sebenarnya ingin jadi pelukis.”
“Ah masak?”
“Benar. Coba kalau ada kertas dan pensil
saya bikin sket badak.
Pasti bagus!”
“Sebenarnya saudara itu lebih pantas menjadi ajudan.
Bukan panglima!”
“Lo, itu benar!
Sayalah ajudan bapak presiden yang paling disayangi.
Sayang, saat ini saya tidak tahu beliau berada di mana.
Badak, bolehkah saya selaku panglima
atau rakyat biasa mohon ijin untuk sejenak saja
bertemu beliau?”
“?”
“Oh, terimakasih. Terimakasih.
Saya merasa sangat berbahagia!”
“Saudara itu seumur-umur
memang belum pernah menderita.
Belum pernah tahu yang namanya sengsara.
Coba ini kalau ingin tahu rasanya diseruduk badak!”
“E jangan. Tolong jangan.
Ampun.
Saya menyerah.
Tapi.
E jangan diseruduk . . . . . .!”

Badak itu menyeruduk
sang jenderal terjengkang
badak itu menendang
sang jenderal terguling-guling
badak itu ingin menginjak
sang jenderal menjerit.

“Sudahlah Dak! Nanti mati dia!”
“Pengarang jangan ikut campur!
Ini urusan saya dengan dia.
Antara badak dan jenderal!”
“Iya tapi jangan diinjak.
Di dada lagi!
Bisa remuk dan langsung mati.
Sudahlah. Dia sudah sangat ketakutan!”
“Untung saya lagi baik hati.
Meskipun yang melarang pengarangnya
kalau sudah jengkel saya tidak pernah peduli.
Jenderal brengsek!”

Badak itu menendang sekali lagi
lalu pergi.
Jenderal itu berusaha bangun
dengan susah payah
dia lalu duduk
dan tampak kuyu
selama ini dia dihormati
ditakuti
bahkan setengahnya didewakan
tetapi kini?
badak itu memanggilnya
dengan “Saudara Jenderal!”
itu sebuah penghinaan besar
tetapi dia tidak berdaya

Mengapa?
Mengapa tiba-tiba saja dia
bisa tercabut dari komunitas
yang ekstra kuat itu?
di mana ajudan?
di mana pasukan penjaga?
di mana pacar gelapnya?
badak itu datang lagi
apakah ini mimpi buruk?
atau benar-benar terjadi?
atau bagaimana?

“Ini bukan mimpi!
Lihat! Kalau kuinjak kakimu, akan remuk dan terasa sakit.
Mau kuinjak?”
“Jangan! Jangan!
Pak pengarang, tolong.
Badak sampeyan ini!
Tolong!”
“Memangnya dia bisa menghentikan saya?
Tadi saya berhenti bukan karena pengarang itu melarang.
Saya kebelet kencing tahu!”
“O!”
“Saya badak sopan.
Coba kalau kau langsung ditangani oleh pengarang itu.
Dia akan segera kencing di mukamu!”
“Maaf! Maaf pak badak.”
“Saya jangan dipanggil pak.
Saya ini masih remaja!”
“O! Maaf dik badak!”
“Nah begitu! Mau kuinjak.
Atau diseruduk?”
“Tidak! Ampun!”
“Jenderal kok minta ampun.
Kalau ketangkep musuh bagaimana itu?
Saudara ini jelasnya mau ikut siapa sih.
Ekstrim kiri, Ekstrim kanan,
kelompok status quo atau reformis?”
“Saya pakai falsafah kaum Badui Dalam.
Ketika tahun 1971 mereka diminta ikut pemilu,
jawaban mereka tegas.
Mereka tidak mau ikut pemilu dan nantinya
akan ikut yang menang.
Sikap saya sama!”
“Dasar oportunis!
Bagaimana kalau yang menang kaum fundamentalis?”
“Ya ikut maunya mereka!”
“Kalau kaum reformis?”
“Juga ikut maunya mereka!”
“Kalau kuinjak perutmu?”
“Jangan! Ampun pak!”
“Pak lagi! Buka mata lebar-lebar.
Ini manusia atau badak?”
“Anu. Mas badak!”
“Mas lagi! Tadi dik!
Tahu bagaimana kami menculik saudara?”
“Tidak!”
“Paranormal Anda telah menculik salah seekor warga kami.
Gantian saudara kami culik!”
“Lo yang menculik kan paranormal.
Mereka kelompok lain.
Bukan kelompok kami.”
“Saudara itu kan panglima.
Jadi bertanggungjawab terhadap
seluruh keamanan di negeri ini.
Tidak peduli kelompok manapun
kalau melanggar hukum ya ditindak.
Tahu yang disebut hukum?”
“Tahu pak!”
“Pak?”
“Anu, Oom badak!”
“Oom?”
“Mas! Eh dik badak!”
“Tahu nggak hukum?”
“Tahu dik badak!”
“Saudara itu terlalu banyak menikmati hidup enak.
Ikut korupsi.
Memeras cina-cina.
Istrinya, anaknya, adiknya, siapa lagi itu,
semua dijadikan anggota parlemen.
Apa itu pantas?”
“Maaf dik badak.
Status saya saat ini sebagai apa?
Lalu apakah boleh saya bertemu langsung
dengan pengarang buku ini.
Mungkin saya bisa kasih proyek ke dia
hingga tidak perlu repot-repot bikin buku semacam ini.
Boleh dik badak?”
“Ketemu yang ngarang? Kok enak sekali?
Saudara bisa ketemu badak saja sudah lumayan.
Apa mau saya pertemukan dengan ular belang?
Atau macan tutul? Atau ulat bulu?
Atau lebah hutan?”
“Jangan! Sudahlah.
Dengan dik badak saja cukup!”
“Ya, jadi status Anda adalah terculik.
Jadi sama dengan presiden saudara.
Terculik!
Tadi katanya ingin ketemu dengan presiden?
Nanti akan diatur.
Tetapi tidak sekarang. O, ya, rumah saudara berapa?”
“Rumah dinas atau pribadi?”
“Ya rumah pribadi goblok!”
“Dua!”
“La yang di Bandung?”
“Yang di Bandung satu!”
“Di Malang?”
“Di Malang satu!”
“Di Medan?”
“Di Medan satu!”
“Jadi semua berapa?”
“Lima, ditambah di Cisarua satu
di Carita satu jadi ada tujuh!”
“Di LA katanya juga ada?”
“Di Boston!”
“Di Pert juga ada kan?”
“Hanya apartemen kecil.”
“Katanya di Madrid juga ada?”
“Tidak ada. Di Bahrain malahan ada
tapi atas nama keponakan.”
“Anak-anaknya sekolah di mana?”
“Semua di Boston!”
“Berapa sih semua?”
“Tiga! Laki dua perempuan satu!”
“Yang di Senggigi?”
“Itu anak bawaan dia.
Dengan saya belum ada!”
“Dia siapa?”
“Ala, Dik badak ini!
Pura-pura tidak tahu. Ya pacar saya!”
“Katanya di Wamena juga ada?”
“Tidak! Itu hanya isyu!”
“Wah, Jenderal kok kayak gitu?”
“Begini dik, katanya warga badak itu minta merdeka
dan minta wilayah seluruh pulau Jawa.
Sebenarnya saya pribadi bisa mengaturnya.
Tapi saya ingin ketemu presiden
dan kalau bisa juga dengan
pengarang buku ini!”

“Pak Wibisono?”
“Lo, la ini dia pengarangnya!
Mas Rahardi ya?”
“Benar Pak. Maaf, para badak itu
memang agak nakal.”
“Saya mengerti. Saya bisa memahami.
Sudah berapa lama Mas Rahardi menggarap buku ini?”
“Sudah hampir dua tahun!”
“Dua tahun? Lama ya?
Sebenarnya begini Mas.
Saya itu sudah agak lama didorong oleh teman-teman,
juga oleh ibunya anak-anak……..!”
“Soal biografi itu Pak?”
“Benar! Kok Mas Rahardi sudah tahu?”
“Saya kan pernah dikontak Mayor Basuki.
Katanya utusan Bapak?”
“O, iya. Dulu!
Sudah lama sekali itu ya.
Tapi katanya Mas Rahardi sedang repot.
Sebenarnya kan bisa dibentuk Tim.
Artinya ada yang nulis,
ada yang wawancara,
mengumpulkan data,
lalu Mas Rahardi hanya koordinator saja,
tidak usah kerja.
Biar yang lain-lain saja yang repot.”
“Begini Pak. Sebenarnya saya bukan sedang repot.
Tetapi saya merasa tidak mampu.
Saya tidak sanggup.”
“Lo, saya memang pernah dengar dari teman kritikus,
katanya Mas memang tidak mau!”
“Tidak sanggup itu memang bisa juga diartikan tidak mau!”
“O, ya kalau begitu tidak apa-apa.
Mungkin saya baru bisa memberi honor kecil.
Jadi wajar kalau Mas Rahardi menolak.
Tapi saya tetap mengharapkan bantuannya
entah dalam bentuk apa, suatu ketika nanti.”
“Sekarang bapak ingin bertemu presiden?”
“Yang penting sebenarnya ketemu Anda.
Tapi kan sudah ketemu ya?
Kalau Mas Rahardi bisa membantu,
saya akan sangat berterimakasih.”
“Saya hanya bisa menghubungkan dengan petugasnya,
tetapi keputusan akhir tetap ada di tangan mereka!”
“Tapi benar Mas Rahardi tidak bersedia nggarap proyek ini?”
“Sampai saat ini saya belum bersedia!”
“Kalau begitu saya minta pamit dulu.”
“Silakan Pak.
Sampai ketemu lagi nanti.”
“Ya! Permisi!”

“E, nanti dulu!
Ini pengarangnya juga goblok.
Jenderalnya sok tahu lagi.
Saudara ini terculik.
Yang ngarang ini bagaimana sih?
Terculik kok mau dilepas begitu saja.
Transaksi proyek lagi.
Di depan saya lagi.
Di depan kritikus katanya tidak mau
nggarap biografi jenderal.
E, diam-diam di belakang diembat!
Kalau sudah namanya duit, memang bisa bikin silau mata!”
“Lo, dia tetap menolak orderan saya!
Dik badak ini bagaimana?”
“Saudara terculik kembali ke tempat
dan jangan ikut nimbrung.
Tadi kan sudah saya larang
untuk ketemu dengan pengarangnya.
Kok tiba-tiba nyelonong?”
“Saya tidak tahu!
Tiba-tiba saja Masnya sendiri yang datang!”
“Ngapain ikut-ikutan ngurus terculik?
Ini urusan saya tahu! Atau minta saya hajar juga?
Minta saya seruduk? Saya injak-injak?”
“Lo, saya ini kan yang ngarang buku ini?”
“Tidak peduli! Biar jenderal, biar presiden,
biar pengarangnya sendiri kalau menyalahi prosedur
harus saya hajar!
Tahu?”
“Ya! Maaf! Tadi saya memang keliru.”
“Nah, tolong lain kali jangan diulang.
Kalau sampai terjadi lagi,
saya akan langsung angkat kaki ke Ujung Kulon.”
“Sekarang jenderal ini mau diapakan?”
“Kita kirim saja ke istana Bogor!”
“Oke, saya akan siapkan body transfer.”

Jenderal itu
dengan seragam yang mulai lusuh
dengan perut lapar
dengan nyali yang sudah
menciut drastis
masuk ke peralatan body transfer
lalu tahu-tahu sudah berada
di istana Bogor
yang penuh dengan badak
ratusan
mungkin ribuan.

Puisi dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 


INSIDEN DI MARKAS BESAR

$
0
0

Sepanjang hari
sepanjang malam
berhari-hari
berminggu bahkan berbulan
bangunan bertingkat itu
dijaga ketat.

Apakah yang disimpan di sana?
pesawat tempur canggih?
senjata kuman?
kapal selam nuklir?
dokumen penting?
emas batangan?
permata berharga?
tokoh GPK?
pacar gelap?
atau apa?

Tidak ada apa-apa
di sini hanya ada gedung
dan di dalamnya ya kantor biasa
pesawat-pesawat tempur ada di Halim
sebagian di Madiun
senjata kuman tidak ada
kapal selamnya di laut
dokumen penting ada di BIA
ada di BAKIN
emas batangan di gedung BI
permata berharga tempatnya di museum
tokoh GPK di Cipinang dan Rutan Salemba
pacar gelap disekap di Cisarua.

Jadi ini hanya simbol
sesuatu yang harus mati-matian
dipertahankan
supaya kelihatan penting
dan misterius
untuk apa?
untuk pamer kekuatan?
untuk jaga gengsi
atau sekadar pantes-pantes
karena di mana-mana
termasuk di Pentagon
juga di Alengkadiraja
ya memang begitu?

Maka ketika tersiar kabar
bahwa badak-badak akan
menyerbu markas besar itu
penjagaan pun diperketat
berlipat-lipat.

“Tetapi den, yang akan menyerbu itu
bukan badak sembarang badak!”
“Maksudnya bagaimana mbah?”
“Ini badak gaib.
Badak yang tidak sakbaene!”
“Badak jadi-jadian maksudnya?”
“Badak siluman? Siluman badak?”
“Juga bukan!”
“Ini badak biasa tetapi gaib!”
“Sudahlah bilang saja siluman badak!”
“Bukan! Bukan siluman!”
“Ya sudahlah, tapi yang penting kan
harus ada penangkal secara gaib pula.
Secara paranormal!”
“Ki Gendeng Saestu?”
“Wah, jangan pakai dia!”
“Lalu siapa?”
“Banyak! Mungkin Ki Joko Pinter lebih baik.”
“Ya, yang penting keamanan Markas Besar ini
bisa terjamin!”
“Apa panser, tank, artileri berat,
helikopter dan kamera video, alat penyadap
belum cukup menjamin?”
“Belum. Buktinya presiden terculik, panglima terculik!
Pembicaraan penting tersadap dan bocor.
Kita perlu paranormal.”

Maka duapuluh tujuh paranormal
(9 + 9 + 9 = 27)
dikerahkan
mereka menjaga empat titik
mata angin
mereka berpuasa
bermeditasi
dan bertelanjang bulat
memohon entah
kepada Tuhan entah Setan
agar markas besar itu tetap kokoh
dan kuat.

Panser
helikopter
meriam
senapan mesin
penyembur gas air mata
anak panah
granat
ketapel
sangkur
kelewang
bambu runcing
semua disiapkan
termasuk anjing pelacak
kuda balap
motor tril
dan delman.

Semua itu siap
tetapi tegang
semua menunggu

“Tetapi siapa musuh kita?”
“Katanya para badak?”
“Ah mana mungkin badak jawa yang cuma 50 ekor
dihadapi dengan kekuatan tempur seperti ini?”
“Tetapi badak kan kuat?”
“Tetapi mereka mau apa kemari?”
“Kalau hanya mau makan rumput
dan daun-daun palem kan boleh saja!”
“Siapa tahu di cula mereka itu telah terpasang
kamera super canggih
atau malahan bom nuklir
dari negeri musuh?”
“Musuh kita negeri mana sih? Amerika?
Inggris, Cina atau Australia?”
“Musuh kita dalam selimut!”
“Lo, menusuk teman seiring dong?”
“Ya, menggunting dalam lipatan!”
“Lempar batu sembunyi tangan!”
“Ada udang dibalik batu!”
“Ada udang goreng di Pecenongan!”
“Hus! Itu musuh datang!”

Semua siaga
panser
helikopter
kanon
senapan mesin
radar
dan limapuluh badak berjalan
dengan sangat santai
duapuluhtujuh paranormal
mengejan.
“Ek, ek, ek!”
menahan napas
dan siap melontarkan kesaktiannya
“Brot, tuit! (kentut)
meriam lalu ditembakkan.
“Bum”
“Jegur”
seekor badak terjungkal
kepalanya hancur
darah menggenangi aspal
badak-badak lain terus berjalan.

“Damai!”
“Damai!”
“Kami cinta damai!”
“Kami anti kekerasan. Walau kulit kami sekeras aspal!”
“Kami tidak menjarah!”
“Kami tidak merusak!”
“Kami hanya ingin meluruskan yang bengkok!”
“Kami ingin menambal yang bolong-bolong!”
“Kami ingin mengobati luka-luka bangsa!”
“Bum”
“Jegur”
Seekor badak lagi
terjungkal
perutnya bedah
seluruh isinya terburai
darah mengalir di rerumputan.

“Kami hanya ingin rumput
bukan gandum
bukan padi!”
“Kami hanya makan sebatas kapasitas!”
“Kami tidak pernah menimbun!”
“Damai!”
“Kami cinta damai!”
“Damai tapi gersang!”
“Kami tidak benci!”
“Benci tapi rindu!”
“Jegur, jegur, jegur!”

“Bapak tidur bersandar pualam
pualam lunglai di atas tatakan
badak tersungkur dihajar meriam
gerakan damai dibalas tembakan.”

“Lo, itu badak beneran!
Bukan siluman badak!”
“Padahal paranormalnya sudah terlanjur
ngeden-ngeden dan setep!”
“Pakai kentut segala!”
“Kasihan tiga badak jadi korban!”
“Padahal badak cula satu kan tinggal 50 ekor?”
“Wah kalau menteri lingkungan tahu!”
“Kalau ada wartawan!”
“Kamera! Awas kamera-kamera itu!”
“Kalau WWF melihat rekamannya!”
“Ini gawat!”
“Kalau Unesco mendengarnya?”
“Infonya tadi bagaimana?”
“Sandinya apa sih?”
“Kok sampai keliru?”

“Damai!”
“Damai!”
“Teror harus dihadapi dengan nyali tinggi!”
“Peluru harus dihadapi dengan dada tegak!”
“Kami bukan musuh!”
“Kami bukan perusuh!”
“Kami tidak menjarah!”
“Jer basuki mawa nyawa!”
“Suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti!”
“Pangastuti!”
“Tuti?”
“Mbak Tutik!”
“Lo kok Mbak Tutik ada di sini?”
“Stt! Lagi tugas!”
“Lo sekarang dinasnya di mana? Di Mabes?”
“(mengangguk/senyum)”
“Kok pakai preman dan bawa kamera?”
“(berbisik) Menyamar!”
“O!”
“(senyum) Sudah ya!”

Mbak Tutik
Mas Pono
Tarigan
Muslich
Robert
semua berpakaian preman
dan membaur dengan massa.

“Yang berbahaya bukan badaknya!”
“Badak-badak itu cuma aksi damai!”
“Damai-damai tapi nanti menyeruduk!”
“Apa panser itu kalau diseruduk badak ya bakal roboh?”
“Yang berbahaya ya para wartawan itu!”
“Kameraman itu!”
“Kalau sampai rekaman itu lolos ke luar negeri!”
“Ayo kita urus mereka!”
Tiba-tiba
pasukan keamanan itu melepas
para badak
dan ganti mengepung wartawan
para wartawan itu bingung
dan kamera-kamera itu
tape recorder
block note
semua dirampas
bokong wartawati  ditendang
ada yang didorong-dorong lalu jatuh
lalu terinjak-injak.

Seorang wartawati bule diuber
ditarik bajunya dan sobek
kelihatan BH-nya
dicolek teteknya
lalu dia marah
lalu semua
dihajar pentungan
tak ada seorang pun yang bisa lolos.
“Sudah! Biarkan mereka pergi!”
“Yang penting rekaman mereka kita rampas.”
“Kami protes keras!”
“Silahkan protes!
Yang penting gambar-gambar itu tidak tersiar keluar!”
“Tidak tersiar bagaimana?”
“Rampas!”
“Gebuk.”
“Perkosa saja itu wartawati bule!”
“Ayo!”
“Sekarang aman! Tak ada yang merekam!”
“Bantai para Badak!”

“Jegur!”
“Bum”
“Pletak!”
“Gedebuk!
Satu lagi badak tergeletak

“Damai”
“Damai di bumi!”
“Silahkan rampas kamera!”
“Silahkan gebuki wartawan!”
“Bunuhlah semua badak!”
“Gambar-gambar itu tetap terekam dari langit!”
“Dari satelit?”
“Dan langsung disiarkan?”
“Jadi adegan pembantaian ini?”
“Adegan perkosaan tadi?”
“Wartawan yang digebuki?”
“Sudah disiarkan!”
“Langsung!”
“Bagaimana cara menghentikan siaran langsung ini!”
“Siapa yang bisa disogok?”
“Atau diancam?”
“Telepon saja suruh menghentikan!”
“Siapa yang harus ditelepon?”
“Kalau begitu yang punya tivi
dipaksa untuk mematikan tivi masing-masing!”
“Listriknya saja dipadamkan.”
“Telepon PLN!”
“Lo bagaimana? Tidak mau?”

Badak-badak itu lalu bersimpuh.
“Apa yang Anda takutkan dari kami?”
“Mengapa ketakutan itu demikian Anda pelihara?”
“Berbuatlah baik maka tak ada yang perlu ditakuti!”
“Takut itu naluri paling dasar manusia.
Takut binatang buas.
Takut bencana alam.
Takut mati kelaparan.
Itu ketakutan manusia purba.”
“Manusia modern takut pada atasan.
Takut kekuasaannya tumbang.
Takut borok-borok kehidupannya terbongkar.
Makanya jangan punya borok.
Kekuasaan akan awet
kalau memakmurkan rakyat!”
“Lalu kita mau ngapain ini? Duduk-duduk atau ngamuk?”
“Jangan ngamuk tanpa perlu!”
“Kalau begitu kita duduk-duduk saja.”
“Gaple?”
“Jangan! Kita nyanyi saja!”
“Berpantun!”
“Nyanyi! Berpantun susah. Bikin pusing!”
“Pantun asal-asalan saja!”

“Kondom bocor ditambal aspal
Aspal cair bayipun lahir
Kokom tidur di atas bantal
Bantal berupil dicium Amir.”

“Jelek!”
“Jorok lagi!”
“Kalau begitu kita tidur!”
“Kita nonton siaran ulang insiden barusan!”
“Ya, mari! Mana tivinya?”
“Tidak usah pakai tivi.
Listriknya dimatikan PLN
atas perintah yang berwajib.”
“Lalu?”
“Kita setel langit.
Kita lihat siaran langsung
dan rekaman insiden barusan.”

“Ceklik”
“Greng-greng-greng.”
Tiba-tiba langit tersibak.
“Kok ada tivi raksasa di langit?”
“Kalau siaran di bumi disensor, direkayasa,
dihimbau, dibeli dan kini listrik dimatikan,
maka langit akan menyiarkan secara langsung
borok-borok kehidupan
yang selama ini disimpan.”

“E, kok teteknya dicolek!”
“Itu yang dikepruk!”
“Pletak.”
“Jegur!”
“Buset itu tiga teman kita kepalanya hancur!”
“Greng-greng-greng
(bumper out)

“Masak siaran dari langit ada iklannya?”
“Gruduk-gruduk-gruduk.”
“Plung!”
“Lo itu Madona sedang beol
di apartemennya?”
“Hus itu iklan kloset!”
“Dor-dor-dor!”
“Jegur.”
“Bum!”
“Lo, tembakan apa lagi itu?”
“Mereka menembak ke langit.”
“Mereka marah karena
meski kamera sudah dirampas,
meski listrik sudah dipadamkan,
meski stasiun tivi  sudah dibeli,
ternyata masih ada siaran langsung
dari langit!”
“Hei, badak-badak,
siapa yang telah menyetel langit?”
“Tuhan!”
“Hus! Tidak boleh.
Yang tadi itu tidak boleh disiarkan
oleh siapa pun, kapan pun dan di mana pun!
Itu mencemarkan nama korps tahu!
Ayo tembak terus!”
“Jegur!”
“Bum!”
“Gusti Allah kok dibedili?”
“Hak cipta huru-hara dan perkosaan itu ada di tangan kami!
Kami menuntut royalti dari langit!”
“Tuntut saja itu matahari yang mencorong!”
“Siapkan para pawang
untuk mendatangkan mendung dan hujan!”
“Siap! Pawang beraksi!”
“Kedumel-kedumel-kedumel.”
(mantera dibaca!)
Mendung menggayut
hujan turun
mula-mula gerimis
lalu mengguyur sangat deras
siaran dari langit itu berjalan
terus.

“Orang sak jagat
telah melihat huru-hara barusan!”
“Ketiwasan Pak De!”
“Mbak Tutik! Sampeyan ini bagaimana sih?
Informasinya kok tidak akurat?”
“Informasi apa?”
“Itu kok masih terus siaran?
Belum ditelepon ya?”
“Telepon siapa? Itu siaran langsung dari langit.
Mau telepon Malaikat Jibril?”
“Kalau begitu kita akan kalah.”
“Kita menyerah saja!”
“Kita kalah bukan karena musuhnya kuat!”
“Kita memang tidak punya musuh kok.
Yang kita anggap musuh,
sebenarnya kan bukan musuh?”
“Jadi siapa sebenarnya musuh kita?”
“Ya dengkulmu itu sendiri musuhmu.”
“Jidatmu juga!”
“Kita kalah karena harus melawan diri kita sendiri!”
“Lalu?”
“Prek!”
“Diancuk!”
“Pejajaran!”
“Kita harus lapor ke siapa?”
“Ya, Panglima tidak ada.”
“Presiden juga tidak ada!”
“Kalau begitu kita kabur!”
“Ayo ke Singapura!”
“Ke Yordania!”
“Umroh dulu!”
“Tidak usah ke mana-mana
juga tidak apa-apa!”
“Asal jidat kita
ditempeli stiker
Reformasi!”

Puisi dumuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 


EPISODE MALAM

$
0
0

Ngantuk
tapi tidak boleh tidur
lapar
tapi tidak boleh minum
haus
tapi tidak ada yang bisa diminum
hujan
tapi tidak boleh minum
gelap
tapi tidak boleh meraba-raba
tidak boleh merem
petir
tapi tidak boleh menyambar
geledek
tapi keras sekali kedengaran.

Tak kelihatan bulan
tak kelihatan angin
bintang-bintang menyusup jauh
ke dalam benakmu ke dalam
matamu
dan dingin
tetapi tidak boleh berpelukan
tidak boleh saling memandang
kentut
tapi tidak boleh keras-keras
nanti bau.

Semua harus tetap sopan
dan menggelinding
di rel masing-masing
semua harus berfungsi sesuai
dengan kelaziman
kentut harus lewat dubur
bersin tidak boleh diarahkan
ke siapapun
lalu semua harus menahan napas
berkonsentrasi
kaki bersila
tangan sedekap
kepala tetap di atas leher
baju-baju dikancingkan
mata boleh kedip-kedip tapi
jangan terlalu sering
sepi
hanya riuh aliran darah dari aorta
hanya gedebur jantung
yang memompanya.

Kosong
tapi tidak usah kecewa
cemas
tapi jangan terlalu takut
hitam
karena malam dan
listrik padam
keras
karena tak ada bantal
tak ada kasur
harus
karena memang begitu ketentuannya
sudah
mungkin seseorang atau seseekor
yang membereskannya
kapan?
bisakah dicatat jamnya
detiknya, menitnya
tanggal dan harinya
bulan dan tahunnya
hari pasarannya
wetonnya
shionya
bintangnya
virgo atau gemini?
sedih
tetapi semua sudah terlanjur
mari kita sate kontol kambing
lalu dibubuhi merica
dilumuri kecap dan cabai
dan bawang.

Mari kita menyedot oksigen
mengingat-ingat bau angin
atau warna-warni pelangi
atau kepulan asap cerobong pabrik
atau kabut tipis
di puncak gunung Salak
menunggu
tapi tak ada yang akan segera datang
melolong-lolong
lolongan serigala kedinginan
lemas
lunglai
habis sudah tenaga dihamburkan
untuk demo
untuk protes
untuk mondar-mandir dari
rumah ke kampus dari kampus
ke keramaian kota
lalu maling-maling mengangkat
sumpah jabatan
sambil menyantap sate kambing
dan menenggak bir hitam
lalu malamnya nonton
ketoprak humor
sambil memeluk lonte
yang merangkap jadi bintang sinetron.

Habis
ketika itulah kita harus siap
untuk menangani apa saja
secermat mungkin
masih bisakah kita menggadaikan
hujan?
masih mungkinkah kita
menjual angin
atau sempatkah kita
membongkar pegunungan Jayawijaya
dan mengambil emasnya
tembaganya
peraknya
kotekanya
untuk foya-foya?

Seekor cicak
dalam gelap malam
masih bisa mencari makan
juga tokek dan tikus
dan burung-burung hantu
serta kelelawar itu masih
dengan mudah menggerogoti buah jambu
tetapi manusia?
yang tinggal di kardus-kardus itu
yang melingkar di bawah jembatan
layang?
dapatkah mereka menuntut
jatah oksigen dan air lebih
dari yang seharusnya?

Marilah kita biasa-biasa saja
mengarahkan tangan untuk hanya
mengambil secukupnya
sesuai dengan kepantasan
sesuai dengan hak kita masing-masing
tanpa perlu menyerobot
berselingkuh
atau maling
tapi merampok tetap boleh
kalau yang melakukan atasan.

Jadi masih bolehkah seekor kerbau
atau monyet
atau kecoak
masuk ke Istana Negara
bercengkerama di jalan Thamrin?
dan membangun jembatan layang dari
Istiqlal ke Katedral
tetapi
sebelum hujan itu makin deras
dan telingamu makin merasakan
denyut malam mengendor
lebih baik tak usah memikirkan
masa depan kerbau
nasib baik moyet
dan cara memperbaiki kehidupan kecoak.

Marilah kita rileks
menikmati oksigen gratis
dan air gratis
yang mengucur dari langit
bukalah mulutmu lebar-lebar
lalu tengadah di tengah
lapangan
dan rasakan hujan yang dikirim
langsung oleh Tuhan itu
masuk ke kerongkongan
membasahi rohmu yang tandus
dan kering-kerontang.

Mari
kita buka baju
buka celana
termasuk BH dan celana dalam
lalu hanya berkain sarung
kita longgarkan dada
kita buka hidung yang mampet
lalu tangkaplah hawa hidup
sebanyak mungkin
tanpa debu tanpa asap beracun.

Tetapi
masih adakah dua paru-paru
yang terpasang cukup baik
dan bisa kembang-kempis
seperti kemarin-kemarin?
mengapa tak ada jawaban?
mengapa hanya batuk-batuk
yang makin keras
mengapa tidak pernah secara tegas
kau tentukan pilihan
dari empat mata angin yang
tersedia
utara
selatan
barat
atau timur?
atau kau akan terus-terusan
menunduk dan menghitung jari-jari
kakimu
apakah masih genap duapuluh?
atau akan kau dongakkan kepalamu
ke atas hingga
lehermu dapat leluasa bersentuhan
dengan angin?

Sementara itu
kita tetap boleh mengulur
mimpi-mimpi kita
ke segala arah
menembus tembok Grand Hyatt
dan menjumpai seorang jenderal
sedang memeluk gundiknya
dengan nafsu yang menggelora
lalu dangan mimpi yang lain lagi
kita bisa sampai ke sebuah pesantren kecil
di pulau Madura
dan seorang kiai masih sangat setia
melafalkan ayat-ayat Al Qur’an
yang menggema di antara
pelepah daun nipah.

Mimpi itu merdeka
mimpi itu boleh menjarah
toko-toko
boleh memanggang tubuh-tubuh
yang tertembus peluru
dalam kobaran api
di sebuah pusat perbelanjaan
mimpi itu boleh memperkosa
gadis-gadis cina dan membantai para ulama
mimpi itu boleh memorak-porandakan
Jakarta, Kupang, Ambon, Kosovo,  Dili atau
Los Angeles sekalipun.

Tetapi bolehkan mimpi itu
tiba-tiba menjadi
tontonan di televisi
dan dicetak tebal
di koran-koran
lalu menjadi trauma berkepanjangan
menjadi luka yang menganga
di jantungku
di paru-parumu
di aorta mereka?

Malam adalah saat yang tepat
untuk mengistirahatkan luka-luka
tetapi ledakan-ledakan itu
pasti bukan petasan
bukan lagi mimpi
mari
kita masing-masing membawa
sekop
cangkul
kita gali kuburan kita masing-masing
di tempat yang paling nyaman
di atas bukit kapur
di bawah kerindangan tajuk
pohon jati
lalu kita bisa memandang anak cucu
terengah-engah mendaki tanjakan
terjal itu
sambil menjinjing sekantung kembang
dan seikat kenangan
tentang wangi melati
dan harumnya cempaka
tetapi jangan kau tonton lagi
televisi
jangan kau baca
head line koran
jangan kau dengarkan
berita-berita di radio mancanegara
jangan kau pencet-pencet keyboard Internet.

Marilah kita dengarkan
angin yang
menggoyang daun-daun jati
dan kita lihat sawah-sawah
jauh di bawah sana
yang masih ditanami padi
dan belum dilapisi aspal
serta dipancangi tiang-tiang beton
tetapi
sawah-sawah itu hanyalah
sebuah siklus
suatu ketika akan berwarna hijau
lalu menjadi kuning
dan kemudian merah kecokelatan
lalu kembali ke hijau lagi
tidak mungkin sawah-sawah itu
akan kuning terus atau hijau abadi
atau selalu merah kecokelatan
dan di malam hari
semua akan menjadi hitam
remang-remang
dan tak ada yang bisa dilihat.

Kecuali mimpi-mimpi itu
mimpi buruk
mimpi bidadari
mimpi yang tak diharapkan
tapi tiba-tiba jadi kenyataan
dan mimpi yang diidamkan
tapi tak pernah bisa diwujudkan.

Ayam berkokok
tapi tak boleh diartikan
sebentar lagi akan pagi
angin meluncur dengan kecepatan
di atas 100 km per jam
dan kedengaran sangat keras
tapi jangan diharapkan
langit akan segera tersibak
lalu bintang-bintang
lalu bulan memamerkan
keindahan Ilahinya
apakah mendung itu
badai itu
hanya kita lihat
sebagai malapetaka
sebagai sesuatu yang mencemaskan?

Padahal
kita bisa menikmati keindahan
gerak topan
guyuran hujan dan angin
dengan menyatukan diri kita
dalam irama yang sama
marilah kita menjadi camar
menjadi elang laut
yang bisa lentur
dan meliuk-liuk
lalu hanyut
terbawa arus
tanpa dihancurkannya
atau batang-batang kelapa
yang ramping dan hanya
melambai-lambai
ketika badai itu
menawarkan pesonanya.

Tapi
apakah besok pagi matahari akan
terbit lagi dari timur?
apakah warna hitam
warna abu-abu gelap
akan diganti pelangi warna-warni
atau hanya akan ada warna
putih buram?
kita hanya bisa yakin
kita hanya boleh percaya
apakah diri kita ini
benar-benar ada
atau hanya fatamorgana
kita tidak pernah tahu dengan pasti
bahkan bisa saja kita
merasa terheran-heran
mengapa tiba-tiba saja kita ada
dan mengapa di sini
di ruang ini
di saat ini
bukan di Antartika
bukan di Tibet
bukan di galaksi lain
bukan di milenium lain?
kita tidak akan pernah tahu
padahal kita ingin sekali tahu
dan akan terus berusaha supaya tahu
meskipun kita sadar upaya itu
akan sia-sia.

Semua akan tetap menjadi
rahasia abadi.

Jakarta
deru lalulintas yang jauh
terpantul beton pencakar langit
terpantul aspal
deru yang makin melemah
kadang-kadang bunyi sirene
kadang letusan entah apa
lalu musik atau
suara nyanyian mendayu-dayu
mungkin dari radio, barangkali suara tivi
atau kaset atau CD
sekali-sekali deru sepeda motor
trek-trekan
lalu sebilah sepi yang sangat
tajam
menghunjam leher
dan mengoyak jantung

Tetapi kita tidak kunjung mati.
Sepi hanya menindih
dengan dingin
dan tidak terlalu keras
tetapi sangat terasa
dan meninggalkan
beberapa goresan yang dalam
dan panjang.
“Nglangute mas yen ngene iki!”
“La kowe kuwi ora narik mau?”
“Narik! Tekan jam loro!”
“Awit esuk?”
“Setengah limo mangkat. Seko ngomah jam papat!
Wingenane bar lebaran kae aku mangkat jam telu saben dino.
Rong dino ngedur ora ona penumpang.
Rekane nggolek lengganan bakul janganan. Ora entuk.
Mangkat jam limo entuk limolas.
Mangkat jam telu entuk limolas.
Pada wae!”
“Bar lebaran?”
“Iya – Let sedino!”
“Ya durung ana uwong.
Iki mau wae sepi terus kok.
Biasana telung rit wis entuk setoran.
Wingi-wingi kuwi sedilit wae entuk nem rit,
nanging ora ana duwite. Ngentek-enteke gas!”
“Nek gas rak murah?”
“Iyo. Nek bensin ya modar tenan!
Mbok disetel tivine kuwi!”
“Walah, apa kuwi – Siaran langsung kok – Pidato.
Ngendi-endi pada.”

(Suasana begini benar-benar nggak enak ya Mas?
-Tadi kamu tidak narik?
-Narik cuma sampai jam dua
-Dari pagi?
-Setengah lima pagi start. Jam empat dari rumah.
Tempo hari habis lebaran  itu berangkat jam tiga pagi tiap hari.
Dua hari berturut-turut tidak dapat penumpang.
Maunya cari langganan pedagang sayur, tidak dapat juga.
Berangkat jam lima pagi dapat limabelas.
Berangkat jam tiga pagi juga dapat limabelas. Sama saja
-Habis lebaran?
-Iya, selang sehari
-Ya belum ada orang. Ini tadi juga sepi terus.
Biasanya tiga rit sudah dapat setoran.
Kemarin-kemarin sebentar saja sudah dapat enam rit,
tetapi tidak ada uangnya. Ngabis-ngabisin gas.
-Kalau gas kan murah?
-Iya, kalau bensin ya benar-benar mampus. Tivinya itu disetel!
-Wah, apa ini? Siaran langsung. Pidato. Di mana-mana sama)

Sepi
di rumah petak itu
dua sahabat
sopir mikrolet
terus ngobrol tentang pekerjaan mereka
diterangi bolam 15 wat
yang sinarnya kuning pudar
ditemani teh tubruk kental
dan keretek murahan.

Malam terus menghunjamkan
cengkeramanya ke tengkuk Jakarta
yang semakin renta
semakin terbungkuk-bungkuk.

Puisi dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 


Proyek X

$
0
0

Terminal D, Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jakarta, tanggal 17, matahari sangat terik, wajah-wajah sumringah menunggu di beranda kedatangan. Panitia penyambutan siap dengan segala perangkat. Seorang gadis belia cantik jelita memegang erat rangkaian lily, mawar, dan anyelir, siap dikalungkan ke leher Sang Tamu Agung, yang sebentar lagi akan datang. Wartawan koran, majalah, tabloid, radio, kantor berita, televisi, news dot com, semua bersiaga dengan peralatan masing-masing. Semua tegang menunggu kedatangan tamu istimewa ini. Perwakilan resmi dari event organizer, mengenakan jas, berdasi, dan yang perempuan berblazer, dengan rambut tersanggul rapi. Semua berderet layaknya pager ayu dalam ritual sakral upacara adat pernikahan Jawa para bangsawan keraton. “Siapa yang akan datang? Ya, siapakah yang akan datang sekarang ini? Seorang penyanyi rock dari Amrik, atau pemain handal Inter Millan? Kok tidak ada yang tahu sih? Aku harus tanya ke siapa ini?”

Sudah sejak berbulan silam, terbetik kabar, bahwa Jesus Kristus, Alah Putera, Nabi Isa Al Masih Alaihissalam, akan datang ke Indonesia dengan pesawat khusus. Pesawat itu akan mendarat di Terminal D, Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jakarta. PT Garuda Perkasa Entertainment, sebuah EO terkenal, telah berhasil menangkap peluang emas ini. Awalnya, perusahaan EO ini harus bersaing ketat dengan ratusan perusahaan EO lain, termasuk yang dimiliki oleh para elite bisnis, dan politik Indonesia, guna memperebutkan Proyek X. Ini sebuah proyek rahasia, untuk mendatangkan Isa Al Masih ke negeri yang 80% penduduknya Muslim. EO itu saling jegal, saling menjatuhkan, saling menjerumuskan. Maka, hari yang ditunggu-tunggu itu pun tibalah sudah. Rombongan penjemput tamu agung, termasuk kaum jurnalis, sudah sedari pagi tadi bersiaga penuh di beranda kedatangan Terminal D Bandar Udara Soekarno – Hatta, Jakarta. Mereka gelisah. Mereka tegang.

“Jadi katanya beliau itu benar telah turun dari surga, tepat di pelataran Kubah Sakhrah, atau The Dome of The Rock itu, di Kota Suci Jerusalem itu, lalu dengan jip militer, dan pengawalan super ketat, dibawa menuju Queen Alia International Airport, Amman,  Jordania. Katanya, di Queen Alia sudah disiapkan sebuah Boeing 737 – 200, yang dicarter panitia dari Royal Jordanian Airlines, untuk mengangkut beliau, dan rombongan langsung ke Jakarta. Apakah benar begitu informasinya Bapak-bapak dan Ibu-ibu? O, jadi memang benar ya? Ya kalau itu semua hanya sekadar rumor, tentu Bapak-bapak dan Ibu-ibu ini tidak akan berada di sini bukan? Dari pagi tadi menunggu dan terus menunggu, tentu capek sekali, dan tidak mungkin kalau ini semua hanya sekadar isu. Tetapi aku sedikit ragu. Firasatku, kita semua ini akan ditipu. Biasalah kelakuan panitia itu memang selalu begitu. Kita menunggu di sini, tamunya diselundupkan lewat jalan tikus, dan tahu-tahu sudah ada di hotel.”

Di tengah ketegangan menunggu, seorang wartawan super senior tampak sibuk membaca pesan singkat di telepon selulernya, lalu bergegas ia mendekati para wartawan yunior. Mereka tampak saling berbisik. Tidak lama kemudian seluruh wartawan itu berhamburan keluar dari beranda kedatangan. Bergegas mereka menuju pintu lain. “Benar kan? Ini memang tipuan klasik. Ada gadis cantik siap dengan karangan bunga di ruang kedatangan, eee, tamunya nyelonong lewat pintu samping. Tetapi kami-kami ini kan bukan wartawan kemarin sore toh? Kami-kami ini juga punya mata, punya telinga, punya tangan, dan punya kaki yang berada di dalam sana. Semua tipu daya yang mungkin terjadi, sudah kami antisipasi. Kami sudah menyiapkan tim lain di semua pintu di bandara ini. Pokoknya moment penting ini tidak boleh terlewatkan. Jadi jangan sekali-kali menganggap kami-kami ini bodoh, dan gampang dikelabuhi ya? Ayo teman-teman, kita menyusul mereka di pintu samping itu!”

Tetapi para wartawan itu memang benar-benar bernasib buruk. Sampai dengan pukul empat sore, tamu agung yang ditunggu-tunggu tetap belum juga datang. Pukul 14.25 memang tampak pesawat Royal Jordanian Airlines mendarat dengan sangat mulus di landas pacu terminal II. Tetapi tamu agung itu tidak ada di sana. “Jebul itu tadi pesawat reguler. Bukan yang carteran. Ini rombongan penjemput yang tadi seperti barisan pager ayu, lengkap dengan chear-leader yang akan mengalungkan rangkaian bunga, kok semua sudah menghilang? Sontoloyo tenan ini. Bagaimana Bang? Ini kan kurangajar sekali toh? Anda jangan hanya diam saja dong. Sudah nyata-nyata dikadalin mentah-mentah begini, kok Abangnya ini masih nyantai-nyantai saja. Ayo kita ke Thamrin saja. Kita labrak itu kantor EO yang ngaco itu. Kita kerahkan Preman Tanah Abang, kita beri masing-masing gocap juga sudah oke. Ayo lo agak cepetan sedikit. Kita ini sedang cari uang, bukan sedang yayang-yayangan di Ancol!”

Malam itu, malam yang juga cerah dan bercuaca sangat baik, semua stasiun televisi nasional, menyiarkan gambar yang sama. Jesus Kristus, Sang Putera Alah itu, Nabi Isa Al Masih Alaihissalam, memang benar-benar telah datang ke Indonesia. Tadi siang pukul 15.20, Boeing 737 – 200 Royal Jordanian Airlines yang dicarter panitia, telah mendarat dengan selamat  di Ngurah Rai International Airport, Denpasar, Bali. Hanya ada seorang fotografer Reuters yang diberi kesempatan untuk mengabadikan peristiwa ini. Tidak ada kameraman. Hingga, yang disiarkan oleh seluruh stasiun televisi nasional pada malam ini, hanyalah sequence foto jepretan wartawan Reuters tadi. “Memang sontoloyo tenan kok EO ini. Ayo kita boikot saja mereka. Tidak usah kita liput, tidak usah kita siarkan, tidak usah kita perhatikanlah. Sombong benar ya mereka? Sudahlah, kita meliput kampanye para caleg saja. Pilih yang anak pengusaha, atau anak mantan pejabat. Amplop mereka selalu tebal lo! Gizi mereka memang oke punya.”

* * *

Tiga suit rooms, lima vila, dan 20 superior room, di Bromo Cottages, Tosari, Pasuruan, sudah sejak tiga bulan silam dibooking PT Garuda Perkasa Entertainment. Seorang penyanyi rock dari AS, akan tetirah di sini sekitar seminggu. Sang penyanyi rock itu, seperti biasa, berambut gondrong, dan juga berbrewok tebal. Manajer Bromo Cottage, meskipun ia seorang penggemar berat musik rock, sama sekali tidak mengenal penyanyi yang satu ini. Tetapi apa urusannya? “Gue ini yang penting kan ngasih servis sebaik mungkin kepada siapa pun. Kalau penyanyi ini puas dengan servis gue, ia akan cuap-cuap di negerinya. Ini sebuah promosi gratis yang sangat efektif. Gue kagak peduli dienya ngetop atau kagak. Ia tamu yang berhak dapet servis sesuai standar Bromo Cottages.” Maka sang manajer itu pun ekstra sibuk. Banyak hal yang harus ia perhatikan, sampai ke detil paling kecil. Sebab memang sudah agak lama mereka tidak kedatangan tamu sebanyak sekarang ini.

Sebulan sebelum tamu datang, panitia sudah menaruh deposit senilai sewa seluruh rooms, selama seminggu. Bahkan beberapa rooms akan dipakai selama dua minggu. Sebab seminggu sebelum tamu datang, panitia sudah akan menginap di sini. “Dalam kondisi krisis finansial seperti ini, ketika para turis bule ngedrop angka kunjungannya setelah bom bali I dan II, setelah bom Kedubes Australia, setelah bom J.W. Marriott, booking tiga suit room sekaligus, baru kejadian sekarang ini. Lumayan. Mudah-mudahan ini awal dari angin segar, yang tahun-tahun mendatang akan terus berhembus ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Duh Gusti, terimakasih atas berkat dan rakhmat, dan karuniaMu. Tapi apa benar ada penyanyi rock sepenting ini kok gue kagak kenal? Ya siapa tahu dienye ini penyanyi yang memang kagak ngetop-ngetop amat, tapi tajir. Di Amrik kan apa saja bisa kejadian. Dua tahun lalu, kagak kebayang bakal ada anak Negro dari Kenya, bisa jadi presiden Amrik.”

Maka penyanyi rock itu pun datang. Ia bercelana jeans, bersepatu boot ala koboi Texas, berbaju barong khas Bali, dan wajahnya benar-benar ganteng. Umurnya baru sekitar tiga puluhan. Rombongannya, semuanya juga gondrong. “Ini penyanyi solo, atau grup band ya? Ah, bodo amir. Egepelah. Pak, menu dinnernya tetap seperti rencana kan? Yes, semua siap. Mohon apabila ada masalah bisa kontak saya langsung. Ya di nomor yang kemarin itu. Saya juga tetap akan standby di sini. Dont worry Pak. Ya, ya, selamat sore.” Tengger, kaldera purba yang menganga di bawah sana, tetap tersaput kabut putih agak abu-abu. Gunung Batok benar-benar seperti potongan tempurung kelapa yang ditangkupkan begitu saja di Lautan Pasir. Di sebelahnya, Bromo, kerucut berkawah yang selalu mengepulkan asap, dan nun di selatan sana, di balik Gunung Ider-ider, Sang Maha Meru setiap 10 menit akan meletupkan energi vulkaniknya menghambur ke atas menjadi gulungan asap bergumpal-gumpal.

“Dingin sekali di sini ya, apa namanya ini? Ten-jer? Ten-ger? Teng-ger? Ya Tengger. Di Judea, di Samaria, juga amat sangat dingin pada waktu malam hari. Tetapi pada siang hari, udaranya amat sangat panasnya. Ough, its grazy! Kalian bilang aku ini penyanyi rock dari Amerika? Ha, ha, ha, haaa… Tetapi aku senang sekali. Ya itu memang cara untuk menipu, supaya mereka tidak ribut-ribut ya? Benar, aku senang. Jadi di sini juga ada red wine? Ada bread tanpa ragi? Ada korban bakaran? Lamb? Beef juga? Waduh, apa itu potato? Aku tidak kenal potato. Ya kalau kalian bilang aku ini Allah Putera, ya semuanya aku tahu. Tetapi aku ini juga 100% manusia, dan aku tidak tahu potato. O, itu seperti bread tetapi tumbuh di dalam tanah ya? Enak juga? Ya, ya, ini enak sekali. Wouw, kalian juga ada olive oil? Kaki aku dulu kan diurapi pakai minyak ini, oleh perempuan pendosa. Menyenangkan. Tetapi kalian jangan berpikiran yang bukan-bukan ya? Aku ini tetap Allah Putera, tetap Nabi Isa.”

Gala dinner, barbeque, udara Tengger yang menggigilkan badan, sparkling dan red wine, tak ada pers. Sama sekali tidak ada pers. Para wartawan itu, wartawan koran, majalah, tabloid, televisi, radio, kantor berita, semua tumpah ke Bali. Ada yang mengaduk-aduk Kuta, menyisir Jimbaran, menelisik Sanur, dan terbanyak menghambur ke Nusa Dua. “Dimana ya dia? Apa sudah ada info yang mendekati akurat? Mungkinkah ada di Ubud? Jangan-jangan di Lovina sana? Bali ini sebenarnya kan sempit sekali toh? Kok dia seperti hilang begitu saja. Padahal foto-foto dari Reuters itu jelas sekali. Dia sudah landing di Ngurah Rai, berarti dia sudah ada di Bali. Jadi sobat-sobat semua, ayo kita agak kerja keras sedikit. Ayo kita aduk-aduk seluruh hotel dan resor di seluruh Bali ini. Saya yakin malam ini, paling lambat besuk, kita pasti akan mencium jejaknya. Paling tidak kita akan mendapat info tentang keberadaannya. Brengsek memang itu EO. Maunya apa sih ngumpet-ngumpet begitu? Yang aku khawatirkan, sebenarnya kita telah ketipu. Tetapi rekaman dari The Dome of The Rock, dari Queen Alia International Airport, semuanya jelas kok. Memang EO kita saja yang brengsek.”

“Sabar Mas, sabar. Ini memang bahan headline kelas satu. Ini barang mahal. Maka menangkapnya juga tidak mudah. Tetapi kan tidak mungkin EO itu akan main kucing-kucingan terus. Dalam waktu dekat ini pasti akan ada jumpa pers resmi. Yang aku heran, umat Kristen, baik Protestan maupun Katolik, kok sepertinya adem ayem saja ya? Juga Umat Muslimnya. Yang saya dengar dari teman, para petinggi KWI, PGI, dan MUI malah marah. Mereka tetap tidak percaya bahwa yang datang ini benar Jesus Kristus, alias Nabi Isa Alaihissalam. “Ini negara mau hajatan Pemilu, ada-ada saja akal orang untuk memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Dan ulah mereka memang sudah keterlaluan. Kalau ada orang mengaku bisa melakukan penyembuhan, masih bisa dimaklumilah. Ini EO mengaku-ngaku telah mendatangkan Jesus Kristus, Isa Alaihissalam. Kelewatan bener lo ngibulnya. Tetapi orang-orang sekarang ini hobinya memang dikibulin mentah-mentah ya?”

* * *

“Tuan, pagi ini kita akan ke Penanjakan. Ini tempat paling tinggi di Tengger. Di sana kita akan menyaksikan sebuah panorama yang spektakuler, yang juga ciptaan Tuan sendiri, tentu bersama Allah Bapa, dan Allah Roh Kudus. Silakan Tuan!” Mata Jesus yang kebiru-biruan berbinar terkena sinar obor. Dia tampak sangat-sangat happy. “Andaikan ada keledai ya? Ini akan mengingatkan 2000 tahun yang dulu, yang ketika itu aku juga naik keledai ke Jerusalem.” Baru saja selesai Jesus berucap, dua petugas Bromo Cottages yang tegap-tegap, dan seorang pawang menyeruak di antara kerumunan kuda dan pemiliknya. Dua petugas itu mengapit pawang yang menuntun seekor keledai putih. “Wouw! Kalian ini memang very-very profesional. Ini didapat dari mana keledai? Didatangkan dari Jordania? Berikut pawangnya? Tukang keledai itu maksudnya? Anda semua grazy! Tetapi aku senang sekali, sudah bisa naik keledai sekarang? Okey, ya, ini binatang yang sama, dengan yang aku naiki untuk masuk ke Jerusalem dulu.”

Dini hari, udara masih sangat dingin. Langit cerah, bulan mati, maka bintang gemerlap seperti menempel dekat sekali. Langit mirip plafon kubah raksasa dari beledu hitam. Kaldera Tengger, yang disebut lautan pasir itu, masih berupa sapuan putih titan yang masif. Batok dan Bromo menjadi sepasang tonjolan terbalut t-shirt sangat ketat. Jalan dari resor itu terus menanjak. Lampu senter, obor, bunyi telapak kaki kuda beradu dengan batuan jalan makadam. Pukul 03.30, rombongan itu tiba di Gunung Penanjakan. Pihak Garuda Perkasa Entertainment, dan Bromo Cottages, sudah sejak bulan lalu berkoordinasi dengan Aparat Pemkab Pasuruan dan Probolinggo, agar pada dini hari sekarang ini, kawasan di sekitar Penanjakan dikosongkan. Hanya mereka yang punya ijin khusus diperbolehkan berada di sini, sekarang ini. Maka, dengan lancar rombongan itu sampai di Penanjakan tepat sebelum sunrise itu menampakkan dirinya di atas puncak Argopuro dan Ijen.

“Tuan akan minum red wine, teh atau kopi?” Sejenak Jesus mengernyitkan dahi. Lama ia berpikir. “Apa itu teh? Apa itu kopi? Wouw, teh itu minuman dari negeri penghasil sutera itu ya? Chaina? Ya, ya, aku sudah membaca tentang teh, tetapi tidak pernah mencicipi. Kalau kopi? Minuman Arab? Minuman baru? Kapan itu? Ohh, baru sekali ya. Baru 1.000 tahun lebih setelah aku diangkat ke surga? Well, kalau begitu aku akan coba kopi.” Panggung di Penanjakan itu sudah sejak seminggu yang lalu didisain seperfek mungkin. Kursi-kursi diarahkan menghadap ke selatan, tetapi dimungkinkan untuk menengok ke timur dengan leluasa. Tempat duduk Jesus dipilihkan yang paling strategis, hingga ia bisa lepas memandang ke selatan, juga sesekali menengok ke arah timur. Suasana agak temaram, udara tetap masih sangat dingin, meski kopi dan teh hangat telah dihidangkan. Kemudian, pentas alam itu pun dimulai.

Mula-mula seleret warna jingga disapukan dengan kuas tipis dan tajam, di cakrawala. Gradasi warna agak terang juga segera diusapkan dengan kuas besar, tetapi berbulu lembut. Panggung, berupa kaldera raksasa, gunung Batok, Gunung Bromo, Gunung Widodaren, seperti gundukan mainan anak-anak di tengah lautan pasir. Di seberang tebing di arah selatan, tampak gundukan gunung Ider-ider, sebagai latar depan dari Gunung Semeru. Awalnya, semua itu tampak samar tersaput kabut. Lalu lampu pentas dinyalakan pelan-pelan, sedikit demi sedikit. Sampai kemudian akan menjadi terang benderang. Proses itu akan berlangsung sekitar satu jam. Pukul lima pagi, suasana di ketinggian puncak gunung sudah akan terang benderang. Ketika itulah kaldera, dengan gundukan-gundukan gunungnya, dengan jalan di lautan pasirnya, juga mereka yang sedang menuju puncak Bromo, akan tampak sangat jelas sekali. Kuda-kuda itu seperti barisan semut yang membawa makanan di punggung mereka.

“Nah, inilah Tuan. Disanalah nantinya pentas itu akan diselenggarakan. Kami memperkirakan akan ada sekitar jutaan massa, yang datang menghadiri acara kita ini. Sekitar 2.000 wartawan dari seluruh dunia yang sudah diseleksi panitia, akan hadir di sini. Diharapkan, tuan hanya akan berbicara sekitar satu jam. Itu sudah sangat cukup. Apa pun yang akan Tuan sampaikan ke mereka, pasti akan mereka terima. Selanjutnya, acara serupa akan diselenggarakan di Pantai Parangtritis Yogyakarta, dan Alun-alun Surya Kencana, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Itu hanya acara tambahan. Acara utamanya ya di Tengger ini. Selain dua acara tambahan itu, Tuan juga akan hadir pada beberapa acara yang skalanya lebih kecil, mungkin dihadiri oleh sekitar 10.000 orang, dan tentu saja acara-acara kecil dengan hadirin 500 sampai 1.000 orang. Jumpa pers yang dalam waktu dekat ini akan kita selenggarakan, diperkirakan akan dihadiri antara 200 sampai 500 wartawan.”

Matahari itu, bola raksasa berwarna merah darah di cakrawala timur itu, dalam waktu beberapa menit sudah berubah menjadi pendar putih yang sangat menyilaukan, dengan posisi yang terus bergeser semakin tinggi. Dataran tinggi Tengger terbangun. Petak ladang kentang yang bersap-sap, deretan pohon akasia. Ayam ramai berkokok, burung-burung berkicauan, domba mengembik, anjing kedengaran ribut saling menggonggong, dan dari jauh juga tertangkap suara tawa serta teriakan orang-orang yang berangkat ke ladang. Langit bulan Maret biru bersih. Udara mulai terasa dingin, sebab diam-diam bola matahari itu mulai bergeser ke arah utara katulistiwa. Jesus dan rombongan kembali ke Bromo Cottages di Tosari. Breakfast sudah siap. “Tuan bisa mandi terlebih dahulu, dan ganti baju. Bisa pula langsung makan pagi. Semua sudah disiapkan.” Sementara itu, para wartawan yang menyelusup ke seluruh pelosok Bali, tetap tidak berhasil menemukan tokoh yang mereka cari. * * *

Fragmen Novel Para Calon Presiden

 


Viewing all 484 articles
Browse latest View live