Kompas, 10 Februari 1976
Oleh : F. Rahardi
Kalau menurut Arswendo Atmowiloto tahun kemarin tabu-tabu seni nampak makin jelas mengelupas, (Puisi dan Teater 1975 : Pengelupasan Tabu-tabu Seni, Kompas 30 Desember 1975!) maka sangatlah besar kemungkinannya bahwa pada tahun 1976 ini seni bakal seratus persen telanjang, tanpa tabu dan malu.
Kalau hal ini benar-benar terjadi, maka betapa enaknya menjadi seorang Seniman (dengan “S” besar!), sebab bagi seorang pelukis tidak perlu lagi berurusan dengan kuwas dan cat, untuk penyairnya kini cukuplah dengan hanya menyodorkan guntingan-guntingan berita di koran, dan itulah puisi! Enak bukan? Juga bagi seorang Teaterawan tak ada gunanya latihan sampai berbulan-bulan sebelum pementasan, tapi cukuplah dengan misalnya menyeret seekor kambing, dicincang lalu dimakan beramai-ramai, itulah teater! Dan apabila hal ini benar-benar terjadi, maka akan menjadi komplitlah ke Malinkundangan seorang penyair, serta akan sempurnalah sekat atau jurang yang memisahkan dunia seorang seniman dengan dunia seorang awam.
Sekedar ‘Cap Aneh’
Barang baru memang selalu menarik. Baju baru misalnya sangat menyenangkan untuk dipakai. Istri baru, mobil baru, dan dalam dunia senipun ada “Pengucapan Baru” yang senantiasa didambakan oleh para seniman guna memikat para konsumen seni. Penelanjangan seni dari sifat tabu dan malu, pada hakikatnya hanyalah sekedar mencari “Pengucapan Baru” tersebut.
Kalau Putu Wijaya dalam novel dan teaternya tidak lagi menggunakan unsur-unsur novel, dan teater yang telah lazim, itu hanyalah sekedar usaha mendapatkan bentuk pengucapan yang baru, dan bukan untuk merombak pengucapan yang telah lazim. Danarto yang menggantung kanvas kosong pada waktu pameran tidaklah bermaksud mengatakan bahwa Afandi telah ketinggalan zaman. Juga kalau ada yang mengatakan bahwa berita di koran adalah puisi, itu bukan berarti suatu anjuran kepada penyair untuk tidak lagi menulis puisi.
Sayangnya, dan ini kebanyakan dilakukan oleh para anak muda, penelanjangan tabu-tabu seni ini dijadikan tujuan dan bukan sekedar alat. Mereka mengecam seniman senior yang masih menggunakan pola-pola konvensionil, bersikap aneh dan kenes, tapi hanya dengan tujuan sekedar untuk menarik perhatian dan supaya mendapatkan cap “aneh” itu tadi. Jadi sudah dapat dipastikan bahwa mereka ini hanyalah sekedar latah.
Akan tetapi nampak dengan jelas bahwa tidak hanya kaum mudalah yang gemar melakukan “penelanjangan” dalam karya-karya mereka. Dalam dunia teater Rendra telah pernah mengerjakan serial “mini-kata” jauh sebelum tokoh-tokoh seperti Putu Wijaya itu lahir. Ini tidaklah begitu mengherankan sebab tatkala itu Rendra baru saja pulang dari Amerika. Agaknya apa yang dia saksikan di sana sempat dia coba di tanahair. Dan begitu pulalah dengan Kanvas kosongnya Danarto atau Puisi-puisi Eksperimennya Jeihan yang hanya terdiri dari beberapa buah kata dengan tanda-tanda baca itu, kiranya bukanlah sesuatu yang baru di kolong langit ini.
Konon, di Amerika serta Eropa hal itu sudah lumrah. Hanya tentu saja dalam menghadapi mereka ini, kita tidak mungkin untuk mengambil sikap yang sama dengan sikap yang kita berikan terhadap anak-anak muda yang latah itu. Orang-orang seperti Danarto atau Putu mempunyai sejarah yang cukup panjang untuk dapat sampai pada keadaan mereka saat ini. Hanya tentu saja, kita tetap mengharapkan sesuatu yang lebih lanjut dari mereka itu. Atau mereka hanya akan tetap berhenti pada “penelanjangan” itu saja? Mudah-mudahan tidak!
Allah Pemuasan Bathin
Menghasilkan karya seni sangat jauh bedanya dengan membuat meja kursi. Tukang meubel selalu didekte oleh masyarakatnya, sedang seniman katanya harus dapat melangkah lebih jauh didepan masyarakatnya. Dengan catatan, betapapun “modernnya” seorang seniman, toh dia harus tetap mengadakan kontak dengan masyarakatnya.
Pada hakekatnya karya seni tidak jauh berbeda dengan mode. Pakaian pada prinsipnya hanyalah pelindung tubuh dari cuaca yang dingin atau yang lain. Kalau kemudian pada pakaian itu diberikan banyak embel-embel, untuk menarik lawan jenis misalnya, atau supaya nampak lebih angker dan sebagainya, itu adalah soal kedua. Begitu pulalah halnya dengan seni.
Macam-macam isme dalam seni pada hakikatnya hanyalah sekedar mode, yang hanya pada periode tertentu sangat populer dan sesudah itu menjadi klasik. Sedang seni sendiri, baik seni rupa, sastra, musik, gerak dan pentas dalam isme apapun tak lain dan tak bukan adalah alat untuk memuaskan batin kita, sebagaimana halnya dengan agama serta filsafat. Jadi jelas seni bukan sekedar untuk memuaskan batin si seniman sendiri pun pula bukan untuk melayani sang masyarakat tapi dua-duanya.
Dalam bidang apapun, pasti ada orang yang revolusioner, ada yang tidak begitu revolusioner dan sebaliknya ada pula yang kolot. Seniman yang revolusioner akan dengan radikal merombak pola-pola seni yang konvensionil. Akibatnya, masyarakat yang telah terbiasa dengan pola-pola seni yang konvensionil itu akan terkejut dan menolaknya.
Sebaliknya, seniman yang tidak begitu revolusioner akan mengadakan pembaharuan juga, tapi dengan tetap memperhatikan pola-pola yang telah mapan. Dan yang terakhir, seniman yang kolot akan dengan mati-matian mempertahankan tradisi serta menentang bentuk pembaharuan. Lalu di antara ketiganya manakah yang lebih baik? Absurd! Semua tergantung dari masyarakat konsumen seni, bagaimana tingkat pendidikan mereka, bagaimana tingkat sosial mereka, kemudian toleransi mereka dalam bidang seks, moral dan keagamaan. Dan kemudian masyarakat konsumen seni inipun sebenarnya juga sangat ditentukan oleh si seniman : bagaimana cara dia menyampaikan sesuatu terhadap masyarakatnya. Sebab sebenarnya yang menjadi masalah bukannya “apa” yang ditampilkan, tetapi bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikannya supaya masyarakat konsumen seni itu “bisa” menerimanya.
Di tahun 1975 kemarin tabu-tabu seni makin tegas mengelupas (menurut istilah Arswendo!), dan bukan tidak mustahil bahwa di tahun 1976 ini seni bakal telanjang bulat. Seratus persen bebas dari rasa tabu dan malu. Dan apabila itu semua telah terlaksana, yang menjadi masalah adalah : bisakah batin kita terpuaskan dengan seni yang telah telanjang bulat itu?
Lalu selanjutnya : Benarkah seni yang masih menggunakan pola-pola konvensionil sudah tidak dapat lagi memuaskan batin kita? Sebuah kenyataan bahwa guntingan berita dari koran yang dibaca sebagai puisi atau dikirimkan ke majalah sastra sebagai cerpen memang telah mampu menampilkan sesuatu yang baru dan segar. Begitu pulalah halnya dengan meja-kursi yang digotong masuk ke ruang pameran, atau seorang copet yang mati dikeroyok masa di pasar dan disebut oleh seorang teaterawan sebagai sebuah drama.
Tapi kitapun harus tetap ingat bahwa Ceritera Mahabarata misalnya, tetap menarik meskipun telah melewati sekian kurun waktu. Jadi yang menjadi masalah kemudian bukannya seni itu masih berjubah atau sudah telanjang, tapi bermutu atau tidak? Dan inilah agaknya yang kurang begitu diperhatikan oleh beberapa orang anak muda yang sekedar latah. Supaya nampak aneh hingga diperhatikan oleh lingkungannya. Mereka lupa bahwa pada akhirnya tetap mutulah yang menentukan. Dan bukannya seni yang masih dengan tabu dan malu atau sudah telanjang bulat. ***
