Quantcast
Channel: Blog Sastra F. Rahardi
Viewing all 484 articles
Browse latest View live

Setelah Tabu Seni Tertelanjangi, Lalu Kemana?

$
0
0

Kompas, 10 Februari 1976

Oleh : F. Rahardi

Kalau menurut Arswendo Atmowiloto tahun kemarin tabu-tabu seni nampak makin jelas mengelupas, (Puisi dan Teater  1975 : Pengelupasan Tabu-tabu Seni, Kompas 30 Desember 1975!) maka sangatlah besar kemungkinannya bahwa pada tahun 1976 ini seni bakal seratus persen telanjang, tanpa tabu dan malu.

Kalau hal ini benar-benar terjadi, maka betapa enaknya menjadi seorang Seniman (dengan “S” besar!), sebab bagi seorang pelukis tidak perlu lagi berurusan dengan kuwas dan cat, untuk penyairnya kini cukuplah dengan hanya menyodorkan guntingan-guntingan berita di koran, dan itulah puisi! Enak bukan? Juga bagi seorang Teaterawan tak ada gunanya latihan sampai berbulan-bulan sebelum pementasan, tapi cukuplah dengan misalnya menyeret seekor kambing, dicincang lalu dimakan beramai-ramai, itulah teater! Dan apabila hal ini benar-benar terjadi, maka akan menjadi komplitlah ke Malinkundangan seorang penyair, serta akan sempurnalah sekat atau jurang yang memisahkan dunia seorang seniman dengan dunia seorang awam.

Sekedar ‘Cap Aneh’

Barang baru memang selalu menarik. Baju baru misalnya sangat menyenangkan untuk dipakai. Istri baru, mobil baru, dan dalam dunia senipun ada “Pengucapan Baru” yang senantiasa didambakan oleh para seniman guna memikat para konsumen seni. Penelanjangan seni dari sifat tabu dan malu, pada hakikatnya hanyalah sekedar mencari “Pengucapan Baru” tersebut.

Kalau Putu Wijaya dalam novel dan teaternya tidak lagi menggunakan unsur-unsur novel, dan teater yang telah lazim, itu hanyalah sekedar usaha mendapatkan bentuk pengucapan yang baru, dan bukan untuk merombak pengucapan yang telah lazim. Danarto yang menggantung kanvas kosong pada waktu pameran tidaklah bermaksud mengatakan bahwa Afandi telah ketinggalan zaman. Juga kalau ada yang  mengatakan bahwa berita di koran adalah puisi, itu bukan berarti suatu anjuran kepada penyair untuk tidak lagi menulis puisi.

Sayangnya, dan ini kebanyakan dilakukan oleh para anak muda, penelanjangan tabu-tabu seni ini dijadikan tujuan dan bukan sekedar alat. Mereka mengecam seniman senior yang masih menggunakan pola-pola konvensionil, bersikap aneh dan kenes, tapi hanya dengan tujuan sekedar untuk menarik perhatian dan supaya mendapatkan cap “aneh” itu tadi. Jadi sudah dapat dipastikan bahwa mereka ini hanyalah sekedar latah.

Akan tetapi nampak dengan jelas bahwa tidak hanya kaum mudalah yang gemar melakukan “penelanjangan” dalam karya-karya mereka. Dalam dunia teater Rendra telah pernah mengerjakan serial “mini-kata” jauh sebelum tokoh-tokoh seperti Putu Wijaya itu lahir. Ini tidaklah begitu mengherankan sebab tatkala itu Rendra baru saja pulang dari Amerika. Agaknya apa yang dia saksikan di sana sempat dia coba di tanahair. Dan begitu pulalah dengan Kanvas kosongnya Danarto atau Puisi-puisi Eksperimennya Jeihan yang hanya terdiri dari beberapa buah kata dengan tanda-tanda baca itu, kiranya bukanlah sesuatu yang baru di kolong langit ini.

Konon, di Amerika serta Eropa hal itu sudah lumrah. Hanya tentu saja dalam menghadapi mereka ini, kita tidak mungkin untuk mengambil sikap yang sama dengan sikap yang kita berikan terhadap anak-anak muda yang latah itu. Orang-orang seperti Danarto atau Putu mempunyai sejarah yang cukup panjang untuk dapat sampai pada keadaan mereka saat ini. Hanya tentu saja, kita tetap mengharapkan sesuatu yang lebih lanjut dari mereka itu. Atau mereka hanya akan tetap berhenti pada “penelanjangan” itu saja? Mudah-mudahan tidak!

Allah Pemuasan Bathin

Menghasilkan karya seni sangat jauh bedanya dengan membuat meja kursi. Tukang meubel selalu didekte oleh masyarakatnya, sedang seniman katanya harus dapat melangkah lebih jauh didepan masyarakatnya. Dengan catatan, betapapun “modernnya” seorang seniman, toh dia harus tetap mengadakan kontak dengan masyarakatnya.

Pada hakekatnya karya seni tidak jauh berbeda dengan mode. Pakaian pada prinsipnya hanyalah pelindung tubuh dari cuaca yang dingin atau yang lain. Kalau kemudian pada pakaian itu diberikan banyak embel-embel, untuk menarik lawan jenis misalnya, atau supaya nampak lebih angker dan sebagainya, itu adalah soal kedua. Begitu pulalah halnya dengan seni.

Macam-macam isme dalam seni pada hakikatnya hanyalah sekedar mode, yang hanya pada periode tertentu sangat populer dan sesudah itu menjadi klasik. Sedang seni sendiri, baik seni rupa, sastra, musik, gerak dan pentas dalam isme apapun tak lain dan tak bukan adalah alat untuk memuaskan batin kita, sebagaimana halnya dengan agama serta filsafat. Jadi jelas seni bukan sekedar untuk memuaskan batin si seniman sendiri pun pula bukan untuk melayani sang masyarakat tapi dua-duanya.

Dalam bidang apapun, pasti ada orang yang revolusioner, ada yang tidak begitu revolusioner dan sebaliknya ada pula yang kolot. Seniman yang revolusioner akan dengan radikal merombak pola-pola seni yang konvensionil. Akibatnya, masyarakat yang telah terbiasa dengan pola-pola seni yang konvensionil itu akan terkejut dan menolaknya.

Sebaliknya, seniman yang tidak begitu revolusioner akan mengadakan pembaharuan juga, tapi dengan tetap memperhatikan pola-pola yang telah mapan. Dan yang terakhir, seniman yang kolot akan dengan mati-matian mempertahankan tradisi serta menentang bentuk pembaharuan. Lalu di antara ketiganya manakah yang lebih baik? Absurd! Semua tergantung dari masyarakat konsumen seni, bagaimana tingkat pendidikan mereka, bagaimana tingkat sosial mereka, kemudian toleransi mereka dalam bidang seks, moral dan keagamaan. Dan kemudian masyarakat konsumen seni inipun sebenarnya juga sangat ditentukan oleh si seniman : bagaimana cara dia menyampaikan sesuatu terhadap masyarakatnya. Sebab sebenarnya yang menjadi masalah bukannya “apa” yang ditampilkan, tetapi bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikannya supaya masyarakat konsumen seni itu “bisa” menerimanya.

Di tahun 1975 kemarin tabu-tabu seni makin tegas mengelupas (menurut istilah Arswendo!), dan bukan tidak mustahil bahwa di tahun 1976 ini seni bakal telanjang bulat. Seratus persen bebas dari rasa tabu dan malu. Dan apabila itu semua telah terlaksana, yang menjadi masalah adalah : bisakah batin kita terpuaskan dengan seni yang telah telanjang bulat itu?

Lalu selanjutnya : Benarkah seni yang masih menggunakan pola-pola konvensionil sudah tidak dapat lagi memuaskan batin kita? Sebuah kenyataan bahwa guntingan berita dari koran yang dibaca sebagai puisi atau dikirimkan ke majalah sastra sebagai cerpen memang telah mampu menampilkan sesuatu yang baru dan segar. Begitu pulalah halnya dengan meja-kursi yang digotong masuk ke ruang pameran, atau seorang copet yang mati dikeroyok masa di pasar dan disebut oleh seorang teaterawan sebagai sebuah drama.

Tapi kitapun harus tetap ingat bahwa Ceritera Mahabarata misalnya, tetap menarik meskipun telah melewati sekian kurun waktu. Jadi yang menjadi masalah kemudian bukannya seni itu masih berjubah atau sudah telanjang, tapi bermutu atau tidak? Dan inilah agaknya yang kurang begitu diperhatikan oleh beberapa orang anak muda yang sekedar latah. Supaya nampak aneh hingga diperhatikan oleh lingkungannya. Mereka lupa bahwa pada akhirnya tetap mutulah yang menentukan. Dan bukannya seni yang masih dengan tabu dan malu atau sudah telanjang bulat. ***



Di Sekitar Re Generasi Alias Menciptakan Generasi Kere : Pelestarian Nilai-Nilai Geli

$
0
0

Majalah Humor No. 011

Sengaja kami gunakan istilah “pelestarian” (bukan pewarisan) sebab sesungguhnyalah nilai-nilai “geli” yang lagi jadi topik nasional ini sama sekali tidak sama dengan kapling atau rekening bank atau istri muda yang bisa begitu saja diambil oper. Masalahnya cukup serius, tapi sekaligus juga masih bisa bikin perut jadi terpingkal-pingkal. Ini jelas sebab bagaimana pun seriusnya, persoalan pokoknya tetap di sekitar yang “geli-geli” juga. Semula kami memang cenderung untuk menggunakan saja istilah “pewarisan”. Tapi setelah melewati perdebatan panjang yang juga menggelikan, dengan disertai voting dan angket segala macam, kami pun akhirnya sepakat (meskipun tetap tidak bulat) untuk menggunakan saja istilah “pelestarian”. Adapun alasan utama kami begini : Pertama istilah lestari itu sesuai betul dengan program yang dewasa ini lagi galak-galaknya di “pop” kan oleh Menteri Negara PPSG (Pengawasan Pembangunan Sarana Geli). Dan kemudian yang kedua, kata Lestari sangatlah sesuai sebab bisa selalu mengingatkan saya pribadi kepada Mbak Lestari yang jualan gado-gado di sebelah rumah. Masalahnya bukan apa-apa, tapi yang jelas tiap pagi saya boleh ngutang! Kemudian yang ketiga (terakhir) istilah pelestarian itu bisa mendatangkan kesan bahwasanya nilai geli berikut seluruh aparatnya haruslah tetap ambil bagian dalam rangka mensukseskan Pelita (Pembangunan Lima Tarikan) demi segera tercapainya masyarakat yang geli dan banyak tawa. Bukankah tawa memang sangat sehat terutama untuk menghadapi penyakit “boke”? Nah, tapi agar anda-anda semua tak lantas jadi kebingungan dan makin tambah puyeng lagi lantaran di kantong tak tersimpan “paramemex Saru”, berikut ini kami tampilkan sedikit cuplikan wawancara kami (maksud kami “komentar”) dari para tokoh masyarakat mengenai betapa hebatnya nilai-nilai geli yang harus kita jaga siang malam kelestariannya. Ini semua penting sekali sehubungan dengan proyek Re Generasi alias pencetakan Generasi Kere.

Abdul Ngawur (Menteri Tua Urusan Orang-orang Tua/Pensiunan)

Lantaran saya ini “politikus” sebagaimana telah anda saksikan sendiri atau bersama cewek anda, maka saya jelas hanya bisa bicara soal pelestarian nilai-nilai geli/regenerasi lewat kacamata politik. Jadi jangan mengharapkan saya bicara mengenai soal ini dengan kacamata yang lain-lain. Masalahnya karena kacamata saya memang hanya satu (yang saya pakai ini), dan selain itu bicara dengan kacamata memang tidak lazim. Kacamata gunanya untuk mengincar dan bukan untuk ngomong ya toh? Jadi kembali ke soal re-generasi serta pelestarian nilai-nilai geli, terus-terang saya cenderung untuk tetap lestari menjadi menteri tinimbang dipensiun. Anda barangkali akan merasa geli tapi apa boleh buat? Ini politik soalnya. Kalau masalahnya menyangkut daging sapi barangkali akan menjadi lain lagi.

Selanjutnya mengenai re-generasi, menurut hemat saya masalahnya tergantung pada sikon. Itu tadi menurut hemat saya sebab selama ini saya memang terkenal sebagai menteri yang tergolong hemat malah kadang boleh dibilang pelit. Kalau kebetulan anda termasuk manusia yang tak bisa menghemat alias pemboros ya tersilah! Jadi sekali lagi saya tekankan di sini (di perut), bahwa kalau rasa geli itu bisa lestari, maka kita pasti akan tergelitik dan senantiasa terpingkal-pingkal dan akibatnya jelas sudah! Perut kita pasti akan jadi “mulas”!***

Goenawan Menghambat (Pengacir/Juru Konci Proyek Senen Blok II Lantai XIII)

Anda tanya pendapat saya tentang pelestarian nilai-nilai geli? Untuk dimuat di Majalah Humor? Ck, ck, ck, luar binasa! (Kemudian sambil berbisik : mau kau kasih bagian honor berapa saya?). Tapi baiklah, nanti kalau Humor tidak mau muat hasil pemikiran saya yang sedari dulu kesohor brilyant ini, berikan saja pada Zaman Edan! Dengan catatan nanti honornya dibagi dua sama gua! Jadi baiknya sekarang begini saja. Saya bersedia untuk saudara wawancarai atau sebaliknya karena saya juga wartawan kelas satu, tapi tempat wawancaranya jangan di sini. Biasanya saya melakukan wawancara di Vics Peking atau minimal di Mie Baso Kramat Boender. Jadi bagaimana kalau kita ke sana saja sambil menyocrop es campur asal you yang traktir? Nah, soalnya dengan begini tenggorokan tak akan kering dan seret hingga keterangan yang mau you korek bisa lancar keluarnya. Tapi maaf saya jangan dipotret sebab meskipun wajah saya begini ngganteng biasanya tukang potret sekarang pada ngawur dan kameranya juga murahan hingga wajah saya selalu jadi jelek setelah dicetak. O, ya! Kembali ke inti persoalan : sebetule saya agak kurang sreg dengan soal-soal pewarisan eh pelestarian nilai-nilai geli dalam hubungannya dengan pencetakan generasi kere di kampung kita ini. Tapi baiklah lantaran es campur ini sebagian sudah tertelan maka saya akan barter dengan sedikit uraian yang pasti akan jauh lebih bernilai dari es yang barusan saya telan.

Oke, saya akan mulai dengan soal seniman, tolong ini di catat tebal ya! Seniman, khususnya seniman di Kampung kita Jakarta ini sedikit pun tak pernah merasa cemas dengan pelestarian nilai-nilai geli. Ingat kan kejadian yang menggemparkan tempo hari? Bukankah rame-rame soal Akademi Cikini/Dewa Kesintingan beberapa waktu yang lalu juga dalam rangka memperebutkan seraya melestarikan nilai-nilai geli yang terkandung dalam karya seni? Dan bukankah itu super menggelikan atau kalau anak saya bilang ‘top” begitu? Nah, nilai-nilai beginilah yang akan senantiasa kami kembangkan serta kami jaga kelestariannya. Tentang re-generasi? Sory aja ya! Itu sama saja dengan mau menjadikan generasi saya yang tua-tua ini kembali jadi kere seperti dulu sewaktu belum mewarisi nilai-nilai geli dari pendahulu kami. Jadi itu tadi keterangan serta uraian saya yang tentu akan sangat dihargai oleh Redaksi Humor. Tapi awas, jangan sampai salah kutip!

Arwah Sialan (Dayang Lembaga Horor Indonesia) Penjaga Titian Bambu

Ini baru jempol! Bertahun-tahun lamanya saya menggauli “horor” dengan teramat sangat setia, jauh lebih setia dari menggauli bini resmi/tak resmi saya sendiri. Tapi selama ini belum pernah saya menjumpai permasalahan yang begini merangsang. Maksud saya merangsang tawa! Betapa tidak? Pelestarian nilai-nilai geli dewasa ini sudah betul-betul sangat mendesak. Bahkan saya sendiri sudah beberapa kali menerima desakan dari Pak RT untuk ngurus KTP saya. Tapi terus-terang saya sangat tidak antusias dengan istilah “pelestarian”. Saya pribadi lebih condong untuk memakai istilah pewarisan sebab hal itu secara langsung bisa mengingatkan saya pada bapak di kampung yang sudah jompo tapi punya sawah ratusan hektar dan kerbau puluhan ekor! Nah, jadi soal warisan kan memang tidak bisa dibikin main-main. Tapi karena dalam musyawarah para pemilik nilai-nilai geli tempo hari sudah ada konsensus nasional untuk menggunakan istilah pelestarian yah, saya tentu tak lagi bisa berkutik! Bagi saya yang penting, soal itu tak akan mengganggu atau menghambat jatuhnya warisan bapak saya ke kantong saya tentunya!

Dan sekarang masalahnya tinggal tergantung pada pundak kita. Maksud saya apakah nilai-nilai geli yang saat ini kita kangkangi ini akan begitu saja kita operkan pada para gelandangan itu, atau akan kita gadaikan dulu, atau bisa juga kita mencoba tawarkan untuk tukar tambah. Misalnya kalau generasi kere itu memang sudah teramat sangat ngebetnya, tentu mereka mau saja membayarnya dengan harga berapa pun. Bahkan saya yakin generasi kere ini pasti mau sekali untuk melakukan sistem Komoditi Penyerahan nanti. Jadi mereka membayar sekarang tapi barangnya kita berikan nanti kalau kita memang sudah sama sekali tak memerlukan. Ini tadi pendapat saya pribadi. Jadi bukan selaku Ketua Lembaga Horor atau Penjaga Titian Bambu. Jadi jangan sampai keliru. Dan Astaga!!! Ini majalah Humor nampaknya mampu juga bikin saya yang seari-arinya ngurus “horor” bisa jadi kaget setengah mati. Sampai-sampai ini tadi saya bilang “Astaga!!!”

Hasyi King (Suami dari Hasyi Queen/Penguasa Ekonomi Segala Golongan)

Ngomong-ngomong soal nilai geli dalam kaitannya dengan aspek ekonomi ya? Well; terus-terang selama ini saya memang selalu tinggal di tempat yang terang-benderang karena listrik sudah 220 voltasenya. Dan selama ini saya juga sudah teramat sukses dalam segi ekonomi dengan cara yang tidak menggelikan. Tapi sebaliknya, anda pun juga bisa sukses dalam bidang ekonomi dengan cara mengkomersiilkan nilai-nilai geli. Yoe inget kan sama Cherlai Ceplon? Nah, dia menjadi milyardor kan juga lantaran menjual nilai-nilai geli itu tadi. Jadi masalahnya sudah nampak sangat jelas. Soalnya meskipun mata saya sudah agak rabun, semuanya tetap nampak jelas karena saya tak pernah lepas kacamata bingkai emas ini. Soal nilai-nilai geli memang erat kaitannya dengan segi ekonomi. Ekonomi negara, paling tidak ekonomi anda sendiri pasti akan goncang kalau-kalau nilai geli jadi betul-betul punah. Yang jelas sampeyan tak akan bisa dapat penghasilan dari Majalah Humor kalau nilai-nilai geli tak ada lagi! Bagi penguasa Ekonomi Segala Golongan seperti samua ini, duit honor dari majalah begituan sama sekali tak ada nilainya. Soalnya saya memang tak pernah memberi nilai pada duit. Selain karena saya bukan guru sekolah atau Yuri, setahu saya duit juga tak boleh diorek-orek dengan bolpen untuk diberi nilai. Nah, sebenarnya masalahnya juga tak hanya berhenti sampai di sini sebab di bawah ini masih ada lanjutannya sedikit.

Bagi saya ekonomi adalah segala-galanya. Jadi nilai-nilai geli di mata saya juga berupa rupiah atau dolar. Dan kalau nilai geli ini sampai punah, wah! Ekonomi awak akan hancur. Yang jelas TPRI akan bangkrut. Sebab akan kehilangan mata pencahariannya lewat “Sialan Niaga” yang rata-rata menggelikan lantaran paling banyak menampilkan badut. Nah, dan selanjutnya saya kasih tahu ya! Ekonomi negeri kita ini pada hakekatnya dikuasai oleh nilai-nilai geli. Tak percaya? Coba anda datang ke Kantong Bendahalal Negara atau Beha Cukak sana! Nilai-nilai geli itu sudah bisa terpateri dengan kokoh di sana. Buktinya begitu terima amplop para pegawai di sana pada senyum-senyum. Apa pula yang mereka tertawakan kalau bukan nilai-nilai geli yang terkandung dalam amplop itu?

CATATAN : Komentar dari Sabam Selangit (Anggota Dewa Penggemar Rapat/DPR dari seksi Geli), Umar Ghawat (Ex Ketua Dewa Kesintingan Cikini), Rosihan Ambyar (Ketua Dewa Kehormatan PWI/Persatuan Wadam Indah), Rudy Hartonjok (Pemain Bulu Entog/Penjaja Susu Indo), Roy Martil (Bintang Pejantan Spesial untuk adegan Keranjang) dan Ir. Ciputat (Penguasa Ekonomi Kuat dari Ciputat), karena satu dan lain hal terpaksa tidak bisa kami tampilkan. Ini semua kami lakukan karena adanya paksaan yang tak bisa kami elakkan, demi stabilitas Hankamli (Pertahanan & Keamanan Gali). Mohon seribu maaf karena pas/dekat lebaran dan harap anda semua tak bisa maklum adanya! *** (Pewawancara : F. Rahardi/Wartawan Gadungan)
 


Bahasa Iklan : Mimpi yang Menggiurkan!

$
0
0

Kompas : 17 Oktober 1978

Oleh : F. Rahardi

Isteri yang tidak pernah dijamah KENIKMATAN MALAM PENGANTIN! Isteri tetap PERAWAN dari hari ke hari!! Hatinya gemuruh…., ingin diHANGATI!!! Jari jemarinya menyelusuup … mencari KEHANGATAN!! Tubuhnya kian bergelinjang …. Disekam RINDU NIKMAT yang MEMUNCAK!! *Penuh adegan-adegan PALING BERANI, PALING POLOS …. dan PALING PANAS dari si genit yang binal : EDWIGE FE NECH! Sori, saya sekedar nyontek entah karangan siapa ini, yang jelas pernah nongol di Harian Kompas, persis di bawah gambar komik “Garth”, persis disebelah berita tentang sayembara Karya Tulis untuk SLTA dan SLTP yang diselenggarakan oleh LIPI. Tentu, tulisan ini bisa nongol di sana lantaran mampu membayar banyak, dia merupakan bagian dari sebuah iklan film yang di PREMIERE LUAR BIASAkan tanggal 10 Oktober 1978. Saya tak akan memberi komentar iklan tersebut. Sebab nun disebelahnya masih ada pula yang serem : Bajingan-bajingan kaliber dunia menyelundup makin ganas!!! Penculikan dengan tebusan jutaan dollar merajalela!!! Inspektur Polisi Febrio berusaha mendobrak!!! Dengan Hukum …. Terbentur!!! Jalan terakhir … senjata dan peluru bicara!!! Senator, Hakim, Walikota … dibantai tak kenal ampun! Jiwa jadi taruhan … bunuh atau dibunuh!!! Sekali lagi sori, saya sekedar nyontek tok! Tapi selain itu tak ayal lagi hati tergoda juga untuk nonton “Si Genit Yang Binal” itu. Dan pulangnya saya maki-maki lantaran lebih asoi baca iklannya daripada nonton filmnya.

Generasi Bobrok

Generasi saya (dan juga adik-adik saya nan tercinta) adalah generasi bobrok. Ini yang bilang bukan saya, tapi mulut banyak orang yang layak untuk dipercaya. Sebab apa bobrok? Salah siapa bobrok? Waduh, perang tanding adu mulut mengenai soal ini sudah lumayan ramai dan klise. Tak ada yang salah. Saya yang bobrok tidak. Adik-adik saya yang lebih bobrok lagi juga tidak. Memang, kami ini lebih sering berandalan daripada rajin-rajin belajar. Buat apa repot-repot peras otak sebab : Cerebrovit Cap sule membuat apa saja yang kita pelajari langsung lengket di kepala? Jadi buat apa susah-susah sebab serial kartun yang disulap jadi penjaja obat dan menjelang musim ujian atau ulangan umum selalu membanjir itu sudah lumayan menyesatkan? Tapi yang jelas meskipun dan berotak udang, asal rajin dan tekun toh bisa berpenghasilan sampai Rp 170 ribu sebulannya, dinas luar dan jam kerja tidak terikat. Ini tidak bohong, sebab yang bilang sebuah iklan mini yang juga terpasang di harian ini. Iklan ini mencari salesman.salesgirls atau bahasa pribuminya “tukang jaja barang dari rumah – ke rumah, dari sekolah -  ke sekolah dan dari kantor yang satu ke kantor yang lain”. Dan kami, meskipun bobrok kenapa mesti pakai blacu atau nongkrong di punggung kerbau kalau iklan jean dan sepeda motor nampang di sembarang tempat?

Kalau kami dicap suka sadis dan demen yang porno-porno, itu memang kami akui, sebab selamanya, bersikap jujur tetap ada juga pahalanya. Bayangkan : Film yang iklannya saya sontek tadi memang khusus diputar untuk 17 tahun ke atas. Tapi iklannya yang lebih asoi (yang di koran-koran daerah bisa sampai segede gajah) jelas dipasang untuk segala umur dan gratis pula. Lalu cap untuk generasi kamipun bertambahlah, sudah bobrok, sadis, suka porno dan sekarang sok santai pula. Ah siapa gerangan orangnya yang tak senang santai? Bukankah kalau kita batuk-batuk sudah ada Konidin yang akan mengubahnya jadi senyuman? Percayalah! Tapi yang jelas kami santai lantaran tersedianya tetek-bengek untuk bersantai-santai : Tak becus berkencan? Kenalan sama “Mas Goal” itu silet ampuh yang mencukur lebih tampan.  Bau busuk? Tenang! Ada odorono atau macam-macam pasti les dan tanggung anda bakal segera dikerubutin cewek. Apalagi kalau rambut sudah modern, rapi dan wajar, gaya kita bisa langsung jadi gaya Manhatan, siip deh!

Jaman sekarang cewek juga tak perlu prihatin kalau lagi bulanan. Begitu sempurna, begitu praktis tanpa tali tanpa peniti, dan menutup rapat sampai-sampai mau kencing saja susah saking rapi-jalinya. Nah, bukankah kalau wajah peat-peot sudah tersedia sabun kecantikan bintang-bintang film? Kalau sabun itu tak mujarab masih bisa minta tolong rumput laut untuk memoles wajah jadi ayu alamiah. Dan kalau rambut yang menjadi problim, sampo anti ketombelah petugasnya. Dan olok-olok kurangajar sejenis ini bisa dilanjutkan terus sampek tua. Barangkali seluruh halaman koran tak akan bisa muat.

“Hiduplah  sederhana” Kata Pemerintah

Rangkaian mimpi yang terhidang lewat kata-kata asoi, gambar-gambar sip dan suara-suara atau musik yang yahud dan baru saya omelkan ini namanya IKLAN. Sebagian besar gunanya untuk melariskan dagangan. Bahasanya ada yang jorok, ada yang kasar, ada yang kocak, ada yang puitis tapi kebanyakan hanya membuat perut jadi mual lantaran norak dan terang-terangan menipu mentah-mentah. Dan sekian banyak iklan ini sebagian besar merupakan hasil karya dari ratusan Perusahaan Periklanan kakap-teri yang tersebar di kota-kota besar di seantero negeri. Tentu yang paling banyak bercokol di Jakarta jua adanya.

Mereka yang terlibat dalam bisnis iklan ini baik – untuk pers maupun radio, tivi, film bukanlah orang sembarangan. Mereka pandai. Punya pengalaman dan intuisi tajam. Banyak penyair maupun sasterawan gagal yang menyelusup ke sana. Yang bikin gambar-gambarpun bukan orang kampungan. Banyak yang sarjana Asri atau ITB. Tapi kenapa sebagian besar iklan yang mereka hasilkan untuk menyerbu masyarakat lebih banyak menyajikan mimpi?

Selama ini santer suara yang datangnya dari pemerintah agar manusia negeri ini hidupnya sederhana saja. Tapi sebuah iklan dengan lantang telah menjawab. Gengsi dong! Dan iklan-iklan yang lain menyusul bagai sebuah koor yang kompak dan merdu : mulai dari soal isi perut, perlengkapan tubuh supaya semerbak, mobil dan rumah murah yang harganya sekian juta dan segerobak lagi yang lain. Tentu saja tak ada dosanya juga tidak melanggar undang-undang menjajakan barang dagangan supaya laris. Tapi selama ini iklan-iklan yang ada cenderung untuk luarbiasa norak, kasar dan tak jarang memanipulasikan keadaan. Sementara mulut pemerintah serak kehabisan suara lantaran meneriakkan anjuran untuk hidup sederhana yang juga dipajang di media pers, dikumandangkan di RRI maupun Non RRI dan tak ketinggalan pula dipertontonkan di tvri, mulut perusahaan iklan tambah lantang (dan yang juga lancang) membujuk konsumen juga lewat media yang sama dengan porsi yang lebih raksasa untuk hidup bermewah-mewah. Paling tidak untuk bermatamorgana. Dan kita pun masa bodoh saja melihat di sebuah koran : Berita tentang musibah kelaparan berjajar dengan iklan tentang “Malem Gandem Marem” atau “Tour” dengan berbagai hadiah menarik ke Eropa dan Amerika. Ini tentu bukan kerja kurangajar dari tukang tata-letak di percetakan koran. Juga bukan salah perusahaan yang bikin tour atau malem gandem marem. Bahkan bukan kesalahan wartawan yang nguber-uber berita. Tapi cobalah yang satu ini : Sekelompok orang yang lagi betul-betul kena musibah lapar dan kebetulan ngumpul di halaman kelurahan yang dipasangi tivi dan menyaksikan siaran niaga dengan sprite, minuman dingin yang menyegarkan, atau kue Blue Band, margarine yang melezatkan, atau masakannya Bagio yang disedapi Ajinomoto. Dan sekelompok orang lapar itu hanya bisa mimpi. Begitu pun kelompok manusia – lain yang berada dibawah garis kemiskinan dan tersebar di pelosok-pelosok negeri ini (tapi yang sudah terjangkau siaran RRI/tivi), hanya bisa mimpi juga : Supaya juara minum Indo Milk. Tenaga pun cak minum Tonikum, supaya ayu pakai sabun bintang film, supaya play boy pakai Brisk atau Goal atau isep rokok anu yang yahud  dan sebagainya. Hidup ini jadi seperti “di taman firdaus” lagi. Sampai-sampai setiap kali ada orang mati selalu disebutkan “dengan tenang” artinya tanpa cerewet atau mendelik-mendelik dan kemudian diiringi dengan rangkaian ucapan terimakasih yang persis deret ukur. Sementara yang namanya kenyataan makin menjadi transparan, kabur dan malah nampak aneh.

Bila Puisi Menjadi Iklan

Adalah seorang penyair kelas satu yang melemparkan pendapat yang bunyinya kurang lebih : Mantera adalah puisi kongkrit terpakai yang saat ini peranannya banyak diambil alih oleh periklanan. Orang boleh setuju dan manggut-manggut tapi bisa juga mencibir dengan adanya pendapat itu. Tapi iklan yang betul-betul puitis dengan gambar serta komposisi yang enak untuk mata memang ada juga. Iklan-iklan yang bisa digolongkan “bermutu” ini jumlahnya tentu tak seberapa dibandingkan dengan yang kacaubalau. Dia tidak norak atau kasar. Tidak menyesatkan atau malah menipu. Dan pola hidup sederhanapun diterapkannya dengan penuh pada ujud puisinya.

Sebuah iklan bir, dengan ukuran yang tak seberapa gede, bentuk maupun isinya sederhana saja. Hanya sebuah blok hitam, gambar gelas dengan simbul perusahaan. Lalu tulisan : Guinnnes, bir hitam, baik untuk anda. Sudah! Itu sudah cukup jelas sasarannya, supaya orang membeli dan minum. Tanpa harus berteriak atau dipajang warna-warni iklan itu sudah lumayan puitis. Ada juga iklan jamu. Tak seberapa gede juga. Gambarnya wanita (kelihatan seperti wanita asing), tidak cantik tapi badannya bagus. Dia berjingkat sambil memegang pinggangnya dan ngomong : Wow, singset is beautiful! Lalu di bawah gambar simbol perusahaan dan tulisan : Galian Singset. Tanpa banyak cerewet iklan itu sudah bicara. Bahkan menurut seorang teman yang ngendon di bisnis iklan (dan juga layak untuk dipercaya), iklan jamu tadi (yang kadang-kadang juga norak kalau membawa-bawa nama Master Nasional atau Monalisa segala), telah berhasil menggeser medan pemasaran dari lapisan masyarakat paling bawah menjadi lapisan terpelajar dan menengah. Kalau teman yang layak untuk dipercaya ini tidak dusta, berarti iklan-iklan yang sederhana saja inipun sudah lumayan punya daya saran. Dua contoh yang saya comot ini semua iklan pers. Dan saya hanya bilang, iklan itu termasuk yang lumayan bagus, lepas dari mutu atau tidaknya barang yang di iklankan.

Kalau pegawai korup bisa diopstib, film ngaco digunting sensor dan generasi bobrok bisa dibina serta “diarahkan”, kenapa iklan yang ngawur sembarangan itu kita masabodohkan? Kalau hasil karya para profesional yang bercokol di perusahaan periklanan (yang terdiri antara lain dari unsur seni sastera, rupa dan drama/sinema) itu hanya sekedar berbunyi : menyembuhkan segala rasa sakit, lalu menyuruh orang percaya begitu saja, lebih baik kita kembali ke pasar kambing. Di sana belantik yang paling lantang dan lihai ngibullah yang paling dapat rejeki banyak. ***


UU BAGI HASIL PERTANIAN AKAN MUBAZIR

$
0
0

Oleh F. Rahardi

Kasus yang menimpa PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), diduga akan mempercepat proses  kelahiran sebuah undang-undang (UU), yang kemungkinan akan diberi nama Undang-Undang Bagi Hasil Pertanian (UUBHP). UU ini diharapkan bisa mengatur seluk-beluk bagi hasil pertanian yang sekarang ini menjadi sangat trendy. Gagasan untuk menyusun UU ini, memang sudah santer kedengaran sejak maraknya bisnis profit sharing yang gencar diiklankan di media massa. Saya berpendapat, bahwa UU demikian akan mubazir karena beberapa alasan. Meskipun, aparat negeri yang berniat melahirkan UUBHP, juga punya alasan sangat kuat. Alasan pertama adalah, belum adanya perangkat hukum yang mengatur, sekaligus memberi sanksi terhadap kegiatan bagi hasil pertanian. Kedua, praktek bagi hasil pertanian yang selama ini berjalan secara tradisional di masyarakat Indonesia, memerlukan suatu “pembaruan” sesuai dengan kaidah-kaidah agribisnis modern.

Gagasan pertama didukung oleh penolakan Bank Indonesia (BI) untuk memberi sanksi hukum bagi kasus PT QSAR. Alasan BI, kegiatan tersebut, meski merupakan pengumpulan dana publik, bukan sebagai tabungan melainkan bagi hasil (profit sharing). Lebih-lebih ijin usahanya tidak dikeluarkan oleh BI. Alasan BI ini sebenarnya hanyalah merupakan “cuci tangan” agar tidak direpotkan oleh tetek-bengek urusan yang resek-resek. Sebab sebenarnya, sekitar 40 sampai 45 perusahaan yang menawarkan kegiatan bagi hasil ini, tetap bisa dijerat dengan alasan bank gelap. Memang, mereka tidak menyebut dana yang ditarik dari publik itu sebagai tabungan, melainkan bagi hasil. Tetapi dalam praktek, mereka memberikan “bunga” berdasarkan nilai setoran. Bukan berdasarkan hasil dari kegiatan usaha. Inilah ciri khas tabungan, meski namanya bagi hasil.

Hasil suatu usaha ada tiga. Untung, rugi dan impas. Keuntungan sektor agribisnis memang bisa mencapai 400% dalam waktu hanya 5 bulan. Misalnya, menanam 1 ha cabai dengan biaya Rp 40.000.000,-  bisa menghasilkan Rp 200.000.000,- (populasi 20.000 tanaman, @ 1 kg. @ Rp 10.000,-). Tetapi bisa juga hanya impas (populasi 20.000 tanaman @ 0,5 kg. @ Rp 4.000,-) = Rp 40.000.000,- Bisa juga rugi atau malahan modal Rp 40.000.000,- tersebut hilang sama sekali kalau tanaman terserang fusarium/pseudomonas. Resiko-resiko usaha inilah yang tidak tampak pada semua tawaran usaha bagi hasil. Semuanya hanya menawarkan keuntungan (bunga) berdasarkan nilai setoran. Bukan berdasarkan hasil usaha. Tetapi untuk “mengelabuhi” masyarakat maupun aparat, namanya bukan bunga melainkan keuntungan. Ini mirip dengan Orde Baru, yang menyebut Golkar bukan partai politik, meskipun praktek yang dilakukannya adalah praktek partai politik.

* * *

Alasan untuk memperbarui praktek bagi hasil pertanian di masyarakat, sebenarnya juga lemah. Indonesia pernah punya Undang-undang Pokok Bagi Hasil Perikanan (UUPBH Perikanan) nomor 16 tahun 1964. Waktu itu UUPBH dilahirkan karena buruh nelayan dianggap perlu dibela dari praktek pemerasan juragan pemilik perahu. Dalam kenyataannya, sampai sekarang pelaksanaan bagi hasil buruh nelayan dengan pemilik perahu tetap mengikuti hukum pasar. Dan tidak pernah ada tindakan hukum bagi pemilik perahu yang melanggar UUPBH. Fenomena ini bisa berlangsung terus karena UUPBH sebenarnya hanyalah akal-akalannya “kaum revolusioner” yang ingin menggalang kekuatan buruh nelayan untuk kepentingan politik sesaat. Padahal, kegiatan yang sifatnya perorangan (bukan badan hukum), dengan variasi alat/ikan/tingkat kesulitan tinggi, dengan kultur etnis yang kuat, sulit untuk diatur oleh sebuah UUPBH yang secara ditil menyebut prosentase bagi hasil.

Bagi hasil pertanian, sama dengan bagi hasil peternakan dan juga perikanan, sudah melekat kuat sebagai kultur hampir semua etnis di negeri ini. Dan itu semua tidak bermasalah, karena selalu mengikuti hukum pasar. Menggarap sawah di pedalaman Kaltim secara “maro” (bagi hasil penggarap dengan pemilik sawah 50 – 50%) menjadi lucu. Sebab siapapun bisa punya sawah dengan mudah asalkan punya otot. Punya uang banyak, tidak ada gunanya sebab upah buruh sangat tinggi. Di Jateng, penggarap sawah sampai bersedia “nyromo” (menyewa sawah tetapi hasilnya tetap dibagi dua 50 – 50% dengan pemilik lahan). Sesuatu yang untuk ukuran Kaltim juga menjadi lucu. Demikian pula halnya dengan pola menggaduh ternak atau mengolah tambak. Semua itu merupakan bagian dari kultur kuno yang tidak perlu dipermodern melalui UU baru. Sebab modernisasi dari pola bagi hasil adalah PT atau koperasi.

Yang disebut bagi hasil adalah pembagian keuntungan sekaligus resiko kerugian. Dalam penangkapan ikan di laut, penggaduhan sapi atau maro sawah, hubungan antara pemilik tenaga (skil) dengan pemilik modal dan lahan sangat personal dan dekat sekali. Keuntungan atau resiko tidak mungkin dimanipulir tanpa ketahuan. Tetapi begitu kegiatan ini diperbesar dan sekaligus dipermodern, harus melalui badan hukum. Bisa PT, bisa pula koperasi. Dalam PT, para penyetor modal adalah pemilik saham. Mereka diakui secara sah sesuai dengan hukum perseroan dan berhak untuk mengawasi kinerja eksekutif (direksi cs) melaui dewan komisaris. Keuntungan atau resiko rugi harus diterima, karena selain ada komisaris, PT juga akan diaudit oleh akuntan publik. Dalam koperasi, penyetor modal adalah anggota. Mereka akan memilih pengurus dan pengawas untuk kontrol bagi manajer koperasi. Itulah bentuk modern dari kegiatan bagi hasil tradisional.

Dalam kasus PT QSAR, para penyetor modal disebut sebagi investor. Mestinya mereka diberi saham dan selanjutnya akan membentuk dewan komisaris untuk mencari dan mengangkat Direktur. Kalau para investor ini dianggap sebagai publik yang anonim hingga upaya pengumpulannya dilakukan melalui media massa, maka perusahaan tersebut telah melanggar UU Pasar Modal. Sebab persyaratan perusahaan yang boleh go public sungguh tidak ringan. Alasan ini juga bisa digunakan untuk menjerat para pengumpul dana publik dengan sebutan bagi hasil. Sebab para investor hanya diwakili oleh semacam “Forum Komunikasi Investor”. Sebuah istilah yang sama sekali tidak pernah  ada dalam kamus  Perseroan Terbatas. Jadi, sebutan apa pun yang digunakan oleh para penangguk uang rakyat tersebut, sebenarnya tetap akan menabrak rambu-rambu yang secara ketat telah mengatur usaha di negeri tercinta ini.

***

Dengan argumentasi tersebut di atas, kelahiran UUBHP hanyalah sesuatu yang akan mubazir. Sama dengan kemubaziran UUPBH Perikanan tahun 1964. Sebab pola bagi hasil tradisional tidak pernah bermasalah, sementara pola bagi hasil modern juga sudah penuh dengan rambu-rambu yang sangat ketat. Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Budi daya Tanaman (UUBT) justru lebih mendesak dibanding upaya melahirkan UUBHP yang hanya akan menjadi pepesan kosong. Himbauan atau “instruksi” untuk penyelamatan PT QSAR (plus investornya) dengan dalih bank kolaps pun diberi suntikan BLBI, juga tidak tepat. Sebab sebenarnya para pengelola bisnis bagi hasil ini adalah rampok yang berdiri di gray area. Gray area ini sengaja mereka ciptakan untuk kamuflase. Jadi analognya, mungkinkah seseorang yang dirampok di jalan raya, tiba-tiba minta pemerintah mengganti uang yang dirampok tersebut?

Paling banter yang bisa diharapkan oleh korban perampokan adalah menuntut pemerintah untuk memberikan jaminan keamanan bagi para pejalan kaki di kawasan rawan. Bukan minta ganti bagi uang yang telah dirampok. Yang selama ini dilakukan oleh para pengelola usaha bagi hasil, sebenarnya adalah tindak kriminal yang sangat canggih dalam memanfaatkan kebodohan publik maupun aparat negeri. Pelakunya hanya itu-itu juga. Misalnya, pelaku usaha bagi hasil A sebelumnya telah melakukan usaha serupa B, C dan D yang gagal. Pendiri dan direktur salah satu perusahaan demikian pernah menjadi direktur keuangan PT QSAR. Jadi sebenarnya, kalau ada itikad baik, tidak sulit untuk menggulung tindak kriminal demikian. Jerat hukum yang bisa digunakan pun banyak sekali, tanpa perlu melahirkan UUBHP.

Pejabat negeri yang menyebut bahwa “orang-orang baru ribut sekarang, bukannya dulu-dulu”, sebenarnya juga salah. Saya misalnya, sudah diwawancarai oleh media (dan juga menulis) tentang hal ini sejak tahun 2000. Tetapi jangankan tahun 2000, tulisan saya di harian ini beberapa saat sebelum PT  QSAR kolaps pun masih diragukan orang. Kebodohan publik dan aparat demikian, sebenarnya lumrah dan sangat universal. Masyarakat dan aparat AS serta Jepang sangat terdidik, sangat rasional dan sangat modern. Tetapi  di dua negeri maju tersebut, pembodohan publik dan aparatnya melalui berbagai sekte keagamaan sangat kronis sekaligus akut. Masih mending orang Indonesia yang sedang krisis ekonominya hanyut dalam iming-iming investasi bagi hasil. Itu justru sangat rasional. Di Jepang dan AS, orang kaya dan pintar, demikian mudahnya menyerahkan seluruh harta kekayaannya, dengan iming-iming surga dan ancaman neraka. * * *

F. Rahardi, wartawan/pengamat pertanian.

Artikel pernah dimuat di Kompas


Perkenalan Saya dengan Animisme Purba

$
0
0

Saya dibesarkan di Dukuh (dusun/kampung) Sumber, Kelurahan Panjang, Ambarawa (Jawa Tengah). Kampung halaman saya itu disebut “Sumber” karena memang ada sebuah sumber air yang cukup besar. Air dari sumber itu ditampung dalam sebuah “sendang”, yakni kolam yang kemudian diberi pancuran. Ada lima buah pancuran yang mengucurkan air cukup deras. Di sendang itulah, dahulu orang-orang sekampung mandi, mencuci, dan mengambil air minum. Di musim kemarau yang paling panjang sekali pun, sumber air ini tetap mengalir. Orang-orang dari kampung tetangga, bahkan dari desa tetangga banyak yang datang untuk mandi, mencuci, dan mengambil air di sini. Dahulu ibu-ibu dan juga anak-anak perempuan mengambil air dengan jun atau klenthing. Klenting adalah tempayan bulat terbuat dari gerabah, dengan leher kecil dan lubang yang sedikit melebar. Klenting ini dibawa dengan cara ditaruh di pinggang, lalu leher klenthing ditahan dengan lengan. Laki-laki biasanya mengambil air dengan cara memikul klenthing yang ditaruh dalam keranjang. Ada pula yang menggunakan kaleng minyak tanah ukuran 20 liter.

Di sekeliling sendang itu ada pohon-pohon raksasa, di antaranya, pohon leri, karet hutan, bulu, beringin, gayam, dan waru ketek. Pohon-pohon itu menjulang tinggi sampai 30 meter, rimbun dan akar-akarnya menjalar ke mana-mana. Kesannya seram. Kami, seluruh warga kampung, percaya bahwa di pohon-pohon besar itulah bermukim “roh” nenek moyang. Nama roh penjaga sendang itu Mbah (kakek) Derpo. Dia tinggal di sendang itu bersama istri, anak-anak, cucu-cucu, dan cicit-cicitnya. Ceritanya, dulu Mbah Derpo ini juga warga kampung biasa. Tetapi sehari-harinya dia senang sekali berada di sendang tersebut. Sesepuh kampung yang bernama Mbah Baurekso menegurnya. Katanya, apakah dia itu mau jadi penunggu sendang untuk selamanya? Kok sehari-hari kerjanya hanya ke sendang melulu. Kata-kata sesepuh desa itu rupanya menjadi kenyataan hingga roh Mbah Derpo pun akhirnya menjadi penghuni sendang tersebut.

Semua orang kampung hormat pada Mbah Derpo. Banyak yang mengaku pernah melihat atau bertemu dengan roh penjaga sendang itu. Sewaktu kecil, saya juga percaya pada Mbah Derpo hingga setiap kali lewat sendang itu sendirian selalu merasa takut. Setahun sekali setiap hari Sabtu Pon, sendang itu dikuras, airnya dibuang. Tanggul yang memisahkan sendang itu dengan sawah-sawah di bawahnya, dibedah. Saat itu adalah saat yang sangat menyenangkan. Orang seluruh kampung berebut menangkap lele, gabus, dan belut. Siangnya lalu diadakan selamatan bertempat di pinggir sendang itu. Malam sebelum sendang itu dibedah di bawah pohon beringin di atas mata airnya, sudah dipasang sesaji untuk Mbah Derpo. Kemenyan juga dibakar. Di dekat sendang itu ada sebuah surau berupa rumah panggung terbuat dari bambu, termasuk lantainya juga terbuat dari “galar” (bambu utuh yang dicacah lalu dibelah dan dibentangkan melebar). Konon Mbah Derpo suka sholat di surau itu.

Waktu itu, awal tahun 50-an, di kampung saya, bahkan di kota Ambarawa, memang masih banyak pohon-pohon besar yang kebanyakan tumbuh di pinggir jalan sebagai naungan. Terutama asam, trembesi, beringin, dan kenari. Bangunan-bangunan kuno peninggalan Belanda pun, halamannya juga masih banyak ditumbuhi oleh pohon-pohon raksasa. Pohon-pohon itu tumbuh tinggi. Percabangannya rindang. Batangnya rata-rata dua pelukan orang dewasa. Di jalan masuk ke kampung saya juga ada pohon jati besar. Semua pohon itu katanya ada hantunya. Ada roh yang menunggunya. Bahkan ketika di halaman rumah saya tumbuh pohon asam, orang-orang menyarankan agar pohon itu segera ditebang agar tidak keburu dihuni oleh hantu. Yang pasti, pohon-pohon besar itu banyak sekali dihuni oleh burung, tokek, dan bajing.

Kira-kira 3 kilometer di sebelah utara kampung saya ada pula sebuah batu keramat bernama “Watu Salang”. Batu itu terletak di pinggir jalan di lereng bukit yang sangat terjal. Jalan di bawah batu itu diapit lereng dan jurang kali Babon. Dari jalan, batu keramat itu memang tampak angker. Kata orang-orang, batu itu sebenarnya akan runtuh ke bawah kalau tidak disangga oleh pohon beringin kecil yang tumbuh di situ. Saya tidak pernah sadar bahwa batu itu telah lebih dulu ada daripada pohonnya. Cerita tentang kehebatan watu salang itu selalu saya dengar dari siapa pun. Hingga kalau kebetulan lewat di bawahnya, saya tidak berani menengadah, takut kalau-kalau batu itu tiba-tiba runtuh. Persis di bawah watu salang itu ada beberapa gua Jepang. Disebut gua Jepang karena dibuat oleh para romusha di zaman Jepang untuk keperluan pertahanan perang melawan sekutu.

Masa balita saya memang dikepung oleh roh, hantu, dan tokoh-tokoh gaib. Rawa pening yang jaraknya hanya  kilometer dari kampung saya, jelas dihuni oleh Baruklinting. Di dekat “Watu Salang”, batu yang keramat tadi, ada sebuah bukit tempat tinggal Kiai Gombak. Tak jauh dari situ ada Bukit Kendalisodo yang dihuni oleh Hanoman. Agak ke utara lagi, ada Gunung Ungaran yang dihuni oleh Rahwana alias Dasamuka. Waktu itu saya tak pernah berpikir, mengapa tokoh-tokoh fiktif ciptaan Valmiki dari India itu bisa tinggal di dekat kampung halaman saya. Bahkan saya sangat percaya bahwa Hanoman maupun Dasamuka itu benar-benar ada dan tinggalnya di gunung-gunung itu. Kata orang-orang tua, kalau Hanoman sampai pergi dari gunung Kendalisodo, Rahwana akan keluar dan mengamuk. Artinya, gunung Ungaran itu akan meletus.

Kampung halaman saya terletak di kaki bukit. Di lereng bukit itu terdapat sebuah kuburan besar bernama “Dangkel”. Kuburan itu digunakan oleh beberapa desa tetangga. Namun yang paling top, di kuburan itu ada makam Kiai Tunggul Wulung yang dikeramatkan. Orang-orang biasa berziarah dan menyepi di makam itu. Yang menarik bagi saya, orang-orang yang berziarah itu pasti menaruh rokok dan uang receh sebagai sesaji. Ketika masih kecil, lewat di kuburan kiai itu takutnya bukan main. Itulah makam yang paling angker dari seluruh makam di kuburan itu. Namun setelah menjelang remaja, sesaji di makam kiai itu menjadi incaran saya dan teman-teman. Terutama rokok dan uang recehnya. Secara rutin pada hari Selasa dan Jumat Kliwon kami memeriksa sesaji di makam itu untuk mencari uang dan rokoknya.

Kuburan di atas bukit itu bagi saya sangat indah. Ada banyak sekali pohon kemiren dan kamboja. Dari atas bukit itu, kami dapat melihat kota Ambarawa, Rawa Pening, Gunung Telomoyo, dan Merbabu. Waktu itu, burung puyuh dan ayam hutan masih banyak berkeliaran. Namun nenek dan ibu saya selalu memberitahu bahwa di kuburan itulah paling banyak bergentayangan hantu pocong dan glundhung pringis (tengkorak manusia). Itulah sebabnya, kalau sendirian harus lewat di kuburan itu, selalu saya lakukan dengan berlari. Kecuali kalau kelihatan ada orang sedang mencari rumput atau menggembalakan kambing. Namun setelah agak besar, saya dan teman-teman paling senang membakar singkong di kuburan itu dengan kayu bakar dari nisan yang sudah lapuk dan dibuang karena telah diganti baru.

Saya dan teman-teman memang benar-benar dibesarkan dalam lingkungan masyarakat yang masih sangat mempercayai adanya roh, hantu, dan makhluk halus penghuni tempat-tempat angker. Meskipun banyak orang kampung yang bercerita pernah bertemu dengan tokoh-tokoh gaib itu, saya dan teman-teman tak pernah sekali pun bisa bertemu atau melihat atau mendengar suaranya. Namun demikian, kami tetap merasa sangat ketakutan berada di tempat-tempat yang dikeramatkan tersebut. Baru kemudian, setelah keberanian kami mulai ada, tempat-tempat angker itu justru menjadi lingkungan yang paling kami senangi. Di situlah saya dan teman-teman bisa dengan sangat leluasa bersembunyi untuk memakan buah-buahan hasil curian, juga untuk tempat bersembunyi apabila membolos dari sekolah.

Meskipun belum pernah berteman dengan roh Mbah Derpo, saya dan teman-teman tetap sangat mempercayai berbagai cerita tentangnya. Misalnya, dahulu mata air yang digali oleh Mbah Derpo itu makin lama menjadi semakin besar. Orang-orang menjadi sangat takut, sebab kalau air itu dibiarkan terus, seluruh kampung akan tenggelam dan menjadi satu dengan rawa Pening. Upaya untuk menyumbat mata air itu segera dilakukan, dengan timbunan tanah, pasir, kayu dan kayu-kayu yang cukup besar. Namun semuanya hanyut terbawa aliran air yang semakin besar yang menyembul dari tanah. Akhirnya Mbah Baurekso, sesepuh kampung memerintahkan agar mata air itu disumbat dengan sebuah gong yang cukup besar. Benar, setelah disumbat dengan gong, air itu pun mengecil lalu mengalir seperti biasa. Semua orang kampung percaya bahwa sampai sekarang gong itu masih berada di dasar sendang dan tak ada seorang pun yang berani mengambilnya.

Sampai menjelang remaja, kepercayaan akan roh nenek moyang itu masih tetap terpatri dengan sangat kuatnya di benak saya dan teman-teman. Kami yakin bahwa roh-roh nenek-moyang itu akan memberi keselamatan apabila kami mematuhi adat, kebiasaan dan kepatutan yang telah digariskan. Apabila hal itu dilanggar, pasti akan datang malapetaka. Keyakinan kami itu demikian kuatnya karena hampir setiap hari kami diberitahu tentang hal tersebut. Misalnya, tidak boleh ke sendang tepat pukul 12 siang karena saat itulah Mbah Derpo sedang mengambil air wudlu untuk sholat lohor. Setelah maghrib pun kami tidak boleh ke sendang sebab bisa diganggu oleh cucu-cucu Mbah Derpo yang nakal-nakal. Setelah kami remaja, pantangan-pantangan itu mulai kami langgar. Bahkan kemudian malam-malam kami sering berada di sendang itu untuk memancing ikan gabus. Kadang-kadang, berada di bawah naungan pohon raksasa di malam yang gelap gulita memang muncul juga rasa takut kami. Jangan-jangan Mbah Derpo itu benar-benar datang lalu membawa kami pergi. Tetapi lama-kelamaan ketakutan itu tidak ada lagi.

Baru kemudian di bangku sekolah, Pak Guru pun mengajarkan bahwa kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang yang menghuni pohon atau batu itu, namanya animisme. Jadi, ternyata saya dibesarkan dalam lingkungan yang paham animismenya masih sangat kental. Secara formal sebenarnya saya lahir dan dibesarkan dalam keluarga Katolik di tengah-tengah mayoritas warga kampung yang (secara formal) beragama Islam. Namun, baik yang Islam maupun yang Katolik, semuanya tetap mengakui adanya Mbah Derpo yang menunggu sendang. Semuanya hormat pada roh yang gaib itu. Semuanya harus menaruh sesaji dan ikut selamatan kalau sendang itu dibersihkan tiap Sabtu Pon, setahun sekali. Meskipun kepercayaan terhadap roh Mbah Derpo itu makin lama semakin surut, tradisi bedah kali dan selamatan ini ternyata tetap berlangsung sampai sekarang. Gang di dekat sumber air itu pun sekarang disebut sebagai Jalan Derpo. *** (Buku Menggugat Tuhan Bab I)


Perkenalan Saya dengan Hantu

$
0
0

Saya mengenal hantu sejak usia balita. Ketika itu, saya memang sering ditakut-takuti oleh orang-orang tua di sekitar saya. Pada suatu hari di rumah saya sedang ada hajatan menyunat paman saya. Banyak sanak famili yang datang membantu memasak dan menyiapkan macam-macam. Kebanyakan mereka itu wanita. Waktu itu hari sudah agak malam. Saya berada di sebuah ruang yang dipisahkan dengan ruang sebelahnya oleh sebuah sekat terbuat dari gedek bambu. Tiba-tiba saya melihat ada benda hitam seperti ekor kuda muncul dari atas sekat itu. Saya langsung menelungkupkan muka ke atas bantal dan menutup seluruh badan dengan selimut. Jantung saya berdegup keras. Saya benar-benar takut, dalam hati saya berpikir, inilah hantu yang sering diceritakan oleh para orang tua itu.

Setelah beberapa menit saya memberanikan diri mengintip dari celah selimut. Benda itu masih ada di sana. Saya tambah ketakutan. Setelah nenek datang, baru ketakutan itu mereda. Ternyata benda itu adalah ikatan rambut untuk konde (cemara), milik salah seorang famili. Karena gerah, konde itu dia lepas lalu ikatan rambut untuk memperbesar konde itu digantungkan di sekat ruangan. Ia menggantungkannya dari ruang sebelah, hingga dari ruang tempat saya tidur, yang tampak hanya untaian rambut yang nyelonong begitu saja. Meskipun sudah nyata-nyata tahu bahwa yang terlihat itu bukan hantu, namun ketakutan itu masih terus ada. Bayangan benda hitam yang tiba-tiba datang lalu bertengger di gedek itu masih saja ada dan sulit untuk dihapus. Bayangan seperti itu sungguh sangat menakutkan.

Untuk kedua kalinya, saya melihat hantu di belakang rumah tetangga. Ujudnya sebuah benda bulat agak memanjang berwarna merah dan cukup besar tergantung di pohon lengkeng. Begitu melihat hantu itu, saya langsung kaget dan ketakutan. Dengan histeris, saya berlari pulang sambil terus berteriak-teriak dan menangis. Sejak itu, saya menderita sakit panas dan mengigau. Dalam igauan itu saya selalu berteriak-teriak ketakutan karena dikejar oleh momok plendhung (hantu yang menggelembung). Setelah sakitnya agak sembuh, saya mulai berani duduk-duduk di depan rumah. Namun setiap hari sekitar pukul 9 atau 10 pagi, pada saat rumah sepi telinga saya selalu mendengar suara wek-wek-wek yang datang dari njagang (jurang) di sebelah barat rumah. Lama setelah sembuh pun saya tetap tidak berani datang ke rumah tetangga tempat hantu itu, lebih-lebih ke jurang di sebelah barat rumah.

Baru kemudian setelah saya menjadi remaja, ketahuan bahwa hantu merah yang menggantung di pohon lengkeng itu adalah sangkar perkutut. Karena perkutut itu masih baru, oleh si pemilik, sangkarnya dikerudungi kain merah. Mungkin waktu itu saya sudah mulai panas (demam) akibat terkena infeksi radang tenggorokan. Hingga penglihatan pun menjadi agak mengabur. Sedang suara yang kedengaran dari arah jurang itu adalah suara bebek milik Mbah Amat yang tiap pagi memang dilepas untuk mencari cacing di jurang sebelah. Ketakutan saya terhadap hal-hal yang sepele itu muncul karena hampir tiap hari saya selalu mendengar cerita-cerita tentang hantu. Pada waktu itu bercerita melihat hantu adalah hal yang membanggakan bagi siapa pun di kampung saya.

Hantu berikutnya yang saya lihat, ujudnya manusia yang botak, agak gemuk, besar sekali, dan berwarna abu-abu. Waktu itu, saya sudah berumur sembilan tahunan. Dengan beberapa orang teman, saya pergi ke ladang untuk mencari kayu bakar. Kami semua membawa sabit dan berjalan sambil bercanda. Tiba-tiba saja saya melihat sosok hantu itu menyembul dari sebuah tebing jurang, lalu surut lagi. Karena sudah besar, saya dan teman-teman tidak ketakutan. Karena tidak percaya pada penglihatan saya, saya dan teman-teman pun menyempatkan diri menengok ke balik tebing jurang itu. Ternyata tidak ada apa-apa. Ketika pengalaman saya ini saya ceritakan ke teman-teman yang lain dan orang-oran tua, mereka antusias sekali.

Konon, lokasi tempat saya dan teman-teman melihat hantu itu memang pernah digunakan oleh seorang dukun untuk membuang setan. Ceritanya begini, ada anak perempuan seusia saya yang sakit keras berkepanjangan. Sakitnya panas dan mengigau-ngigau. Ia sudah dibawa ke dokter namun tidak juga sembuh. Orang tuanya lalu mencari dukun. Menurut si dukun, anak perempuan itu sakit karena ditempeli setan. Jadi kalau mau sembuh, setannya harus dibuang. Caranya dengan selamatan, membuat sesaji, dan setan itu memang harus secara fisik benar-benar dibuang. Dukun itu lalu sibuk. Setan yang konon mengganggu anak perempuan itu lalu digendong satu per satu dan dibuang ke sebuah jurang. Orang tua anak perempuan itu lalu mengadakan selamatan dan membuat sesaji. Nama anak perempuan juga diganti hingga kemudian dia sembuh. Orang-orang di kampung saya percaya bahwa makhluk abu-abu yang saya lihat adalah salah satu dari setan-setan itu.

Saya sendiri, meskipun agak takut juga, tetap tidak percaya pada cerita orang-orang iu. Untuk membuktikannya saya mengajak dua orang teman saya yang tergolong pemberani, menuruni jurang itu. Tebingnya cukup terjal dan ditumbuhi rumput, paku-pakuan, bambu, dan gerumbulan liar lain. Di dasar jurang itu, ada sebatang pohon awar-awar yang tumbuh melintang di atas sebuah lubuk. Ada air terjun kecil yang mengucur ke lubuk itu. Dengan susah payah, akhirnya kami sampai di dasar jurang. Tempat yang diapit oleh jurang sempit dan dipenuhi belukar itu memang gelap, lembap dan menyeramkan. Namun, di lubuk itu banyak sekali ikannya. Karena kondisi ekonomi tahun enam puluhan itu sangat susah, yang muncul di pikiran kami waktu itu bukannya soal hantu melainkan bagaimana upaya mengeringkan lubuk itu untuk mendapatkan ikannya.

Beberapa hari kemudian, kami pun kembali menuruni jurang itu. Dengan cangkul, sabit, ember dan bakul. Air yang mengalir ke lubuk itu kami bendung, lalu alirannya dibelokkan. Dengan ember, air di lubuk itu kami ciduk dan kami lemparkan ke bawah. Seharian kami berhasil mengosongkan air di lubuk kecil itu. Kami mendapatkan lele, gabus, wader, dan udang. Ikan-ikan itu kami bagi tiga untuk dibawa pulang. Namun dua teman saya membawa ikan-ikan itu kembali ke rumah saya. Ternyata ibu mereka tidak berani menggoreng ikan yang berasal dari lubuk tempat membuang setan itu. Nenek saya karena tidak tahu asal-usul ikan itu, mau saja menggorengnya.

Untuk lebih membuktikan bahwa lubuk itu tidak angker, kami pun lalu membuat sebuah gua di atasnya. Tanah padas hasil galian gua itu kami gunakan untuk menimbun lubuk. Berbulan-bulan kami bekerja secara rahasia sampai gua itu tergali cukup dalam. Seluruh lubuk itu akhirnya tertimbun. Air terjun di atasnya hilang. Di gua itu kami dapat duduk-duduk atau berbaring. Persis pada malam Jumat Kliwon kami memutuskan untuk bermalam di gua itu. Karena hanya seorang teman saya yang berani ikut, maka kami pun hanya berdua menginap di sana. Kami hanya tahan sampai jam 11 malam. Bukan karena ketakutan tapi nyamuknya banyak sekali dan besar-besar. Seluruh badan kami bentol-bentol.

Malam berikutnya kami kembali bermalam di sana. Sebelumnya, seluruh badan kami lumuri minyak tanah. Kami pun membawa sabut kelapa dan kayu bakar untuk membuat api. Kami dapat bertahan sampai subuh, namun setan itu tidak juga mau datang. Sampai sekarang saya tidak tahu, apakah yang saya lihat itu benar-benar hantu atau sekadar halusinasi. Yang jelas kami sehat-sehat saja. Yang kasihan justru pemilik ladang di sebelah lubuk angker itu. entah siapa yang membocorkan, akhirnya ada juga yang tahu bahwa di jurang itu ada sebuah gua. Sehabis G 30 S, pemilik ladang itu didatangi polisi dan pak lurah. Dia dituduh menggali gua untuk membunuh dan menyembunyikan mayat korban. Terpaksalah kami menjelaskan duduk persoalannya.

Selanjutnya, saya menjadi tidak begitu percaya pada hantu. Kalau ada orang tua atau teman yang dengan antusias menceritakan pengalamannya melihat hantu, saya pun segera mengambil kesimpulan bahwa mereka itu pembual. Akan tetapi, ketika di pelabuhan (sungai) di Sukamara (Kalteng) tujuh teman saya mengaku semalaman diganggu hantu, saya menjadi agak bingung. Salah seorang teman itu malah tidurnya dipindah ke ujung dermaga hingga nyaris kecemplung kali. Kemudian berkali-kali teman-teman saya mengalami kejadian aneh-aneh lantaran diganggu hantu, sementara saya tidak apa-apa.

Rumah yang saat ini saya tinggali pun konon juga ada hantunya. Namun saya, istri, dan anak-anak serta tamu-tamu yang menginap tidak pernah merasa terganggu hantu. Justru rumah tetangga di depan yang ada masalah. Setiap kali ada tamu datang, selalu mendapat gangguan. Akhirnya, dia mendatangkan seorang Pastor yang ahli paranormal. Hantu itu pun lalu diusir dengan doa-doa dan ritual lainnya. Di sudut-sudut rumah itu juga dikuburkan ayam sebagai penangkalnya. Sejak itu, katanya hantu-hantu itu tidak pernah mengganggu lagi. Saya lalu yakin bahwa hantu itu memang benar-benar ada. Namun, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihat sosoknya atau mendengar suaranya. Sementara saya, mungkin karena “gelombangnya” tidak cocok, sama sekali tidak pernah mendapatkan gangguan apa pun dari si hantu, sampai saat ini. *** (Buku Menggugat Tuhan Bab II)


Perkenalan Saya dengan Santet

$
0
0

Santet atau tenung alias teluh alias guna-guna adalah sebuah gejala alam yang sudah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, namun sampai sekarang ini tetap tak kunjung dipahami. Ujud dari gejala itu adalah seseorang menjadi sakit dan penyakitnya itu dipercayai oleh masyarakat, didatangkan atau dibuat oleh orang lain dengan menggunakan kekuatan magic atau mistik atau paranormal. Sejak kecil, saya sudah mendengar ihwal santet ini dari ibu saya maupun famili-famili. Lingkungan saya kebetulan tidak mempercayai fenomena santet. Lingkungan rumah, sekolah, maupun gereja menganggap bahwa gejala santet hanyalah sekadar bohong-bohongan. Orang sakit ya harus dibawa ke dokter atau diobati. Sakit karena santet adalah sesuatu yang sangat tidak masuk akal bagi saya.

Misalnya saja, saya pernah mendengar cerita bahwa salah seorang Pak De menderita sakit dan kemudian keluarlah paku dan jarum dari badannya. Ibu saya mengatakan bahwa semua itu hanyalah sulapan. Saya juga ikut tidak percaya. Ketidakpercayaan saya pada yang gaib-gaib ini diperkuat oleh fakta-fakta sebagai berikut. Kalau ada anak tetangga atau famili yang sakit dan oleh dukun dicap sebagai kena santet, ternyata setelah dibawa ke dokter, penyakitnya cukup jelas. Ada yang cuma cacingan. Ada yang radang tenggorokan, ada yang tetanus, dan lain-lain. Setelah Pak Mantri Suntik atau dokter memberi obat dan merawatnya, penyakit itu pun bisa sembuh. Yang cacingan dari perutnya keluar cacing. Yang radang tenggorokan panasnya turun dan doyan makan lagi.

Pernah pada suatu ketika ada anak salah seorang paman saya yang sakit. Sudah berbulan-bulan, anak itu tergeletak di tempat tidur dan badannya kurus kering. Menurut paman saya dia diguna-gunai oleh orang yang tidak suka dengan paman saya. Katanya sudah banyak dukun yang dia hubungi, hasilnya tidak ada. Oleh ibu saya, anak tadi lalu dibawa ke dokter. Menurut dokter, anak tadi sakit lever. Pengobatannya akan makan waktu lama. Seminggu sekali anak itu harus dibawa ke dokter untuk diperiksa. Ini berjalan selama beberapa bulan. Dan ternyata anak itu memang dapat sembuh. Saya pun makin yakin bahwa yang namanya santet itu hanya bohong-bohongan. Hanya akal-akalannya para dukun untuk membohongi pasien dalam rangka mencari uang.

Setelah drop out kelas II SMA, saya pun jadi guru di sebuah desa di kawasan Kabupaten Kendal. Di sini isu mengenai santet, setan, hantu, guna-guna, dan lain-lain makin banyak saya dengar. Tentunya, saya tetap tidak percaya. Puncak ketidakpercayaan saya ini terjadi pada tahun 1970. Waktu itu teman saya, juga seorang guru, menderita sakit. Pak Lurah setempat memperlihatkan kepada saya potongan bambu kecil-kecil dan paku yang diikat dengan rambut. Menurut Pak Lurah tadi, barang-barang itu keluar dari tubuh teman saya. Pak Lurah itu yakin bahwa seseorang telah mengguna-gunai teman saya. Saya manggut-manggut dan pura-pura memperhatikan, namun dalam hati tidak percaya. Tidak mungkin ada bambu dan paku bisa keluar dari tubuh seseorang.

Paginya, saya dan teman yang sakit itu sama-sama berangkat ke kota kecamatan untuk mengambil gaji. Teman itu bercerita bahwa dia sakit karena disantet orang dan dari tubuhnya keluar benda macam-macam. Saya kembali manggut-manggut dan masih tetap tidak percaya. Di tengah perjalanan teman tadi batuk-batuk dan muntah darah. Wah, Anda ini pasti kena TBC, kata saya waktu itu. Akan tetapi, dalam darahnya tadi ternyata ada pakunya. Kemudian, teman tadi batuk-batuk lagi dan ada sebuah paku yang menyangkut di tenggorokannya. Paku diambilnya dengan agak susah payah. Ketika sudah berhasil keluar, paku itu benar-benar paku. Ketika saya pegang juga keras dan tajam. Ketika saya buang ke jalan yang berbatu-batu juga berbunyi “ting” seperti halnya paku biasa.

Menghadapi kenyataan itu, saya syok berat dan bingung; juga sangat takut. Berhari-hari saya tidak enak makan dan sulit tidur. Bagaimana mungkin ada paku keluar dari tubuh teman saya, dan ini semua saya lihat dengan mata kepala sendiri. Masuknya bagaimana? Sekarang saya tidak berani menuduh teman saya tadi berbohong. Apa mungkin teman saya tadi pura-pura batuk, lalu pura-pura mengeluarkan paku dari dalam mulutnya? Lalu untuk apa? Lebih-lebih dia juga tampak kesakitan dan juga ketakutan. Teman saya tadi baru sembuh setelah diobati oleh “seorang pintar”.

Keheranan saya ini berlanjut karena beberapa kali saya melihat fenomena aneh tersebut. Saya menyaksikan nenek teman saya memasukkan batangan emas (susuk) ke leher dan pipi seorang wanita. Biasanya, yang datang ke nenek teman saya tadi adalah para WTS. Mereka minta dipasangi susuk emas supaya kelihatan cantik hingga pelanggannya banyak. Kemudian saya juga melihat, dari lengan teman yang lain keluar paku dan pecahan kaca. Tampak bekas luka yang biru kemerahan yang setelah dilap dengan daun sirih dan minyak kelapa lalu pulih lagi. Anehnya, teman saya yang satu ini oleh “orang pintar” yang menyembuhkannya bukan hanya sekadar diobati tetapi juga diajari mengobati penyakit-penyakit semacam itu. Ternyata teman saya itu mampu.

Sejak itulah, saya lalu percaya bahwa santet memang betul ada. Tapi sekaligus saya sangat penasaran dan ingin sekali tahu duduk persoalannya. Saya pun mulai banyak bertanya pada mereka yang tahu. Saya juga mencoba banyak membaca tulisan-tulisan tentang santet. Pertanyaan saya adalah apakah paku dan emas tadi benar-benar masuk ke tubuh manusia? Kalau ya, mestinya akan tampak kalau dirontgsen. Tetapi, kenalan saya yang memakai susuk dan dirontgsen, hasilnya dalam gambar rontgsen itu tidak tampak ada emasnya. Apakah dukun itu menipu? Emasnya dikantungi dan dengan keterampilan tangannya dia bikin atraksi seolah-olah emas itu telah dimasukkan ke pipi si pemesan? Tapi lalu bagaimana dengan teman saya yang tiba-tiba muntah mengeluarkan paku tadi?

Kesimpulan saya, memang ada sebuah atau suatu kekuatan yang sampai saat ini belum dipahami benar oleh manusia. Kekuatan tersebut ternyata dapat digunakan untuk membuat tubuh menjadi kebal, dicintai perempuan, dan lain-lain. Ternyata, kekuatan itu netral. Sebelumnya, saya sering mendengar ada istilah black magic dan white magic. Ternyata ini tidak betul. Dengan ilmu yang sama seseorang bisa menyakiti namun bisa pula menyembuhkan orang lain.

Istilah white magic dan black magic sebenarnya saya ketahui dari buku-buku cerita silat Cina dan silat Jawa. Dalam cerita-cerita itu memang jelas-jelas disebutkan adanya golongan hitam dan golongan putih. Jauh sebelum berkenalan dengan cerita silat, saya sudah lebih dulu mengenal Kitab Suci. Di Kitab Perjanjian Lama, maupun Baru (Injil) memang disebutkan adanya kekuatan gaib yang disebut sebagai “mukjizat”. Misalnya saja mukjizat Nabi Musa yang dengan tongkat saktinya berhasil menangkal pengaruh sihir jahat dari Firaun. Yesus sendiri juga tak terhitung jumlahnya berbuat mukjizat.

Dari pengetahuan dan bacaan tadi, saya diberi teori adanya kekuatan gaib yang berasal dari Tuhan dan kekuatan gaib dari setan. Pendapat semacam ini sangat kokoh di masyarakat dan justru hal inilah yang menyebabkan pengetahuan masyarakat terhadap fenomena ini menjadi sangat minim dan sulit sekali untuk berkembang sejak ribuan tahun yang lalu.

Hambatan untuk menyingkap misteri santet, sebenarnya bukan hanya datang dari agama melainkan juga dari ilmu pengetahuan. Dulu ilmu pengetahuan sendiri, misalnya ilmu astronomi, biologi, antropologi, dan lain-lain pernah mengalami hambatan bahkan berkonfrontasi secara frontal dengan agama. Ketakutan agama (dalam hal ini Gereja Katolik) terhadap teori gravitasi dan teori Darwin misalnya, demikian hebatnya. Meskipun akhirnya juga mencapai antiklimaks. Ilmu pengetahuan itu terbukti kebenarannya, namun pembenahan terhadapnya toh tidak berakibat apa-apa terhadap institusi Gereja.

Nasib yang dialami santet dan kekuatan paranormal lain, jauh lebih tragis. Fenomena ini sudah dikenal sejak ribuan tahun silam dan diaplikasikan untuk keperluan praktis (misalnya Orakel Delphi). Namun, misterinya sampai sekarang tak kunjung tersingkap karena tantangan dari dua institusi yang “super tangguh” yakni institusi agama dan institusi ilmu pengetahuan.

Padahal kalau misteri “kesurupan” atau intrance terpecahkan misalnya, bisa saja terjadi sebuah revolusi. Manusia (pribadinya, rohnya) bisa saja hidup terus dengan cara berganti-ganti badan. Transfer pikiran itu bisa dilakukan tanpa perlu pembedahan atau tindakan medis lain. Demikian pula halnya dengan istilah “belajar” yang akan menjadi kuno. Sebab ilmu pengetahuan atau bahasa atau keterampilan juga bisa dengan mudah ditransfer ke orang lain semacam kita mengopi kaset atau disket. Kapan itu semua bisa terjadi, tentunya masih harus menunggu sampai ada perubahan sikap dari ilmu pengetahuan/institusi agama. Mereka harus mau lebih arif dalam menghadapi fenomena yang satu ini. Bukan sekadar bersikap apriori. Atau sebaliknya membabi buta menjalankannya tanpa sikap kritis/ilmiah.

Meskipun selama ini kekuatan gaib atau mukjizat itu sangat lekat dengan dunia keagamaan, saya cenderung berpendapat bahwa tak ada hubungan antar keduanya. Banyak terjadi mukjizat di sekitar tokoh-tokoh agama, tapi itu hanya kebetulan. Banyak tokoh agama yang “biasa-biasa” saja dan banyak pula tokoh bukan agama yang menguasai keterampilan/pengetahuan paranormal ini. Jadi, saya berpendapat bahwa hal-hal yang gaib itu memang tak punya korelasi sama sekali dengan dunia keagamaan. *** (Buku Menggugat Tuhan)


Selamatan

$
0
0

Selamatan atau kenduri adalah acara makan bersama. Ada dua macam selamatan. Yang pertama dilakukan secara kolektif di rumah Pak Bekel, di sendang atau di kuburan. Yang kedua dilakukan secara perorangan di rumah masing-masing. Selamatan kolektif di rumah pak Bekel (kepala dukuh) dilaksanakan dalam rangka perayaan hari raya Islam, seperti 1 Muharam dan lain-lain. Meskipun untuk merayakan hari raya Islam, selamatan ini diikuti oleh seluruh penduduk di pedukuhan itu, tak peduli agamanya Islam atau bukan. Selamatan di sendang dilaksanakan dalam rangka meminta berkah pada Mbah Derpo, penunggu sendang. Selamatan ini dilakukan pada saat sendang itu dibedah/dibersihkan. Kemudian selamatan di kuburan atau nyadran dilaksanakan dalam rangka memberikan sesaji/makanan pada arwah leluhur. Sementara selamatan di rumah-rumah penduduk dilakukan untuk persyaratan pernikahan, kelahiran, tingkeban (7 bulanan), sunatan, dan kalau ada kematian, mulai saat kematian, 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, setahun, 2 tahun, dan ngentek (penghabisan = 3 tahun).

Acara selamatan adalah saat yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh penduduk, terutama oleh anak-anak. Karena pada saat itu kami dapat makan sekenyangnya dengan lauk yang sangat istimewa. Hanya itu. Hal-hal lain yang berhubungan dengan keagamaan maupun roh-roh (paham animisme) sama sekali menjadi tidak begitu penting. Kira-kira seminggu sebelum hari selamatan, Pak Bekel atau Pak Bayan, akan berkeliling dari rumah ke rumah untuk memberitahu hari selamatan tersebut. Betapapun miskinnya seseorang, pasti akan tetap berusaha untuk mencari uang, berbelanja, dan memasak untuk selamatan. Yang dimasak adalah nasi, sayur (bisa 2 atau 3 macam), dan lauk pauknya yang lebih dari lima macam.

Meskipun jenis lauknya banyak, tak ada seorang warga pun yang menyajikan lauk berupa ikan, daging, atau telur, kecuali untuk selamatan di sendang yang menggunakan sebutir telur rebus dan selamatan di kuburan yang menggunakan telur dadar dan daging (bisa ayam atau sapi). Setelah selesai memasak, yang dibuat bucu (meruncing) ditaruh di bakul, dan sayur serta lauk pauknya ditaruh di takir (kotak persegi terbuat dari daun pisang).

Kira-kira pukul 4 sore akan terdengar bunyi kentongan dari rumah Pak Bekel dan orang-orang pun berangkat, mengenakan kain sarung, berkemeja, berpeci, dan memeluk bakul berisi “nasi tumpeng” tadi. Di rumah Pak Bekel sudah digelar tikar. Orang-orang duduk melingkar menjadi beberapa kelompok. Setelah semua berdatangan, mulailah Pak Bekel memberikan sambutan dan pengumuman singkat. Selesai sambutan, daun-daun pisang yang tadi digunakan untuk menutupi bakul digelar di tengah tikar. Lalu, nasi tumpeng ditumpahkan di sana dan diratakan. Sayuran dan lauk pauk dilempar-lemparkan di atas nasi itu agar membaur. Setelah acara menumpahkan nasi ini selesai, Pak Modin (lebai) membacakan doa secara Islam. Orang-orang itu makan bersama sampai kenyang.

Setelah itu, sisa nasi yang sudah bercampur sayur dan lauk-pauk tadi dijadikan rebutan dan ditaruh lagi di bakul untuk dibawa pulang. Orang-orang yang tergolong terpandang sebagai priyayi biasanya hanya mengambil sedikit sebagai syarat. Tapi kebanyakan orang berebut untuk sebanyak mungkin memenuhi bakulnya. Sesampai di rumah, nasi tadi dituang di tampah dan kembali dijadikan rebutan seluruh anggota keluarga. Nasi ini disebut nasi berkat. Jadi, yang ikut memakannya akan mendapat berkat dan keselamatan.

Pada selamatan 1 Muharam yang disebut Suran, selain memasak nasi dan lauk-pauknya, orang-orang diwajibkan untuk membuat “bubur suro”. Ini adalah bubur beras biasa namun sudah sekalian diberi lauk termasuk kedelai hitam yang digoreng. Bubur suro ini di rumah Pak Bekel tidak dituang dan dicampur nasi, tapi tetap dibiarkan di takir masing-masing. Biasanya 1 keluarga membuat 4 sampai 5 takir bubur suro. Yang dimakan di rumah Pak Bekel hanya 1 takir. Setelah dibawa pulang lagi, bubur suro tadi sebagian dimakan oleh anggota keluarga dan sebagian lagi dioleskan di pohon-pohon. Maksudnya, agar pohon-pohon itu mau berbuah lebat dan terhindar dari serangan hama/penyakit.

Selamatan di sendang dilakukan pada tengah hari, yakni sehabis orang-orang bergotong-royong membersihkan sendang itu. Khusus untuk selamatan di sendang ini, menunya adalah nasi, urap (sayur direbus + toge dan sambal kelapa), lauknya tempe goreng, ikan asin, peyek kacang, dan telur rebus sebutir. Yang paling istimewa adalah selamatan nyadran di kuburan. Istimewa karena pesertanya juga dari lain-lain dukuh/desa yang punya leluhur dimakamkan di sana. Kemudian menunya pun tergolong luks lengkap dengan telur dadar dan daging ayam/sapi.

Selamatan kolektif ini ada pula yang dilakukan insidental. Pada tahun 1965, ketika muncul komet Ikeya Seki, sesepuh dukuh saya memberi saran agar seluruh penduduk mengadakan selamatan tolak bala di perempatan jalan. Menunya nasi liwet dan ikan emas yang disambal goreng. Tak lama kemudian memang terjadi peristiwa G 30 S dan terjadi serangkaian pembunuhan. Di kota Ambarawa pun terjadi banyak pembunuhan. Kampung saya selamat. Tak ada seorang pun yang terbunuh. Bukan karena adanya selamatan tadi, tapi karena memang tidak ada PKI-nya.

Selamatan-selamatan yang dilakukan oleh perorangan untuk keperluan kelahiran, sunat, nikah, kematian, dan lain-lain, menunya juga berbeda-beda. Tapi kebanyakan juga sama dengan selamatan kolektif di rumah Pak Bekel. Mula-mula, selamatan ini dilakukan dengan cara mirip selamatan kolektif. Beberapa daun pisang utuh (berikut pelepahnya) ditaruh di tengah tikar. Nasi, sayur, dan lauk dihamparkan, doa dibacakan, dan orang-orang makan. Selesai makan, sisa nasi, lauk dan sayurnya digunduk-gundukkan, daun-daun pisang itu dipenggal-penggal, lalu ditangkupkan dan diikat untuk dibawa pulang sebagai “berkat”. Mungkin karena cara ini dianggap tidak higienis, cara selamatan ini kemudian diubah. Yang dimakan nasi yang ditaruh di piring dan yang dibawa pulang sudah disipkan dalam katokan yakni anyaman daun kelapa. Dalam selamatan 7 bulanan, yang disajikan hanya nasi urap. Dalam selamatan pemberian nama bayi menunya bubur merah putih.

Anak-anak pun dilibatkan untuk mulai ikut selamatan. Pada waktu hari nepton (hari kelahiran/pasaran) pada bulan kelahiran (bulan Jawa) seorang anak, diadakanlah bancakan. Menunya nasi kuning dengan urap dan lauk macam-macam ditaruh di tampah. Anak-anak pun dipanggil lalu ibu rumah tangga mengumumkan bahwa ini adalah bancakan-nya si A atau si B biar cepat besar dan dijauhkan dari sambekolo. Lalu tanpa didahului doa, anak-anak pun makan mengelilingi tampah yang ditaruh di atas tenggok di serambi rumah. Kalau tersisa, nasi itu dibungkus daun dan dibawa pulang. Biasanya tidak ada yang tersisa. Malah sering kurang hingga perlu ditambah nasi atau lauk dari dalam rumah.

Selamatan yang dilakukan perorangan ini tidak hanya dilakukan oleh penganut agama Islam, tapi juga yang Katolik. Anehnya, meskipun agamanya Katolik, selamatannya tetap saja memanggil Pak Modin dan doanya juga doa Islam. Tak pernah ada yang meributkan adat yang aneh ini. Yang justru saya rasakan lebih aneh adalah adat selamatan yang dilakukan di desa Boro (Kulon Progo), ketika saya tinggal di sana, selamatan kolektif ini dilakukan untuk merayakan hari raya Islam, tapi doanya justru doa Katolik. Misalnya hari raya 1 Muharam orang-orang selamatan di rumah Pak Kepala Dukuh, namun doanya dipimpin oleh ketua lingkungan Katolik dengan doa-doa Katolik. Di sini pun tak ada yang menganggap adat ini aneh.

Pada bulan puasa, ketika di surau satu-satunya di dekat sendang di kampung saya diadakan sholat tarawih, orang-orang pun secara bergilir diminta jaburan, yakni kue-kue untuk dimakan sehabis sholat tarawih. Yang menyetor jaburan ini bukan hanya yang beragama Islam tapi juga yang Katolik. Yang ikut tarawih pun tidak hanya anak-anak yang beragama Islam tetapi juga yang Katolik karena ingin mendapat jatah jaburan. Ketika Idul Fitri datang, orang-orang datang ke Surau. Saat ini yang datang memang hanya yang secara formal beragama Islam. Mereka ke surau bukan untuk Sholat Ied melainkan untuk selamatan. Mereka membawa ketupat yang sebagian sudah dipotong-poong, sambal goreng, opor ayam, dan lauk-pauk lainnya.

Dugaan saya, keakraban antara Islam dan Katolik di kampung saya tadi bukan hanya disebabkan karena faktor kekerabatan melainkan juga oleh masih tebalnya paham animesme. Selamatan di kuburan misalnya adanya nyata-nyata paham animisme karena untuk memuliakan roh nenek-moyang. Lebih-lebih selamatan di sendang yang memang jelas untuk menghormati Mbah Derpo, roh penunggu sendang, “dewanya” orang-orang sekampung. Jadi, meskipun kemudian Islam dan Katolik masuk, ikatan animisme tadi masih tetap kuat hingga perbedaan akibat agama “baru” itu menjadi tak begitu tampak.

Selamatan-selamatan yang saya ceritakan ini dugaan saya adalah warisan adat animisme. Ketika Islam masuk, selamatan tadi lalu dikait-kaitkan dengan hari raya Islam. Itulah sebabnya ketika Belanda datang dan orang-orang memeluk agama Katolik, selamatan untuk “merayakan” hari raya Islam itu tetap mereka lakukan juga. Masalahnya bukan cuma “solidaritas” antar kerabat, malainkan selamatan itu sendiri masih sangat diperlukan untuk mendapatkan suatu katarsois sesuai dengan adat animisme. Jadi, kaitan dengan hari raya Islam itu lalu menjadi tidak begitu penting lagi. Sebab selamatan dengan menghadirkan aneka makanan itu, pada hakikatnya adalah upaya untuk mendapatkan keselamatan dari “Tuhan”. Jadi tetap wajib untuk mereka lakukan. *** (Buku Menggugat Tuhan)



Perkenalan Saya dengan Gereja

$
0
0

Pertama-tama yang saya kenal sebagai gereja adalah sebuah bangunan yang megah dan menjulang setinggi 37 meter. Bangunan itu letaknya di pinggir jalan raya kira-kira satu kilometer dari rumah saya. Kalau saya memanjat pohon, menara gereja itu pun akan kelihatan. Ketika belum bisa memanjat, saya sering menyaksikan kakak maupun paman saya buru-buru memanjat pohon sekadar untuk melihat jam di menara gereja itu. Di rumah nenek saya, tidak ada jam. Kalau pas jam tertentu, misalnya jam lima, lonceng di sana pun berdentang lima kali. Setiap setengah jam lonceng itu berbunyi tetapi hanya satu kali. Malam hari nenek saya sering bingung. Mula-mula dia mendengar dentang satu kali. Mungkin jam satu kemudian terdengar lagi dentang sekali. O, setengah dua, pikir nenek saya. Ketika setengah jam kemudian kedengaran dentang sekali lagi, nenek saya jadi bingung. Kadang-kadang kami salah dengar. Sebenarnya pukul sepuluh tapi dentang lonceng jam gereja itu hanya kedengaran sembilan kali. Untuk mencocokkannya, kami pun harus mendengar bunyi kentongan dari berbagai gardu ronda. Gereja bagi saya adalah bangunan megah yang ada jamnya.

Tiap pukul 6 pagi, pukul 12 siang, dan pukul 6 sore, selain bunyi dentang 6 dan 12 kali, lonceng panjang pun dikumandangkan. Mula-mula berbunyi teng-teng-teng (tiga kali) lalu istirahat kemudian tiga kali lagi dan istirahat lagi, begitu sampai tiga kali. Selanjutnya, dentang lonceng itu berkelenengan selama barang satu menit. Pada hari Sabtu sore atau Minggu pagi, lonceng yang suaranya lebih berat dan lebih nyaring dibunyikan langsung berkepanjangan. Ini tanda panggilan untuk misa atau kebaktian lainnya. Kalau misa istimewa, misalnya Paskah atau Natal, atau kalau ada pastor/bruder/suster meninggal, dua lonceng itu dibunyikan serentak dan dalam jangka waktu lebih lama. Lonceng-lonceng itu merupakan tanda waktu dan tanda-tanda panggilan lainnya. Orang-orang yang sedang bekerja di sawah atau di ladang, pedomannya juga jam yang ada di menara gereja itu. Dari jauh, jam itu memang kelihatan jelas dan menjadi pedoman bagi kegiatan apa pun. Waktu itu, tahun 50-an, jarang sekali orang mengenakan arloji, yang di kampung saya disebut jam tangan. Orang yang mempunyai “jam bandul” itu pun jumlahnya sangat sedikit. Itulah sebabnya jam gereja itu lalu menjadi sangat penting, baik siang maupun malam.

Bangunan gereja itu beratap sirap. Ini menambah nilai kesakralannya, sebab di Ambarawa, bangunan lain beratapkan genteng atau seng. Kayu untuk atap adalah sesuatu yang aneh bagi saya. Ketika atap sirap itu diganti karena sudah tua, peristiwa ini menjadi sebuah atraksi yang menarik selama berbulan-bulan. Di sekeliling bangunan gereja itu didirikan kerangka bambu sebagai tangga. Lalu sedikit demi sedikit atap sirap itu dibongkar, dikerek turun lalu sirap baru dinaikkan dan dipasang. Semua itu sangat spektakuler bagi saya dan teman-teman. Bangunan gereja itu terletak di tempat yang agak ketinggian. Dari arah jalan raya, ada undak-undakan untuk sampai ke pintu gereja. Pintu itu sendiri berbentuk melengkung bagian atasnya dan terbelah dua. Tebalnya bukan main. Seluruhnya terbuat dari kayu jati dan dijepit dengan plat besar. Ini adalah pintu terhebat yang pernah saya kenal di Ambarawa. Begitu melewati pintu, kita akan menjumpai ruang yang lapang, pilar-pilar besar, dan di kiri kanan lorong masuk itu ada tempat berisi air suci. Pengunjung diwajibkan mencelupkan ujung jarinya di air itu lalu membuat tanda salib.

Ruang dalam gereja itu bagi saya juga sangat spektakuler. Yang pertama kali menarik perhatian saya adalah bangku-bangku kayu jati, dengan tempat duduk anyaman rotan. Bangku-bangku itu bagus dan dipelitur mengkilap. Lalu di atas, di tengah ruangan itu, bergelantungan lampu-lampu antik. Di lorong kiri kanan ruang gereja itu, ada empat ruang khusus untuk mengaku dosa. Di dinding terpajang relief dari semen berwarna oker yang melukiskan kisah penangkapan, pengadilan, sengsara, dan wafat Yesus. Altar di gereja ini ada tiga. Altar utama di tengah, tampak antik dan angker. Altar itu diapit oleh dua altar kecil di kiri kanannya. Siang hari, walaupun lampu antik itu tidak menyala, ruang gereja tetap terang benderang, sebab ada jendela-jendela besar yang ditutup kaca warna-warni. Di balkon di atas pintu masuk gereja ada sebuah orgel dan di situlah rombongan kor menyanyi. Di sisi kiri ada sebuah mimbar yang tempatnya agak meninggi. Di situlah pastor memberi khotbah.

Kalau saya ikut ke gereja, perhatian utama saya selalu beralih dari objek yang satu ke objek yang lain. Semuanya bagus dan enak ditonton. Tempat lilin dan vas bunga mengkilap. Lantai ubin berwarna-warni. Jubah para pastor yang anggun dan masih banyak lagi. Semua itu menjadi makin mengesankan setelah ada bunyi orgel dan nyanyian kor. Itulah gereja Katolik yang saya kenal. Sebuah bangunan megah yang didatangi orang tiap Minggu dan tiap hari raya Katolik. Pada awal tahun 50-an, waktu saya belum bersekolah, pergi ke gereja adalah hal paling menyenangkan. Di sana, saya dapat melihat ruangan yang bagus, lampu yang antik, bangku-bangku mahal, tempat lilin, dan vas bunga kuningan yang mengkilap. Selain itu, seluruh upacara misa itu adalah sebuah pentas. Pastor dan para misdinar itu adalah aktornya. Ada musik dan orgel, doa dan nyanyian. Semua itu merupakan sebuah tontonan yang sangat memikat. Pada waktu itulah bangunan fisik gereja dan upacara misa merupakan hal yang paling menarik.

Bangunan fisik gereja itu dikelilingi oleh bangunan-bangunan lain. Ada pastoran, tempat tinggal pastor. Ada susteran, tempat tinggal suster. Ada sekolah-sekolah. Ada SD, SMP, SGB. Sekolah untuk putri sendiri, dan untuk putra sendiri. Sejak umur 3 tahun, saya selalu minta untuk disekolahkan di sekolah yang WC dan gentengnya bagus. WC bagus ini sangat penting bagi saya, sebab sehari-hari saya buang air besar di selokan dan buang air kecil di mana saja terasa. Di bawah pohon, di rumputan, di belakang rumah, di pinggir jalan, semua tak pernah ada masalah. Jadi, saya ingin sekali merasakan buang air besar/kecil di sebuah tempat yang bernama WC.

Tak jauh dari gereja itu, ada sebuah kuburan Belanda (kerkop) dan pojok selatan ada sebuah makam khusus untuk para pastor, bruder, dan suster. Makam ini unik dan praktis. Makam itu merupakan bangunan persegi dari beton lalu dipetak-petak menjadi seperti laci-laci. Di situlah, jenazah para pastor, bruder, dan suster yang sudah ditaruh dalam peti itu dimasukkan dan pintunya disemen.

Lama-kelamaan saya tahu bahwa gereja ternyata tidak hanya sekadar bangunan itu. Seluruh komunitas itu diikat dalam sebuah wadah, namanya paroki. Paroki ini dibagi dalam wilayah (lingkungan) yang disebut kring. Seluruh paroki itu dilayani oleh empat orang pastor yang rata-rata sudah cukup tua. Salah satu pastor itu menjadi “rektor”. Orang-orang selalu memanggilnya “Romo rektor” dan bukan memanggil dengan sebutan namanya. Organisasi yang mendukung Gereja itu ada macam-macam. Pertama tentu Partai Katolik. Lambangnya rosario yang dibentuk mirip gambar jantung. Waktu pemilu tahun 1955, ayah/ibu saya menusuk Partai Katolik. Nenek saya memilih PNI. Ibu saya menjadi anggota WK (Wanita Katolik). Paman/kakek saya menjadi anggota Pemuda Katolik. Selain itu, masih ada kelompok misdinar dan anggota kor.

Di kampung saya, waktu itu hanya ada 9 keluarga Katolik. Itu pun yang benar-benar ayah, ibu, dan anak-anaknya Katolik hanya ada 4 keluarga. Yang 5 keluarga, hanya anak-anaknya saja yang Katolik. Ini sudah cukup banyak, sebab yang benar-benar beragama Islam dalam arti aktif menjalankan ibadah sholat di langgar, hanya 7 keluarga. Lainnya orang-orang “abangan”. Jadi keluarga Katolik di kampung saya adalah minoritas (bersama-sama dengan Islam) di tengah-tengah keluarga “abangan” yang paham animisme masih sangat kuat. Kegiatan sembahyangan atau kegiatan lain di keluarga-keluarga Katolik tidak pernah ada. Semua terpusat di pastoran dan di gereja.

Pada masa kecil saya, Gereja Katolik hanyalah berupa bangunan fisik, institusi, pastor, bruder, dan suster. Saya belum mengenal Tuhan, Yesus, Maria, dan Nabi-nabi dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Tokoh yang saya kenal justru Mbah Derpo, roh penunggu sendang di kampung saya. Yang juga akrab bagi saya adalah nama-nama wayang Raden Gatotkaca, Rahwana, Hanoman, Semar, Gareng, Petruk, Bagong, dan lain-lain itu saya kenal lewat tontonan wayang maupun gambar mainan yang dipotong kecil-kecil. Tokoh-tokoh wayang itu jauh lebih awal merasuki jiwa saya dibanding dengan Nabi Musa, Nuh, Yusuf, dan lain-lain. Bahkan tokoh Samson yang sebenarnya merupakan salah satu “Hakim” pada Kitab Suci Perjanjian Lama, saya kenal pertama kali lewat “gambar umbul” dan bukan lewat institusi gereja.

Bahkan saya pun sama sekali tidak tahu bahwa saya pernah dibaptis. Saya baru tahu kalau sudah dibaptis dan punya nama baptis ketika sudah kelas III SD. Waktu itu, saya mau menerima komuni pertama lalu diumumkan nama-nama baptisnya. Ternyata oleh Pak Guru nama saya ikut disebut. Ketika teman-teman tahu nama baptis saya, maka berhari-hari mereka pun mempermainkan dan mengolok-olok saya dengan nama baptis itu. Saya bukannya merasa bangga tapi malu sekali. Keadaan baru berubah setelah bruder menjelaskan bahwa orang yang sudah dibaptis, dosa asalnya akan hilang. Maka gantilah teman-teman yang belum dibaptis yang menjadi was-was karena merasa dosa asalnya masih melekat padanya. ***(Buku Menggugat Tuhan)


Perkenalan Saya dengan Tuhan

$
0
0

Saya mengenal istilah Tuhan (dalam bahasa Jawa sebagai bahasa ibu) dari nenek saya. Setiap hari entah berapa kali dia menyebut-nyebut Gusti Allah nyuwun ngapuro (Tuhan, minta ampun) atau O Allah, (Oh Tuhan). Lama-lama saya pun bertanya, Gusti Allah itu siapa Mbah? Nenek saya pun menjawab bahwa Gusti Allah itu Sing nggawe urip (yang menciptakan kehidupan). Saya pun tidak tahu harus bertanya apa lagi, padahal sebenarnya jawaban itu saya nilai tidak memadai. Sementara nenek pun tidak dapat menjelaskan lebih lanjut. Bagi nenek saya, penjelasan itu dinilainya cukup.

Lain halnya kalau saya minta penjelasan tentang Mbah Derpo, roh nenek moyang penunggu sendang. Dia akan bercerita panjang lebar dan sulit untuk diputus. Kalau selama dia bercerita ada yang menyela, maka setelah memberikan jawaban pada si penyela, dia pun akan melanjutkan ceritanya lagi. Padahal cerita tentang Mbah Derpo ini entah sudah berapa ratus kali diceritakannya. Dan saya pun senantiasa setia untuk mendengarkannya. Di KTP, nenek saya ini tercatat beragama Islam. Namun dia tidak tahu apa-apa tentang Islam dan tidak pernah bersembahyang secara Islam. Kalau ada orang bertanya apa agamanya, nenek saya selalu menjawab dia beragama Slamet (selamat).

Baru pada menjelang usia sekolah, saya mendapatkan pelajaran agama Katolik. Saya ikut dua pelajaran agama. Yang pertama di rumah seorang tetangga pada malam hari. Yang mengajar seorang bruder (biarawan Katolik). Di situ, saya hanya diajari berdoa dan menyanyi. Kadang-kadag bruder itu bercerita tentang Tuhan Yesus yang bisa bikin mukjizat yang aneh-aneh. Yang paling menyenangkan, bruder itu selalu membawa gulungan gambar untuk dipakai sebagai ilustrasi cerita. Gambar-gambar itu sangat menakjubkan bagi saya dan teman-teman karena bagusnya. Pelajaran agama ini sifatnya sukarela.

Pelajaran agama saya yang kedua bersifat “harus”. Tempatnya di SMP putri di dekat susteran. Yang mengajar seorang ibu guru yang cantik dan baik sekali karena suka membagi-bagi permen dan biskuit. Bu Guru ini selain mengajar berdoa, juga untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep Teologi Katolik pada saya. Dia bercerita bahwa Tuhan itu satu tapi terdiri dari tiga fitur. Istilah Tri Tunggal. Bu Guru ini pun menunjukkan gambar-gambar sebagai ilustrasi. Ada Allah Bapa yang berjubah dan brewok berambut ikal berwarna putih. Allah Bapa ini tampak seram dan angker. Ada Allah Putra. Ini lebih muda, tetapi wajahnya tetap wajah “Belanda”. Kemudian Allah Roh Kudus yang di dalam gambar hanya tampak berupa sinar dan burung merpati. Sebenarnya saya heran juga, Tuhan kok berupa burung merpati? Namun saya tak berani mempertanyakan hal ini pada bu guru.

Itulah konsep Tuhan yang saya terima secara formal lewat pelajaran agama. Selain seram dan angker, sosok Tuhan itu juga tampak sangat berwibawa, berkuasa dan penuh keagungan. Tuhan itu tinggal di surga. Surga itu tempatnya di langit berupa istana bagus. Tuhan sendiri bertakhta di atas gumpalan awan yang tampak gemerlapan karena disorot sinar oleh Allah Roh Kudus. Semua itu sangat mempesona dan mengagumkan. Suasana mempesona dan mengagumkan itu terutama juga didukung oleh kontrasnya tempat saya belajar agama dengan tempat tinggal saya di rumah. Kelas tempat belajar agama itu adalah sekolah Eropis, sekolah yang dikelola oleh suster dan dulunya, di zaman Belanda, hanya diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Eropa dan Cina. Kalau toh ada pribumi sekolah di situ, dia pasti anak seorang priyayi.

Ini telah membuat saya terkenal cultural shock. Saya harus duduk di bangku kayu jati, berdiri di lantai ubin, melihat taman-taman indah. Kelas itu pun diterangi lampu listrik. Sementara sehari-hari saya tinggal di sebuah gubuk dalam arti sebenarnya, berdinding gedek, berlantai tanah dan berpenerangan lampu sentir. Perabotan yang ada di rumah hanyalah amben bambu dan pogo tempat kuali-kuali ditaruh. Dalam situasi seperti ini, saya diperkenalkan dengan sebuah konsep tentang keagungan, keanggunan, dan kemahakuasaan. Bu Guru yang mengajar agama itu pun cantik dan anggun. Saya dicampur dengan anak-anak para priyayi dan anak-anak keturunan Cina yang tampak mulus-mulus, putih, dan bajunya bagus-bagus. Saya lalu merasa menjadi sosok yang asing, kecil, dan membuat kelas itu menjadi kotor. Untungnya, Bu Guru itu lembut sekali dan baik hati hingga saya bisa tetap bertahan dan mendengarkan cerita-ceritanya.

Menurut Bu Guru itu, Tuhan lalu menciptakan malaikat. Sosok malaikat itu sempurna. Cantik namun perkasa dan bersayap seperti burung. Malaikat itu dapat terbang. Jadi, pikir saya waktu itu, malaikat itu seperti Raden Gatutkaca. Para malaikat itu tinggal di surga dan berbahagia memuliakan Tuhan. Namun pada suatu hari, kata Bu Guru, ada sekelompok malaikat yang berniat memberontak dan merebut takhta Tuhan. Malaikat yang mau memberontak itu dipimpin oleh Lucifer. Namun sebelum niat mbalelo itu terlaksana, mereka telah berhadapan dengan malaikat yang loyal pada Tuhan di bawah pimpinan Mikael. Para malaikat itu pun berperang. Lucifer dan kawan-kawannya kalah lalu diusir dari surga dan dihukum dengan cara dibakar. Para malaikat pimpinan Lusifer itu selanjutnya disebut setan dan tempatnya menjalani hukuman itu disebut neraka.

Kemudian Tuhan menciptakan alam semesta dan manusia. Manusia pertama itu berdosa dan Tuhan mengusirnya dari Taman Firdaus. Setiap kali ada orang berdoa, Tuhan turun tangan dengan mengutus nabi-nabi dan ketika orang-orang itu tetap berdosa, Tuhan menurunkan api, mengirim air bah, dan malapetaka lain. Tuhan itu sangat kuat dan berkuasa. Tuhan itu Mahakuasa. Mendengar uraian Bu Guru itu, saya menjadi takut sekali. Lebih-lebih Bu Guru itu bercerita bahwa Tuhan itu Maha Melihat dan Mahatahu. Apa pun yang diperbuat manusia, Dia mengetahuinya. Namun, Tuhan itu tidak dapat dilihat. Saya lalu berhati-hati sekali dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak berbuat dosa dan selalu minta perlindungan-Nya.

Pernah pada suatu hari sewaktu pulang sekolah sendirian melewati sawah, tiba-tiba turunlah hujan lebat dengan petir dan kilat menyambar-nyambar, saya lari dan berteduh di sebuah barak tempat pembakaran batu bata. Di situ, saya berdoa dan meminta ampun pada Tuhan agar petir itu tidak menyambar saya. Ketika hujan itu tidak kunjung reda, saya pun mengambil daun pisang sebagai tudung. Pelepah pisang itu saya putus dengan menggigitnya berulang kali. Meskipun sudah bertudung daun pisang, tak urung baju dan celana saya basah kuyup. Saya merasa bahwa itu semua Tuhan yang mengatur. Saya dibiarkannya basah kuyup dan kedinginan karena sering berbohong. Namun itu masih untung, karena di barak tempat membakar batu bata saya sudah berdoa dan memohon ampun hingga Tuhan tidak mengirimkan petir atau air bah.

Pernah pula suatu ketika saya jatuh dari pohon kemulwo. Biasanya kalau terjatuh dari pohon saya selalu cekatan meraih dahan hingga kalau toh jatuh pasti tidak terlalu keras dan selalu kaki terlebih dahulu menjejak tanah. Ketika itu, saya justru sedang mau memanjat. Ketika saya melompat dan meraih sebuah dahan yang miring di atas kepala saya, dahan itu terlepas karena licin. Saya terjatuh dengan punggung dan kepala membentur tanah terlebih dahulu. Untuk beberapa detik saya tak dapat bernapas namun tetap sadar. Saya pun dengan segera membuat tanda salib dan berdoa memohon belas kasihan Tuhan. Beberapa saat kemudian napas saya normal kembali. Saya tidak jadi memanjat pohon. Saya pulang lalu berbaring di lincak bambu. Kepala saya pusing sekali dan punggung terasa sangat sakit. Saya tidak tahu salah saya apa, tapi yang jelas Tuhan telah menghukum saya dengan cara terjatuh dari pohon.

Tuhan, dalam sosok seorang Raja yang sangat berkuasa, Mahakuasa, dengan segala kedahsyatan-Nya itu terpatri cukup kuat di otak saya dalam waktu yang relatif lama. Saya takut sekali dan sekaligus juga tidak begitu suka pada-Nya, namun apa boleh buat. Saya tidak dapat berkutik di hadapan-Nya. Saya menyerah total dan harus patuh pada kehendak-Nya. *** (Buku Menggugat Tuhan)


Dosa dan Tuhan

$
0
0

Dosa menurut konsep agama Katolik adalah melanggar sepuluh perintah Allah dan lima perintah Geraja. Namun, di luar itu masih ada sebuah dosa lagi yang sudah menempel pada manusia sejak lahir ke dunia. Dosa istimewa ini namanya dosa asal dan merupakan warisan dari Adam dan Hawa. Pendek kata, semua turunan Adam dan Hawa begitu lahir di dunia sudah memikul beban dosa di pundaknya. Kalau dosa ini tidak dihapus, meskipun orang tadi seumur hidupnya tak pernah berbuat dosa, tetap saja akan dijebloskan ke dalam neraka.

Yesus adalah Allah Putra, yang oleh Bapa-Nya, disuruh turun ke dunia dan dikorbankan di kayu salib untuk “menebus” dosa umat manusia. Untuk tanda bahwa dosa asalnya sudah dihapus, seorang pengikut Yesus harus dibaptis. Kepalanya diguyur air oleh Pastor sambil dibacakan doa-doa. Namanya kemudian diembel-embeli dengan nama baptis, yakni nama-nama Eropa yang kadang susah diucapkan. Ini sebenarnya merupakan nama orang-orang suci yang sudah meninggal dan diharapkan jadi pelindung bagi mereka yang sudah dibaptis dan menggunakan namanya.

Waktu bruder menjelaskan ihwal dosa asal ini, saya menjadi tenteram dan bangga sekali, sebab beberapa hari setelah lahir saya langsung dibaptis. Jadi, dosa asal saya sudah hilang. Tetapi teman-teman yang belum dibaptis banyak yang gelisah karena merasa masih ditempeli dosa warisan Adam. Teman-teman yang sudah dididik secara Islam terheran-heran. Kok ada dosa bisa ditebus seperti barang gadaian? Saya justru mempertanyakan, lalu bagaimana nasib jutaan manusia yang lahir sebelum Yesus namun berbuat baik. Misalnya, Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Sulaiman, dan lain-lain. O, itu semua tetap masuk surga, kata bruder. Namun untuk sementara, sambil menunggu dibukanya surga, mereka ditampung di api pencucian.

Meskipun sudah diancam dengan hukuman bara api neraka, saya dan teman-teman tetap saja berbuat dosa. Hampir tiap hari kami berbohong, mengintip wanita mandi, mencuri, mengganggu anak-anak sekolah putri, dan lain-lain. Kami dengan enteng berbuat dosa sebab dalam agama Katolik ada sebuah sakramen, namanya sakramen pengakuan dosa. Pada waktu-waktu tertentu, pastor akan stand by di sebuah bilik khusus di gereja. Kaum pendosa itu akan datang satu per satu lalu menyebutkan dosa-dosanya dan menyatakan menyesal serta bertobat. Pastor lalu akan memberikan hukuman denda berupa dosa. Denda ini bisa berat bisa ringan tergantung pada berat ringannya dosa. Pernah saya dihukum dosa rosario yang “super panjang” itu dua kali. Tapi ada juga seorang pastor yang sudah sangat tua dan selalu mendengarkan pengakuan dosa kami dengan terkantuk-kantuk. Dendanya cuma doa Salam Maria yang pendek tiga kali. Dosa apa pun, berat, ringan, banyak, sedikit, dendanya ya itu-itu juga. Pastor ini laris sekali.

Bruder yang mengajar agama pernah berkata bahwa sebenarnya, dosa itu sudah terhapus secara otomatis semenjak kita berniat untuk mengaku dosa. Jadi, kalau demikian kita tidak perlu datang ke pastor lagi? Ternyata tidak. Meskipun Tuhan itu sudah tahu kalau kita mau bertobat, formalitasnya tetap harus dilakukan. Pernah pada suatu ketika ada pendosa berat. Ini masih cerita bruder. Pendosa itu pernah membunuh, pernah merampok, mencuri, memperkosa, dan lain-lain. Dia bertobat lalu datang ke pastor mengaku dosa. Karena dosanya sudah demikian berat, pastor mendendanya dengan doa rosario 20 kali. Pendosa tadi mengatakan itu belum cukup dan minta denda dosa rosario tiap hari sekali selama setahun penuh. Anehnya sang pastor justru mengurangi dendanya menjadi doa rosario cuma 10 kali. Demikian seterusnya, si pendosa tetap ngotot, pastornya juga terus-menerus mengkorting dendanya hingga tinggal dosa Tanda Salib.

Akhirnya pendosa itu menuruti kehendak pastor. Dendanya memang hanya Tanda Salib, tapi dia mau berdoa rosario tiap hari selama setahun penuh. Bukan sebagai denda dosa tapi lebih untuk pernyataan suka cita sebab sekarang dosanya sudah dihapus. Pastor itu mengizinkannya. Teman saya yang beragama Islam mengatakan, betapa enaknya jadi orang Katolik. Bisa berbuat dosa semaunya sebanyak mungkin lalu mengaku dosa dan dosa itu akan terhapus secara otomatis. Sebab, katanya, menurut ajaran agama Islam, dosa itu tidak dapat dihapus. Dosa itu akan terkumpul secara akumulatif dan dicatat. Perbuatan baik juga demikian. Nah pada saat mati, dosa dan kebaikan itu akan ditimbang. Kalau berat dosanya dia akan masuk neraka, kalau berat baiknya, dia akan masuk surga. Jadi, katanya, dosa itu tidak dapat seenaknya diperbuat sebanyak mungkin lalu minggu depannya dihapus begitu saja.

Yang paling mengherankan adalah yang terjadi pada seorang karyawan tata usaha SGB (sekolah Guru B = setingkat SMTP) di pastoran. Dia diketahui telah berbuat dosa karena menggelapkan uang sekolah, mempunyai pacar gelap (dia sudah beristri/beranak), dan masih banyak lagi. Saya dan teman-teman tidak pernah melihat dia mengaku dosa. Namun, tiap kali ada penerimaan Komuni, dia maju dan menerima Komuni. Padahal, ada aturan main bahwa orang berdosa tidak boleh menerima tubuh Kristus sebelum dosa-dosanya terampuni lewat sakramen pengakuan dosa. Karena pikiran ini selalu mengganggu, kami pun lalu memberanikan diri bertanya kepada pastor. Semula kami menduga pastor akan marah. Ternyata tidak. Pastor itu menjawab dengan santai, dia sudah mengaku dosa, katanya. Bukan di gereja tapi langsung di kamar pastor, karena, menurut pastor dosanya memang sangat berat.

Lalu apakah definisi dosa? Apakah sekadar melanggar sepuluh perintah Tuhan dan lima perintah Gereja? Lalu bagaimana sanksi hukumnya? Dari sepuluh perintah Tuhan, sebenarnya ada satu yang saya selalu bertanya-tanya. Jangan menyebut nama Tuhanmu tanpa perlu. Mengapa tak boleh disebut? Kalau menyebut nama Tuhan tanpa perlu sudah dianggap dosa dan melanggar sepuluh perintah Tuhan hukumannya neraka, kasihan sekali nenek saya. Sebab dalam sehari, entah berapa puluh kali dia mengatakan, O Allah! Begitu dia menyalakan api dan api itu mati dia teriak, O Allah, mati lagi. Begitu menuang air dan air itu tumpah dia teriak lagi, O Allah, tumpah. Kini tiap hari kita bisa menyaksikan di televisi, orang-orang Amerika selalu memberi contoh berteriak dalam film seri Oh my God!

Apakah membunuh orang selalu berdosa? Bagaimana dengan polisi yang menembak perampok? Bagaimana dengan algojo yang bertugas mengeksekusi terhukum mati? Bagaimana dengan pelacur? Bukankah Yesus malah menyelamatkan pelacur dengan menantang massa yang mau melempari pelacur itu dengan batu? Kata Yesus, barang siapa tidak pernah berbuat dosa, silakan melakukan lemparan pertama. Ternyata tak ada yang berani melakukan lemparan pertama. Orang-orang itu pergi satu per satu. Tinggal Yesus dan pelacur itu berdua.

Ada juga teman saya yang mengatakan dosa adalah perbuatan yang melawan dan melukai hati nurani sendiri. Tapi, bagaimana kalau nurani itu sudah kebal? Membunuh  orang untuk pertama kali tentu mencemaskan, deg-degan, takut. Namun, membunuh untuk keseratus kalinya, mungkin bisa dilakukan sambil bersiul-siul dan mengisap rokok. Apakah kalau nurani sudah kebal lalu tidak lagi berdosa? Mungkin dosa hanyalah sebuah perasaan bersalah, stres, dan depresi. Semua itu akan terhapus dengan pengakuan dosa, dengan perbuatan baik, dengan tidak lagi mengulang perbuatan itu, dan terciptalah katarsis. Tapi, bagaimana dengan perbuatan yang dianggap baik, tapi ternyata membuat sengsara orang lain? Bagaimana dengan orang tua yang berniat baik, menyenang-nyenangkan anaknya, memanjakannya tapi anak itu lalu jadi tidak mandiri?

Pertanyaan-pertanyaan tadi tentu sangat menggoda. Namun, ada sebuah pertanyaan yang pasti lebih mendasar. Mengapa manusia berbuat dosa? Menurut Bu Guru agama, penyebabnya adalah setan. Makhluk yang tidak kelihatan itu selalu secara intensif membujuk manusia untuk berbuat dosa. Namun Bu Guru itu juga bilang agar kami tidak usah takut. Masing-masing manusia sudah diberi oleh Tuhan seorang malaikat yang disebut malaikat pelindung. Sebagai ilustrasi, Bu Guru itu menunjukkan sebuah gambar. Ada anak kecil di taman mengejar kupu-kupu. Di belakangnya ada malaikat pelindung yang cantik pakai rok dan bersayap burung merpati. Di depan anak kecil itu, menganga sebuah jurang terjal. Di dasar jurang ada api neraka menyala-nyala dan setan tampak menyeringai di sana.

Baik setan maupun malaikat pelindung tadi lalu jadi tidak ada gunanya. Pada akhirnya, manusia sendirilah yang harus melakukan pilihan, mau ikut setan atau ikut malaikat. Namun, dewasa ini, dimensi dosa jadi bertambah lagi. Media massa, baik media pers maupun elektronik, selalu mengatakan bahwa peperangan itu telah mengakibatkan puluhan bahkan ratusan korban di kalangan penduduk yang tak berdosa. Benarkah wartawan itu tahu bahwa penduduk korban perang itu tak berdosa? Mungkin yang dimaksudkannya adalah dosa perang itu sendiri, bukan dosa secara harfiah. Lebih-lebih, pasti bukan dosa asal peninggalan Adam dan Hama. ***

Sumber : Buku Menggugat Tuhan


Surga dan Neraka

$
0
0

Seperti apakah surga dan neraka itu? Menurut Bu Guru agama yang pertama kali memperkenalkan surga dan neraka pada saya, surga adalah tempat yang indah dan neraka adalah api yang menyala-nyala. Surga adalah sebuah taman yang asri, ada pohon, bunga-bunga, mata air, burung, dan matahari. Ada bangunan semacam istana. Disitulah Tuhan bertakhta, dikawal oleh para malaikat dan disitu pulalah roh-roh (atau sukma) manusia yang baik dimukimkan. Di surga tidak ada waktu, tidak ada kematian. Adanya cuma kebahagiaan yang abadi. Betapa menyenangkan masuk ke dalam surga. Itulah sebabnya tempat ini lalu menjadi dambaan orang hidup. Masuk surga adalah target. Surga pulalah yang sering dijadikan iming-iming oleh guru agama atau pastor kepada umatnya agar mau berbuat baik.

Neraka adalah kebalikan dari surga. Di sana hanya ada api abadi. Seluruh siksaan dan penderitaan ada di sana. Disitulah bermukim setan yang pekerjaannya menggoda manusia. Manusia-manusia yang tergoda dan mau berbuat dosa, setelah mati, rohnya, arwahnya, sukmanya akan dicemplungkan ke dalam neraka dan menjadi penghuni abadi. Segala macam siksaan dan penderitaan akan dialaminya tanpa bisa diringankan apalagi ditolak. Yang akan dijebloskan ke dalam neraka tentunya roh dari orang-orang yang selama hidupnya telah berbuat dosa berat dan tidak melakukan penyesalan sebelum mati. Kalau pendosa tadi sebelum mati menyesali dosa-dosanya, dia bisa saja masuk surga. Contohnya adalah salah seorang dari dua perampok yang disalib bersama Yesus. Perampok yang satu malah mengejek Yesus. Dia jelas masuk neraka. Perampok yang satunya lagi menyesali perbuatannya lalu Yesus menjanjikannya masuk surga.

Bagaimana dengan orang-orang yang dosanya ringan-ringan saja atau pernah berdosa berat, sudah menyesal namun penyesalannya belum penuh? Untuk mereka ini, surga jelas tertutup. Tetapi, neraka juga tidak menerima. Masuklah kemudian roh orang-orang semacam ini ke dalam “api pencucian”. Ini memang mirip neraka, namun dengan menghuni tempat ini dalam jangka waktu tertentu, seseorang nantinya akan dapat masuk surga. Pada waktu mendengar penjelasan ini dari Bu Guru agama, saya langsung menargetkan diri saya untuk masuk ke “api pencucian” setelah mati nanti. Toh sengsara sebentar tidak apa-apa sebab nantinya setelah selesai menjalani “hukuman” akhirnya akan masuk surga yang abadi. Itulah prinsip saya pada waktu itu, sebab saya sadar sering berbuat dosa.

Pak Guru yang mengajar saya di kelas satu SD juga sangat menekankan hal ini. Anak-anak tidak boleh berbuat dosa sebab hukumannya neraka. Kalau berbuat baik, nanti akan dapat ganjaran surga. Pak Guru saya ini jelas memilih berbuat baik. Kebetulan dia pintar sekali bercerita. Dia menggambarkan surga itu penuh dengan pohon apel dan siapa pun boleh memetik dan makan sepuasnya. Kami, anak-anak satu kelas ini tak ada seorang pun yang pernah makan apel. Bahkan melihat langsung sosok buahnya pun belum pernah. Itulah sebabnya begitu pak guru menyebut apel, bayangan kami adalah buah kepel (burahol) yang memang ada di halaman belakang pastoran di dekat sekolahan. Kami memang biasa mencuri kepel itu, hingga betapa menyenangkannya kalau di surga kepel itu bisa dipetik sepuasnya tanpa harus mencuri.

Namun, adik kandung Pak Guru itu justru dengan sangat santai mengutarakan niatnya untuk masuk neraka. Sebenarnya, dia mengatakan hal itu kepada ayah dan ibu saya, tapi saya sempat mendengarnya. Menurut dia, di surga itu tidak enak. Di sana oangnya suci-suci, alim-alim, tiap hari kerjanya berdoa melulu. Lagi pula, di sana ada Tuhan dan para malaikat yang akan senantiasa menjaga ketertiban. Adik Pak Guru itu lebih senang masuk neraka. Soalnya di neraka bisa ketemu bintang film cantik, pemabuk, penjudi, dan lain-lain. Suasananya, kata dia, pasti semarak dan bebas. Lagi pula, katanya, setan itu mudah disogok hingga panasnya api neraka bisa diatur agar jangan terlalu menyengat. Cukup asal hangat saja. Jadi lain halnya dengan surga yang dingin itu. Adik Pak Guru itu mengatakan bahwa karena surga itu letaknya di langit, jadi pasti dingin. Nenek saya waktu itu protes, makin dekat matahari kok dingin? Adik Pak Guru itu lalu memberi contoh, puncak gunung itu meskipun dekat matahari justru dingin, apalagi langit. Lain dengan neraka yang letaknya di perut bumi.

Mendengar cerita adik Pak Guru itu, saya merasa betapa beraninya dia berkata-kata seperti itu. Tapi mungkin saja dia itu hanya bercanda. Sebab saya tahu pasti, dia rajin sekali ke gereja, mengaku dosa, mendatangi orang sakit, menolong yang kesusahan, dan juga aktif di organisasi Gereja seperti kor, lingkungan dan lain-lain. Namun ternyata kemudian, banyak orang yang bersikap seperti dia, yakni lebih memilih neraka daripada surga. Bahkan ada seorang teman yang sangat ateis, anggota IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) yakni organisasi pelajar di bawah PKI, yang mengatakan bahwa neraka sekarang sudah dingin. Soalnya para insinyur Rusia (yang ateis) dan masuk neraka, sudah berhasil memasang mesin pendingin. Lelucon mengenai surga maupun neraka ini lalu makin banyak versinya. Ada yang saya dengar secara lisan, ada pula yang saya baca dari buku-buku dan majalah.

Namun, entah di kelas berapa (SD) saya mendapat informasi yang bagi saya sangat mengejutkan. Waktu itu ada orang meninggal dan saya ikut membantu menggali lubang makam di kuburan. Orang-orang yang menggali itu semuanya dewasa. Hanya ada dua anak yang ikut membantu di sana. Kedatangan saya pun sebenarnya hanya karena disuruh mengantar minuman dan makanan untuk para penggali itu, tapi kemudian kami pun ikut pula membantu menggali. Orang-orang itu mengatakan bahwa surga dan neraka itu bohong saja. Orang itu kalau sudah mati ya jadi tanah. Roh itu kalau orangnya sudah mati ya gentayangan jadi hantu. Waktu itu, saya agak shock mendengar cerita begitu. Akan tetapi, mengapa mereka itu rajin juga datang ke langgar (surau) untuk sholat? Menurut mereka, sholat itu wajib. Berbuat baik juga wajib. Tapi neraka dan surga seperti dijanjikan agama itu sebenarnya bohong. Waktu itu, saya protes keras. Mereka itu kan belum mati, kok bisa mengatakan bahwa neraka dan surga tidak ada? Jawaban mereka sederhana, katanya di antara mereka pernah ada yang mati (koma) dan ternyata tidak ada malaikat yang datang menjemput. Semua tampak gelap sampai kemudian dia hidup (sadar) kembali.

Cerita yang saya terima dari kuburan ini telah membuat konsep tentang surga dan neraka yang selama ini saya terima dari Bu Guru agama menjadi buyar dan berantakan. Namun demikian, saya tetap tidak berani protes kepada Bu Guru agama. Di sekolahan maupun di lingkungan Gereja, saya tetap berpura-pura menerima konsep yang sudah mereka ajarkan. Namun, ketika saya sudah menjadi guru SD pada usia 17 tahun, dan kepala sekolah saya mengajarkan konsep surga dunia dalam bentuk seks bebas, saya juga takut untuk menerimanya. Seks bebas, judi, dan minuman keras bagi saya jelas bukan surga. Teman-teman guru saya memang banyak yang tergoda melakukan skandal seksual yang akhirnya menjadi sesuatu yang menghebohkan. Memang tidak sampai terjadi pembunuhan, namun pihak-pihak yang terlibat tetap mendapatkan masalah di lingkungan keluarga, pekerjaan, maupun masyarakat. Judi dalam bentuk lotre waktu itu juga merajalela dan membuat masyarakat di lingkungan saya berantakan ekonominya.

Namun, ada hal yang lebih mengejutkn dari ajakan kepala sekolah saya itu. Di desa itu saya ketemu dengan orang (tokoh) yang mengamalkan ajaran surga dunia. Dia menjalankan praktek Mo-limo (lima M) yakni mencuri, main judi, main perempuan, minum minuman keras, dan madat (narkotika dalam hal ini mengisap candu). Dari lima M tadi, yang paling dia tekuni adalah main perempuan. Dia memang termasuk ahli merayu dan katanya punya ilmu pelet. Niatnya adalah memerawani 40 gadis. Semula saya anggap dia hanya bercanda, ternyata ini serius. Dugaan saya, dia sedang mengamalkan sisa-sisa ajaran Syiwa Budha. Orang-orang bilang dia menekuni ajaran setan. Terakhir saya mendengar dia tewas di tangan petugas keamanan.

Konsep surga dan neraka versi agama resmi, mungkin memang hanya ditujukan untuk khalayak ramai umat kebanyakan atau rakyat. Untuk kalangan yang lebih tinggi ilmunya ajarannya pasti lain. Namun saya justru melihat, rakyat yang paling bodoh pun sebenarnya tahu bahwa itu bohong. Saya sering mendengar ibu-ibu ngerumpi begini, bagaimana ya rasanya kalau kita mati? Apa seperti mimpi, apa lalu gelap begitu saja. Atau memang benar nanti ada malaikat atau setan yang akan menjemput? Ini sebuah pertanda bahwa rakyat yang paling bodoh pun sebenarnya meragukan konsep surga dan neraka versi agama resmi. Namun, tak seorang pun berani mengemukakan hal ini secara formal di sebuah forum karena takut melukai hati mereka yang masih percaya.

Saya sendiri semenjak peristiwa di kuburan itu, lalu ikut menolak konsep surga dan neraka versi agama resmi. Namun, saya tetap percaya bahwa perbuatan baik wajib dilakukan. Bukan untuk menerima imbalan surga tapi memang sudah seharusnya. Namun demikian, saya juga tidak terlalu bernafsu untuk membantah atau mencemooh konsep yang masih diyakini oleh banyak orang itu. Bukan karena saya takut berhadapan dengan massa tapi karena saya sangat menghagai keyakinan orang lain. Saya tidak mau membuat orang lain terganggu dengan keyakinan saya ini. ***

Sumber : Buku Menggugat Tuhan

 


Perkenalan Saya dengan Animisme Baru

$
0
0

Di kota kelahiran saya, Ambarawa, ada sebuah dukuh (dusun) namanya Kerep. Dari dukuh Sumber, kampung halaman saya, jaraknya hanya sekitar 2 kilometer. Di dukuh Kerep ini ada sebuah bangunan peninggalan Belanda yang dijadikan biara untuk para bruder Apostolic. Bangunan utama di komplek ini menghadap ke arah selatan. Karena letak dukuh Kerep ini di lereng bukit, dari bangunan ini kita dapat melihat hamparan sawah serta jalan yang membelah hamparan sawah itu. Jauh di bawah sana, tampak kota Ambarawa, Rawa Pening dan Gunung Telomoyo.

Namun yang paling penting di sisi timur komplek ini ada sebuah Gua Maria. Yang disebut Gua Maria ini sebenarnya sebuah tumpukan batu-batu kali yang direkatkan dengan semen hingga membentuk sebuah cekungan. Di cekungan itulah ditaruh patung Maria (ibu Yesus) yang terbuat dari gips dan dicat. Di situ juga ada altar, hamparan  rumput, pohon-pohon alamanda, bugenvil, puring, dan bunga-bunga semusim. Persis di ujung timur ada sebuah jurang menganga sedalam 30 meteran. Di bawah sana mengalir Kali Panjang yang airnya keruh dan penuh dengan batu-batu besar. Di seberang jurang ada hamparan sawah dan jalan raya menuju Bandungan.

Di tempat ini, di tahun 1950-an, sore-sore, seminggu dua kali saya datang untuk mengikuti pelajaran agama dan berdoa di depan patung Maria itu. Daya tarik utama tempat ini adalah bahwa para bruder itu selalu menyediakan sirup, permen, biskuit, dan buah-buahan, terutama jeruk. Halaman tengah komplek itu memang penuh pohon jeruk keprok. Selain karena faktor makanan dan minuman, yang juga menjadi daya tarik tempat ini adalah pemandangan alamnya yang indah dan suasananya yang sejuk dan sepi.

Pada hari Minggu atau hari libur, tempat ini tambah ramai dikunjungi orang-orang yang ingin berdoa rosario. Pada waktu itu, saya tidak melihat ada keanehan dari perilaku “berdoa di depan patung” seperti ini. Semua saya terima secara wajar dengan penuh kesenangan. Datang ke Kerep adalah sesuatu yang menyenangkan. Waktu itu, terus terang saya tidak begitu peduli dengan figur Maria. Seandainya yang dipasang di sana patung lain, saya tetap akan mengunjunginya.

Ternyata kemudian, kekeramatan Gua Kerep ini belumlah seberapa dibanding dengan Gua Maria Sendangsono di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Di Gua Sendangsono ini, ada sebuah mata air di bawah pohon sono yang cukup besar. Di tempat inilah ceritanya, dulu untuk pertama kalinya orang Jawa dibaptis dan masuk agama Katolik. Dibanding dengan Gua Kerep, Sendangsono jauh lebih terkenal. Tempatnya juga tampak lebih angker, pengunjungnya juga jauh lebih banyak, lebih-lebih di bulan Mei di hari Minggu.

Gua-gua Maria semacam ini ternyata juga ada di Malang, Cirebon (Kuningan), dan Lampung. Kesemuanya ternyata merupakan imitasi dari Gua Maria Lourdes di Eropa sana. Dalam hati kemudian saya bertanya-tanya, apa bedanya paham animisme dengan model ritual semacam ini? Ketika untuk pertama kali datang ke Sendangsono, saya lihat banyak iring-iringan manusia yang ingin mendatangi gua itu. Di sana, di bawah pohon besar itu, mereka menyalakan lilin dan berdoa. Sepertinya ini kok sekadar mengganti figur yang dipuja.

Di kampung saya, yang dipuja adalah Mbah Derpo. Patungnya tidak ada. Ritualnya cuma setahun sekali dengan cara selamatan. Ini pasti peninggalan animisme purba. Kemudian ketika agama Hindu masuk, roh-roh lokal ini diganti dengan dewa-dewa impor dari India. Ada Wisnu yang naik garuda, ada Syiwa yang berdiri di atas sapi dan lain-lain. Ketika Budha masuk, dewa-dewa Hindu ini diganti dengan patung Budha. Kemudian, Islam masuk. Karena Islam tidak membenarkan penyembahan patung, maka yang dikeramatkan kemudian adalah makam tokoh-tokohnya, terutama para wali dan para kiai. Ketika Katolik datang, “budaya animisme” ini hidup lagi dan berkembang.

Bagi masyarakat Jawa, animisme yang sudah berusia ribuan tahun ini sulit untuk dihapus begitu saja. Gua Maria di Sendangsono adalah sebuah budaya gado-gado yang menarik. Di sebuah pedalaman Jawa Tengah, di bawah pohon sono, ada sebuah patung gips buatan Eropa dengan profil dan sosok wanita Eropa, namun digunakan untuk menggambarkan wanita Israel yang hidup miskin kurang lebih 2000 tahun silam. Bagi masyarakat Katolik di Jawa, hal seperti ini dianggap wajar. Tidak ada yang aneh karena memang sudah seharusnya begitu.

Fenomena ini sebenarnya menunjukkan bahwa masyarakat modern tidak puas dengan ritual keagamaan formal yang diselenggarakan secara rutin di rumah-rumah ibadah. Dugaan saya, ada sesuatu yang sebenarnya masih dibutuhkan manusia namun tidak dapat ditemukan lagi dalam ibadah keagamaan modern yang bersifat formal. Saya sendiri memang mulai merasakan “keringnya” ibadah misa di gereja terutama setalah mengalami banyak sekali perubahan sesudah Konsili Vatikan II. Dugaan saya, yang sebenarnya masih dirindukan oleh umat beragama adalah “kesakralan ritual”, suasana alam (gunung, batu, mata air, pohon besar, dan lain-lain), serta figur yang bisa “dikeramatkan”.

Sesuatu yang “hilang” ini rupanya telah ditemukan kembali dalam bentuk “Gua Maria”. Karena, lokasi gua yang memang masih bersuasana alami, upacara penyalaan lilin, pengambilan air, doa rosario, dan lain-lain itu dianggap lebih “sakral” dibanding ibadah formal yang sudah rutin. Di sini juga ada figur keramat. Maria, dalam hal ini, lalu menjadi figur “mistis” dengan berbagai penampakan, penyembuhan, dan mukjizat lainnya.

Tampaknya, Gereja Katolik mentolerir kecenderungan devosi semacam ini, meskipun juga tidak menjadikannya sesuatu yang formal. Ini berbeda dengan Islam yang nyata-nyata tidak membenarkan kecenderungan semacam ini. Jangankan sampai menyembah, mematungkan atau melukis orang pun sudah dilarang. Namun Islam di Jawa, terutama di pedalaman yang masyarakatnya agraris, tetap tidak mengindahkan larangan praktek ritual semacam ini. Mereka tetap datang dan berziarah ke makam-makam dan peninggalan kuno.

Kegiatan ziarah ke Gua Maria, sebenarnya lebih positif dibandingkan dengan kegiatan “animisme baru” yang lepas dari unsur keagamaan. Salah satu kebutuhan manusia yang dulu diberikan oleh ritual keagamaan adalah “kedekatan dengan alam”. Istilahnya sekarang mungkin “unsur wisata”. Di Bali misalnya, kegiatan ritual keagamaan formal di pura masih sangat terasa unsur wisatanya. Bahkan Pura Besakih, Uluwatu, Tanah Lot, dan lain-lain berkembang menjadi objek wisata umum. Letak pura tadi memang di tempat yang indah. Di lereng gunung, di batu karang di pinggir telaga, dan lain-lain yang memang sangat indah. Selain itu, ritual Hindu tadi masih sarat dengan unsur seni, baik seni rupa, seni sastra (doa-doanya) maupun seni drama. Bentuk pura itu sendiri memang sangat artistik.

Semua itu tidak dapat ditemukan lagi pada ritual keagamaan modern, terutama di kota-kota besar. Letak gereja ada di tengah pemukiman yang sumpek. Bangunannya juga lebih mengutamakan manfaat daripada unsur artistiknya. Karenanya, orang pun lalu memerlukan rekreasi. Mereka perlu pergi ke pantai, ke gunung, ke bangunan-bangunan kuno. Kalau hari libur atau akhir pekan tiba, mulailah orang berbondong-bondong ke tempat wisata itu. Namun sesampai di sana, kerumunan massa itu menjadi tampak kebingunan dan tak tahu lagi harus berbuat apa.

Di suatu hari libur, di Pantai Parang Tritis misalnya, kita akan menyaksikan lautan manusia yang menyemut namun tampak seperti kebingungan. Ada yang jalan-jalan. Ada yang duduk-duduk, ngobrol atau bengong, ada yang berlarian, dan lain-lain. Meskipun mereka bergembira, pandangan mata mereka tampak kosong. Tak ada yang mengorganisir atau memimpin puluhan ribu orang itu. Kalaupun ada teriakan dan pengeras suara, itu hanyalah pengumuman tentang anak hilang atau ada ajakan dari ketua rombongan untuk kumpul di mobil. Suasana “katarsis” yang diharapkan diperoleh dari tempat-tempat semacam ini tidak pernah didapatkan.

Hilangnya suasana “katarsis” dari kunjungan ke tempat-tempat wisata “massal” tadi, selain karena tiadanya “atraksi” yang terkoordinasi, juga karena pengelolaannya yang sudah semakin mementingkan segi-segi komersial. Retribusi pemda, tiket masuk, parkir, kencing, semua harus bayar. Kadang-kadang pemungutannya dengan setengah memaksa dan kasar. Tak jarang para wisatawan ini juga diperas. Misalnya, yang pernah terjadi di kawasan Trunyan di Danau Batur, Bali.

Suasana “katarsis” ini sedikit banyak masih bisa diperoleh dari lokasi-lokasi wisata alam yang sulit untuk dijangkau secara massal. Misalnya, pulau yang terpencil, puncak gunung, gua alam yang curam, dan lain-lain. Di tempat-tempat semacam ini, meskipun tidak dilakukan ritual keagamaan, meskipun tidak ada figur mistis yang dipuja, pengunjung tetap masih bisa memperoleh suasana “katarsis” yang diharapkan. Meskipun suasana itu pasti jauh berbeda dengan yang didapat kalau orang Katolik berkunjung ke Lourdes atau umat Islam menunaikan Ibadah Haji. Suasana katarsis dari sebuah puncak gunung mungkin disebabkan oleh rasa capek sewaktu mendaki, mungkin akibat udara dingin, oksigen yang tipis, dan pemandangan ke bawah yang “eksotis”.  Sebaliknya, suasana katarsis dari sebuah gua alam mungkin akibat kegelapan dan kesunyian yang total, dalam udara pengap dan sosok stalaktit serta stalakmit yang  mempesona.

Di Indonesia, roh animisme purba itu masih bergentayangan dan hidup. Rakyat pun masih memerlukannya. Sesuatu yang ironis pun telah terjadi. Animisme purba itu tak direstui oleh pemerintah maupun agama-agama resmi. Namun di lain pihak, animisme baru muncul.

Gua Maria dibuat dimana-mana. Dalilnya memang masuk akal. Figur Maria itu hanyalah alat untuk meraih Tuhan, untuk memohon sesuatu, untuk mengadukan nasib. Dengan perantaraan “perawan suci” itu, diharapkan segala permohonan akan lekas terkabul. Tuhan, terutama Allah Putra itu, pasti enggan untuk menolak permohonan manusia yang disampaikan oleh ibu-Nya. Sudah demikian berbelitkah birokrasi surga, sampai-sampai sebuah doa, sebuah permintaan harus disampaikan lewat perantara?

Animisme baru memang sungguh ironis. Di satu pihak, memuja roh nenek moyang tidak diperkenankan. Namun, rakyat diperbolehkan memuja tokoh yang secaa geografis, secara etnis, maupun dalam skala waktu sungguh sangat jauh jaraknya. Lebih-lebih sosok Maria yang dilukiskan oleh patung-patung di gua itu adalah rekayasa budaya Eropa abad Renaisans. Kalau mau jujur, wajah Maria yang autentik adalah wajah wanita-wanita Palestina yang hidup di perkampungan kumuh yang sering dijadikan sasaran bidikan kamera TV itu. Maria hanyalah istri tukang kayu yang miskin di sebuah desa kecil bernama Nazaret.

Saya pribadi, jelas lebih dekat dan lebih mudah membayangkan almarhum nenek saya daripada membayangkan Maria. Namun, itulah animisme baru. Sesuatu yang direstui oleh pemerintah maupun Gereja Katolik, mungkin sekadar untuk dijadikan katup pelepas dari desakan kerinduan umat terhadap animisme purba, yang telah tergusur itu. Maria, bagi saya memang tetap sosok wanita yang mengagumkan. Dia hamil tanpa suami. Dia menikah dengan Yusuf, seorang tukang kayu yang sudah uzur. Ketika kehamilannya sudah tua, dia terpaksa berjalan dari Nazaret ke Betlehem. Dia harus memenuhi titah Kaisar Agustus, penguasa Roma, yang memerintahkan sebuah sensus penduduk di negeri jajahannya. Di Betlehem dia dan suaminya tak lagi mendapatkan penginapan. Dia pun melahirkan di sebuah gua tempat penampungan ternak yang kotor, dingin, dan gelap.

Anak tunggal gantungan hidupnya itu akhirnya, pada umur 33 tahun dibunuh, digantung di kayu salib persis di depan hidungnya. Dalam Injil tak disebutkan Maria menangis. Betapa mengagumkan ketegaran wanita miskin yan dirundung malang itu. Semua itu memang dapat membuat pikiran siapa pun terpesona, kagum, dan takjub. Akan tetapi, itu semua tak dapat menjadi pembenaran untuk lalu meminta-minta padanya. Lebih-lebih setelah sosok Maria itu diberi gincu, dipoles, dicantik-cantikkan dan diberi gaun warna-warni yang anggun model abad pertengahan Eropa. Saya melihat itu semua sebagai imitasi. Maria yang sebenarnya adalah kesederhanaan wanita miskin dari negara jajahan. Dia tabah, dia tegar, dia pantang untuk meminta-minta. Saya sungguh tidak habis mengerti, mengapa figur ini dipilih untuk dipajang dalam gua. ***

Sumber : Buku Menggugat Tuhan

 


Berhala Baru

$
0
0

Menyembah berhala dikutuk dan dilarang oleh semua agama modern di dunia. Di Indonesia, hingga saat ini yang diakui eksistensinya oleh pemerintah hanyalah lima agama resmi, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Konsep religi maupun teologi di luar lima agama resmi itu dianggap cuma “kebudayaan”. Hingga penanganan dan pembinaannya pun pada masa Orba diserahkan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Status mereka hanyalah sebagai “warisan budaya” atau barang kesenian yang hanya pantas dikagumi di museum. Pemerintah dan lima agama besar itu memang bisa sangat efektif membunuh atau mengekang berhala purba. Namun di lain pihak, mereka sama sekali tak berdaya dalam menghadapi berhala-berhala baru, yang hadir di sekitar kita secara sangat konkret.

Padahal, berhala-berhala purba itu bisa jadi tidak “berdosa”. Penumpasan dan penindasan terhadap mereka, menurut hemat saya, hanyalah sekadar persaingan antar institusi dalam memperebutkan pengaruh dan pengikut. Beda halnya dengan berhala-berhala baru seperti rokok, narkotika, tempat perjudian, tempat pelacuran, dan lain-lain. Semua itu nyata-nyata merusak kehidupan manusia. Bahkan kadang-kadang berhala baru itu hadir dalam bentuk sederhana, misalnya pesawat TV itu hanya kita gunakan sekadarnya untuk mendapatkan informasi dan hiburan di waktu senggang, memang tidak jadi masalah. Namun, banyak orang yang kemudian menjadi “pemuja” bahkan “budak” televisi.

Yang saya maksud dengan “berhala baru” di sini adalah apabila seseorang memuja, memperhatikan, meluangkan waktu secara berlebihan terhadap suatu objek. Objek berhala baru itu bisa berupa televisi, perkutut, mobil balap, dan lain-lain. Lalu, apa bedanya “berhala baru” ini dengan hobi atau profesi? Hobi atau profesi mengandung unsur aktivitas. Orang yang berhobi memancing atau berprofesi naik kuda misalnya dituntut untuk aktif dan mempunyai target berupa sebuah prestasi tertentu. Pemujaan terhadap “berhala” baru ini tidak mengandung unsur aktivitas maupun target tertentu. Yang ada hanya sebuah “penyerahan total” dan pemujaan.

“Ciri khas sebuah penyerahan diri secara total terhadap sesuatu yang dipuja adalah hilangnya sifat kritis dan objektif. Kalau ada seorang figur “bintang” yang dipuja masyarakat melakukan tindak pidana, masyarakat yang memujanya tetap akan mengagumi dan membelanya. Sifat objektif itu sudah hilang. Ini memang sebuah ciri budaya massal. Agama-agama besar di dunia pun, sebenarnya telah menggunakan “metode” perekrutan untuk melakukan pemujaan dan penyerahan diri secara formal.

Lalu bagaimana halnya dengan seorang Katolik yang gila perkutut misalnya? Saya yakin kekatolikannya sebenarnya hanya sebuah formalitas. Sekadar menjadi Katolik karena dituntut oleh pemerintah untuk beragama. Juga supaya mudah kalau mau menikah dan tidak repot menguburnya kalau mati. Ini semua bisa terjadi karena seluruh dirinya telah diserahkan secara total pada perkutut. Apabila pemujaan terhadap berhala batu ini sudah kronis, maka bukan hanya agama yang akan dia tinggalkan, namun juga keluarga dan pekerjaannya.

Saya melihat, semakin lama jumlah berhala baru ini semakin banyak. Pemerintah maupun agama-agama besar di dunia tidak pernah memperdulikannya. Dugaan saya ketidakpedulian pemerintah maupun agama-agama besar terhadap berhala baru ini adalah karena fenomena itu toh tidak pernah mengusik ketenangan institusi mereka. Beda halnya dengan berhala-berhala lama yang dibantai habis karena dikhawatirkan potensial menjadi pesaing institusi agama-agama modern maupun pemerintah.

Jadilah kemudian hubungan individu dengan institusi keagamaan hanya sebatas formalitas, untuk menikah, mengubur, dan lain-lain. Akibatnya, kebutuhan manusia untuk hal-hal yang bersifat rohaniah menjadi terbengkalai. Celah ini telah membuka peluang hadirnya kelompok-kelompok sempalan yang militan semacam Children of God dan lain-lain. Ini sebenarnya juga merupakan penyembahan terhadap berhala baru, berupa figur yang dominan yang menjadi penggerak sempalan tadi. Fenomena ini secara langsung mengancam eksistensi lembaga keagamaan formal. Itulah sebabnya apabila kelompok ini menguat, institusi keagamaan maupun pemerintah segera “menertibkannya”.

Berhala baru ini, apa pun sosoknya, semakin hari semakin bertambah dan memuas pemujanya. Penyebarluasan berhala baru ini dilakukan secara intensif dan terencana berkat dukungan industri dan sarana komunikasi yang canggih. Dukungan itu terutama datang dari industri elektronik, seperti pabrik televisi, video kaset, laser disc, dan lain-lain. Penyebarluasan berhala baru ini juga dipermudah dengan adanya arus globalisasi berkat sarana transportasi dan komunikasi yang sudah dapat “menyatukan” dunia. Muncullah kemudian figur dewa-dewa baru, seperti juara dunia tinju kelas berat, maha bintang politikus kenamaan, pengusaha karya, dan lain-lain yang seluruh sepak terjangnya diikuti dengan intensif dan saksama oleh para pemujanya lewat media massa.

Perkembangan kuantitas maupun kualitas berhala modern ini tampaknya sama sekali tidak mendapatkan reaksi dari institusi keagamaan. Berbeda dengan reaksi institusi keagamaan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di abad pertengahan. Dugaan saya, institusi keagamaan dewasa ini sudah terlalu “mapan” hingga reaksi berlebihan terhadap berhala modern justru akan mengusik kemapanan mereka. Institusi keagamaan, khususnya Gereja Katolik lalu menjadi mirip dengan seorang tua yang kaya raya dan mempunyai keluarga besar. Gerak Gereja Katolik dalam menghadapi berhala baru menjadi lamban. Bahkan terkesan bersikap cuek.

Reaksi berlebihan berupa penolakan seperti telah dilakukan oleh institusi Gereja abad pertengahan terhadap ilmu pengetahuan, memang tidak kita harapkan. Namun menutup mata terhadap sebuah gejala yang negatif, menunjukkan bahwa institusi itu sudah semakin loyo. Celakanya, reaksi-reaksi keras terhadap bermunculannya berhala baru ini justru datang dari kelompok-kelompok militan yang radikal. Kalau keadaan ini dibiarkan, lambat laun yang akan mendapatkan tempat di  masyarakat justru ajaran-ajaran moral yang disebarluaskan oleh kelompok-kelompok militan dan radikal itu.

Apabila institusi keagamaan formal tidak mampu mengakomodasi perkembangan ini, maka desakan itu akan datang dari dua arah. Pertama, dari berhala-berhala modern yang tumbuh sangat pesat dan menguasai masyarakat. Yang kedua, rongrongan itu datang dari dalam institusi itu sendiri, berupa radikalisme.

Agama, bagaimanapun punya sisi sebagai budaya massal. Dalam budaya massa diperlukan unsur-unsur dramatis unsur-unsur spektakuler dan dibutuhkan pula figur-figur yang populer. Tanpa itu semua, agama formal yang selama ini ada akan terdesak minggir, sebab unsur-unsur yang dibutuhkan masyarakat itu justru dapat dipenuhi dengan mudah oleh “berhala-berhala” baru tadi. Lebih-lebih karena unsur-unsur dramatis dan spektakuler berhala modern itu ditunjang penyebarluasannya oleh media masa. Ini yang saya lihat belum banyak dilakukan oleh institusi agama formal. ***

Pernah dimuat di Buku Menggugat Tuhan

 


Menaklukkan Diri Sendiri

$
0
0

Sewaktu kecil saya sering mendengar ada seorang Pak De yang berpuasa Senen-Kemis, mutih, atau “ngebleng”. Menurut Pak De, puasa penting untuk menahan hawa nafsu, untuk menaklukkan diri sendiri. Perang menaklukkan orang lain itu mudah. Menaklukkan diri sendiri, itu yang susah. Karena Pak De ini pintar sekali ngomong soal puasa, saya pun terpikat. Lebih-lebih setelah teman sebaya saya ada yang mulai belajar puasa mutih. Saya pun lalu bilang pada nenek saya untuk berpuasa. Di luar dugaan, nenek saya melarang. Dia mengatakan bahwa saya tidak perlu berpuasa karena sudah sering menderita lapar akibat tidak ada makanan.

Nenek lalu melanjutkan omelannya. Orang berpuasa, bagaimanapun tetap lebih enak daripada orang kelaparan, karena orang berpuasa itu sebenarnya punya makanan. Sedangkan orang kelaparan tidak punya makanan. Bagaimanapun orang yang punya makanan lebih enak daripada yang tidak punya makanan. Meskipun saya tidak setuju dan tidak begitu mengerti dengan omelan nenek, dalam hati senang juga karena tidak perlu puasa.

Setelah menginjak usia remaja, saya pun mulai bertanya-tanya. Untuk apa sebenarnya orang berpuasa, bahkan ada yang sampai bertapa. Ada yang menjawab supaya sakti. Ada yang mengatakan supaya tidak bisa mati. Artinya, setelah tua langsung masuk surga. Ada pula yang bilang untuk mengendalikan hawa nafsu, menahan hawa nafsu. Bahkan ada yang mengulangi omongan Pak De, yakni untuk berperang melawan diri sendiri, untuk menaklukkan diri sendiri.

Lalu saya pun mengenal ada bertapa ngidang, yakni masuk ke dalam hutan dan berbuat seperti kijang. Artinya, hanya boleh makan daun-daunan yang langsung dicaplok dengan mulut. Ada lagi bertapa “kungkum”. Artinya, bermalam-malam merendam diri di sebuah lubuk. Saya menganggap ini semua berlebihan, sebab mereka mau melakukan hal yang aneh-aneh itu demi sebuah target, mungkin supaya sakti, awet muda, jadi kaya, dan lain-lain.

Berpuasa, bertapa, menyiksa, dan menyakiti diri sendiri, pada titik tertentu akhirnya sama saja dengan menuruti nafsu itu. Kalau segala perbuatan itu dilakukan demi sebuah target, maka upaya untuk mencapai target itu bisa menjadi nafsu tersendiri. Bahkan kalau segala perbuatan itu dilakukan sekadar untuk menaklukkan diri sendiri pun, hal ini perlu dipertanyakan. Mengapa diri sendiri itu perlu ditaklukkan? Diri yang mana?

Kalau jawabannya adalah “diri” yang berupa “hawa nafsu”, maka saya hanya setuju kalau hal itu cukup dikendalikan dan bukan dikalahkan. Kalau nafsu itu dikalahkan, maka kemungkinan yang akan timbul adalah suatu ketika nafsu itu akan bangkit lagi dengan kekuatan yang lebih besar lalu ganti mengalahkan kita. Namun kalau nafsu yang dikalahkan itu kemudian benar-benar “mati”, maka kelangsungan kehidupan akan jadi terancam, sebab nafsu itu, bagaimanapun sangat diperlukan dalam rangka mempertahankan kehidupan.

Dalam ajaran Katolik, ada juga kewajiban untuk berpuasa. Menjelang Hari Raya Paskah (Hari kebangkitan Yesus), umat Katolik harus mengurangi makan dan tiap hari Jumat “pantang” makan daging. Itulah yang selalu ditekankan oleh bruder yang mengajar agama. Pada suatu hari Jumat, kebetulan nenek saya mendapat kiriman “berkat”. Berkat adalah nasi dan lauk-pauknya yang disajikan pada waktu ada kenduri. Karena nenek saya itu seorang janda, dia tidak diundang kenduri, tapi dikirimi nasi “berkat”. Dalam nasi itu ada potongan atau lebih tepat disebut “serpihan” daging ayam. Disebut serpihan sebab seekor ayam ukuran sedang itu, harus dibagi ke puluhan orang.

Ketika saya mengatakan pada nenek bahwa saya sedang pantang daging, si nenek marah. Ayo dimakan, katanya memerintah. Sebab belum tentu sebulan sekali saya bakal ketemu daging. Mungkin agama Katolik memang diciptakan untuk orang-orang kaya. Minimal untuk orang Timur Tengah dan Eropa yang menu utamanya memang daging. Tapi untuk saya? Mungkin nenek saya betul. Puasa bagi saya mungkin justru harus berupa makan kenyang. Soalnya sehari-hari saya selalu kelaparan dan kurang gizi. Kalau sehari-hari, sepanjang tahun, sudah kelaparan dan kurang gizi, lalu untuk apa anjuran puasa dan pantang segala macam itu? Mungkin agama Katolik memang dibuat khusus untuk orang-orang yang minimal tidak pernah kelaparan.

Tapi, bukankah Yesus adalah orang miskin, anak tukang kayu di sebuah desa kecil? Toh dia juga disebut-sebut dalam Injil berpuasa 40 hari 40 malam, digoda setan dan tetap tahan? Dan bukankah semua agama mengajarkan puasa? Bahkan agama Budha menekankan ajaran vegetarian? Bahkan, ajaran puasa yang paling berat justru terdapat dalam paham kejawen yang diduga masih merupakan kelanjutan dari paham animisme purba? Mungkin justru kemiskinan itu sendiri yang salah. Mungkin, manusia sebenarnya tidak boleh miskin, tidak boleh kelaparan, supaya dapat berpuasa dan berpantang, supaya dapat mengendalikan nafsu yang jahat itu.

Larangan berpuasa dari nenek saya itu pada suatu hari saya langgar. Saya memutuskan untuk tidak makan apa-apa dan hanya minum air putih. Saya kuat bertahan sampai tiga hari. Niat saya ingin melanjutkan sampai tujuh hari agar dapat melihat setan. Namun di hari keempat, entah dapat duit dari mana, nenek saya berbelanja dan masak yang enak-enak. Dia pun membujuk saya untuk berhenti puasa dan makan. Saya mengalah.

Menaklukkan diri sendiri ternyata memang tidak perlu. Menaklukkan diri sendiri sebenarnya sama jeleknya dengan menuruti kemauan diri sendiri. Yang benar adalah kita harus selalu tepat menentukan, kapan harus menuruti kata hati, dan kapan harus menolaknya. Ini ternyata jauh lebih sulit dilakukan daripada sekadar menahan lapar dan haus. Menahan lapar dan haus, mungkin merupakan sesuatu yang berat bagi orang yang sehari-hari biasa makan kenyang. Kalau puasa ini sukses, katarsis pun akan datang, ibarat sebuah orgasme rohani. Namun bagi orang yang sehari-hari lapar dan kurang gizi, makan kenyang dengan gizi baik adalah sebuah dambaan. Sesuatu yang sulit untuk dicapai. Kalau upaya makan kenyang ini tercapai, ketika tumpukan jagung menggunung di lantai, ketika batang-batang singkong tegak di kebun dan siap dicabut, katarsis itu muncul. Rasa cemas dan was-was itu hilang.

Menaklukkan diri sendiri, melawan hawa nafsu dengan niat besar untuk memenangkannya, pada akhirnya juga akan menjadi hawa nafsu itu sendiri. Lebih-lebih kalau niat untuk menaklukkan diri sendiri itu disertai dengan sebuah target. Misalnya untuk mendapatkan kesaktian, untuk dapat berhubungan dengan roh, dan untuk tujuan-tujuan lain. Upaya itu lalu menjadi sama saja dengan upaya olahragawan atau ilmuwan yang mengejar prestasi. Sama pula dengan upaya pedagang yang mendambakan keuntungan berlipat ganda. Lebih-lebih kalau aturan untuk menaklukkan diri sendiri itu menjadi seragam dan baku, misalnya seperti yang diajarkan oleh agama-agama besar. Betapa lucunya kalau saya, seorang anak desa yang miskin dan kurang gizi lalu diminta berpantang makan daging atau apa pun, sebab belum tentu sehari-hari bisa memakan sesuatu. ***

Pernah dimuat di Buku Menggugat Tuhan

 



Nasib, Takdir, dan Kematian

$
0
0

Nenek teman saya sudah lama sakit. Sudah dicarikan dukun, tetapi itu tidak juga sembuh. Waktu itu yang sering pergi ke dukun adalah ibu saya. Setiap kali datang ke dukun itu, obatnya selalu sama, disuruh makan daging anak itik. Setiap kali saya bilang dukun itu aneh, ibu saya selalu marah. Bu Jono itu bukan dukun. Dia itu prewangan. Prewangan artinya medium. Dia akan intrance, lalu suaranya berubah lantaran kemasukan roh. Selain diobati oleh dukun, nenek teman saya itu juga disuntik dan diberi pil. Soalnya, ayah teman saya itu bekerja di rumah sakit. Akhirnya, nenek teman saya itu meninggal. Pada waktu itu, saya disuruh mengabari sanak famili. Kalau sehari-hari saya pakai celana pendek, khusus untuk mendatangi sanak famili ini harus pakai kain sarung.

Selang beberapa hari setelah nenek teman saya ini meninggal, sore-sore saya tertidur karena capek. Saya tidur di balai-balai bambu kecil beralaskan tikar. Pada malam hari, tiba-tiba ada yang membangunkan diri saya. Pipi saya disentuh oleh tangan yang dingin sekali. Ketika saya membuka mata tampaklah sosok nenek teman saya. Saya langsung menelungkupkan muka saya ke tikar dan menutupnya dengan bantal. Saya takut sekali. Itu pasti arwah nenek teman saya. Soalnya kata orang-orang, roh orang meninggal itu sebelum 40 hari akan bergentayangan terutama di sekitar rumahnya. Rumah nenek saya dan nenek teman saya, kebetulan berhadap-hadapan.

Karena takut, jantung saya berdegup keras. Napas saya memburu. Saya tetap membenamkan muka di bawah bantal. Namun tak lama kemudian terdengar suara nenek saya. “Orang belum makan, dibangunkan kok malah tutupan bantal”. Saya tahu pasti, itu suara nenek saya. Bantal pun saya buka. Memang benar. Di dekat meja, kena  sorot lampu sentir (lampu minyak kecil) tampak sosok nenek saya. Dia mengenakan baju nenek teman saya. Ternyata yang menyentuh pipi saya tadi dia. Tangannya dingin karena habis mencuci piring. Dia memang mengenakan baju nenek teman saya. Karena setelah meninggal, semua baju, selendang, kain, dan lain-lain miliknya segera dibagi-bagi. Nenek saya dapat jatah kain dan baju. Ketika ketakutan saya ini saya kemukakan, nenek saya tertawa. Orang mati itu sudah tidak bisa lagi menakut-nakuti orang hidup. Orang mati itu rohnya sudah diambil oleh yang memberi hidup. Begitu kata nenek saya. Kematian itu takdir.

Penjelasan nenek saya itu tidak dapat saya terima. Bagi saya, kematian bukan melulu takdir. Menurut ibu saya, nenek teman saya itu sakit-sakitan lantaran memikirkan anak bungsunya yang hilang pada zaman Jepang. Katanya, nenek teman saya itu sering kedapatan menangis sendirian. Dia yakin anak bungsunya itu sudah meninggal dan dia ingin menyusulnya. Jadi, menurut ibu saya, nenek teman saya itu meninggalnya memang karena keinginannya sendiri.

Setelah menginjak dewasa, saya memang sering mendengar ihwal kelahiran atau kematian yang disebut sebagai takdir. Kemudian keberuntungan atau kesengsaraan dinamakan nasib. Semua itu berada di tangan Tuhan. Saya tidak percaya. Orang-orang bilang, kalau memang derajat kere mau diapakan pun ya tetap saja kere. Ayah saya pun sering bilang begitu. Kalau Tuhan belum menghendaki, meskipun jatuh dari pohon kelapa, ya tetap saja hidup. Saya tidak setuju. Memanjat pohon kelapa ya harus hati-hati. Kalau pohon itu licin karena habis hujan, ya jangan dipanjat. Kalau badan lagi kurang sehat ya jangan melakukan pekerjaan yang berbahaya. Melempar nasib dan takdir kepada kehendak Tuhan adalah sikap tidak bertanggung jawab.

Ketika adik ipar kakak saya meninggal tertabrak mobil, orang-orang pun bilang itu sudah takdir. Saya mengatakan itu sebuah kelalaian dan kekurang hati-hatian. Ketika ayah mertua kakak saya juga meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, orang-orang juga bilang itu sudah suratan nasib. Kembali saya mengatakan bahwa itu bagian dari mental masyarakat kita yang tidak mau tertib berlalu lintas di jalan raya. Sebaliknya ketika orang-orang mengatakan bahwa nenek saya yang meninggal dalam usia yang sangat lanjut (lebih 90 tahun) dan menyebut-nyebut bahwa itu lantaran rahmat Tuhan, maka saya mengatakan bahwa itu berkat sikap hidup dan upaya si nenek agar panjang umur.

Saya memang percaya adanya nasib dan takdir, tapi tidak senaif yang diajarkan oleh masyarakat. Kelahiran, misalnya, adalah takdir yang katanya tidak mungkin ditolak. Saya lahir sebagai anak seorang penjahit miskin di kota kecil Ambarawa, katanya tidak bisa saya tolak. Tahu-tahu sudah begitu. Coba disuruh memilih, mungkin saya memilih lahir sebagai anak Ratu Elizabeth di Inggris sana. Itu kata orang banyak yang sangat tidak saya setujui. Kelahiran bukan takdir yang tidak bisa ditolak.

Kalau saya kecewa lahir sebagai orang Jawa, bisa saja saya pindah ke Amerika dan menjadi orang Amerika. Ada teman saya yang meskipun Jawa, cara berpikir dan berperilaku sudah seratus persen Amerika. Kalaupun saya juga kecewa karena berkulit sawo matang, berhidung pesek dan berambut hitam, semua toh bisa saya ubah. Bisa saja kulit ini dilumuri jelaga biar hitam atau bedak tebal biar putih. Hidung dan bibir bisa dioperasi, mata bisa pakai lensa kontak. Rambut mudah disemir. Kalau semua itu tetap mengecewakan, saya tetap bisa menolak kelahiran ini dengan cara bunuh diri pada usia anak-anak. Tuhan tidak pernah melarang itu semua.

Kalau orang bisa menentukan kapan dia mati, sekarang, besok, lusa, atau minggu depan dengan cara bunuh diri, maka sebenarnya dia pun bisa menentukan, misalnya, akan mati pada umur di atas 90 tahun lantaran “tua”. Nenek saya, sewaktu masih muda selalu bilang, baru mau mati kalau cucunya yang paling kecil (anak dia satu, cucu empat) sudah bekerja dan berumah tangga. Benar. Dia meninggal setelah adik saya yang terkecil bekerja, menikah, dan punya anak. Dia juga mengatakan tidak mau meninggal dengan cara sakit berkepanjangan atau menjadi jompo. Benar, dia tetap gagah dan sehat dan hanya sakit beberapa hari sebelum meninggal.

Mungkin akibat pengaruh agama-agama besar di dunia masyarakat selalu mendewa-dewakan nasib dan takdir. Begitu ada situasi yang tak terjangkau oleh akal sehatnya, langsung saja disebut takdir atau nasib. Penyakit yang mematikan, rumah tangga atau karir yang berantakan, bencana alam, semua disebut sebagai nasib dan takdir. Padahal, penyakit kanker yang tak terobati, misalnya, tetap bisa kita cegah kedatangannya dengan cara hidup sehat, menjaga lingkungan dengan baik, dan mengatur makanan dengan baik sesuai dengan kehendak alam. Kalau ini semua dilanggar, kanker mungkin akan datang. Penyakit AIDS misalnya, jelas akan terhindarkan kalau kita menjaga perilaku seks dan bersikap hati-hati dan disiplin. Untuk menjaga agar tidak mati konyol ditransfusi dengan darah penderita AIDS, kita bisa mendapatkan darah dari orang yang nyata-nyata belum tertular AIDS.

Bencana alam seperti gunung meletus dan gempa juga bukan sebuah takdir ilahi yang harus membunuh ribuan orang. Abad modern sudah punya “indera” baru berupa teknologi untuk membuat peta kawasan gempa maupun alat untuk memonitor perangai gunung api. Kalau mau, kita bisa menghindarinya dengan membuat rumah tahan gempa atau pindah ke lokasi lain. Di zaman purba, saat teknologi canggih belum ada, Tuhan menyodorkan banyak tanda alam. Kalau mau ada gempa dan gunung meletus, satwa semacam semut, macan, babi hutan, dan lain-lain berbondong-bondong keluar sarang dan mengungsi. Kalau sampai terjadi malapetaka yang membunuh banyak orang, yang salah ya manusia itu sendiri dan bukan Tuhan. Paling idak “manusia” secara kolektif.

Tuhan sebagai sebuah atau sesuatu atau zat yag tak terjangkau oleh pikiran manusia, memberikan “kebebasan mutlak” pada makhluk ciptaannya itu. Nasib dan takdir adalah istilah ciptaan manusia sendiri untuk mengelakkan tanggung jawab. Untuk menimpakan tanggung jawab itu ke luar dari mereka sendiri. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, sikap demikian terasa sangat menjengkelkan, karena tanggung jawab atau kesalahan lalu selalu harus ditimpakan ke pihak lain, ke orang lain. Padahal, pangkal dari ketidakberesan itu sebenarnya ada di tangan manusia atau individu itu sendiri.

Kalau yang dituduh menjadi “kambing hitam” suatu keadaan atau kejadian adalah “orang lain” mungkin masih masuk akal. Akan tetapi, agama-agama formal justru mengajarkan bahwa “kambing hitam” yang paling sering bikin ulah mengotak-atik nasib dan takdir manusia adalah Tuhan. Dalam hati saya berkata, sungguh tidak rela kalau zat yang mahatinggi itu, sang pencipta, sesuatu yang tak terjangkau akal manusia itu, lalu dikait-kaitkan dengan kejadian, suasana, atau ketidakberesan dunia yang remeh-remeh, yang sepele, yang semuanya sebenarnya merupakan tanggung jawab manusia sendiri. Pemeo rejeki, jodoh, dan kematian ada di tangan Tuhan secara tersamar sebenarnya telah melecehkan Tuhan. Sebutan manusia boleh berusaha tapi Tuhan akan menentukan harus diubah. Manusia harus berusaha sebaik mungkin. Kalau gagal, berarti usaha itu belum maksimal atau usaha itu keliru dan untuk menutupi kekecewaan seyogianya Tuhan tak usah dibawa-bawa.***

Pernah dimuat di Buku Menggugat Tuhan

 


Tuhan dan Keheningan

$
0
0

Meskipun bu guru agama, bruder, dan pastor senantiasa mengatakan bahwa Tuhan itu tak dapat terlihat oleh mata manusia, saya tetap ingin sekali melihatnya. Saya ingin membuktikan apakah benar wajah dan sosoknya seperti yang terlihat dalam gambar-gambar itu? Lalu, seberapakah besarnya? Apakah sebesar manusia atau seperti raksasa? Keinginan untuk melihat wajah dan sosok Tuhan ini demikian menggoda saya. Karena “rumah” Tuhan adalah gereja, saya pun lalu sering datang ke sana di saat-saat gereja itu sedang kosong. Meskipun saat itu pintu gereja tertutup dan terkunci, saya dapat dengan mudah masuk melalui pintu dari pastoran yang tidak pernah terkunci. Untuk masuk ke pastoran sangat mudah karena ayah saya menjadi penjahit di sana.

Di dalam gereja yang kosong, sepi dan hening itu saya dapat berdoa sepuasnya. Saya berdoa seperti lazimnya orang berdoa, yakni sambil menunduk dan memejamkan mata. Tetapi sekali-sekali saya mendongakkan kepala dan melek. Maksudnya untuk melihat, siapa tahu Tuhan tiba-tiba telah muncul di altar gereja. Berulangkali hal ini saya lakukan namun Tuhan tetap tidak dapat saya lihat. Saya menduga bahwa doa saya kurang khusyuk. Saya lalu mencoba berdoa lagi dengan lebih khusyuk tanpa mendongak-dongakkan kepala. Harapan saya, Tuhan lalu mau menepuk pundak atau kepala saya. Upaya ini pun juga gagal. Yang datang justru koster (petugas gereja) yang membawa kain-kain lap. Kosentrasi saya pun buyar. Esoknya saya datang ke gereja lagi dan berdoa lagi, tetapi juga tidak pernah berhasil melihat wajah Tuhan. Saya lalu mulai mempercayai bu guru agama bahwa Tuhan itu memang benar-benar tidak dapat dilihat.

Namun demikian saya tetap tidak berputus asa dalam berupaya untuk dapat melihat wajah Tuhan. Dalam ibadah misa, pada saat-saat yang paling khusyuk, semua orang berlutut dan menunduk serta memejamkan mata. Pada saat itu pastor akan mengangkat hosti tinggi-tinggi dan misdinar akan membunyikan bel. Saat itu, saya justru melotot melihat ke altar. Sebab dugaan saya, pada detik-detik semacam itulan Roh Kudus dapat turun dari langit berupa burung merpati yang bersinar sangat terang. Kadang pada saat-saat seperti ini, saya juga mengedarkan mata ke mana-mana untuk mencari-cari sosok Tuhan. Akan tetapi, yang tampak justru berkelebatnya tangan ayah saya yang kemudian dengan sangat cekatan menyentil telinga saya berulangkali. Saya pun terpaksa kembali menunduk sambil menahan sakit.

Waktu itu, sebelum Konsili Vatikan II, cara menerima komuni lain dengan sekarang ini. Ketika itu umat harus berlutut, tangan ditengadahkan, kepala didongakkan, mata terpejam, mulut dibuka dan lidah dijulurkan. Saat itulah pastor akan menaruh hosti di lidah kita, lalu kita harus segera menunduk dan menelannya. Hosti adalah daging Kristus. Kristus adalah Tuhan. Mungkin di hosti yang dibagi-bagikan pastor itu, saya dapat melihat wajah Tuhan. Atas dasar itulah, saya kadang-kadang sedikit membuka mata atau malahan melek sama sekali. Kini yang nampak bukannya wajah Tuhan melainkan mata pastor yang memelototi saya sambil menahan hosti yang berada di tangannya. Setelah saya memejamkan mata lagi, barulah pastor itu menaruh hosti di lidah saya.

Karena gagal menemukan Tuhan di dalam gereja muncullah gagasan untuk mencarinya di gunung. Sebab dulu Nabi Musa menerima sepuluh perintah Allah juga di atas puncak gunung. Dalam cerita wayang, Arjuna yang ingin meminta kesaktian dari dewa juga pergi ke gunung dan bertapa. Mestinya, saya juga berpeluang untuk melihat Tuhan di atas puncak gunung, sebab gunung itu dekat dengan langit. Di langit itulah terdapat surga tempat bertakhtanya Tuhan. Gunung pertama yang saya naiki adalah sebuah bukit kecil yang penuh dengan ladang singkong dan jagung. Orang-orang memang menamakannya sebagai gunung Gombak.

Waktu itu, saya baru berumur 9 tahun. Berempat dengan tiga teman, saya menuju gunung Gombak yang jaraknya hanya sekitar 3 kilometer dari kampung. Untuk itu kami harus berjalan kaki memutar. Kemudian setelah menyeberangi kali Babon, kami melalui jalan setapak yang mulai menanjak. Bukit ini memang dilingkari dua buah kali. Kali Babon dan kali Panjang yang ombak itu ternyata terdapat sebuah makam yang dinaungi sebatang pohon beringin besar. Selain itu, kami tidak menemukan apa-apa. Ketika itu, hujan juga turun dengan sangat derasnya hingga kami pun pulang dengan baju basah kuyup.

Berikutnya kami mencoba naik ke bukit yang lebih tinggi, namanya gunung Kendalisodo. Ceritanya, di gunung inilah tokoh wayang Hanoman bertapa sepanjang masa untuk menjaga arwah Rahwana yang bermukim di gunung Ungaran. Letak gunung Kendalisodo ini di sebelah timur laut kampung saya. Jaraknya sekitar lima kilometer. Di puncak gunung Kendalisodo ini, saya dan teman-teman menemukan banyak tanaman jambu mete yang sarat buah. Saya lalu lupa pada Tuhan dan sibuk berebutan jambu mete dengan teman-teman. Menjelang sore, kami turun dari bukit itu dan langsung mandi di sebuah kedung di kali Panjang.

Sejak itulah, saya lalu punya target. Gunung berikutnya adalah gunung Jambu. Di sini saya hanya pergi berdua dengan seorang teman. Di sini pulalah, saya tahu yang namanya kabut. Waktu itu, kami berdua lari ketakutan dikejar kabut yang kelabu dan menyeramkan itu. Tentu saja kabut itu berhasil mengejar dan “menelan” kami. Ternyata kabut itu dingin dan tidak apa-apa. Setelah itu, saya manargetkan gunung Telomoyo. Di sinilah, saya baru benar-benar merasakan yang namanya gunung. Dinginnya bukan main dan gigi saya tiba-tiba sakit. Karena tidak membawa bekal apa-apa, kami pun kelaparan dan kehausan.

Setelah gunung demi gunung saya naiki, Tuhan tetap tidak pernah saya temukan. Di puncak gunung itu, yang ada hanya udara yang sangat dingin, badan yang capek, rasa lapar, haus dan ngantuk. Suasana di puncak gunung juga sangat sepi. Istilah yang lebih tepat adalah hening. Yang kedengaran hanyalah derasnya tiupan angin yang membawa aroma bunga-bunga liar. Kalau tidak ada angin, yang kedengaran hanya desah napas, suara burung, dan dengung lebah. Dalam suasana yang sangat hening, sambil duduk di atas rerumputan, saya mulai berpikir. Mungkin Tuhan adalah keheningan itu sendiri.

Di sinilah saya menemukan sebuah katarsis. Tuhan itu sudah saya temukan. Tuhan adalah keheningan. Suasana sangat senyap, jauh dari hiruk-pikuk. Di sinilah, saya dapat berpikir dengan lebih tenang, dengan lebih nyaman dan dengan waktu yang tidak terburu-buru. Seandainya Tuhan bukan keheningan itu sendiri, minimal dengan naik gunung, merambah hutan, menyusuri kali dan masuk gua, saya dapat lebih mendekatkan diri dengan Tuhan. Ini sangat jauh dengan yang bisa saya temukan di dalam gereja. Di gereja, yang saya temukan hanyalah formalitas. Semua sudah diatur dengan sangat rapi dan tegas. Dalam kondisi seperti itu, yang dapat saya temukan hanyalah kebosanan dan kekikukan. Semua itu justru saya rasakan semakin menjauhkan saya dari Tuhan.

Di alam bebas ini, saya sebagai individu bebas untuk mengatur gunung mana yang harus saya daki, berapa lama saya mau duduk, berjalan atau merenung. Tuhan yang saya temukan adalah Tuhan yang tidak dibentengi oleh aturan protokoler ritual keagamaan. Tuhan yang saya temukan di sini adalah Tuhan yang mengatur alam semesta dengan harmoni, dengan keakraban Namun, Tuhan semacam ini juga menjadi seperti candu. Setiap kali, saya memerlukan tingkat keheningan yang lebih tinggi lagi. Kalau semula saya naik gunung dan masuk hutan pada siang hari, kini saya berniat untuk mencobanya malam hari. Tingkat keheningan pada malam hari pasti lebih tinggi dari siang hari.

Ketika fajar mulai merekah, suasana hening itu pelan-pelan berubah. Langit yang semula hitam berangsur terang dengan paduan warna-warni silih berganti. Suara burung, deru kendaraan bermotor di bawah sana, semua itu benar-benar saya rasakan sebagai gerakan tangan Tuhan. Saya benar-benar dapat merasakan kedekatan saya dengan-Nya. Tiupan angin kencang, udara yang sangat dingin, semua justru saya rasakan sebagai aliran hangat yang menyusup ke dalam badan. Upaya saya mencari Tuhan ternyata tidak sia-sia. Kenikmatan dekat dengan Tuhan ini benar-benar luar biasa hingga harus selalu rutin dilakukan dan dengan kadar yang lebih tinggi lagi.

Saya lalu bisa sangat memahami, mengapa para penganut kejawen itu setiap tanggal satu Suro selalu menyempatkan diri mendaki puncak gunung pada malam hari. Saya juga mulai dapat memahami mengapa para penganut kejawen itu gemar sekali menyepi di tempat-tempat yang jauh dari keramaian untuk nglakoni. Bahkan kemudian saya dapat membayangkan, betapa dulu, nenek moyang kita beriring-iringan melakukan ibadah mereka di candi-candi yang mereka bangun di pegunungan Dieng, di Gedongsongo, dan lain-lain. Di tempat-tempat seperti inilah, dulu para nenek moyang dapat menemukan atau minimal mendekatkan diri dengan para Dewa mereka. Keagungan, kebesaran, dan keheningan purba itu sekarang sulit sekali saya jumpai dalam ritual keagamaan di gereja yang rutin, dalam ruang yang sangat sempit dan tergesa-gesa.

Namun, kemudian muncul sebuah pertanyaan dalam  diri saya. Jangan-jangan “keheningan” yang saya jumpai di puncak gunung ini sebenarnya hanyalah sebuah kenikmatan sesaat. Apabila kenikmatan ini dapat saya temukan setiap hari, mungkin juga akan menjadi sebuah kerutinan yang membosankan. Pesona keheningan pun akan hilang. Dalam kondisi semacam ini, mungkin suasana sibuk, pengap, berdesak-desakan, dan tergesa-gesa akan menjadi sesuatu yang bisa dinikmati. Sebab bagi penduduk setempat, kabut, lereng yang terjal, pohon-pohon, semua itu adalah hal yang biasa-biasa saja. Tidak ada yang aneh. Tidak ada yang mengesankan mereka. Yang justru tampak aneh adalah kami-kami yang jauh-jauh datang dari kota hanya untuk menikmati sesuatu yang bagi mereka biasa-biasa saja bahkan membosankan.

Ternyata dugaan saya ini benar. Tahun 1967, saya keluar dari kelas dua SMA lalu menjadi guru SD. Tempat mengajar saya adalah sekolah di lingkungan perkebunan teh di lereng gunung Ungaran yang dikitari hutan lebat. Ketika baru sebulan, dua bulan, saya masih dapat me nikmati pesona alam pegunungan ini. Tetapi setelah setahun dua tahun, alam pegunungan yang dulu sangat saya kagumi dan mampu mendekatkan saya dengan Tuhan itu lalu menjadi sangat membosankan. Suasana sibuk, ramai, berdesak-desakan, dan tergesa-gesa lalu menjadi sebuah dambaan. Kalau dulu naik gunung adalah sebuah peristiwa penting yang ditunggu-tunggu kedatangannya, sekarang jadi terbalik. Datang ke kota adalah sebuah peristiwa penting yang menarik.

Waktu liburan yang hanya satu hari, yakni hari minggu, lalu saya manfaatkan benar-benar untuk datang ke Ambarawa, paling tidak ke kota kecamatan, yakni Sumowono dan Limbangan. Di sanalah saya dapat bertemu dengan keramaian. Di sanalah saya dapat memperoleh sebuah katarsis. Ngobrol dengan teman-teman di warung, berdesak-desakan di pasar, masuk toko, mengikuti misa, semua lalu menjadi sangat menyenangkan. Tetapi, apakah lalu bisa disebutkan bahwa Tuhan juga berarti sebuah keramaian? Tuhan adalah hiruk-pikuk dan ketergesa-gesaan? Saya tidak berani menjawab pertanyaan saya ini dengan terburu-buru. Agak sulit bagi saya untuk mencari pembenaran, bahwa Tuhan adalah pasar, bahwa Tuhan adalah warung dan toko, bahwa saya dapat dekat dengan Tuhan dalam kondisi hiruk-pikuk dan sibuk semacam itu. ***

Artikel dimuat di Buku Menggugat Tuhan

 


Akulah Tuhan

$
0
0

Ada seorang tokoh di kampung saya yang sangat disegani oleh warga masyarakat. Dia seorang Kepala Resor Polisi Hutan. Orang-orang menyebutnya dengan panggilan Pak Mantri Hutan. Dia berdinas di dukuh Gempol di lereng utara gunung Ungaran. Menjelang dia pensiun, selama dua bulan saya tinggal menumpang di rumah dinasnya itu, karena tempat mengajar saya di lingkungan kebun teh yang berdekatan dengan rumah dinasnya. Waktu itu, umur saya 17 tahun dan hubungan saya dengannya dekat sekali. Saya dianggapnya  sebagai keluarga sendiri. Saya memanggilnya dengan sebutan Pak De.  Ketika dia tahu saya sering naik turun gunung dan masuk hutan sendirian, dia lalu bertanya, apa sebenarnya yang saya cari. Saya berbohong dan mengatakan mencari rotan, mengambil kayu nagasari dan lain-lain. Tampaknya Pak De itu tahu kalau saya berbohong.

Pada suatu hari saya dipanggilnya. Dengan nada yang sangat serius, dia menanyakan, apakah benar saya sedang mencari “sesuatu”. Dia mengatakan kalau saya memang sedang mencari “kesejatian hidup”. Itu tidak terlalu sulit. Dia akan menunjukkan jalannya. Kesejatihan hidup adalah Tuhan. Dialah sangkan paraning dumadi. Asal-usul dan tujuan hidup. Terakhir, yang membuat saya kaget, dia mengatakan, Tuhan adalah kita-kita ini juga. Aku ini Tuhan, kamu itu juga Tuhan, tambahnya. Mula-mula saya menduga Pak De ini sedang bercanda. Namun dugaan saya ini kemudian saya bantah sendiri sebab setahu saya, selama ini dia selalu seius, bahkan sangat serius.

Beberapa hari kemudian, dia mengatakan bahwa mencari apapun, harta, tahta, wanita, ilmu bahkan juga Tuhan, tidak perlu jauh-jauh ke mana-mana. Cukup kita mencari ke dalam diri kita sendiri. Kalau kita mau bekerja, rezeki itu akan datang dengan sendirinya. Kalau kita mau belajar, kepandaian itu akan kita peroleh. Demikian pula dengan jodoh, bahkan Tuhan. Ketika kemudian saya meminta semacam resep atau kunci sukses untuk mencari semua itu, Pak De hanya tertawa. Kunci sukses semacam itu tidak pernah ada. Itu semua, katanya sudah ada tetapi harus saya cari dalam hati saya sendiri. Dia lalu mengajari saya cara bermeditasi, mengatur napas, dan mengosongkan pikiran.

Kebetulan lingkungan di dukuh Gempol itu sangat ideal untuk merenung, bermeditasi, mengatur napas dan mengolah pikiran. Rumah dinas “kemantren” itu berada di sisi utara dukuh Gempol, menghadap ke barat ke arah sawah dan jalan desa. Di tengah sawah itu, lintas jalan aspal menuju ke perkebunan teh Medini. Dukuh Gempol sendiri terletak di pinggiran hutan dan sekaligus pinggiran kebun teh di lereng gunung Ungaran. Nun di bawah sana, ada sawah dinas yang bertrap-trap yang dibelah parit dengan airnya yang sangat jernih. Di samping rumah ada jajaran pohon-pohon pinus. Dan jauh di utara sana tampak kota Semarang dan laut Jawa. Di bawah pohon-pohon itulah, saya belajar mengolah napas dan mengosongkan pikiran.

Setelah lama hal itu saya lakukan, mulailah saya sadar bahwa dalam agama Katolik dan Islam ada pula upaya untuk mendekatkan dan menyatukan diri dengan Tuhan dengan cara seperti ini. Di kampung saya, kalau ada kenduri kematian dan orang-orang membaca Tahlil, kepalanya sampai goyang-goyang. Mata mereka terpejam, irama suara mereka ritmis. Ada suasana khusyuk yang amat dalam yang dapat saya rasakan. Demikian pula halnya kalau umat Katolik membaca litani novena atau doa rosario. Pembacaan doa yang teratur dan diulang-ulang itu secara otomatis membuat napas kita jadi teratur. Pikiran pun jadi terkonsentrasi pada Tuhan atau Perawan Maria atau orang kudus lainnya. Namun dulu, sewaktu kanak-kanak, kami selalu bosan dengan doa-doa semacam ini. Ada yang kemudian mengantuk. Ada pula yang iseng dan menggoda teman-temannya. Pikiran kami waktu itu hanya terkonsentrasi pada pertanyaan, mengapa doa ini diulang-ulang hingga tak kunjung selesai? Kami sama sekali tidak tahu bahwa doa itu diulang-ulang dalam rangka  mengkonsentrasikan pikiran pada Tuhan.

Setelah secara rutin mengikuti ajaran Pak De ini, saya mulai dapat merasakan manfaatnya. Begitu olah napas ini sudah dapat berjalan kurang 10 menit, terasalah adanya sebuah aliran hangat yang menjalar ke seluruh tubuh. Saya lalu berniat melakukan hal ini secara lebih intens lagi. Di luar dugaan Pak De itu justru melarangnya. Olah napas dan olah pikiran itu dilakukan secukupnya saja, katanya. Kecuali kalau mau menjadi semacam wali. Sebab olah napas dan olah pikiran menjadi semacam wah. Sebab olah napas dan olah pikiran itu, katanya seperti olahraga biasa. Kalau hanya untuk kesehatan, ya cukup dilakukan seperlunya saja. Kecuali kalau mau jadi juara nasional. Iseng-iseng lalu saya tanyakan pada Pak De, bagaimana kalau hal ini dilakukan secara intensif. Katanya, akan ada dua kemungkinan. Saya bisa menjadi semacam wali, bisa juga menjadi gendeng.

Pak De itu lalu memberi contoh. Orang yang bisa menyatukan diri dengan Tuhan, biasanya lalu bersikap acuh-tak-acuh terhadap lingkungannya. Kalau sikap masa bodohnya ini masih bisa ditolerir oleh lingkungannya, memang tidak menjadi masalah. Kalau masa bodohnya sudah dalam tahap yang tidak bisa ditolerir oleh masyarakat, dia pun akan dicap sebagai orang gila. Anjuran Pak De ini dapat saya mengerti. Olah batin seperti ini kalau dilakukan secara intens dan mencapai tahapan tertentu, dapat mendatangkan katarsis berupa kenikmatan yang luar biasa. Dalam olahraga dan seni, pencapaian tahap seperti ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas karena bisa dinikmati sebagai tontonan. Dalam olah batin, yang bisa menikmati hanya diri kita sendiri. Kecuali, kemampuan tersebut kemudian diarahkan untuk upaya penyembuhan penyakit misalnya. Di masyarakat, orang-orang semacam ini disebut sebagai dukun, orang pintar, orang tua, dan lain-lain.

Bisa juga kemampuan tadi lalu dikembangkan untuk diajarkan ke masyarakat banyak. Namun, untuk keperluan semacam ini diperlukan sebuah institusi. Bisa merupakan institusi keagamaan yang sudah ada, namun bisa pula membentuk institusi baru. Institusi baru itu bisa berupa aliran-aliran kebatinan, paguyuban-paguyuban atau merupakan sekte sempalan dari agama besar. Kalau seseorang mendalami olah batin ini secara intens dan berhasil mencapai tahap puncak, namun hanya memanfaatkannya untuk kepentingan diri sendiri, biasanya dia lalu akan bersikap masa bodoh terhadap lingkungan sekitar. Lalu, masyarakat pun akan mencapnya sebagai orang yang tidak waras.

Iseng-iseng pernah saya tanyakan pada Pak De itu, apakah dia sudah berhasil menyatu dengan Tuhan? Jawabnya enteng saja : sudah! Dia pun lalu menyambung bahwa saya sebenarnya juga sudah lama dapat menemukan Tuhan itu dalam hati saya sendiri. Namun, menyatu dengan Tuhan tidak perlu dilakukan terus-menerus selama 24 jam sepanjang hidup. Orang tetap perlu makan, tidur, mandi, bekerja untuk mencari nafkah, membantu sesamanya dan melakukan macam-macam aktivitas lainnya. Menyatu dengan Tuhan itu dapat kita lakukan sehari lima kali, setiap kali 10 menit misalnya. Bisa sehari sekali selama 30 menit. Bisa seminggu sekali, sebulan sekali, setahun sekali tidak menjadi soal. Saya lalu menanyakan apakah agama Pak De itu. Secara formal di KTP agamanya Islam. Akan tetapi, dia menganut paham kejawen. Hanya saja dia tidak mengikuti aliran-aliran yang ada. Misalnya Subub (Susila Budi Dharma). Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal), Paguyuban Sumarah, dan lain-lain. Dia memang pernah mempelajarinya tetapi tidak mengikuti aliran-aliran itu secara serius.

Ternyata, konsep-konsep tentang Tuhan yang pernah saya terima dalam komunitas Gereja Katolik memang tidak salah. Konsep itu pasti sangat berguna untuk mereka yang membiarkan pikirannya mengembara ke arah kemungkinan-kemungkinan baru. Namun bagi yang berniat melakukan perambahan-perambahan pikiran pun, konsep ketuhanan dalam komunitas Gereja Katolik itu tetap dapat dijadikan sebagai landasan berpijak. Paling tidak, dapat dimanfaatkan untuk langkah awal dalam persiapan melakukan pengembaraan spiritual. Mungkin salah saya adalah, sejak dini telah berkenalan dengan konsep-konsep Tuhan dalam animisme purba itu saya terima secara alamiah dan wajar, maka konsep-konsep ajaran Gereja itu saya dapatkan dalam suasana formal di lingkungan sekolah dan Gereja. Inilah antara lain yang membuat saya menjadi terlalu sulit untuk menerima konsep-konsep religi dalam ajaran Gereja Katolik. Padahal, dalam lingkungan Gereja Katolik pun ternyata banyak sekali tarekat-tarekat (ordo-ordo) biarawan  maupun biarawati, yang secara intens berupaya menyatukan diri mereka dengan Tuhan. Kegiatan sehari-hari mereka lebih banyak didominasi oleh kegiatan spiritual berupa doa maupun meditasi. Namun  di sela-sela kegiatan itu mereka masih tetap melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari seperti berkebun, beternak dan memproduksi barang-barang kebutuhan sehari-hari. Di pertapaan Rawaseneng. Temanggung misalnya, para rahib itu  masih bisa beternak sapi perah, menanam singkong dan hidup bermasyarakat seperti biasa. Namun, sisa waktu yang ada tidak pernah mereka manfaatkan untuk bersenang-senang seperti lazimnya dilakukan oleh kalangan awam. Sisa waktu itu mereka manfaatkan secara intens untuk berdoa, bermeditasi, mengolah pikiran mendekatkan diri kepada Tuhan.

Meraih Tuhan berupa sosok besar penguasa alam semesta ini hanya mungkin kita lakukan dengan penyerahan diri secara total. Upaya menggugat dan menaklukkannya pasti akan berakhir dengan sia-sia. Itulah sebabnya orang lalu berusaha untuk menukik ke dalam diri mereka sendiri. Ini merupakan salah satu upaya untuk menyingkap sebuah misteri yang memang mustahil untuk dijangkau oleh umat manusia. Upaya yang sangat berat ini hanya mungkin dilakukan secara serius dan intens secara selektif oleh sebagian kecil masyarakat. Masyarakat awam hampir tidak mungkin diajak masuk ke dalam pengembaraan spiritual ini. Itulah sebabnya ketika upaya untuk meraih Tuhan ini dicoba untuk dimasyarakatkan, mereka pun akan menolaknya. Ketika doa rosario atau novena dilakukan serentak oleh masyarakat yang heterogen, maka sebagian di antara mereka akan mengantuk. Anak-anak pasti akan gelisah lalu mengusili teman-teman lainnya. ***

Artikel dimuat di Buku Menggugat Tuhan

 


Tuhan dan Keseharian

$
0
0

Komunitas Gereja Katolik di kota kelahiran saya adalah sebuah komunitas elit. Mayoritas pendukungnya adalah para priyayi dan WNI keturunan Cina. Kondisi komunitas itu sangat kontras dengan sosok ayah saya. Dia adalah penjahit di pastoran dan kemudian juga di bruderan. Dia miskin, tidak berpendidikan baik, dan juga bukan keturunan bangsawan. Ke mana-mana dia memakai kain sarung, kemeja, sandal dan peci, termasuk kalau ke gereja. Tetapi oang-orang termasuk para pastor dan bruder selalu tampak hormat bahkan agak takut pada ayah saya. Padahal orang-orang yang sekelas dengan ayah saya itu adalah minoritas dalam komunitas Gereja di Ambarawa dalam kurun waktu itu. Mengapa kalangan elit itu tampak hormat kepada ayah saya? Padahal setahu saya dia bisa saja diperlakukan seperti halnya pesuruh, tukang kebun, atau pegawai dapur. Disuruh-suruh, dibentak-bentak atau dilecehkan.

Mula-mula saya menduga, orang-orang itu merasa segan dengan ayah saya karena dia itu sakti. Mungkin dia itu sebenarnya jagoan hanya tidak pernah mau mempertunjukkan kehebatannya di depan umum. Ternyata dugaan saya itu salah. Ayah saya adalah orang biasa murni. Saya baru tahu mengapa orang-orang itu menaruh hormat pada ayah saya, setelah diberitahu seorang bruder. Katanya, ayah saya itu orangnya pendiam dan sederhana. Dia tidak banyak omong tetapi kalau sudah berbicara maka yang dibicarakannya hampir semua benar dan dijalaninya dengan konsisten. Hanya itu saja. Tetapi, justru itu dianggap sangat bernilai oleh si Bruder. Sebab dalam komunitas Gereja di Ambarawa, kata bruder, orang-orang sederhana seperti dia itu sangat langka.

Tahun 1964, ayah saya itu pindah kerja ke Bruderan Boro di Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Komunitas Katolik di sana ternyata sangat berbeda dengan komunitas Gereja Katolik di Ambarawa. Kalau yang datang ke gereja di Ambarawa adalah orang-orang yang rapi, necis dan sangat berpendidikan, maka di Boro ini yang datang hampir seluruhnya petani. Pukul lima pagi, jalan raya di depan gereja, bahkan juga halamannya penuh dengan dagangan. Ada kayu bakar, ada keranjang penuh singkong, sayuran, bahkan juga kambing. Para petani itu berangkat dari rumah sudah sekitar pukul empat pagi. Mereka ke gereja, lalu sepulang dari gereja akan terus ke pasar. Karena jarak dari rumah ke gereja cukup jauh sementara jarak gereja dengan pasar sangat dekat, maka mereka pun sekali jalan ke gereja sekaligus ke pasar. Gereja di Boro itu memang benar-benar gereja rakyat. Jemaatnya bapak-bapak dan mbok-mbok yang memakai lurik, surjan, dan bertelanjang kaki. Orang semacam ayah saya lalu menjadi tampak rapi dan agak elit. Di kawasan ini, doa Salam Maria dan Bapa Kami biasa terdengar di rumah-rumah gedek, di ladang-ladang, bahkan di sawah.

Di kawasan ini memang ada pastoran, ada bruderan, dan susteran. Para bruder itu beternak babi, mempunyai pabrik tenun tangan dan sekaligus penjahitannya. Para suster membangun rumah sakit dan sekolah perawat. Selain itu, masih ada SD, SMP, dan STM tenun dan jahit, serta SPG. Yang berobat ke rumah sakit di susteran itu hampir seluruhnya rakyat miskin, yang dari pelosok pegunungan maupun lembah kali Progo. Di desa inilah tiba-tiba saya melihat sosok Gereja Katolik yang pas untuk orang-orang seperti ayah saya itu. Bahkan untuk yang lebih sederhana lagi. Jemaat di kawasan ini banyak yang buta huruf dan buta bahasa Indonesia. Bangunan gereja itu sendiri memang terbuat dari tembok, namun kesannya sangat sederhana. Demikian pula halnya dengan perabotan di dalamnya. Kalau misa di Ambarawa kornya diiringi orgen, di  Boro ini iringannya gamelan.

Komunitas Gereja Katolik di Ambaawa mungkin merupakan duplikat dari Gereja Katolik Eropa. Ini bisa dimaklumi sebab Ambarawa adalah kotanya Belanda. Di zaman kolonial, Gereja Katolik di Ambarawa adalah Gerejanya orang-orang Belanda, Cina, dan para priyayi pribumi. Sementara komunitas Gereja Katolik di Boro, mirip dengan komunitas Gereja Katolik di NTT dan Timtim, pedalaman Filipina, Amerika Latin, dan Afrika. Di sana, komunitas Gereja Katolik mayoritas penduduknya adalah rakyat miskin. Ini membuat penjabaran konsep religius mereka juga berbeda. Tuhan, bagi mayoritas orang Katolik di Ambarawa adalah sesuatu yang agung dan sakral. Ritual mereka pun formal dan tertib. Di Boro, Tuhan adalah sesuatu di sela-sela kesibukan mereka sehari-hari. Untuk menghormatinya pun, mereka lakukan sambil lalu. Misa di Ambarawa didatangi jemaat yang berdandan rapi dan khusus meluangkan waktu untuk mengikuti misa. Sementara di Boro, misa adalah bagian dari perjalanan ke pasar atau ke sawah.

Ketika saya sudah menjadi guru dan mengajar di pedalaman Kabupaten Kendal, banyak saya temui orang-orang sederhana namun memiliki semangat religius yang tinggi. Mereka mengaku beragama Islam dan itu tertera di KTP mereka. Hampir semua buta huruf dan buta bahasa Indonesia. Mereka juga miskin meskipun tiap hari bekerja keras. Salah satu di antara mereka adalah Mbah Karyo. Dia seorang duda, dan tinggal bersama salah seorang anaknya yang sudah berkeluarga. Pekerjaan sehari-harinya adalah penyadap nira aren. Dia sama sekali tidak memegang jabatan apa pun di kampungnya. Dia juga bukan orang sakti atau dukun atau memiliki kemampuan lebih lainnya. Kemampuannya ya hanya satu, yakni menyadap nira aren. Namun, semua orang takut dan menghormatinya, termasuk Pak Lurah. Ketika salah seorang warga kampung mengamuk membawa golok dan tak ada seorang pun berani mendekatinya, dengan tenang dia datang lalu menenteramkan si pengamuk dan meminta goloknya.

Ketika saya tanyakan, mengapa dia berani mendatangi orang yang sedang kalap itu padahal orang-orang lain tidak, jawabnya sederhana. Katanya, karena dia dekat dengan Gusti Allah. Dekat dengan Gusti Allah? Apakah dia pernah melihatnya? Ternyata setiap hari dia dapat melihat Gusti Allah setiap saat kalau dia mau. Bahkan, yang paling mengejutkan saya, dia mengajak untuk melihat Gusti Allah itu kalau saya mau. Tentu saja saya bersedia. Maka, pada suatu sore saya pun diajaknya ikut melihat Gusti Allah itu. Anehnya, dia menenteng bumbung (buluh bambu) sebagai penampung nira aren dan di pinggangnya terselip golok. Saya tidak berani bertanya apa-apa dan hanya mengikutinya saja dari belakang. Kami berdua berjalan menyusuri jalan setapak yang menanjak melewati ladang-ladang singkong, kebun kopi, rumpun bambu sampai di pinggiran jurang.

Di lereng jurang itu, tumbuh pohon aren yang salah satu bunga jantannya sedang disadap. Pohon itu tumbuh agak di bawah sana hingga posisi bunga yang sedang disadap persis sejajar dengan tempat saya berdiri. Saya dimintanya berdiri di situ sementara dia menuruni tebing lalu memanjat pohon aren itu. Sesampai di atas, dia membuka tali pengikat bumbung yang telah penuh nira lalu menurunkannya. Pelepah bunga yang telah terpotong itu dia iris tipis dengan golok lalu meneteslah air nira yang manis itu. Dia pun berteriak, inilah Gusti Allah itu. Lalu bumbung baru pun dipasang untuk menampung air nira itu. Jadi, menurutnya, air nira itulah Gusti Allah. Saya tentu saja merasa dikibulinya. Akan tetapi, dia tampak cuek saja. Sepanjang perjalanan pulang pun dia malah bercerita tentang buah kopi, jagung muda, monyet, babi hutan, dan burung betet.

Sesampai di rumah, air nira itu dituang oleh anak perempuannya ke dalam kenceng (tempayan dari tembaga), lalu kenceng dan niranya itu ditaruh di tungku yang apinya sudah menyala. Saya pun disuruhnya duduk menunggui air nira yang sedang direbus itu. Setelah nira itu agak hangat dia mengambil cangkir lalu menciduknya dan diberikannya pada saya. Inilah Gusti Allah itu, minumlah, katanya. Saya pun menerimanya lalu meminumnya. Rasanya manis sekali. Tiba-tiba saya merasa seperti sedang mengikuti sebuah misa di dalam gereja dan sedang menerima anggur dari pastor untuk ikut meminumnya. Ketika air nira itu telah mendidih, dia pun mengambil tiga buah singkong berukuran besar, mengupasnya, mencucinya lalu mencelupkannya ke dalam air nira yang tengah mendidih itu. Tak berapa lama kemudian, singkong itu pun masak. Setelah diangkat dan ditaruh di atas piring, diapun menyodorkannya kepada saya. Ini juga Gusti Allah, makanlah. Kembali saya memakannya. Singkong itu empuk sekali dan sangat manis. Kembali, saya seperti sedang menerima hosti di dalam gereja.

Mula-mula saya mengira Mbah Karyo itu agak gendeng juga karena telah melecehkan Tuhan. Paling tidak saya mengira dia sedang mempermainkan saya. Ternyata tidak. Dia memang serius menganggap air nira dan singkong itu Tuhan. Itu memang sumber kehidupannya. Karena Tuhan adalah sumber kehidupan, maka nira dan singkong pun lalu dianggapnya Tuhan.  Saya lalu bertanya, apakah saya boleh menganggap pemerintah RI itu sebagai Tuhan? Karena saya bekerja sebagai guru negeri yang digaji oleh pemerintah. Jawabannya, ternyata terserah saya. Namun kemudian dia bertanya, agama saya apa. Saya jawab Kristen. Sebab kalau saya jawab Katolik, dia pasti tidak tahu. Dia tahunya Kristen. Dia lalu menanyakan apakah saya rutin ke gereja? Saya menjawab secara jujur tidak pernah. Dia lalu menyarankan agar saya rajin ke gereja. Dia sendiri, selalu melaksanakan sholat lima waktu dan setiap hari Jumat selalu sembahyang di masjid.

Sarannya itu segera saya laksanakan. Ketika hari Sabtu tiba, saya pun pulang ke Ambarawa. Minggu pagi saya mengikuti misa pada pukul enam. Namun, betapa malu dan kikuknya saya. Karena sudah sekian tahun tidak pernah ke gereja, semua orang tua yang mengenal saya melihatnya dengan pandangan aneh. Teman-teman sebaya saya seluruhnya mengejek, dan memperolok-olokkan saya. Lebih-lebih ketika saya tampak kebingungan di dalam gereja. Maklum ketika saya masih aktif ke gereja, tata cara misa masih menggunakan aturan lama. Kini, setelah Konsili Vatikan II, semua tata cara misa sudah berubah. Ini membingungkan saya hingga teman-teman saya semua cekikikan menertawakan. Saya pun kapok hingga tidak pernah mau ke gereja lagi. Ketika hal ini saya kemukakan kepada Mbah Karyo, dia ikut tertawa. Dia lalu menganjurkan saya untuk beribadah di sekolah saja. Katanya, mengajar anak-anak supaya menjadi pandai itu termasuk ibadah. Itu juga akan diterima oleh Gusti Allah. ***

Artikel dimuat di Buku Menggugat Tuhan

 


PENJARAHAN I

$
0
0

Jalan raya Panimbang Cimanggu
panjang dan berliku
lewat Cigeulis
deretan  hutan manggis
kadang batang-batang melinjo
bukit-bukit itu
kawasan selatan kabupaten Pandeglang
seperti sedang tidur nyenyak
diayun-ayun naik dan turun
menikung
kadang-kadang aspal tipis itu mengelupas
atau bolong-bolong
jembatan-jembatan kecil
semua harus dilewati dengan sangat
hati-hati.

Kampung yang lelah
setelah berpuluh tahun bahkan beratus tahun
hanya pohon kelapa
hanya hutan albisia
terkadang petak-petak  singkong
yang lusuh dan tak terawat
Sawah
yang tiba-tiba membentang
di antara rumpun pisang
dikitari gerumbulan pandan duri
inilah  oasis itu
yang melegakan dahaga
rapi dan hijau.

Air tidak pernah bermasalah
dari tahun ke tahun
agak kecokelatan tetapi bersih
kawanan kerbau berlarian dan berendam
kambing-kambing kacang
kepakan sayap burung kuntul
seperti kuncup bunga melati
yang tiba-tiba mekar
dari hamparan karpet
hijau
rata
dan luas.

Cimanggu
kota kecamatan itu
terkapar kesepian
mungkin merindukan angin
barangkali  memanggil-manggil deru mobil
membelah jalanan itu pecah jadi dua
ke kiri melilit gunung Ipis
menyisir gunung  Honje dan gunung Tilu
tembus ke  Rancapinang
desa terakhir
desa pesisir di samudera Hindia
Cimanggu
makin ke kanan
sepi itu makin tajam
makin berkelok-kelok dan terus menurun
lalu berlabuh di Sumur
di antara kerumunan perahu nelayan
aroma selat Sunda
pokok-pokok ketapang tua
kadang cemara
dari Sumur jalanan itu terus ke selatan
hanya makadam
bukan aspal
tapi bersih dan sepi
lurus
terus sampai ke Taman Jaya
sebuah kampung nelayan kecil
dermaga Taman Nasional
dan pos jagawana.

Pagi itu lumayan cerah
ada beberapa gumpal awan comulus
tetapi hampir seluruh langit
biru terang dan bersih.

Jalan raya Panimbang Cimanggu itu
bergetar
puluhan truk besar kecil
pick up
jip
minibus
semua menderu-deru
meraung-raung
pelan tetapi pasti
merangkaki aspal tipis itu
dan menyemburkan asap knalpotnya
yang ungu dan menyesakkan napas.

Konvoi besar itu
mengarah ke Taman Jaya
di atas truk
ratusan manusia bersiaga
mereka menyanyi-nyanyi
berteriak-teriak
semua membawa senjata dan peralatan
ada golok
parang
gergaji mesin
kapak
linggis
beberapa di antaranya
bersenjatakan senapan otomatis
maupun manual.

Di dalam jip dan minibus
tampak laki-laki yang juga bersiaga
namun mereka lebih santai
ada yang tertawa-tawa
ada yang makan
ada yang asyik mendengarkan musik
sambil menyaksikan sajian
panorama alam di kiri kanan jalan.

Iring-iringan kendaraan itu terus melaju
terus merayapi jalanan yang
biasanya sangat sepi
dan sekitar pukul 11.00
rombongan paling depan
tiba di Taman Jaya.

Dengan sigap beberapa orang turun dari jip
dengan senjata terkokang dan terhunus
mereka menuju kantor Taman Nasional
kantor kepala resor Polisi Hutan.

Antena pesawat CB
yang menjulang tinggi itu
mereka rusak
para aparat Taman Nasional
terbengong-bengong dan kaget
mereka lalu diborgol dan dimasukkan
kamar lalu dikunci.

Beberapa orang berjaga-jaga
di halaman kantor itu.

Rombongan demi rombongan tiba
truk-truk itu diparkir sembarangan
pimpinan rombongan
seorang laki-laki pendek gemuk
tampil dengan megaphone
di tangan.
“Perhatian! Perhatian!
Truk-truk harap terus ke selatan
sampai Ujung Jaya
ayo terus ke sana!”

Truk-truk itu lalu bergerak ke Selatan
dengan gontai
kadang-kadang harus didorong
beberapa terperosok di tanah becek
dan meraung-raung
berusaha melepaskan diri
penumpang truk itu turun
lalu ramai-ramai berjalan kaki.

Beberapa buah traktor
diturunkan dari truk-truk itu
lalu berjalan menerobos barisan.

Penduduk kampung
yang biasanya hidup dalam keheningan alam
merasa sangat ketakutan
mereka berusaha lari
masuk hutan
beberapa keluarga bersembunyi
di rumah masing-masing
menutup pintu
dan menguncinya dari dalam
mereka yang tergolong pemberani
menonton dari kejauhan
satu dua jawara lalu menggabungkan
diri dengan rombongan itu.

Jalan kampung
Taman Jaya – Ujung Jaya
terpotong oleh beberapa kali kecil
yang tidak bisa dilewati mobil
orang-orang itu lalu menghunus gergaji mesin
dan menebang pohon-pohon kelapa
batang-batang kelapa bertumbangan
dipotong-potong lalu diseret
dijadikan jembatan darurat
truk-truk itu
dengan gontai
menyeberanginya pelan-pelan
deru traktor
deru puluhan truk
deru gergaji mesin
sorak-sorai rombongan
gonggongan anjing penduduk
siang makin panas
keringat menetes
rasa haus
rasa lapar
lapar?

Seekor kerbau yang melintas di jalan
segera ditangkap
lalu dibantai
tanpa dikuliti
karkas itu dicincang
beberapa orang membuat api
beberapa memotong bambu
mereka memanggang potongan-potongan
daging dan
menyantapnya setengah matang.

“Garam!”
“Kecap kalau ada.”
“Merica dan cabai!”
“Itu kan ada warung!”
“Tutup. Tidak ada orangnya.”
“Dobrak saja!”
“Ya dobrak saja!”
“Yang kuat!”
“Ya begitu. Ada tidak?”
“Lo itu yang jualan! Cantiknya!”
“Sini, sini, dibawa kemari!”

Gadis itu
masih belasan tahun
sebenarnya jauh dari cantik
dia berkebaya
berkain
dan rambutnya diikat begitu saja di belakang
dia ketakutan
menjerit-jerit
meronta-ronta
tetapi dia terus diseret
sambil ditelanjangi
lalu diperkosa beramai-ramai
sampai pingsan.

Siang itu sangat panas
dan gaduh
asap api unggun membubung tinggi
deru mesin truk terus meraung-raung
di pucuk rumpun bambu
dua ekor gagak bertengger
mereka diam
mereka lapar dan melihat ceceran
daging dan darah kerbau
tetapi mereka takut untuk turun
mereka diam
dan terus saja di sana menunggu.

Siapakah rombongan
ratusan orang itu?
dari manakah mereka?
dan mau apa?
mau apa mereka?

“Kami adalah rakyat yang lapar
yang selama ini tergusur dan dikalahkan
kami mau menjarah Taman Nasional
Ujung Kulon!”

Di desa Ujung Jaya
rombongan penjarah itu
mendirikan base camp
mereka menebang pohon
semua pohon
mereka merampas ternak penduduk
semua ternak
mereka memperkosa gadis-gadis
dan wanita-wanita yang masih layak
untuk diperkosa.

“Apakah janda ini juga kita perkosa?”
“Harus!”
“Ayo saya duluan!”
“Lo kok tahu kalau dia janda?”
“Dia sendiri tadi yang bilang begitu.”
“O, sudah berapa lama menjanda?”
“Setahun?”
“Sebulan?”
“Baru dua hari?”
“Siapa yang mau panggang ayam?”
“Kambing!”
“Itu di sana banyak kambing!”
“E, jangan mikirin perut melulu.”
“Ayo kerja.”
“Ini pohon ini harus ditebang!”
“Sudah banyak Mas!”
“Sudah penuh truknya!”
“Ya untuk besuk!”
“Ayo kerja lagi!”

Monyet dan babi hutan
adalah satwa yang paling berani
tinggal di dekat kampung
mereka biasa mencari makan di ladang-ladang
apa saja yang ada
singkong, jagung, padi, ubi jalar
semua mereka makan
selama ini monyet dan babi hutan
dianggap paling mengganggu penduduk
tetapi kali ini
merekalah yang merasa sangat terganggu.

Monyet-monyet itu berlarian
dengan sangat gaduh
masuk jauh ke dalam hutan
babi-babi hutan itu
juga tunggang-langgang mencari
tempat aman
mereka kaget
takut
tetapi juga heran

“Ada apa manusia ribut-ribut
berasap
menebang pohon
lalu membawa pergi kayu-kayu?”

Taman Nasional Ujung Kulon
memang suaka terakhir
sekelompok satwa
tetapi kawasan gunung Ipis
Gunung Honje dan gunung Tilu
sudah lama rusak berat
terutama lereng bagian timur
sudah tak ada lagi pohon-pohon besar
perladangan liar marak di mana-mana
tetapi kawasan tanah genting
semenanjung
pulau Peucang dan
pulau Panaitan
masih benar-benar utuh
tetapi sampai kapan?

Puisi dimuat di Buku Negeri Badak Sebuah Prosa Lirik

 


Viewing all 484 articles
Browse latest View live