Quantcast
Channel: Blog Sastra F. Rahardi
Viewing all 484 articles
Browse latest View live

Raden Tumenggung

$
0
0

Lambang Keraton Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat terpasang di gerbang, di tembok depan, dan dalam rumah Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko. Rumah itu  besar, dengan halaman luas, terletak di kawasan Polonia, Jakarta Timur. Selain di Jakarta, Raden Tumenggung juga punya rumah di Anyer, di Parangtritis, dan di Tawangmangu. Semua rumah itu diberi lambang kasultanan, berupa mahkota kerajaan di bagian atas, beledu merah tahta kerajaan dampar kencono di tengah, dengan huruf jawa HB, yang dilingkari bulu sayap burung garuda, di kiri dan kanan. Selain warna merah beledu dampar kencono, semua komponen lambang itu berwarna emas. Lambang kasultanan itu sebagian besar terbuat dari Kuningan, hasil kerajinan rakyat dari Bantul, Yogyakarta. Lambang itu juga dipasang di bagian depan dan belakang semua mobil: sedan, minibus, pickup, dan truk, agar semua orang tahu, bahwa pemilik mobil ini masih kerabat Kasultanan Yogyakarta.

“Selain jenderal purnawirawan, saya ini memang juga trah Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat, keturunan keempat Sultan Hemengkubuwono V. Jadi saya masih berhak menggunakan gelar Raden Tumenggung, sekaligus juga berhak menggunakan lambang kasultanan. Sebagai salah seorang kerabat kasultanan, saya harus berjuang untuk Sultan Sepuluh. Bukan hanya sekadar sebagai calon presiden RI, melainkan sebagai raja. Kalau mau lepas dari kemelut berkepanjangan, negeri ini harus dipimpin oleh Sang Ratu Adil. Indonesia memang harus kembali menjadi kerajaan. Menjadi monarki. Dengan Sultan Yogya sebagai Ratu Adilnya. Lihatlah di luar sana. Negara-negara yang makmur dan stabil selalu berbentuk monarki. Kerajaan Inggris Raya, Negeri Belanda, Kekaisaran Jepang, Saudi Arabia, Thailand, Malaysia, semua kerajaan bukan? Dulu Kepulauan Nusantara ini mencapai puncak kejayaannya, juga ketika berbentuk kerajaan, yakni Sriwijaya dan Majapahit.”

“Saya pribadi sebenarnya yakin haqulyakin, bahwa Bung Karno adalah Raja Indonesia pertama, dan Pak Harto adalah Raja Indonesia kedua. Bung Karno mempersiapkan Raja Indonesia kedua dengan sangat baik. Sementara Pak Harto, karena lalai, tidak pernah mempersiapkan Raja Indonesia ketiga. Akibatnya Indonesia lalu diperintah oleh presiden yang hanya berkuasa sangat singkat. Ya, mereka memang benar-benar presiden, bukan raja, bukan pula Ratu Adil yang bisa mendatangkan kemakmuran pada rakyat banyak. Karenanya, saya harus terus berjuang, agar Indonesia bisa kembali punya Ratu Adil. Indonesia adalah negara besar, yang harus diperintah oleh seorang raja Gung Binathoro. Tetapi saya, dan juga teman-teman, tidak mau sekadar menunggu datangnya Sang Ratu Adil. Kami akan menyiapkannya. Ratu Adil tidak akan datang kalau kita hanya duduk-duduk termenung, atau malah tidur pulas. Ratu Adil itu harus kita cari, lalu kita dorong untuk menjadi raja, seperti anak-anak muda mendorong Sukarno – Hatta agar memproklamasikan kemerdekaan kita.”

“Pertama-tama Sultan X harus menjadi presiden terlebih dahulu. Bukan sekadar wakil. Itu hukumnya wajib. Kalau beliau tidak menjadi presiden terlebih dahulu, sampai kiamat pun Indonesia akan tetap akan diperintah oleh presiden yang lembek. Sultan IX dulu, salahnya hanya bisa jadi Wakil Presiden. Beliau orangnya terlalu baik. Terlalu baik itu juga tidak baik. Manusia memang ditakdirkan hidup dengan kebaikan dan kejahatan, dan dua hal ini harus seimbang. Kata orang-orang, kejahatan dalam diri kita harus dikalahkan terlebih dahulu oleh kebaikan yang juga dalam diri kita. La, kok seperti mainan apa gitu lo, ada kalah ada menang segala. Orang hidup itu ya kadang-kadang baik, kadang-kadang jahat. Kalau baik terus 100% namanya malaikat. Kalau jahat terus 100% namanya syaiton. Yang Maha Sempurna ya Allah. Maka ketika orang-orang itu memuji-muji saya sebagai orang baik, saya bilang Prèk! Ketika orang mengatakan saya jahat, aku bilang, émang gua pikirin?”

“Jadi ketika tahu bahwa Sultan X ini tidak sebaik ayahandanya, saya justru sangat senang. Berarti dia punya peluang lebih besar untuk menjadi Presiden RI  ke VII. Tujuh itu angka keramat lo! Hari jumlahnya ada tujuh. Kata Pak Kiai, langit konon juga berlapis tujuh. Keluarga Jawa yang baru pertama kali akan punya anak, harus mengadakan selamatan tujuh bulanan bagi bayi yang ada dalam kandungan. Ini memang sebuah perjuangan berat. Itu angket atau apa namanya itu, polling-polling begitu, memang hanya menempatkan Kanjeng Sultan pada urutan buntut. Biarkan saja. Yang akan memilih presiden kan bukan mereka, tetapi rakyat. Rakyat Indonesia itu paling banyak Jawa. Orang Jawa pasti akan memilih sesama orang Jawa yang trahnya paling tinggi. Lalu siapa lagi orang Jawa dengan trah tertinggi kalau bukan Kanjeng Sultan? Maka jajak pendapat biarkan saja terus berjalan, tetapi perjuangan juga harus terus berlanjut.”

“Alhamdulillah, istri, anak-anak, para menantu, bahkan juga cucu-cucu yang sudah besar, semua ikut saya mendukung Kanjeng Sultan. Kecuali Arif. Ini menantu, suaminya Si Tyas, anak bontot saya, kok malah mendukung Pak SBY. Ya ini memang negara demokrasi. Kata orang demokrasi itu harus bisa menenggang rasa dalam berbeda pendapat. Arif itu kan bukan sekadar beda pendapat. Dia sudah beda prinsip. Dia sudah berani melawan mertua sendiri, melawan saudara-saudara iparnya. Pertama, ia tidak pernah mau menempelkan lambang kasultanan di mobil dan di rumahnya. Mosok dia bilang lambang kasultanan itu norak, dan lebih bagus lambang negara RI. Tetapi nyatanya, ia juga tidak menaruh lambang Garuda Pancasila itu di mobil dan rumahnya. Yang dipasang di kaca mobilnya malah stiker Sea World Ancol, stiker Taman Safari, bahkan stiker Taman Wisata Mekarsari. Itulah yang sering membuat bludreg saya kumat.”

* * *

“Bapak, sudah berapa kali saya tegaskan, bahwa saya memang mendukung Pak SBY dan Pak Jusuf Kalla, karena sekarang ini beliau berdua adalah presiden dan wakil presiden RI.  Saya sebagai warga negara RI harus mendukung beliau berdua. Hanya itu. Tentang beliau-beliau ini akan maju sebagai calon presiden pada Pilpres 2009, saya tidak ada urusan. Kalau Bapak berniat mendukung Sultan, ya silakan. Saya tetap tidak akan mendukung siapa-siapa. Bahkan sudah berapa kali saya katakan, bahwa saya tidak akan ikut memilih. Bukan karena tidak ada yang cocok di hati saya, tetapi karena memilih, dan dipilih itu sesuai dengan konstitusi, merupakan hak semua warga negara. Hak itu boleh dipakai, boleh pula tidak. Lain dengan kewajiban. Kalau kewajiban tidak dijalankan, ada sanksi hukumnya. Jadi saya boleh menggunakan hak pilih saya, boleh pula tidak, dan UUD 1945 yang sudah diamandemen itu, menjamin saya untuk menggunakan, atau tidak menggunakan hak pilih saya. Maka sejak Pemilu 1997 dulu, saya tidak pernah ikut memilih.”

“Saya memang sedang mendapat pekerjaan dari Tim Siluman Pak SBY. Ini soal lain lagi Pak. Kalau Bapak sebagai salah satu anggota Tim Siluman Sultan mau memberi pekerjaan ke saya, akan saya laksanakan juga. Demikian pula dengan Tim Sukses Bu Mega, Pak Prabowo, dan lain-lain, kalau mereka memberi pekerjaan ke saya, ya jelas akan saya terima. Saya ini profesional Pak. Maksud saya perusahaan-perusahaan di bawah Garuda Perkasa Holding Company milik saya. Jadi pekerjaan apa saja akan saya terima, asal harganya cocok, dan tidak melanggar hukum. Bahkan pekerjaan mendatangkan Jesus Kristus yang sangat beresiko itu pun, saya terima kok Pak. Padahal saya ini Islam, Presdir saya, dirut-dirut saya, semua kan juga Islam, tetapi ini bisnis Pak! Bisnis! Pada saat para anggota komisaris ribut, ketika rencana Proyek X mereka dengar, saya hanya bilang bahwa yang kita urus bukan Jesus Kristus, tetapi fulus! Ini murni bisnis, yang tidak ada kaitannya dengan iman, apalagi institusi agama.”

“Dibanding Proyek X, pekerjaan dari Tim Silumannya Pak SBY itu kecil sekali nilainya. Mengapa Bapak ributkan? Mengapa bukan Proyek X ini yang Bapak protes? Lagi pula Pak, saya juga sangat keberatan kalau kemana-mana Bapak berkampanye agar Sultan menjadi Sang Ratu Adil, menjadi Raja Indonesia. Maaf, itu bukan hanya kampungan tetapi juga memalukan Pak! Sebenarnya putera-puteri Bapak, para menantu, semua juga risih setiap kali Bapak pidato soal “Sang Ratu Adil”. Kalau orang-orangnya Sultan mendengar hal ini Pak, Bapak juga bisa repot. Sebab saya yakin, mereka juga tidak suka dengan rencana Bapak itu. Jadi yang wajar-wajar sajalah Pak. Bapak mendukung Sultan untuk maju menjadi RI 1, sangat saya hormati. Mau minta bantuan finansial dari saya, akan saya bantu. Bantuan teknis, saya siap. Tetapi jangan memaksa saya untuk hanya membantu Bapak. Siapa pun akan saya bantu, tanpa kecuali. Lalu yang lebih serius lagi Pak, Bapak jangan terlalu dekat dengan Suwito. Dia itu bandit Pak! Benar-benar 100% bandit.”

“Semua putera-puteri Bapak juga tahu kalau Suwito itu bandit. Mereka semua pernah kena. Tetapi mereka sungkan untuk bicara terus terang ke Bapak. Lalu Bapak sendiri, juga dengan sangat mudahnya terbuai oleh bujukan Suwito. Sudah berapa em Suwito menerima dari Bapak? Dan apa saja hasilnya? Yang terjadi, Bapak menjadi bahan tertawaan masyarakat. Mulai dari nutrisi Sang Putera, benih padi super, energi alternatif dari air, nanti apalagi saya tidak tahu. Tetapi Bapak juga tidak kunjung sadar. Selalu saja kemana-mana membanggakan kecerdasan Mas Suwito. Saya tahu pak, ide Sang Ratu Adil, ide kembali ke monarki dan lain-lain itu, kan datangnya juga dari Suwito. Lalu Bapak ditenteng-tenteng ke Puncak Lawu, ke Alas Purwo, Ke Ujung Kulon. Kalau sekadar untuk adventure saya sangat senang Pak. Tapi Bapak ini diajak Garuda Perkasa Adventure ke Halimun untuk kesehatan tidak mau, diajak Mas Suwito ke Lawu, untuk urusan klenik, justru antusias.”

“Padahal, Suwito itu hanya sekadar ingin mengincar uang Bapak. Ingat Pak, Bapak itu kaya raya. Tapi ya itulah. Kekayaan kalau hasil korup memang juga mudah dikorup orang lain. Maaf lo Pak. Saya memang tidak peduli orang tua sendiri, saudara, mertua, kalau salah ya akan saya bilang salah, kalau benar ya akan saya bilang benar. Kalau Bapak ditipu Mas Suwito, saya akan terus membela dan melindungi Bapak, tetapi kalau suatu ketika nanti Bapak dipanggil KPK, saya tidak akan campur tangan. Ini juga prinsip Pak. Jadi bukan hanya Bapak sendiri yang punya prinsip. Saya, Arif Rahman, menantu Bapak yang paling bandel ini, juga punya prinsip. Berapa kali saya sarankan, agar sebagian harta hasil korup itu dihibahkan ke fakir miskin. Bapak selalu menolak dengan berbagai alasan. Arif, Arif, orang miskin itu jangan dibiasakan diberi ikan. Mereka harus diberi kail. Tetapi Bapak juga tak kunjung memberi kail. Dan begitu yang datang  Suwito, minta sampai ratusan juta sekali pun, detik itu juga Bapak sediakan.”

“Saya sebenarnya tahu Pak. Bapak memang sangat berbahagia apabila bisa ditipu orang. Kemudian Bapak akan bercerita kemana-mana, bahwa Suwito baru saja menipu Bapak. Tampak betapa Bapak merasa sangat bangga, sekaligus juga sangat berbahagia, ketika bisa menceritakan hal seperti ini kepada banyak orang. Putera-puteri Bapak, menantu-menantu, bahkan juga cucu, semua tahu bahwa Bapak sangat menyukai hal seperti ini. Juga Ibu. Pernah suatu kali Ibu bercerita kepada saya, bahwa Bapak baru saja marah-marah, dan bersumpah tidak akan lagi berurusan dengan Suwito. Belum selesai marah-marah, diluar tampak mobil Suwito, dan kata Ibu, dengan tergopoh-gopoh Bapak menyongsongnya. Kata Ibu, Ibu hanya mesem-mesem saja, lalu Bapak memelototi Ibu, dan ibu juga terus mesem-mesem, dan Bapak membentak-bentak. Ibu juga terus senyum-senyum, sambil membayangkan, entah berapa ratus juta lagi akan melayang ke dompet Suwito.

* * *

Kecerdasan Otak Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko, sebenarnya dibawah rata-rata. Tetapi nyali dan loyalitasnya sangat tinggi. Dia bisa marah besar sampai kalap, hanya karena seseorang melecehkan atasannya, terlebih Sri Sultan Hemengkubuwono IX. Tahun 1980an,  Raden Suryo, begitu orang-orang selalu mamanggilnya, pernah menempeleng seorang kolonel, hanya oleh sebab yang sangat sepele. Kolonel itu sedang ngobrol dengan beberapa temannya. “Tahu nggak mengapa Sultan IX sangat sayang pada Bu Norma? Karena empat istri Sultan sebelumnya, kalau ketemu selalu hanya “nyuwun sewu”, ya Sultan ngasih Rp 1.000. Bu Norma kalau ketemu Sultan bilangnya kan “nyuwun semilyar” lalu Sultan ya ngasih Rp 1 milyar.” Tanpa bilang apa pun, Raden Suryo langsung mendatangi kolonel itu, menempelengnya tepat di rahang, hingga sang kolonel jatuh terlentang. “Sana lapor sama komandanmu, maka komandanmu itu juga akan aku tempeleng lebih keras dari yang ini.”

Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko, saat ini berumur 70 tahun. Istrinya Raden Ayu Retno Hastuti berusia 65 tahun, juga sama-sama trah Ngayogyokarto. Raden Ayu masih keturunan Hamengkubuwono VI. Mereka menikah tahun 1965, menjelang peristiwa G 30 S. Anak mereka enam orang. Yang tertua laki-laki, Raden Tumenggung Galih Suryo Sumitro, 42 tahun, sudah berkeluarga, tinggal di San Fransisko, Amerika Serikat. Nomor dua juga laki-laki, 40 tahun, Raden Tumenggung Guno Suryo Sentono, anggota DPR RI dari Partai Golkar. Anak ketiga pun laki-laki, Raden Tumenggung Tondo Suryo Sumirat, 38 tahun, Direktur PT Perkebunan Nusantara, sebuah Badan Usaha Milik Negara. Anak keempat baru perempuan, Raden Ayu Sri Suryandari, seorang aktivis yang hilang tahun 1996, ketika masih berusia 24 tahun. Anak kelima laki-laki lagi, 34 tahun, Raden Tumenggung Giri Suryo Sudiro, bisnisnya jaringan restoran ayam goreng di beberapa kota provinsi. Anak keenam, bungsu, 32 tahun, perempuan, Raden Ayu Siti Suryaningtyas, adalah isteri Arif Rahman, pengusaha papan atas Indonesia.

Meskipun paling sering berbeda pendapat, dan beradu mulut dengan keras, Raden Suryo justru paling dekat dengan Arif, sang menantu. Dalam urusan apa pun, Ariflah yang selalu diajak rembukan. Mereka juga sering jalan berdua, untuk urusan yang remeh temeh, terutama untuk berburu makanan enak. Raden Suryo, dan Arif dikenal sebagai jagoan kuliner. Meski sudah berusia 70 tahun, Raden Suryo masih melahap apa saja. Sate kambing, jeroan sapi, emping, minum juga kopi kental dan harus sangat manis. Rokoknya dari muda dulu tidak pernah ganti-ganti, yakni cerutu. Awalnya cerutu Tarumartani, lalu Willem I, dan kemudian Romeo and Juliet. Raden Suryo adalah tipikal orang yang benar-benar menikmati hidup. Tidak berselingkuh, tidak suka judi, tidak pernah menenggak minuman keras. Cacat Raden Suryo adalah, larut dalam korupsi berjamaah, dan kemudian sangat mempercayai perklenikan. Puncaknya, ia yakin akan datangnya Sang Ratu Adil, yang akan membawa kejayaan negeri.

“Arif, sekarang Bapak mau tanya serius ya. Itu proyekmu itu, yang katanya mendatangkan Nabi Isa itu, siapa sih sebenarnya yang ngaku-ngaku begitu itu? Orang Amerika, atau Eropa?”
“Bapak ini, soal Ratu Adil bisa yakin seyakin-yakinnya. Tetapi soal Nabi Isa, justru meragukan. Bapak ini masih Islam kan? Jangan-jangan sebentar lagi bukan hanya Nabi Isa Alaihissalam yang Bapak ragukan. Jangan-jangan Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassalam pun juga Bapak ragukan?”
“Lo bukan begitu to Rif. Ini kan tidak logis begitu lo. Wong, manusia yang hidup……. berapa tahun yang lalu itu Rif Nabi Isa itu? Duaribu ya? Ya, duaribu tahun yang lalu kok tiba-tiba sekarang mau datang kemari, itu bagaimana to Rif? Yang saya herankan, kamu percaya, bahkan kemudian menanganinya. Lalu kalau kamu tidak dibayar bagaimana? Bangkrut kan usahamu?”
“Pak, yang memperebutkan proyek ini ada ratusan perusahaan. Kebetulan saya yang menang Pak. Lalu saya ini juga hanya ngesub Pak. Yang pegang proyek ini konsorsium perusahaan Eropa dan Jepang. Bukan Amerika lo Pak. Jadi saya ini hanya sekadar ngesub.”
“Iya, saya tahu. Tetapi yang mau datang ini siapa, lalu orang mana?”
“Jadi Bapak tidak percaya kalau Nabi Isa Alaihissalam itu benar-benar ada?”
“Itu saya percaya Rif, tetapi Nabi Isa kan sudah mati to Rif?”
“Meninggal Pak! Nabi kok mati. Bapak ini bagaimana sih? Lagi pula, menurut agama kita, Islam, Nabi Isa itu sebenarnya tidak pernah meninggal, melainkan langsung diangkat ke langit oleh Allah SWT.”
“Iyalah, sudah meninggal, atau seperti katamu itu, diangkat ke langit, tetapi itu sudah lama sekali kan?”
“Pak, yang mengatakan Nabi Isa diangkat ke langit itu Al Qur’an Pak. Bukan saya. Itulah Pak,  kalau Islam hanya KTP.”
Iya Rif, Iya, tetapi itu semua kapan Rif?”
“Duaribu tahun yang lalu Pak!”
“La, iya, duaribu tahun yang lalu kan? Kok tiba-tiba sekarang mau datang kemari?”
“Pak, dalam Islam, Nabi Isa Alaihissalam itu, tidak pernah meninggal. Beliau berada entah di mana, hanya Allah SWT yang tahu. Nabi Isa juga nabinya orang Kristen. Bagi orang Kristen, Nabi Isa Alaihissalam itu Allah Putera. Dia itu Tuhan, yang sekaligus juga manusia. Dan memang dijanjikan, baik dalam Islam maupun Kristen, bahwa suatu ketika Nabi Isa Alaihissalam itu akan datang kembali ke dunia ini. Lha Bapak ini Ratu Adil yakin. Nabi Isa Alaihissalam justru diragukan?”
“Mumet aku Rif ngomong sama kamu. Ada Allah kok manusia, punya anak lagi. Mumet. Sekarang kamu mau mendatangkannya kemari. Nanti kan kamu ditangkep aparat keamanan, dijebloskan ke Cipinang sana. Sudah banyak kan kasus-kasus penipuan seperti ini……”

Tampaknya Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko sedang heppy. Dia sedang lupa dengan Sang Ratu Adil. Dia juga lupa mendamprat menantu yang satu ini, yang selalu mengritik Sang Ratu Adil, tetapi justru ingin mendatangkan Mesias. Entah mengapa, suasana hari Raden Suryo kali ini benar-benar sedang ringan. Bu Suryo, panggilan akrab Raden Ayu Retno Hastuti, menyebut perangai suaminya yang susah ditebak ini sebagai kumat-kumatan. “Kadang Bapakmu itu waras, kadang kalau sedang kumat semua orang akan didamprat, terutama ya kamu itu to Nak Arif. Untungnya menantuku yang satu ini sabarnya luarbiasa. Mendukung Sultan supaya jadi presiden ya boleh-boleh saja, bagus-bagus saja. Tetapi kok Sultan mau dijadikan Ratu Adil itu bagaimana to Nak Arif? Lalu sedikit-sedikit ngasih uang ke Suwito, sedikit-sedikit nulis cek ke Suwito. Tabungan Bapakmu itu nanti ya habis hanya untuk Suwito, dan anak cucunya tidak dapat bagian. Tapi sampeyan ini Nak Arif, mbok ya agak tegas sedikit to sama Bapak. Cobalah diingatkan, agar dengan Suwito itu jangan terlalu royal.”

Karena suasana hati yang sedang oke, sore itu Raden Suryo mengajak Arif ke Cisarua. “Bapakmu ini ya Rif, tidak tahu  sudah berapa lama ya tidak makan Sate Kadir. Ayo sekarang kita jalan-jalan. Ibumu itu mau pesan apa itu? Biasanya pukad sama pisang tanduk. Ya pakai sopir to Rif, itu Narto diajak sekalian daripada ribut nggodain genduk-genduk di belakang sana itu. Ayo To, kamu mau makan sate atau tidak? Sate manuk, ya manukmu itu sendiri sono disate. Aku sama Arif mau ke Cisarua, ke Sate Kadir. Diseret saja Rif, anak kok lelat-lelet begitu. Perjaka itu harus gesit. Dulu, Bapak ini ketika seumur kamu selalu trengginas. Ada gemerisik sedikit saja segera siap menodongkan senjata dan menarik picunya. Kalau tidak begitu, ya sudah. Berapa teman-teman Bapak yang gugur waktu itu? Ayo Rif, Narto di depan. Nanti kalau Wawan capek ya kamu yang gantiin ya? Kamu tidak capek kan Wan? Ya orang seharian juga tidak ke mana-mana kan?” * * *

Fragmen Novel Para Calon Presiden



Rapat Presidium

$
0
0

Setiap hari, kantor Românã Associatio Pro Transvehendis Itinerantibus Missionariis, atau yang lebih dikenal dengan PT RAPTIM, sudah sangat sibuk. Tetapi pagi itu staf PT Raptim beberapa kali lipat lebih sibuk. Mereka seperti tidak sempat bernapas. Secara mendadak, anggota presidium Konferensi Waligereja Indonesia harus datang ke Jakarta, untuk rapat di kantor KWI, yang masih satu komplek dengan kantor PT RAPTIM. Mereka ada yang datang dari Padang, Palangkaraya, Semarang, Kupang, Maumere, Palembang, Sintang, Makasar, dan Jayapura. Semua tiket pesawat mereka, harus diurus serentak oleh staf PT RAPTIM. Tetapi mereka sudah biasa seperti itu. Sekarang ini hanya anggota presidium yang tiba-tiba akan ke Jakarta. Dulu, entah kapan, secara mendadak semua uskup harus segera datang ke Jakarta. Lalu kalau ada peristiwa penting, misalnya ketika Paus Yohanes Paulus II wafat, tiket perjalanan uskup yang akan ke Vatikan, juga harus mereka urus. Maka, sesibuk apa pun, sepadat apa pun pekerjaan itu, mereka tetap menjalankannya dengan ringan.

Namun kesibukan staf PT Raptim, juga staf KWI, kali ini, juga dipicu oleh merebaknya informasi tentang kedatangan Tuhan Jesus ke dunia, bahkan lebih spesifik lagi ke Indonesia. “Kalau Tuhan Jesus kembali datang ke dunia, berarti dunia akan kiamat ya tante? Iya kan? Aduh bagaimana ya kita semua? Berarti dunia akan binasa, kantor ini, rumah kita, orang-orang yang kita kasihi, semua akan binasa bukan? Padahal aku ini belum nikah lo Tante? Bagaimana ya? Tanganku sampai gemetar lo. Mencet-mencet HP dan komputer sampai salah-salah melulu. Bagaimana ya Tante? Mengapa Tante tenang-tenang saja? Ya jelas tenang ya Tante? Kan Tante sudah menikah, sudah punya anak. Lha aku ini bagaimana ya Tante? Pacar aku jauh lagi. Dia sekarang kan ada di Jayapura Tante. Apakah lebih baik aku menyusul dia ya? Tapi ini aku harus menginsud tiketnya Monsinyur Padang. Bagaimana ya Tante? Apa aku mengajukan cuti saja ya Tante?”

“Ah embuh Tien! Aku tenang karena imanku kuat. Wong Tuhan Jesus datang kok kamu malah panik. Kalau yang datang itu Lucifer, rajanya para setan, kamu takut itu bisa dimengerti. Kamu itu aneh kok Tien. Malah mau nyusul pacar segala macam. Kamu sudah gatel ya? Kenapa tidak segera nikah saja? Tuhan Jesus datang ya mestinya kita semua senang. Ini Tuhan Jesus datang kan bukan dalam rangka kiamat, melainkan dalam rangka memantau Pemilu. Kamu tahu kan Tien, Indonesia itu negara Muslim terbesar di dunia. Bukan Arab lo Tien. Arab itu penduduknya sedikit. Makanya Presiden Barack Obama menjadi presiden Amrik, itu juga kehendak Tuhan Jesus lo Tien. Maksudnya, supaya Amerika memperbaiki hubungan dengan negara-negara Muslim, termasuk Indonesia. Maka Allah Bapa kemudian mengutus Puteranya untuk memantau Pemilu di Indonesia. Sebab Pemilu di negeri Muslim terbesar di dunia ini sangat penting di Mata Allah. Kamu itu kok malah mengait-ngaitkan kedatangan Tuhan Jesus dengan kiamat to Tien? Bikin Tante ikut takut kamu ini!”

“Iya itu Tante. Titien itu memang bawel kok. Sudah dibilang kita semua sedang sibuk kok dianya ngajak ngrumpi terus. Ini tiket Monsinyur Ambon juga masih belum beres. Lo, dia bukan ikut rapat kok Tante. Dia mau ke Paris, katanya ada sidang apa soal HAM gitu lo Tante. Ini tiketnya Suster Lusi juga kacau. Dia mintanya flight pukul 08.00. tapi kan jadi tidak nyambung dengan yang Balikpapan – Tarakan ya Tante? Itu Joko juga ngaco. Johanesburg kok dia bilangnya di Argentina. Kan di Afrika Selatan ya Tante? Ah aku mau ke kantin dulu ah. Kok jam segini sudah laper ya Tante? Nanti kalau ada telepon tolong suruh kontak ke HP ya Tante? Itu Tony kalau terima telepon untuk aku sukanya dicuekin, langsung ditutup begitu saja. Dia kan sentimen sama aku Tante. Itu Si Titien kok ribut terus soal kiamat itu kenapa sih Tante? Emangnya film apa itu yang tentang Tuhan Jesus itu? Pasion-pasion begitu itu, bukannya dilarang diputar di sini? Lho, ini tadi  bukan soal film to Tante?”

“Dasar yang bego ya Cisca itu ya Tante? Masak dia kagak tahu kalau Tuhan Jesus telah datang? Dia kan selalu pamer, mentang-mentang cowoknya di Frankfurt. Dia kan kagak tahu kalau disono cowoknya sudah digaet cèwèk Jerman. Tangan aku masih terus gemeteran lo Tante. Itu Bapak-bapak Uskup itu akan berapa hari sih di sini? Kok ini Monsinyur Palembang hanya nginep semalam? Ya ini mintanya sudah ada flight ke Palembang lagi? Berarti kan hanya semalam beliau di Kemiri. Tante, tadi malam liat tivi kan? Beritanya banyak tapi kok gambarnya hanya yang dari Bali itu melulu ta tante? Ya itu tentang kedatangan Tuhan Jesus itu lo Tante. Ah Tante ini memang Jaka Sembung, nggak pernah nyambung kalau aku ajak ngomong. Tapi kalau dengan Mas Joko kok nyambung terus sih Tante? Sekarang di mana ya Tuhan Jesus itu? Kata penyiar tivi, di Bali tidak ada. Apa sudah di Jakarta ya Tante? Kalau di Jakarta aku pengin ketemu lo Tante!”

“Ketemu Tuhan Jesus Tien? Itu kan artinya mati? Emangnya kamu udah mau mamphus Tien? Aku sih emoh. Hiii, serem Titien ini. Mati kok seneng. Katanya tadi takut kiamat, katanya tadi takut semua binasa. Kok lalu mau ketemu Tuhan Jesus? Tadi katanya kalau Tuhan Jesus datang berarti kiamat. Kalau Tuhan Jesus sudah ada di Jakarta, berarti Jakarta kiamat dong Tien? Emangnya kata Kitab Suci begitu ya Tante? Emangnya Tante tahu kalau di Kitab Suci dibilangnya begitu? Kok Tante hafal sih isi kitab suci? Mana Tante, oooo, apa ini Tante? Konkordansi Kitab Suci, ooo, ada kamusnya to? Ya jelas Tante bisa hafal, ada kamusnya kok. Curang, Tante curang! Aku juga bisa kalau cuma baca disitu. Tetapi memang benar ya Tante, kalau Tuhan Jesus datang lalu kiamat? O, terbalik ya Tante? Kalau kiamat maka Tuhan Jesus datang ya? Untuk mengadili orang hidup dan orang mati? Semua orang mati akan bangkit dari kuburnya? Termasuk fosil Pithecanthropus erectus itu ya Tante?”

* * *

Pembahasan tentang kedatangan Jesus Kristus dalam rapat Presidium KWI, berjalan dengan sangat cepat. Tidak ada ketegangan sama sekali, tidak ada perdebatan. Diputuskan bahwa KWI akan mencermati berita-berita tentang Kedatangan Jesus Kristus yang dilansir oleh media massa. KWI berpendapat, berita itu belum tentu benar. Semua masih sangat sumir. Sebab bisa saja Kantor berita Reuter sedang ingin mencari sensasi, lalu menyiarkan foto-foto yang sudah diolah secara digital, hingga seakan-akan Jesus Kristus telah mendarat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Bisa pula foto itu otentik, namun orang yang wajahnya mirip dengan Jesus kan banyak sekali. Bahkan, sampai sekarang, Gereja Katolik sendiri tidak pernah bisa memutuskan, seperti apakah wajah Jesus itu. Sebab lukisan-lukisan dan patung Jesus, kebanyakan berasal dari abad pertengahan, sementara Jesus hidup pada awal milenium.

Masih menurut KWI, kisah kehidupan Jesus lebih merupakan peristiwa iman, dan bukan peristiwa sejarah. Sumber peristiwa iman itu adalah Kitab Perjanjian Baru, terutama empat Injil: Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Keempat Injil ini, baru ditulis antara tahun 50 sampai dengan tahun 90, sementara Jesus sudah wafat pada tahun 33. Dalam keempat injil itu juga tidak ada diskripsi yang cukup jelas tentang wajah Jesus. Peninggalan arkeologis dari sekitar abad I SM dan Abad I M, juga sama sekali tidak memberi petunjuk, bagaimanakah wajah Jesus. Hingga KWI sama sekali tidak berani memberi konfirmasi, apakah yang diberitakan mendarat di Bandara Ngurah Rai, benar Jesus atau bukan. Dalam hal ini, KWI akan terus berkonsultasi dengan Tahta Suci, baik langsung dengan Bapa Suci, maupun dengan Kuria Roma, agar tidak terjadi kekeliruan dalam menyikapi pemberitaan tentang Jesus Kristus belakangan ini.

Kalau Konferensi Wali Gereja Indonesia, lembaga tempat para uskup bermusyawarah guna mengambil keputusan sudah memberikan keterangan kepada publik, maka Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia sama sekali tidak mengeluarkan pendapat. PGI diketahui telah mengundang gereja-gereja yang menjadi anggotanya, untuk berkumpul di Kantor PGI di Jalan Salemba Raya, Jakarta, tetapi usai pertemuan itu, sama sekali tidak ada penjelasan apa pun. Menurut salah seorang Pendeta, pemimpin salah satu gereja di Sulawesi, PGI belum menganggap perlu untuk mengomentari pemberitaan mengenai kedatangan Jesus Kristus yang banyak dilansir media massa. PGI hanya akan menghimbau, agar umat Kristen Protestan tetap berpegang teguh pada Iman Kristiani, yang hanya bersumber pada Kitab Suci. Masalah keagamaan yang berada di luar konteks kitab suci, tidak perlu ditanggapi dengan emosional. Dalam waktu dekat ini, PGI juga akan berkonsultasi dengan Dewan Gereja-gereja Sedunia, agar ada koordinasi dalam penentuan sikap.

Rapat KWI malah mengalokasikan waktu cukup banyak, untuk membahas kondisi politik nasional menjelang Pemilihan Umum untuk memilih anggota legislatif, presiden dan wakil presiden. Seluruh uskup anggota Presidium KWI sepakat, bahwa  para politikus kita yang akan memperebutkan kursi DPRD Kota/Kabupaten, Provinsi, DPR Pusat, dan DPD, banyak yang tidak dikenal oleh para pemilihnya. Termasuk mereka yang beragama Katolik. Para anggota presidium ini juga menyesalkan, bahwa ada imam, bahkan juga uskup, yang terlalu jauh ikut campur tangan dalam politik praktis, dengan cara membiarkan, atau bahkan mendukung, para calon anggota legislatif, melakukan kampanye terselubung melalui institusi gereja. Secara individual, maupun kolektif, para anggota presidium ini menghimbau agar para imam agak menahan diri, hingga tidak terseret dalam arus deras politik praktis Indonesia, menjelang Pemilu 2009.

Kebijakan yang digariskan oleh Bapa Suci dari Vatikan, tetap menjadi acuan KWI dalam menghadapi Pemilu 2009. Para imam, biarawan, biarawati, rahib, terlebih para uskup dan uskup agung, tidak boleh terlibat dengan politik praktis. Sanksinya cukup jelas, bahwa mereka yang terlibat dengan politik praktis, harus mengundurkan diri dari status imam, biarawan, biarawati, rahib, uskup, dan uskup agung. Hingga, yang bisa dilakukan oleh hirarki gereja, hanyalah memberi petunjuk kepada umat, agar mereka yang akan menggunakan hak pilih mereka, bisa memilih calon anggota legislatif, yang mereka anggap paling baik. Pemuka gereja tidak boleh langsung memberi petunjuk kepada umat, pilihlah si A, bukan si B atau si C. Sebab dengan demikian, pejabat gereja tersebut sudah berfungsi sebagai alat kampanye bagi calon bersangkutan. Untuk itu KWI dalam waktu dekat ini, akan mengeluarkan surat gembala, yang bisa menjadi panduan bagi umat, yang akan menggunakan hak pilih mereka, pada Pemilu 2009.

“Ini mau ada Pemilu, orang Indonesia itu kok aneh-aneh. Sudah calegnya mémblé semua, termasuk para caleg yang Katolik, ada orang memanfaatkan figur Alah Putera untuk menangguk keuntungan. Mau bisnis ya bisnis. Jangan lalu Tuhan Jesus dibawa-bawa. Itu siapa ya yang didapuk jadi Jesus itu ya? Kok wajahnya juga mirip sekali ya? Waktu saya amati rekaman foto di Ngurah Rai itu, memang benar ada luka di tangan dan kakinya. Ya tetapi bisa saja kan itu bagian dari trik. Memoles tangan dan kaki hingga kelihatan seperti luka kan mudah sekali. Ini presidium memang harus segera membentuk tim untuk meneliti kasus ini, hingga penjelasan kepada umat harus benar dan akurat. Kalau penjelasan KWI tidak meyakinkan, umat bisa bingung. Ada-ada saja ulah orang sekarang. Itu Julia Kim dari Naju, Korea, yang memromosikan penampakan Bunda Maria, akhirnya kan juga diekskomunikasi. Tetapi umat Katolik kok ya tidak kapok ya? Malah teman uskup Indonesia ada yang mendukungnya!”

* * *

Diam-diam, Sekretariat Jenderal KWI, menghubungi 37 keuskupan di Indonesia, terutama Keuskupan Surabaya dan Malang, agar siaga satu, dalam menghadapi isu tentang kedatangan Jesus Kristus. Semua keuskupan diminta untuk waspada, jangan sampai umat terprovokasi, hingga perhatian mereka terbelokkan dari Pemilu 2009, ke menyambut kedatangan Jesus Kristus. Sebab sudah ada beberapa imam yang berkhotbah kepada umatnya. “Saudara-saudaraku, iman kita yang paling tinggi adalah kepada Allah Tritunggal Mahakudus, yakni Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus. Kami, para imam ini, hanyalah gembala, kami hanyalah para Abdi Allah. Bukan hanya kami tetapi juga para uskup, uskup agung, kardinal, bahkan Bapa Suci di Vatikan pun, hanyalah sekadar Abdi Allah. Dan sekarang, Sang Putera Allah itu telah datang kembali ke dunia ini, dan puji syukur, Allah Putera itu telah memilih Indonesia kita ini sebagai negara yang pertama Beliau kunjungi.”

Imam lain tidak setuju dengan pendapat imam ini. “Allah Putera dari mana? Allah dari Hongkong? Pada jaman ultra modern ini, kita juga harus ultra waspada. Siapa saja kan bisa berdandan seperti Jesus, lalu mengklaim dirinya sebagai Putera Allah. Lha nanti kalau ada seribu orang yang mengaku Putera Allah, gereja kan pusing. Allah Putera yang mana? Jesus yang mana lagi? Jesus itu ya hanya satu, yakni yang ada di Kitab Perjanjian Baru, ada di empat Injil. Tidak ada Jesus lain. Jesus itu tidak ada dalam novel, tidak ada dalam film, apalagi sinetron. Maka kalau mau ketemu Jesus ya hanya dalam perayaan ekaristi, bukan di novel, bukan di film, bukan di televisi, apalagi di Gunung Bromo! Jesus tidak punya gunung. Yang punya gunung ya Musa, yakni Gunung Sinai. Jesus punyanya bukit, yakni Bukit Zaitun, dan bukit Golgotha. Maka saya menganjurkan kepada seluruh umat di paroki saya untuk tidak berangkat menemui ‘Jesus’ di Bromo. Datang ke Bromo untuk melihat Jesus, adalah  sinkretisme, dan berarti dosa!”

Uskup Malang, segera memberi perintah kepada para Pastor Paroki se Keuskupan Malang, terutama Pastor Paroki Pasuruan dan Probolinggo, agar melarang umatnya datang ke Tengger. “Mempercayai yang akan tampil di Tengger sebagai Jesus Kristus, sama dengan menyembah berhala, berarti telah menyembah Allah selain Tuhan Allah sendiri. Itu merupakan dosa pelanggaran terhadap 10 perintah Allah. Jadi di semua gereja paroki, gereja stasi, dan kapel-kapel, harus dipasang pengumuman pelarangan ini. Dalam waktu dekat ini Keuskupan Malang akan mengeluarkan Surat Gembala yang berisi pelarangan datang ke Tengger. Siapa tahu sebenarnya ada agenda terselubung, dibalik pengerahan massa dengan iming-iming penampakan Jesus Kristus ini. Siapa tahu ini hanyalah trik sebuah partai politik besar untuk menggalang kekuatan. Bisa pula ini merupakan kampanye terselubung salah satu calon presiden kita, Jadi sekali lagi, saya serukan kepada umat di Keuskupan Malang, agar tidak datang ke Tengger.”

Uskup Surabaya justru bersikap lain. “Silakan saja umat di Keuskupan Surabaya, datang ke Tengger. Saya tidak punya wewenang untuk melarang umat yang mau piknik. Mau ke Tengger, ke Baluran, ke Tretes, ke Kuta, ke Hawaii, ke Kutub Utara, silakan, sebab yang mereka gunakan uang mereka sendiri. Kecuali mereka akan minta ongkos ke Keuskupan Surabaya, maka saya pasti akan menolaknya. Orang mau piknik, dan menonton orang yang menamakan dirinya Jesus kok dilarang. Kalau ternyata yang hadir itu benar-benar Jesus, ya malah kebeneran toh? Saya akan datang untuk menyembahnya. Saya ini kan salah satu Hamba Jesus. Kalau ternyata mereka ditipu, ya rasain sendiri. Umat di Keuskupan Surabaya kan bukan anak-anak TK yang harus dituntun ketika menyeberang jalan. Silakan saja datang ke Tengger kapan pun. Mau menyewa mobil keuskupan ya silakan. Di sana mau berdoa ya boleh. Berdoa kepada Allah bisa dilakukan di mana saja, kapan saja, asal dengan hati bersih. Kalau ternyata event di Tengger itu kampanye Parpol atau Capres, ya silakan saja mau diikuti atau tidak diikuti, Gereja tidak akan campur tangan urusan politik. Kalau mereka merasa tidak cocok, lalu segera pulang, itu juga urusan masing-masing.”

Wartawan bingung. “Ini ada uskup dari dua keuskupan yang bertetanggaan, kok komentarnya saling bertolak belakang? Bagaimana ini KWI, bagaimana Vatikan. Lo, Indonesia kan juga punya Kardinal kan? Kok Kardinalnya belum bersuara?” Kardinal, demi mendengar gerundelan wartawan, segera bersuara. “Kalian mau suara saya bagaimana? Melengking dengan nada sopran? Atau menggelegar bernada bariton? Atau malahan bass? Atau kalian ingin suara Kardinal mengaum keras seperti singa gurun? O, kalian ingin pendapat Kardinal tentang acara Tengger itu? Tentang ada dua uskup yang beda sikap? Itu biasa. Keuskupan itu otonom. Uskup itu harus mengambil keputusan, dan tidak bisa diganggu gugat oleh uskup yang lain. Kalau keputusannya melanggar Hukum Kanonik, Bapa Suci akan memberikan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. Jadi kalau Uskup Malang melarang, ya itu memang sikapnya. Tidak bisa kalian persalahkan. Kalau Uskup Surabaya tidak melarang, itu juga sikapnya, dan tidak boleh kalian anggap keliru. Sebab yang bisa membenarkan, atau mempersalahkan uskup hanyalah Tahta Suci di Vatikan.”

“Tetapi Bapa Kardinal, umat kan jadi bingung kalau begini?” Kardinal mesem-mesem. “Santo Petrus, Paus Pertama itu, juga kebingungan, juga pernah sangat putus asa. Jadi kalau umat bingung, itu lumrah. Imam, uskup, kardinal, bahkan Bapa Suci juga manusia yang bisa bingung, bisa gundah, bisa putus asa. Itulah gunanya doa, untuk menguatkan diri, agar Roh Allah bekerja. Kalau kita iklas membuka hati, dan membiarkan Roh Allah bekerja, maka masalah seberat apa pun akan selesai dengan baik. Jadi umat di Keuskupan Malang harus patuh pada perintah uskupnya. Umat di Keuskupan Surabaya juga harus bersedia mendengar, dan mengikuti petunjuk uskupnya. Jadi jangan sampai umat di Keuskupan Malang ikut perintah Uskup Surabaya, sebaliknya umat di Keuskupan Surabaya justru ikut Uskup Malang. Kalian, para wartawan ini, kan juga harus patuh pada Pemred kalian kan? Kalau kalian ikuti perintah Pemred koran tetangga, Pemred kalian akan marah kan?” * * *

Fragmen Novel Para Calon Presiden


Arif

$
0
0

Arif Rahman, suami Raden Ayu Siti Suryaningtyas, menantu Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko, bapak dua orang anak, adalah pengusaha papan atas Indonesia. Dia Presiden Komisaris PT Garuda Perkasa Holding Company. Anak perusahaannya bergerak dalam bidang jasa entertainment, wisata alternatif termasuk adventure, pelatihan manajemen, pengembangan SDM, sampai ke jasa public relation. Di antara sekian banyak perusahaannya, yang menjadi tulang punggung adalah PT Garuda Perkasa Entertainment, dan PT Garuda Perkasa Adventure.  PT GPE menyelenggarakan pertandingan olahraga memperebutkan gelar kejuaraan internasional, mendatangkan penyanyi kelas dunia, serta membawa rombongan kesenian kita ke berbagai negara. PT GPA, menangani arung jeram, diving, layang gantung, terjun payung, tracking, hiking, dan highrope untuk awam. Klient PT GPE adalah manajer atlet serta penyanyi papan atas dunia. Klient PT GPA adalah perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia.

Arif Rahman adalah pengusaha sukses, dan diterima dalam pergaulan elite Indonesia. Meskipun latar belakangnya muram, Arif tidak pernah mengalami trauma berkepanjangan dengan pengalaman buruk itu. Seluruh keluarga Arif, orang tua, saudara-saudara, paman, uwak, semua terbunuh akibat kebijakan DOM Aceh, dalam memerangi GAM. Arif tidak tahu, siapa yang membunuh keluarganya. Ayahnya jelas ditembak TNI. Salah satu adiknya dianiaya GAM sampai tewas. Yang lain-lain ia tidak tahu. Sejak awal Arif sudah sangat kaya, karena kakek dan neneknya, baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, adalah keluarga kaya di Bireun. Tinggal ada satu orang paman dari pihak ibunya yang selamat. Tetapi anak-anak pamannya ini semuanya juga tewas sebagai korban DOM. “Rif, pamanmu sudah atur, agar harta ini sebagian diwakafkan, sebagian lagi untuk anak yatim korban perang, dan selebihnya untukmu sendirian. Gunakan sebaik mungkin untuk kebaikan bangsa. Bukan bangsa Aceh, tetapi Bangsa Indonesia!” Arif menitikkan air mata, dan berjanji untuk melaksanakan amanah ini sampai berhasil.

Selama kuliah, Arif menjadi aktivis menentang ketidakadilan pemerintah Orde Baru. Dia berpacaran dengan Raden Ayu Sri Suryandari, anak keempat Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko. Tahun 1996, Raden Ayu Sri Suryandari, yang akrab dipanggil Ndari di kalangan aktivis, hilang diculik Tim Mawar. Hampir tiga tahun Arif limbung. Untung dia punya saluran untuk menyeimbangkan dirinya. Dia masuk gua, rafting, hiking, sampai ke Aconcagua, sampai ke Kilimanjaro, yang belum sempat dilakukan hanya ke Everest. Pada suatu hari, Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko memanggil Arif. “Nak Arif, sudahlah, kita harus mupus. Aku, dan ibumu, sudah iklas kehilangan Ndari. Nak Arif juga harus iklas. Aku, dan juga ibu, sekarang ini justru sangat memprihatinkan keadaan Si Tyas!” Arif, segera menangkap sasmito ini. Sinyal ini mengatakan, bahwa ia harus menikahi Tyas, Raden Ayu Siti Suryaningtyas, anak bungsu Raden Tumenggung.

Beda dengan kakaknya yang dikenal luas sebagai aktivis kampus, Tyas justru sangat kuper. Tidak pernah punya pacar, tidak pernah punya geng, tidak pernah ikut aktivitas ekskul. Kelebihan Tyas adalah kecantikannya. Tubuhnya proporsional, kulitnya hitam manis, dan wajahnya tipikal gadis jawa. Arif menyanggupi permintaan Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko, untuk menikah dengan adik pacarnya. “Masa lalu memang tidak mungkin dibuang. Tetapi aku hidup di masa kini, untuk menuju masa depan, aku harus pragmatis.” Pernikahan itu dilangsungkan dengan sangat sederhana, sebab tetap disertai dengan rasa duka yang mendalam, karena nasib Raden Ayu Sri Suryandari yang tidak pernah jelas. Paman Arif, satu-satunya keluarga yang masih hidup, datang ke Jakarta, untuk meminang, selanjutnya bertindak sebagai wali bagi Arif yang sudah yatim piatu.

Usai menikah, sampai dengan punya anak satu, Raden Ayu Siti Suryaningtyas adalah ibu rumah tangga yang baik, bahkan sangat baik. Mereka tinggal di Bukit Sentul, Kabupaten Bogor. Meskipun kalau dihitung-hitung, mereka lebih sering berada di Polonia. Setelah melahirkan anak pertama, perangai  Raden Ayu Siti Suryaningtyas menjadi agak aneh.
“Mas Arif, kamu itu kan kakak kandungku, bukan suamiku!”  Katanya pada suatu hari. “Kakak kandung bagaimana? Bukan suami bagaimana?”
“Ya kakak kandungku, Mas Arif itu kan kakaknya Mbak Ndari kan? Suamiku itu ya Dokter Robert yang Kristen itu!”
“Apa?” Arif benar-benar kaget, tetapi tetap mengira, istrinya hanya sekadar bercanda. Tetapi berulangkali hal ini dikemukakan kepadanya. Dokter Robert adalah teman kuliah seangkatannya, juga seangkatan Ndari, tetapi dari Fakultas Kedokteran. Berarti Tyas sudah sejak lama menaruh hati pada Robert.  Arif lalu dengan hati-hati menceritakan kondisi istrinya kepada Bapak dan Ibu Mertuanya. Dia juga konseling dengan Susan, temannya dari Psiko UI, yang sekarang sudah buka praktek sendiri. “Ya itu memang wajar terjadi Rif, sekali-sekali kamu ajak lah istrimu itu kemari. Ya kamu musti bagi-bagi rejeki ke akulah sedikit. Aku bagi-bagi jasa ke kamu. Itu kan namanya adil. Tidak apa-apa. Itu gangguan yang bisa dialami siapa saja. Hanya istrimu itu rapuh, maka gangguan itu menjadi seperti sekarang ini. Kalau kamu itu Rif, seandainya yang mengalami seperti kamu itu aku, barangkali akan menjadi lebih parah dari istrimu lo Rif. Ini serius. Aku benar-benar salut padamu Rif. “

Sejak itulah Arif menjadi pelanggan Psikolog Susan.  Bahkan pada akhirnya, setelah anak keduanya lahir, Susan menganjurkan agar Tyas dibawa ke Psikiater. “Sudah waktunya Rif. Dia harus diobati, dan itu bukan lagi wewenang psikolog. Kamu bawalah ia ke dokter Bambang. Dia sekarang yang terbaik setelah dokter Anton tidak ada. Tidak usah takut Rif, istrimu pasti akan sembuh. ” Arif lalu menjadi pelanggan dokter Bambang, juga teman seangkatannya dari UI. “Ya aku mau kalau diobati dokter Bambang. Kalau diobati dokter Robert ya tidak mau. Itu kan suami sendiri, ya Mas Arif?” Arif mengangguk-angguk. “Kapan kamu mau ketemu dokter Robert suamimu itu? O, dia sedang ke luar negeri ya? Kapan pulangnya? Tidak tahu? Mengapa tidak ditelepon saja? Tidak tahu nomor teleponnya? Masak nomor telepon suami sendiri tidak punya? Nanti Mas carikan nomor telepon suamimu itu ya? Pokoknya kakak kandungmu ini akan selalu memenuhi permintaan adik tercintanya.”

* * *

Bulik Wardojo adalah salah seorang adik Raden Ayu Retno Hastuti. Dia janda, suaminya, Kolonel Wardojo gugur dalam Operasi Seroja di Timor Timur, yang sekarang menjadi Negara Timor Leste.    Bulik Wardojo sangat prihatin melihat kondisi keponakannya, Raden Ayu Siti Suryaningtyas, istri Arif. “Kasihan ya, anak cantik-cantik seperti itu kok menderita. Itu pasti ada yang pernah naksir, tetapi tidak kesampaian, lalu mencari srono, agar Tyas menderita. Mbak Tutik, sampeyan ini mbok ya mencari tahu,  siapa-siapa sajakah yang pernah naksir si Tyas? Dari situ kan bisa dicari petunjuk guna-gunanya itu datang dari mana. Sebab semua penyakit pasti tersedia obatnya, setiap guna-guna juga pasti ada penolaknya. Mas Suryo itu juga sama saja. Anak sendiri kok dicuekin begitu. Kasihan kan si Arif itu pontang-panting sendirian. Sudah sibuk urusan kantor, organisasi, sekarang ditambah lagi istrinya sakit. Kasihan juga itu dua genduk yang masih kecil-kecil itu ya. O, tetapi dengan anak-anaknya, dengan lingkungan di luar rumahnya dia normal kok ya?”

“Ya, kata Arif dia juga masih mengantar anak-anaknya ke sekolah, voli dengan ibu-ibu di komplek perumahan. Di luar rumah dia normal. Hanya dengan Arif dia itu bagaimana ya? Kok tahu-tahu nganggap Arif kakaknya itu bagaimana? Kamu pernah mempertemukan Tyas dengan siapa itu? Dokter Robert ya? O, terus bagaimana Rif? Biasa? Biasa bagaimana? Tetap menganggap kamu kakaknya atau bagaimana? Lo, kok lucu? Kok tiba-tiba dia normal itu bagaimana? Malah memperkenalkan kamu ke dokter Robert sebagai suami yang baik? Wah, dia malah banyak bercerita bahwa kamu pernah hampir gila karena Mbak Ndari hilang segala? Ya sebenarnya dia waras to Rif. Jangan-jangan dia itu hanya pura-pura tidak normal, agar kamu lebih memperhatikannya? Ya tidak tahulah kalau seperti ini, si Tyas ini. Lalu kata dokter-dokternya itu dia sakit apa? Nah benar kan. Ini bukan penyakit sakbaéné lo Rif. Sudahlah, jangan ragu-ragu lagi, nanti Bulikmu ini yang akan membantu mencarikan penangkalnya. Ini kan pasti ada yang mengirim guna-guna. Ada orang yang iri padamu Rif. Hanya sekarang ini kita belum tahu siapa. Besuk Bulikmu ini akan menghubungi orang pintar Rif. tenang sajalah kamu.”

Aris Subagyo, Direktur Keuangan PT Garuda Perkasa Holding Company, juga berpendapat sama dengan Bulik Wardojo. “Mohon maaf ya Pak Arif. Itu gerahnya ibu itu, menurut teman-teman, sepertinya bukan gerah biasa Pak. Tetapi sekali lagi ini mohon maaf lo Pak Arif. Sebab mungkin saja Bapak tidak berkenan dengan hal ini.” Arif menjawab dengan santai. “Tidak usah takut Mas Aris, maksud kalian istriku disantet orang begitu kan? Ya Bulik Wardojo juga mengatakan begitu. Kalau menurut kalian, seperti itu, saya akan senang kalian ikut memperhatikan. Tetapi tidak usah mencari-cari dukunlah. Bukan, saya tidak marah. Saya justru senang kalian ikut prihatin. Saya percaya santet. Kalian tahu kan saya orang Aceh? Santet itu memang ada. Kekuatan supra natural itu ada. Bagaimana melawannya? Kita ini kan Muslim, melawannya ya harus dengan cara-cara Islam. Yakni dengan menjalankan syariat seiklas mungkin, dengan membantu mereka yang kekurangan, dengan dikir, dengan salat tahajut, tidak ada cara lain.”

“Mohon maaf Pak, apakah semua itu sudah Bapak lakukan? Oh ya, bukan hanya oleh Bapak, tetapi terutama juga oleh Ibu?” Arif kaget dengan pertanyaan itu. Semula dia mengira, direktur keuangan ini akan menyarankanya mencari dukun. Ya, selama ini dia, juga Tyas, memang telah melalaikan itu semua. Dia tidak pernah salat. Bahkan salat Jumat pun ia lalaikan. Apalagi Tyas. Dia baru akan melakukan salat pada Idul Fitri, dan  Idul Adha. Jadi setahun hanya dua kali. Paling ditambah dengan apabila ada sanak famili atau teman meninggal, dan disalatkan. “Mas Aris, terimakasih mengingatkan saya. Memang selama ini hal yang saya katakan tadi, justru saya lalaikan. Saya akan sangat memperhatikan teguran Mas Aris ini. Sekali lagi terimakasih.” Maka Arif pun kemudian dihantui oleh perasaan bersalah yang mendalam. Dirinya kadang merasa capek luarbiasa, padahal tidak ada hal apa pun yang membuatnya capek. Dia bekerja seperti biasa, bahkan sebagai Preskom, tidak ada kewajiban untuk datang ke kantor tiap hari. Lalu apa yang membuatnya capek?

Maka ia pun dengan sangat hati-hati mengajak Tyas istrinya untuk salat. “O, jadi Mas Arif, sekarang sudah bertobat ya? Sekarang sadar, bahwa meniduri adik kandungnya sampai hamil itu dosa ya? Mas Aris, sudah berapa kali aku ingatkan, aku ini adik kandungmu. Aku ini bersuami Mas, tetapi Mas ini masih terus nekat. Bagaimana kalau dokter Robert tahu Mas? Bagaimana kalau dia tahu bahwa dua anak itu bukan darah dagingnya? Aku malu Mas, malu sekali. Dilihat tetangga kiri kanan, dilihat bapak ibu, kakak-kakak yang lain, aku malu sekali Mas. Apakah Mas Arif tidak malu? Ya jelas tidak malu. Kalau malu kan sudah dulu-dulu. Tidak usah sampai menunggu ada anak dua. Kasihan ya dokter Robert itu. Bagaimana aku harus menjelaskan padanya Mas? Bagaimana coba? Bagaimana aku harus matur sama Bapak Ibu Mas? Bagaimana? Apa Mas Arif berani mengatakan hal ini pada Bapak Ibu, pada dokter Robert? Takut kan? Aku juga takut sekali. Aku tidak tahu harus bilang apa pada mereka. Sekarang tiba-tiba mau mengajak saya salat. Enak saja bertobat setelah semua rusak. Tidak bisa begitu Mas. Allah tidak akan dengan mudahnya memaafkan dosa kita…..”

“Ya sudah. Ayo ganti baju kita ke dokter Robert ya? Ratih dan Wulan mau diajak atau tidak. O, mereka ada di Polonia di tempat eyangnya ya? Ya kita pergi berdua saja ya?” Maka sore itu Aris berkunjung ke ruang praktek dokter Robert. “Wah, ada kejutan besar nih. Boss besar, dengan nyonya besar datang, ayo, pasien sudah habis kok. Kalian ini kok ya bisa pas ya datangnya? Bagaimana kabarnya?” Arif, yang berada di belakang istrinya berkedip-kedip sambil menunjuk ke istrinya memberi kode. Dokter Robert manggut-manggut. “Ini hanya mampir, mau ngajak makan malam, atau ada yang sakit? O, hanya mampir. Bagaimana kabarnya nyonya besar kita ini?” Raden Ayu Siti Suryaningtyas, yang disebut nyonya besar, mesem-mesem, lalu nyerocos bercerita. “Ya ini to Robert, Mas Arif ini kadang tidak tahu waktu. Kerja, kerja, kerja! Kesehatan dirinya tidak pernah dipikirkan. Katanya sih memikirkan aku. Memangnya kamu lihat aku ini sakit Robert?  Tidak kan? Cobalah kamu suruh suamiku ini periksa ke lab, gulanya, kolesterolnya, asam uratnya, jangan-jangan fungsi levernya, atau ginjalnya, atau malah jantungnya…..”

* * *

Direktur Utama PT Garuda Perkasa Holding Company, lulusan London Business School, masih muda tetapi matang karena kaya pengalaman. Dia minta waktu untuk bertemu dengan Arif. “Saya minta waktu untuk bertemu Pak, apa bisa sekarang? Ya memang sangat urgent. Jangan di teleponlah Pak. Ya, saya akan segera meluncur.”

Nama Dirut itu Wisnu Wardana, orang-orang memanggilnya Pak Wis, anak-anak muda memberinya julukan double double yu. Meskipun boss besar, penampilan Pak Wis sangat simpel. Baik pakaiannya, mobilnya, juga rumahnya. Orang-orang menyebutnya sebagai minimalis. Yang lain mengkritisinya sebagai pelit. Padahal ia paling murah hati dalam hal menraktir makan. Bahkan tak jarang Preskom Arif pun ikut pula ditraktirnya. Orang-orang lalu menyebutnya sebagai “nyogok” dan cari muka. Siang itu, dia bergegas dari kantor pusat PT Garuda Perkasa Holding Company di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, menuju ke Sentul. Arif sudah menunggunya.
“Tampaknya ada susuatu yang sangat serius Wis?”
“Iya Pak. Acara Tengger itu terancam batal. Ijin dari Kapolri belum turun. Mereka minta satu em.”
“Ah, masak sampai sebesar itu Wis?”
“Benar Pak, bahkan salah satu staf di sana sempat telepon Bapak Suryo.”
“Lo ada urusan apa mereka dengan mertuaku?”
“Entah dari mana, mereka tahu, kalau Garuda itu perusahaan bapak, dan Pak Suryo itu mertua Bapak. Maka mereka minta Pak Suryo, agar beliau menekan Bapak, dan Bapak lalu menyelesaikan yang satu em itu.”
“Lo emangnya aku ngutang sama mereka?”
“Ya, tetapi kalau yang ini tidak dibereskan, mereka tidak akan melepas ijin. Ya, sebenarnya bukan ijin Pak, sekarang istilahnya kan surat tanda terima pemberitahuan kegiatan.” Tetapi esensinya sama.”
“Itu kamu uruslah Wis, Preskom kan tidak boleh terlalu jauh campur tangan ke masalah teknis. Tetapi katanya Bapak bilang apa ketika ditelepon dari Mabes?”
“Katanya sih Pak Suryo marah-marah, malahan mau ngomong sendiri ke Kapolri. Tetapi staf tadi tidak kalah galaknya, dan mengatakan yang nyuruh telepon ke Pak Suryo justru Kapolri. Dan katanya ketika Bapak menelepon Kapolri, beliau didamprat, ini kan bukan masalah ijin to Pak Suryo. Ini sampeyan ini kayak tidak pernah jadi pejabat saja. Ini kami kan perlu heli, perlu beberapa jip dan truk, perlu logistik. Acaranya massal, di tempat terbuka lo Pak. Apa ini semua harus keluar dari kantong pemerintah? Lalu katanya, Bapak ganti yang marah-marah. Lo, kalau memang begitu namanya kan bukan ijin, namanya cost, dan itu ada itung-itungannya. Lalu tidak tahu kelanjutannya, tetapi ya sampai sekarang ijin tidak keluar.”
“Kamulah Wis, yang harus turun tangan. Jangan serahkan ke anak buah kalau sudah begini. Temui itu Kapolri. Aku males urusan demikian, dan ini bukan bagian Preskom kan? Apalagi?”
“Lalu ini Pak, sekarang ini Tamu Agung Kita, Nabi Isa Alaihisallam, sudah ada di Tengger. Maksud saya, beliau itu dikenal sebagai Nabi yang bisa menyembuhkan penyakit apa saja. Bahkan orang mati pun bisa dihidupkan lagi. Apa tidak sebaiknya Bapak membawa Ibu ke Tengger?”
“Itu ide bagus Wis. Tetapi jangan dalam waktu dekat ini. Tidak ada lagi? Ini saya juga ditunggu Pak Kamto dari Tim suksesnya Pak SBY. Sudah ya?”

Mereka yang mengaku sebagai Tim Sukses Pak SBY itu ada lima orang. Salah satu diantaranya bertindak sebagai juru bicara. Namanya Sulistyo, rekan-rekannya memanggil Pak Sulis.
“Jadi ini begini ya Pak Arif, yang ingin menangkap pekerjaan ini antreannya panjang sekali. Semua ingin memperebutkan pekerjaan ini, sebab kemungkinan besar, bahkan hampir pasti, Pak SBY itu akan terpilih untuk keduakalinya. Nah mereka yang memperebutkan pekerjaan ini, berharap nantinya, pada periode keduanya, mereka akan bisa mendapat, ya, semacam jatah di pemerintahan, atau minimal tetap mendapat pekerjaan, begitulah ceritanya Pak Arif.” Sambil menyimak lawan bicaranya, Arif manggut-manggut.
“Lalu maksudnya bagaimana?”
“Ya ini kami kan juga heran to Pak Arif. Kok Pak Arif datang sendirian, padahal kami berlima. Ya bukan merasa dilecehkan, tetapi bagaimana gitu lo!”
“Tolong to the point ya Pak Sulis. Saya ini Preskom. Posisi saya bukan negosiasi, juga bukan sedang antre untuk diberi pekerjaan. Beberapa hari yang lalu, saya ditelepon Pak SBY, apakah bisa bantu-bantu. Saya bilang ke beliau, saya ini profesional. Siapa saja akan saya bantu. Nah, sekarang ini, saya hanya mau tanya, Anda ini mau dibantu kayak apa? Perusahaan saya itu banyak. Apa Anda perlu pengembangan SDM, ke-PR-an, atau apa? kalau sudah jelas, saya akan lihat, mana perusahaan saya yang cocok dengan pekerjaan ini, baru kemudian proses administrasinya dimulai. Ini saya belum tahu apa-apa kok, sudah dibilang ada yang antre segala.”
“Oh, maksud kami bukan begitu Pak Arif. Saya malah baru tahu sekarang kalau Pak SBY sendiri yang kontak Bapak. Jadi problematik kami sebenarnya cukup banyak Pak. Sebab kami tidak punya semacam thank-thank yang handal. Jadi terus terang kami ingin memasukkan staf bapak, ke dalam bagian dari Tim Suksesnya Pak SBY….”
“Nah, maaf saya potong ya Pak Sulis. Itu yang saya tidak mau. Sekarang Anda tinggal pilih, saya ada dua perusahaan yang bisa membantu. Pengembangan SDM, ini bisa dimanfaatkan oleh partai untuk meningkatkan kemampuan caleg mereka, dan ke-PR-an, yang bisa mendukung kampanye. Hanya itu. Adventure jelas tidak ada kaitannya. O, ya, Garuda Entertainment juga bisa diminta jasanya untuk teknis menggarap event. Silakan. Tinggal sampeyan akan kontak mereka, atau mereka yang kontak sampeyan? Ini saya juga masih banyak acara, jadi bagaimana?”

Malam itu, Arif merasa sangat capek. Ratih dan Wulan, dua puterinya yang cantik-cantik, dan sedang lucu-lucunya, diculik oleh eyang puterinya, dan dibawa ke Polonia, bersama dengan dua suster, dan seorang sopir. Di rumah tinggal ada dua pembantu perempuan, seorang sopir, tukang kebun, dan Budi, staf rumah tangganya. Tyas istrinya sudah tidur. Oleh dokter Bambang, dia memang rutin diberi valium agar bisa tidur dengan nyenyak. Arif mandi, minta dibuatkan kopi pahit, lalu duduk di beranda. Budi mendekat, dan bertanya. “Bapak, tadi aku melihat di tivi, acara di Tengger itu sudah disiarkan lo.” Arif kaget. “Disiarkan bagaimana maksudmu? Sudah ada di Tivi? Apa urusan dengan Mabes Polri sudah beres?” Sebenarnya Arif ingin tahu lebih lanjut, tetapi kemudian ia berpesan pada Budi. “Bagini ya Bud, ada telepon dari siapa pun, termasuk dari Eyang Kakung, termasuk dari Pak SBY sekalipun, bilang kalau Pak Arif tidak bisa diganggu. Tahu?” Budi menegakkan badan, dan menjawab dengan mantap. “Siap Pak, laksanakan!” Sambil menyeruput kopi pahitnya, Arif bergumam. “Kayak tentara saja lagakmu itu!” * * *

Fragmen Novel Para Calon Presiden

 


Mukjizat Kana

$
0
0

Mereka mengaku sebagai reporter, cameraman, presenter, lengkap dengan seluruh kru dari beberapa stasiun televisi nasional di Jakarta. Mereka berkendaraan mobil, beriring-iringan, naik dari Kota Pasuruan, ke arah selatan, menuju Tosari. Mereka bermaksud meliput acara jumpa pers Jesus Kristus, yang tiga hari lagi akan tampil di di depan publik di Lautan Pasir, Kaldera Tengger. Mereka menyanyi-nyanyi, sambil menikmati udara pegunungan di pagi yang cerah. Mereka sama sekali tidak menduga, akan dicegat oleh sekelompok petugas berseragam jas dan dasi, beberapa di antaranya berambut cepak dan mengenakan stelan safari. Iring-iringan mobil itu terpaksa berhenti, masing-masing pimpinan kru keluar, lalu mendatangi para petugas itu. Dengan sangat pédé mereka minta agar para petugas itu minggir, sebab mereka mau lewat. Para petugas itu ganti menanyakan kartu identitas untuk mengikuti jumpa pers.

“Lo, Anda ini siapa kok berani menghalang-halangi perjalanan jurnalistik kami? Kami ini jurnalis yang dijamin Undang-undang Pers, untuk membantu masyarakat memperoleh informasi.”
“Kami tidak menghalang-halangi Mas, tetapi mana tanda pengenalnya?”
“Lha ini kan jelas, kami ini semua kan sudah memakai tanda pengenal? Masih kurang apa lagi?”
“Ini lo Mas, tanda pengenalnya seperti ini! Punya atau tidak?”
“Lo, itu tanda pengenal apa? Itu kan bukan kartu pers kan? Kartu apa itu?”
“Ini tanda pengenal yang kami buat untuk ikut acara jumpa pers.”
“Kalian ini bagaimana? Ini kan tempat umum kan? Kami ini sedang menjalankan tugas jurnalistik, dan dilengkapi dengan tanda pengenal, bahkan juga surat tugas. Kami juga sudah lapor ke aparat Pemkab Pasuruan, kok Anda menghalang-halangi?”
“Ya kalau Mas-mas punya tanda pengenal, silakan masuk, kalau tidak ya silakan pergi.”
“Enak saja, sebentar.”

Sang juru bicara itu lalu mengubungi seseorang, yang entah siapa, dan entah di mana. “Halo, Pak Wondo ya? Ini petugasnya ini sok-sok amat. Mosok kami tidak boleh masuk. O, ya, ya. Ya pak. Ya, ada, kami memang sudah siapkan kok. Ya, trims ya Pak. Okey.” Sang juru bicara itu lalu kembali ke mobil, ia lalu bisik-bisik dengan teman lainnya yang masih ada dalam mobil. Bisik-bisik ini kemudian disampaikan oleh orang lain lagi ke rombongan dalam mobil di belakangnya, demikian terus estafet sampai ke mobil yang paling akhir. Rupanya mereka mengumpulkan uang yang kemudian ditaruh dalam sebuah amplop cokelat besar. Setelah selesai memasukkan uang, mereka lalu dengan senyum simpul maju lagi ke petugas yang menghadang di depan.
“Jadi ini tadi ya maaf ya Pak, kami sebenarnya ya sudah menyiapkannya, tetapi tampaknya ada kekeliruan teknis. Kami kira kami harus menyerahkannya di dalam sana, tetapi ternyata harus di sini. Ya ini biasalah untuk acara-acara infotainment hal seperti ini memang sudah sangat biasa. Kadang kami yang menerima, kadang pula justru harus memberi. Maaf tadi itu lo Pak.’
“Ini maksudnya apa?”
“Ya inilah Pak sekedar untuk uang rokok.”
“Kami semua tidak merokok. Kalau Mas-mas ini tidak punya tanda pengenal, tidak boleh masuk.”
“Ya jangan kaku begitu to pak dengan insan pers. Nanti Bapak yang rugi sendiri lho!”
“Silakan Anda pergi, kami tidak akan rugi.”

Di tengah negosiasi antara aparat keamanan dengan para pemburu infotainment ini, di belakang ada rombongan lain yang datang dengan dua mobil. Petugas terpaksa mengatur agar rombongan yang baru datang itu bisa lewat, sebab jalannya sangat sempit, dan di kiri jurang, di kanan tebing bukit yang terjal. Setelah dua mobl itu bisa lewat, salah seorang di dalamnya turun, menunjukkan tanda pengenal, dan tanpa banyak bertanya, para petugas itu mempersilakan mereka berjalan terus.
“Lo, itu mereka yang datang belakangan kok malah didahulukan sih Pak? Apa mereka membayar lebih banyak? Apa bayaran kami kurang? Bilang saja Pak kalau yang dari kami ini kurang!”

Salah satu petugas segera merangsek maju, dan bermaksud menempeleng juru bicara kru tivi itu, tetapi petugas lainnya buru-buru mencegah.
“Maaf, itu tadi rombongan dari NHK, Jepang. Ini dari CNN dan LKBN Antara juga belum datang. Masih ada beberapa rombongan yang baru pagi ini akan datang. Jadi silakan kalian kalau masih tetap mau di sini meminggirkan kendaraan, agar jangan mengganggu mereka yang akan lewat. Kalau mau ke Bromo ya silakan lewat jalan sana itu lo. Tetapi kalau mau masuk ke Bromo Cottage, memang harus punya tanda pengenal.”

Maka, rombongan pers infotainment itu pun kemudian meminggirkan mobil mereka. Mereka tetap berharap, para petugas itu berubah sikap, dan membolehkan mereka masuk. Ya, mereka sudah biasa menunggu semalaman, bahkan sehari semalam, hanya untuk mendapatkan rekaman gambar seleb kenamaan yang sedang berselingkuh. Maka, sekarangpun mereka juga siap menunggu sampai para petugas itu lengah. Tetapi tampaknya tidak. Sebuah jip meluncur dari atas, dan isinya petugas bersenjata. Mereka dengan sopan meminta agar para kru infotainment itu pergi. Maka, tanpa menunggu senapan dikokang, para kru itu pun mundur, lalu membelokkan kendaraan mereka menuju kaldera Tengger. “Ya daripada pulang dengan tangan kosong, lebih baik ambil gambar-gambar di Tengger. Nanti wawancara dengan penduduk Tosari yang bekerja di Bromo Cottage. Itu saja sudah lumayanlah.”

Para pemburu infotainment pergi. Wartawan Bodrek datang. Mereka berombongan mencarter angkot, ada pula yang naik ojek. Niat mereka hanya satu, siapa tahu ada pembagian amplop dalam acara ini. Paling tidak, lumayanlah bisa dapat makan gratis. Kalau acara berlangsung pukul 10.00, ini merupakan indikasi, bakal ditutup dengan makan siang. Sebab biasanya acara akan molor sampai setengah sebelas, bahkan kadang jam sebelas, tanya jawab biasanya juga agak berkepanjangan, dan pasti panitia sudah menyediakan makan siang. Makan siang di resor bintang tiga seperti ini, pasti enak-enak. Kapan lagi dapat makan gratis dan enak, kalau bukan dalam acara-acara seperti ini. Tetapi kembali petugas keamanan mencegat mereka. “Lo, kok kami tidak boleh masuk ini alasannya apa? Mereka boleh kok kami tidak? Ini kan diskriminatif to Pak?” Para petugas itu tenang. “Maaf ya Dik ya, jumpa pers ini memang sangat dibatasi pesertanya, semua sudah didaftar, dan diberi tanda pengenal jauh hari. Jadi maaf ya?”  Para wartawan “bondo rekaman” alias bodrek ini mengalah. Mereka menggerutu karena sudah keburu mengeluarkan ongkos untuk patungan mencarter angkot, dan sebagian dengan naik ojek sepeda motor.

“Masih ada yang ditunggu atau sudah habis ya Pak?” Tanya seorang petugas kepada komandannya. Sang Komandan, dengan HT di tangan bertanya ke komandan lain yang berada di Bromo Cottage. “Ada satu yang masih ditunggu, tetapi tampaknya mereka ditinggal saja. Katanya mobil mereka kejeblos ke selokan di bawah sana, dan sedang diusahakan untuk diangkat. Kalau nanti mereka datang disuruh langsung masuk saja. Tapi ini tadi sudah dimulai kok acaranya. Jadi portalnya dipasang saja ya Mas? Saya akan kencing sebentar. Wah, di udara dingin seperti ini, sudah membatasi minum, masih saja kencing melulu. Dinginnya memang luarbiasa ya Mul?” Yang dipanggil Mul masih sibuk dengan HPnya, dan hanya melambaikan tangan kepada Sang Komandan, pertanda ia memperhatikannya. Menjelang pukul sepuluh, gumpalan kabut mulai datang satu-satu. Ketika gumpalan putih itu menerjang, rasa dingin makin menyeruak ke dalam jaket, ke dalam kemeja dan jas.

* * *

Ruang pertemuan Bromo Cottage itu sebenarnya sangat luas, tetapi sekarang tampak menjadi sangat sempit. Fotografer dan cameraman berderet di jalur paling belakang, di depannya para reporter dengan perekam suara dan pencatat. Beberapa di antara mereka langsung mencatat dengan Blackberry, yang langsung online dengan kantor mereka. Jesus duduk di depan, diapit oleh dua penerjemah. Yang pertama akan akan menerjemahkan kata-kata Jesus, yang diucapkan dalam bahasa Aram, ke dalam bahasa Inggris. Penerjemah kedua, akan menerjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Sebab cukup banyak wartawan Indonesia, yang Bahasa Inggrisnya sangat lemah. Sebelum acara dimulai, wartawan Jawa Pos sempat nyeletuk, dan kemudian diterjemahkan oleh Romo Sujatmiko, penerjemah dari Bahasa Aram ke Inggris, yang sebenarnya juga bisa berbahasa Indonesia, bahkan fasih ngomong Jawa. “Tuhan, itu tadi bertanya, apakah Anda tidak kedinginan kok hanya pakai kaus oblong?”
“Jangan panggil aku Tuhan. Tuan sajalah, atau Guru. Dulu saya terbiasa dipanggil Guru. Menjawab pertanyaan tadi, di sini tidak terlalu dingin dibanding dengan di Surga.”

Semua wartawan tertawa. Acara lalu dimulai. MC memberi pengantar bahwa yang duduk di depan adalah Jesus Kristus, yang juga disebut Isa Al Masih Alaihissalam, diapit oleh penerjemah, Romo Sujatmiko, yang langsung didatangkan dari Vatikan, karena dialah satu di antara tiga orang di dunia ini, yang menguasai Bahasa Aram dengan baik. Di sebelahnya Pak Eric, yang akan menerjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Sebelum Jesus mulai bicara, MC juga menjelaskan, bahwa tamu agung ini beberapa hari yang lalu telah turun dari Surga di depan The Dome of The Rock, yang berada di atas fondasi Bait Suci. Petugas lalu menayangkan rekaman visual peristiwa ini. Tampaknya hanya ada satu rekaman yang dilakukan oleh cameraman CNN, dengan perjanjian baru boleh disiarkan setelah ada jumpa pers. Dalam rekaman itu tampak seleret cahaya di atas langit Jerusalem yang biru bersih. Dari cahaya itu turunlah sosok Jesus yang berjubah, gondrong, bercambang, dan di tangan, serta kakinya ada bekas luka. Sesampai di bawah, dia disalami oleh tim penjemput, konsorsium beberapa EO papan atas dari Eropa dan Jepang. Jesus langsung digandeng, dan dikawal ketat menuju Jip Militer yang sudah menunggu.

“Sebenarnya kan banyak Paparasi yang juga menunggu di sana kan? Kok mereka tidak bisa merekam gambar tadi ya? Atau jangan-jangan ini tadi tipuan?” MC lalu mempersilakan Jesus untuk mulai berbicara. Awalnya Ia berbisik-bisik dengan Romo Sujatmiko. Lalu ia berbicara dalam Bahasa Aram, dengan nada bariton, tegas, intonasi jelas. Romo Sujatmiko menerjemahkannya ke Bahasa Inggris, lalu Pak Eric ke Bahasa Indonesia. “Saya tidak akan memperkenalkan diri, karena sudah sangat terkenal. Saya juga akan menegaskan, bahwa kedatangan saya ke dunia, bukan dalam rangka kiamat, seperti yang tertera pada kitab suci.” Pak Erik berhenti. Romo Sujatmiko memberi isarat agar Jesus kembali berbicara. Romo Sujatmiko menerjemahkannya, disusul Pak Eric. “Anda semua pasti ragu-ragu, apakah benar saya ini Jesus Kristus. Saya sudah biasa diragukan seperti itu, bahkan kemudian diadili, dan dihukum mati.” Seperti bisa menebak keragu-raguan pers dunia, Jesus lalu menawarkan mukjizat. Serentak para wartawan, fotografer dan cameraman menjawab. “Pesta perkawinan Kana!”

Romo Sujatmiko menerjemahkan teriakan wartawan kepada Jesus. Jesus lalu berbisik ke Romo Sujatmiko, yang kemudian meminta panitia mendekat. Romo Sujatmiko minta panitia menyediakan air sebanyak enam galon. Sebab dalam Injil Yohanes 2:1-11, Jesus menampilkan mukjizat pertamanya dalam sebuah pesta perkawinan di Kana, dengan mengubah enam tempayan air menjadi anggur. Maka panitia pun membawa enam galon air ke dalam ruang pertemuan, dan menaruhnya di atas meja. Jesus lalu berbisik ke Romo Sujatmiko. “Tolong salah satu galon dibuka, dan semua diminta untuk mencicipi.” Ketika tutup galon itu dibuka, terdengar bunyi letupan, tampak air berbusa keluar, dan bau sparkling wine merebak. Petugas Bromo Cottage heran, sebab itu tadi memang galon air minum biasa. Tetapi para wartawan menganggap ini semua trik. Mereka yakin, galon itu sudah diisi sparkling wine sebelumnya. Panitia lalu membagikan gelas, dan menuangkan isi galon itu ke masing-masing gelas wartawan, fotografer, serta kameraman. Fotografer dan kameraman semua menolak sebab mereka sibuk mengabadikan peristiwa ini.

Rasa air dari galon itu ternyata dua macam. Ada wartawan yang tetap merasakannya sebagai air, ada yang sebagai wine, dan ada seorang wartawan yang tersedak keras, lalu jatuh pingsan, sebab gelas yang diminumnya ternyata air aki. Petugas medis buru-buru menolong. Ternyata itu wartawan Al Jazeera TV. Panitia panik, petugas Bromo Cottage ketakutan. Tiga orang dokter menyatakan wartawan tadi telah menenggak air aki, dan berusaha keras untuk menyelamatkan nyawanya. Jesus mengatakan, isi galon itu memang tetap air. Akan menjadi berasa anggur, tetap air, cuka, atau air aki, sangat bergantung pada keyakinan masing-masing. Mereka yang tadi masih merasakan yang mereka minum air, mencoba sekali lagi, dan sekarang mereka benar-benar mencicipi champagne. Wartawan Al Jazeera itu tak tertolong, meskipun tiga dokter itu telah berusaha keras untuk menolongnya. Jesus lalu berkata kepada Romo Sujatmiko, meminta agar wartawan Al Jazeera itu bangun sebab sebenarnya ia tidak apa-apa. Dan seketika, wartawan itu bangun, lalu tampak kebingungan. Karena merasa sangat haus, ia lalu meminum air dari dalam galon itu, dan sekarang rasanya segar seperti air Zam-zam.

Meskipun sudah berusaha meyakinkan para wartawan dengan mukjizat Kana, Jesus tahu bahwa sebagian besar wartawan itu masih tidak terlalu yakin, bahwa ia benar Jesus Kristus Putera Allah, atau Nabi Isa Al Masih Alaihissalam. Maka ia kemudian kembali berbisik ke Romo Sujatmiko, yang kemudian menerjemahkannya ke Bahasa Inggris, dan Pak Eric menerjemahkannya dari Inggris ke Bahasa Indonesia. “Silakan para fotografer, dan kameraman memeriksa hasil rekaman mereka.” Maka para fotografer dan kameraman itu mencoba melihat hasil rekaman mereka. Sebagian tidak menemukan hal-hal yang aneh. Mereka hanya merekam Jesus, yang didampingi Romo Sujatmiko, Pak Eric, dan para petugas Bromo Cottage. Juga acara minum air dari galon. Tetapi beberapa fotografer dan kameraman menemukan adegan porno dalam kamera mereka, ada pula yang rekamannya berubah menjadi film kartun. Mereka mencoba melihat-lihat kembali rekaman barusan, dan tetap saja yang mereka dapat film porno dan gambar kartun. Menanggapi protes mereka, Jesus hanya berucap, “Silakan membeli dari mereka yang berhasil memotret dan merekam.”

* * *

Siang itu juga, seusai jumpa pers, Jesus segera diamankan panitia, ke salah satu bungalow. Sementara para wartawan, fotografer, dan cameraman bersantap siang. Mereka yang rekaman visual, dan jepretan kameranya berubah menjadi adegan porno, dan foto kartun, sibuk bernegosiasi dengan kolega mereka yang berhasil merekam gambar. Sebab tanpa hasil foto atau rekaman visual, mereka bisa dipecat. “Aku masih bingung.” Kata fotografer Yumiuri Shimbun dengan Bahasa Inggrisnya yang khas Jepang, tadi itu aku sudah lihat hasil jepretanku, bagus-bagus, kok jadinya foto adegan ranjang begini. Ini sulap modern, atau memang dia itu benar Jesus ya?”

“Anda ini sudah diingatkan oleh Allah, agar jangan ragu-ragu. Caranya, dengan mengubah hasil foto Anda menjadi foto-foto adegan ranjang. Tetapi sudah begitu pun, Anda masih juga tetap ragu-ragu. Harusnya orang itu tegas. Kalau percaya ya percaya penuh. Kalau tidak percaya ya tidak percaya penuh. Jadi kalau Anda tidak percaya bahwa dia itu Isa Al Masih, sekalian tidak usah datang. Kalau berniat datang, harus percaya penuh. Kalau percayanya setengah-setengah hasilnya ya fofo-foto seperti itu. Coba lihat! Asik juga ya? Siapa sih ini yang lagi begitu? Kok seperti kenal dia ya? Lho, lho, ini kan foto saya sendiri, sedang main sama selingkuhan saya? Kalau ketahuan istri bagaimana ini nanti? Aduh, apa salah saya ya? Mohon ampun Nabi Isa Alaihissalam. Saya kapok. Saya tidak akan berselingkuh lagi. Saya tidak akan menodai kesucian pernikahan. Tolong dong itu foto dihapus dari file ya sobat. Ini saya ganti dengan foto-foto saya. Anda ambil foto-foto saya gratis, tetapi foto-foto selingkuh saya itu dihapus ya? Plis, itu demi keutuhan rumah tangga kami. Sobat, ambil ini foto-foto saya, bagus kok. Paling yang akan saya gunakan hanya satu dua saja.”

Suasana makan siang di Bromo Cottage yang indah, dengan menu yang istimewa itu, menjadi gaduh. Para fotografer dan kameraman saling meneliti hasil kerja mereka. Dari sekitar 100 fotografer dan kameraman, hanya ada sekitar separo yang hasilnya normal. Lainnya berubah menjadi gambar-gambar kartun, adegan ranjang, rekaman perang di Jalur Gaza, serta adegan singa mengejar gazele. “Ini adegan ranjang siapa lagi ini yang di kamera saya ini. Kok seperti Anda ya sobat. Oh iya benar. Ini kan Anda. Hayo sama siapa lagi ini? Sama isteri? Bohong ah. Masak isteri Anda semuda ini? Ini kan pantesnya menjadi anak Anda kan? Lo ini, Mister! Ini foto Anda lo. Waduh, ini lagi. Kok foto bugil isteri saya juga muncul di kamera Anda ini bagaimana? Duh Gusti. La kok isteri saya juga begitu sama siapa ini? O, ampun Gusti, ternyata dia selingkuh sama bossku sendiri. Mister, saya beli rekaman ini berapa pun Anda minta. Ternyata, perempuan yang sangat saya percayai itu, yang telah melahirkan anak-anak……. Ya ampun, jangan-jangan dua anak itu bukan anak aku. Ya, ya, waktu itu aku memang sempat bilang, ketika hamil kamu terlalu membenci boss aku sih, jadi anak kita mirip dia kan? Ternyata memang anak dia! Gusti Jesus, terimakasih.”

Siang itu, dalam suasana sejuk udara Tengger, santap siang dengan beragam menu istimewa, suara gaduh para fotografer dan kameraman, ternyata sama sekali tidak ada transaksi apa pun. “Tadi itu sebenarnya aku keceplosan ketika bilang berapa em pun akan aku bayar. Andaikan benar duit dari mana? Untung cuma barter. Tadi itu, kameraman dari mana tadi ya, yang di kameranya justru ada rekaman gambar pembunuhan kepala negara mereka. Ternyata pembunuhnya justru yang sekarang berkuasa, sementara yang bukan pembunuhnya dipenjara, bahkan sudah ada yang dihukum mati. Ini bisa menjadi bukti untuk menjebloskan presiden yang sekarang ini sedang berkuasa ke penjara. Tapi biarlah, yang penting aku tidak jadi kehilangan uang, tetapi juga tidak dipecat dari pekerjaan. Bagi Allah, ternyata tidak ada hal yang mustahil.”

Kameraman Al Jazeera TV, justru belum sempat memperhatikan hasil rekaman gambarnya. Sejak dari tadi dia menangis sesenggukan, sambil memeluk sang wartawan, yang tadi sudah dinyatakan meninggal oleh dokter. Mereka berdua berkomunikasi dalam bahasa Arab. “Ada apa sesungguhnya, hingga Énté dari tadi terus memeluk-meluk Ané sambil nangis?” Sang kameraman masih belum bisa menjawab dengan jelas. Produser mereka yang kemudian menjelaskan. ” Énté sudah mamphus tadi itu. Dokter mengatakan yang Énté minum itu air aki, dan Énté sudah dinyatakan mati. Énté sudah tak ada nafasnya. Énté musti segera temui itu Nabi Isa Alaihissalam, mohon ampun, bersyukur dan berterimakasih karena telah beliau ampuni. Tadi Énté dihidupkan lagi oleh Nabi Isa Alaihissalam.” Wartawan itu masih kebingungan. “Jadi Ané tadi sudah mati, dan dihidupkan lagi oleh Nabi? Siapa Nabinya? Jadi benar yang sedang kita liput ini Nabi Isa Alaihissalam?”

Siang itu, setelah suasana gaduh saling barter foto dan rekaman gambar, setelah gambar-gambar itu dikirim ke media masing-masing, para pekerja pers itu bisa bersantap siang dengan lebih nyaman. Keelokan Pegunungan Tengger jadi kembali kelihatan. Setelah santap siang selesai, para pekerja pers itu akan diajak turun ke lautan pasir, naik tangga Bromo, dan kembali lagi ke Bromo Cottage. Saat itu juga televisi seluruh dunia sudah menyiarkan peristiwa yang terjadi baru saja. Meskipun adegan barter gambar, yang sebenarnya juga bisa menjadi adegan yang cukup menarik, sayang tidak sempat terekam. Maka milyaran manusia di planet ini, seperti tersedak tenggorokannya. “Nabi Isa Alaihissalam datang? Jesus Kristus, Sang Putera Allah itu telah tiba? Berarti sekarang ini dunia telah memasuki fase kiamat? Seorang anggota tim sukses Pilpres di Jakarta, nyeletuk. “Boléh jugé diényé ini kité jadiin votegeter untuk Caprès kité yé?”

Fragmen Novel Para Calon Presiden

 


Mas Suwito

$
0
0

“Suwito, Suwito, kamu ini kok bisa kenal sama Pak SBY, sama Bu Mega, sama Pak JK, sama Kanjeng Sultan, sama Pak Prabowo, sama Gus Dur, sama siapa lagi itu, Pak Amien, Pak Wiranto, Pak Din, sama Mbak Tutut, pengasihanmu apa to Wit? Ilmumu itu nyari dari mana? Diberi sama Mbah Ragil ya? Kamu bilang tinggal di Mèntèng itu hebat Wit? Tidak. Kamunya saja yang gèér. Buah mèntèng itu tampaknya saja manis. Tapi rasanya Wit? Asem kecut sekali. Maka kamu itu Suwito, kemana-mana menebar pesona lewat mobil sedan bagus, sedan BMW. Padahal aku tahu hatimu Wit. Aku tahu hatimu itu tetap asem Wit. Ya asem seperti buah mèntèng itu lo! Beda sama aku ini. Meski ke mana-mana cuma naik Mikrolèt, tapi kan hidupku ini manis. La wong aku tinggalnya di Kayumanis kok! Maka aku ini tidak perlu macam-macam seperti kamu itu. Sebenarnya kamu itu kan kurang pédé kan? Menghadapi ngalam donya ini kamu minder kan Suwito?”

“Aku tahu, sebenarnya kamu itu ingin menunjukkan kepada sanak sedulurmu, bahwa kamu itu dekat dengan para pejabat, dengan orang-orang hebat, maka tembok di rumahmu itu penuh dengan foto-foto kamu sedang bersalaman dengan orang-orang hebat tadi. Padahal Suwito, yang hebat ya tetap orang-orang tadi. Bukan kamu! Lalu yang paling sering nonton foto-fotomu itu cecak yang merayap-rayap di tembok itu. Apa lagi? Kamu itu kan kebangetan tenan to kurang pédénya. Itu badanmu itu harus dibalut pakai apa itu namanya jasmu itu? Armani? Diego Armani? Ya kalau di kampung kita di Jombang sana, kang Armani itu kerjanya ngojek sepeda motor. Lalu tanganmu itu mengapa harus diberi jam Rolex lapis emas? Mengapa tidak lapis legit saja to Suwito? Lapis legit kan manis? Kamu ini memang nyata sekali kurang pédé. Kamu itu dimana-mana sudah dipanggil mas, kok masih kurang percaya diri hingga tangannya diberi jam tangan emas. Gespermu itu gesper apa Wit? Gucci? Jadi sabukmu itu buatan Gucci di Tegal sana? Ya pantes saja bagus. Aku pernah diajak ke Gucci sama Mas Jalal. Itu kan tempat yang bagus. Ada pemandian air panas, ada hotelnya, udaranya dingin lo Wit. Sepatumu itu apa Wit?  BalSBardolinof Bally? Lho, Bali kok nulisnya begitu to Wit? Bali itu ya B – a – l – i. Nulis Bali kok Bally, supaya tampak gagah begitu ya? Berarti kamu ini sebenarnya belum gagah. Maka tiap hari badanmu harus digagah-gagahkan.”

“Kamu itu HPnya merek apa itu? Blèk Bèri? Blèk itu kan kaleng wadah biskuit? Kalau beri-beri ya penyakit! Untuk apa? Fisbuk? Apa itu? Aku bingung Wit. Kamu itu deket-deket presiden, deket-deket mentri, deket-deket sultan, kok mainannya blèk wadah biskuit. Walah, jebul bisa untuk motret to HPmu itu? Mbok ya aku ini dipotret to Wit. Dikirim ke mana? Milis? Fisbuk? Masuk internet? Emoh aku! Kalau masuk tivi aku mau. Masuk hotel di Gucci sana ya seneng. Masuk hotel itu namanya cek-in to Wit? Dulu, aku pernah diajak cek-in oleh Oom Wondo. Dulu sekali. Lalu pulangnya aku dikasih uang, tapi ibu aku malah marah-marah. Tetapi kalau kamu yang ngajak cek-in aku emoh. Wong kamu itu selalu kurang pédé kok. Tapi aku ini heran. Orang-orang gedé itu kalau kamu datangi kok terus rontok dompetnya. Apa kamu ini pernah belajar ilmu gendam to Wit? Kalau pengasihan itu bukan untuk begituan itu lo. Kayaknya kalau pengasihan itu untuk demenan. Kalau anak-anak sekarang bilangnya selingkuh.”

“Suwito, Suwito! Pekerjaanmu itu apa sih? Kalau aku ditanya orang-orang kampung di Jombang sana, Nduk-Nduk, Suwito itu kerjanya apa to? Aku kan bingung Wit. Apa coba? Pekerjaan itu kan guru, camat, dokter, polisi, tentara, tukang batu, bakulan, tani, lha kamu ini apa? Aku hanya melihat kamu itu pakai setelen bagus, sepatu bagus, dasi bagus, jam bagus, mobil bagus, ketemu orang-orang penting, lalu kamu terima duit. Lha kok enak tenan to yo? Kamu itu makelaran tanah, atau dukun to Wit? Kok kadang-kadang kamu datangi tempat-tempat angker, lalu kamu nginap di sana. Apa? Kamu itu dukunnya para calon presiden? Dukun itu kan gondrong, brewokan, kumisan, jenggotnya panjang, baju dan celananya komprang hitam-hitam, kepalanya pakai udeng. La kamu ini? Klimis begitu kok bilangnya dukun. Jangan-jangan kamu itu tukang hipnotis? Itu Yu Giyem itu katanya pernah disenggol orang di Senen, lalu dia tidak sadar, dan semua barang yang diminta orang itu, dia berikan begitu saja. Malah dia itu diajak ke ATM untuk ngambil duit ya manut saja.”

“Jangan-jangan pekerjaanmu itu menghipnotis orang-orang kaya itu, lalu mereka tidak sadar, dan apa saja yang kamu minta akan dia berikan begitu saja. Ati-ati lo Suwito. Nanti kalau sedang apes, kamu akan ditangkap polisi, diborgol lalu disuruh tidur di Cipinang sana. Aku itu sebenarnya sudah lama agak curiga sama kamu. Maka kalau teman-teman, dan sanak famili dari Jombang semua menempel ketat ke jasmu itu, aku emoh. Aku harus menjaga jarak. Padahal aku ini masih sepupumu kan? Aku juga malas ketemu kamu, karena kamu itu bukan hanya asem di dalam hati, tetapi juga asem kalau ketemu aku. Mosok di depan orang banyak kamu bilang: Ini Mbakyu siapa ya? Juga dari Jombang? Sepupuku? Mbakyu Nur Hasanah? Anaknya Pak Dé Hamdan dan Budé Prapti? Prèk! Kamu boleh saja menghina aku, pura-pura lupa, pura-pura tidak kenal. Tetapi kamu akan kualat kalau sampai menghina bapakku dan ibuku. Yang ngongkosi sekolah kamu itu siapa to Suwito? Kan Pakdému Hamdan dan Budé Praptimu itu to?”

“Jakarta ini memang seperti mesin cuci super canggih, dengan deterjen super hebat. Baju-baju murah yang dimasukkan kesana akan segera luntur warnanya, dan kelihatan warna aslinya yang belang-belang. Baju-baju putih yang ikut masuk ke sana juga akan ikut kena lunturan warna, dan juga ikut menjadi belang-belang. Kecuali baju mahal yang dicelup daun tarum biru dan kulit soga coklat, hingga jadi hitam. Dicuci pakai apa saja ya tetap hitam. Kena lunturan warna apa saja ya tetap hitam. Suwito, anak Jombang yang dulu colun, ngajinya katam, pemalu, kok sekarang jadi dukunnya para calon presiden. Jadi presiden kok pakai dukun. Dan dukunnya kok ya Suwito. Apa orang-orang itu tidak tahu kalau mereka diakali sama Suwito? Katanya mereka itu punya tim sukses? Ternyata yang sukses ya timnya itu, dengan Suwito. Kalau calon presidennya, yang akan sukses ya hanya satu. Kan tidak mungkin ada 10 calon, lalu semuanya jadi. La nanti dinding kantor akan penuh karena harus memasang10 gambar presiden, dan 10 gambar wakil presiden.”

* * *

“Yu Nur, Mbakyu Nur Hasanah, apa Mbakyu sudah pernah bisa ketemu Mas Suwito? Kata Bu Dé Prapti, rumah Yu Nur dan rumah Mas Suwito berdekatan? Tapi dekat-dekatnya Jakarta memang tetap sangat jauh ya Yu Nur? Yang aku dengar dari teman-teman, Mas Suwito itu sekarang hebat. Katanya dia itu dipercaya oleh Pak SBY, dipercaya Ibu Mega, dipercaya Pak Jusuf Kalla, dengan Gus Dur juga sangat dekat, terakhir yang saya dengar, sekarang Mas Suwito juga menjadi tim suksesnya Sultan ya? Wah, pasti sudah kaya sekali sekarang Mas Suwito itu. Tetapi kata Bu De Prapti, Mas Suwito tidak pernah menengok Jombang. Apa Mbakyu sering pulang ke Jombang? Kalau aku sendiri kan sudah lebih dari lima tahun ini tidak pernah bisa pulang. Pesawat Abu Dhabi-Jakarta-Surabaya kan mahal sekali to Mbakyu? Lebih baik duit itu aku kirim saja, bisa untuk macam-macam, sisanya ditabung. Mbakyu ini belum juga niat nyari pasangan to? Wah, memang kalau sudah biasa hidup sendiri, nyari pasangan itu akhirnya juga malas ya Mbakyu? Apa Mbakyu tidak ingin ikut ke Emirat, atau ke Qatar? Di sini nyari uang gampang lo Mbakyu. Orang Jombang juga banyak.”

“Mas Suwito itu sekarang kerjanya apa to Mbakyu, kok bisa sehebat itu? Seminggu yang lalu Kadir kan pulang ke Jombang karena haul kakeknya. Di Jakarta dia mampir ke rumah Mas Suwito. Kata Kadir, Mas Suwito itu tidak punya kantor, juga tidak kerja apa-apa. Tetapi sekarang penampilannya luar biasa. Jasnya bagus, jamnya bagus. sepatunya bagus, gespernya bagus, mobilnya saja BMW kok. Lalu itu lo Mbakyu, di rumahnya itu, dipasang foto-fotonya dengan Pak SBY, dengan Gus Dur, dengan Bu Mega, dengan Sultan, dengan Pak Amien Rais, dengan Pak Jusuf Kalla. Kadir sampai tidak bisa berkata apa-apa ketika melihat foto-foto itu. Rumah Mas Suwito itu juga bagus sekali, dan di Mèntèng lo Mbakyu. Katanya rumah Mas Suwito itu tidak jauh dari rumahnya Pak Harto di Jalan Cendana. Wah, saya sebagai Arek Jombang benar-benar ikut bangga dengan prestasi Mas Suwito ini. Yang Kadir benar-benar terkesan, katanya Mas Suwito bilang begini: Dir, yang bisa menjadikan mereka itu presiden, ya hanya saya. Saya tinggal pilih, siapa yang paling baik untuk rakyat. Itu yang akan saya jadikan presiden!”

“Katanya, Kadir juga bilang, lo Mas, yang bisa menjadikan mereka presiden kan rakyat to Mas? Kalau rakyat masih memilih Pak SBY, ya pak SBY yang jadi presiden. Kalau rakyat memilih Bu Mega, ya Bu Mega yang jadi presiden. Katanya Mas Suwito lalu mengambil Kulit Kebo Landoh, sebesar dompet, lalu Kadir disuruh mengantonginya. Mas Suwito menyuruh anak buahnya mengambil golok, dan membacok Kadir berkali-kali. Kadir ketakutan, tetapi herannya Mbakyu, Kadir tidak luka sedikitpun. Lalu Kadir diajak ke kamar, di sana ada lemari besi. Ketika lemari besi itu dibuka, didalamnya ada gombal lusuh dan keris gerang. Kadir, kata Mas Suwito, ini Kutang Onto Kusuma, dan ini Keris Kiai Joko Piturun. Kutang Onto Kusumo adanya di Mesjid Demak, dan Keris Kiai Joko Piturun di Keraton Kasultanan Yogyakarta. Kok Bisa ada di sini Dir? Ya karena aku sudah ditunjuk oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, untuk memegang agemannya ini, dan juga diperintah oleh Pangeran Hario Mangkubumi untuk dititipi keris ini.”

“Kadir ya tambah heran to Mbakyu. Dia bertanya, kok terus Mas Suwito bisa menjadikan mereka itu presiden, to Mas? Kata Mas Suwito, lha ini Dir, Kutang dan Keris inilah salah satu sarat untuk memerintah Indonesia. Kutang dan keris ini yang punya kan saya. Yang di Mesjid Demak dan di Keraton Yogya itu hanya duplikatnya. Kalau duplikatnya sih banyak, dan mereka yang punya duplikatnya selalu mengatakan bahwa miliknya itu asli. Saya lain Dir. Saya bisa membuktikan bahwa ini asli. Lalu Mbakyu, Kadir diberi keris yang katanya akan selalu melindunginya dari ancaman mara bahaya. Untuk sipat kandel, katanya. Kadir senang sekali. Jadi Mas Suwito itu benar-benar hebat ya Mbakyu? Saya juga baru tahu sekarang ini. Yang bisa membuat seseorang menjadi presiden, ternyata orang Jombang. Minggu lalu Kadir langsung mengumpulkan teman-teman dari Indonesia untuk makan-makan, sambil mendengarkan cerita tentang kehebatan Mas Suwito. Kata Kadir, dia sudah mantap untuk menyerahkan kembali Kiai Joko Piturun, dengan tambahan Kutang Onto Kusuma, kepada Sultan Jogja. Artinya, Mas Suwito sudah mantap ingin menjadikan Sultan sebagai Presiden 2009 – 2014.”

“Tapi Mbakyu Nurhasanah, aku juga heran dengan Kadir itu. Setelah acara makan-makan itu, ia mengedarkan lis, agar orang-orang yang hadir itu menyumbang. Ya ada yang menyumbang satu juta, dua juta, tiga juta, ada pula yang lima juta, malah katanya kemarin itu bossnya Mas Marwoto menyumbang 20 juta. Aku menegur Kadir, katanya Mas Suwito itu kaya Dir, kok minta sumbangan? Kata Kadir, ini bukan untuk Mas Suwito, tetapi untuk Tim Suksesnya Sultan. Aku juga balik tanya ke Kadir. Sultan yang membentuk Tim Sukses, kok kita-kita disuruh menyumbang? Kadir marah lo Mbakyu. Katanya, Din, kalau kamu keberatan nyumbang ya tidak usah nyumbang, tetapi jangan mengaruhi yang lain-lain. Saya ya lalu diam saja to Mbakyu. Sejak itu saya mulai agak curiga dengan Kadir. Wong sekarang itu sedikit-sedikit menerima telepon dari Mas Suwito. Sebentar-sebentar ia SMS ke Mas Suwito. Dan Mbakyu, kalau ada telepon dari Mas Suwito, Kadir itu tampak senang sekali lo Mbakyu.”

“Maka Mbakyu, aku telepon Mbakyu ini, pertama-tama ya ingin bersilaturahmi dengan Mbakyu, karena adikmu Si Nurdin ini, juga kangen sama Mbakyu Nur Hasanah. Tapi Mbakyu, yang juga tidak kalah pentingnya, aku ini ingin mendengar kabar tentang Mas Suwito itu lo. Kadir memang juga ngasih nomor teleponnya Mas Suwito. Ya telepon rumahnya, ya telepon HPnya, alamat emailnya, email itu yang di internet itu lo Mbakyu, yang di komputer itu. Padahal aku ini kan tidak pernah internetan. Aku juga males untuk menelepon Mas Suwito langsung. Selain itu juga takut. Kalau tiba-tiba dia bilang, Din, kamu membantu aku jadi Tim Suksesnya Sultan di Emirat ya? Aku kan sulit untuk menolaknya to Mbak. Tim Sukses itu ternyata kerjanya harus minta-minta uang. Lha Kadir itu buktinya. Ngajak orang makan-makan, jebulé terus minta duit. Selama ini aku memang sehat-sehat saja Mbakyu. Saya sudah menabung cukup, dan tahun ini Mbakyu, pas lebaran nanti, aku mau ke Jombang. Aku pasti akan mampir ke Jakarta, dan menemui Mbakyu.”

* * *

Sore itu Nur Hasanah sangat capek. Pagi dia di Pasar Jatinegara, siangnya ke Pasar Induk Cipinang, kembali lagi ke Jatinegara, lalu ke bank. Memang ada dua orang yang membantunya di Jatinegara, dan Bu Joyo sudah berkali-kali menegurnya. “Genduk, Mbok ya sudah to, kamu itu tidak usah ikut jualan. Kamu tinggal di sini saja menemani aku dan Pak Dému. Ya kalau mau ke Jatinegara cukup datang saja sebentar, seperti kalau kamu ke Cipinang itu lo. Di Jatinegara itu, Surtinah kan sudah bisa dipercaya, tinggal nambah orang satu lagi. Di Cipinang itu, Ngatiman kan juga bisa jalan bagus. Tapi kamu ini memang demen nyusahin badan. Kontrak di Kayumanis itu memang enak, kalau ke Jatinegara dekat, ke Cipinang juga tidak jauh. Tetapi rak yo enak di sini to Nduk.” Tinggal di Kayumanis bagi Nur Hasanah memang jelas lebih enak, meskipun sendirian.  “Di Pasar Minggu itu juga ada dua pembantu kok. Bu Joyo itu memang ada-ada saja. Omset di Jatinegara kan juga masih kecil kalau harus nambah orang.”

Sore itu Nur Hasanah ingin menikmati kesendiriannya, dengan menonton tivi, sambil makan ayam goreng Si Kabayan yang dibelinya di sebelah jembatan rel di pinggir kali Jatinegara. Tetapi HPnya memanggil. “Ya Ibu. Sudah di rumah. Memang sampai agak malam, tadi ke bank juga, lalu balik lagi ke Jatinegara, lalu beli ayam goreng. Ini baru mau makan. Sudah sih Ibu, sudah mandi. Ada apa Ibu? Suwito ke Pasar Minggu? Minta duit ya Ibu? Malah mau ngasih duit? Untuk apa? Buka selepan di Jombang? Wong dia saja sudah tahunan tidak pernah ke Jombang kok. Saya dimintanya ke Menteng? Tidak Ibu, kalau Suwito yang perlu saya, ya suruh saja dia datang ke Jatinegara. Ya ke pasar. Kalau dia ngajak makan atau apa, ya kasihan Surtinah dan Pardi. Aku ini kan cari duit Ibu. Sudahlah Ibu, Ibu tenang saja, lalu hati-hati dengan Suwito ya Ibu. Salam untuk Bapak, selamat malam. Kurangajar itu Suwito. Dia itu siapa kok nyuruh-nyuruh aku datang ke Menteng? Memangnya aku ini anak buahnya?” Nur Hasanah lalu menghubungi Mas Suwito.

“Suwito, ini Mbak Nur. Kamu tadi ke Pasar Minggu? Ada apa? Selepan? Tidak. Kalau kamu mau buka selepan urus saja sendiri, cari orang sendiri. Pak Joyo dan Bu Joyo tidak perlu uang. Aku juga tidak perlu uang. Kalau kamu kelebihan uang, ya ditaruh saja di bank. Kalau mau usaha selepan ya diurus sendiri. Enak saja nyuruh-nyuruh orang. Mbantu orang miskin? Ya dibantu saja! Pak Joyo, Bu Joyo, dan saya kan bukan pengurus orang miskin! Tadi kamu juga pesan ke Bu Joyo minta aku ke Menteng? Ke rumahmu maksudnya? Suwito, kalau kamu yang perlu sama aku, ya datang ke Jatinegara. Bukan aku yang sowan ke rumahmu. Urusan apa? Aku tidak ada urusan dengan para calon presiden. Mau SBY, mau Mega, Sultan, Jusuf Kalla, Mbak Nur ini tidak kenal mereka, juga tidak ada urusan dengan mereka. Ya terserah. Yang perlu rakyat itu mereka. Kalau rakyat tidak milih mereka, ya tidak ada yang jadi. Yang akan jadi presiden kan cuma satu Suwito, bukan lima-limanya akan jadi presiden semua. Mereka yang perlu nasi, perlu beras, dan yang jualan beras itu aku, dan teman-teman pedagang semua. Kami ini yang bayar retribusi, kami tidak perlu para calon itu. Diancuk kamu itu Wito! Aku ini pedagang beras, urusannya cari untung. Dagang beras tidak ada urusan dengan perjuangan, dengan Pemilu. Orang-orang yang ngurus pemilu itu yang justru perlu aku. Mereka perlu nasi, mereka perlu beras! Sudah, aku mau makan, perut aku laper.”

Ayam goreng Kabayan itu, kata Bu Joyo, dulunya di depan Bioskup Jaya. “Di mana to Ibu Bioskup Jaya itu? O, yang sekarang jadi gedung itu ya?” Lalu kata Bu Joyo, dari sana digusur ke bunderan jalan Slamet Riyadi, lalu digusur lagi ke trotoar Slamet Riyadi yang sempit, lalu dikembalikan lagi ke bunderan, lalu pindah ke dekat jembatan rel, dan yang di bunderan juga tetap buka. Kata Bu Joyo, dulu dia dengan Pak Joyo langganan makan sejak masih di depan Bioskup Jaya. Di sana juga ada kios jamu, sekalian Bu Joyo minum jamu di sana. “Wah Genduk, dulu ramai sekali lo. Kalau aku dan Pak Dému itu datang sekitar jam tujuh begitu, harus antré menunggu yang lain selesai makan. Sebab bangkunya sedikit, yang makan banyak. Bioskupnya juga ramai sekali. Waktu itu ke Pasar Minggu ya naik austin, naik oplet. Ke Gandaria, ke Senen, ke Kota, semua naik Austin. Ya waktu itu kamu belum lahir to Genduk. Aku lupa apa waktu itu Hamdan dan Prapti sudah nikah apa belum ya lupa.”

Sambil menyantap ayam goreng, tempe, sambel, lalapan, dan petai goreng, Nur Hasanah menatap layar tivi, sambil tangan kirinya memencet-mencet remote. SBY lagi diwawancarai presenter tivi, dia ganti chanel, Iklan Gerindra, dengan wajah Prabowo, dia ganti chanel lagi. Ada debat antara PDIP dan Golkar. Nur Hasanah lalu mematikan tivi. “Orang-orang ini sedang pada gélok semua. Tiap hari yang diurus caleg-caleg-caleg, lalu capres-capres-capres, dan ujung-ujungnya ya duit. Nyari duit dan nyebar duit kok gampang amat. Aku ini seharian nyiduki beras, ngangkat karung, nimbang, ngitung  pendapatan, kok ya tidak seperti mereka itu ya? Mending menikmati ayam goreng ini saja. Padahal ini ayam biasa, ayam negeri, bukan ayam kampung. Tetapi karena bumbunya bener, masaknya serius, rasanya jadi enak. Digusur-gusur terus, tetapi ya tetap saja bisa slamet sampai sekarang. Apa karena mereka jualan di Jalan Slamet Riyadi ya kok selalu slamet terus?”

Rumah kontrakan itu bukan rumah petak, dan sebenarnya cukup besar untuk ditempatinya sendiri. “Surtinah itu aku suruh nginep di sini saja supaya dekat Jatinegara, juga tidak mau. Malah milih ikut kakaknya di Bekasi. Ya sudah, aku bisa bebas malang-megung sendirian, bugil juga tidak apa-apa, wong tidak ada siapa-siapa. Ini HP bunyi lagi. Halo, o, Ibu nggih? Siapa? Suwito. Bilang kalau aku mau buka selepan di Jombang? Ibu seneng karena aku pulang kampung? Ngomongnya kapan Bu? Ya Si Suwito itu ngomongnya sama Ibu kapan? Kemarin? Tadi pagi dia ke Bu Joyo. Ya, dia nyuruh-nyuruh Bu Joyo buka selepan, aku yang ngurus. Barusan aku omelin dia. Ya memang Suwito itu diancuk! Mosok aku disuruh sowan ke rumahnya. Aku mau datang ke rumahnya itu ya suka-suka aku. Bukan karena dia yang nyuruh-nyuruh. Tidak Bu, aku sudah omeli dia. Aku bilang kalau kamu mau buka selepan ya buka saja sendiri tidak usah nyuruh-nyuruh orang. Ya dia masih mau ngomong macam-macam tapi aku bilang cukup sebab mau makan, lalu HP kumatikan.” * * *

Fragmen Novel Para Calon Presiden

 


Kaldera Tengger

$
0
0

Kaldera Tengger, lembah Lautan Pasir yang menganga luas dikitari tebing curam,  adalah mega amphiteater berkapasitas jutaan penonton. Bromo dan Batok adalah properti panggung, sunrise dan kabut adalah lighting penuh kejutan. “Tuan, hari ini kita akan melihat persiapan acara kita di Lautan Pasir, ya di Kaldera Tengger yang kemarin kita lihat dari Penanjakan itu, waktu melihat sunrise itu. Kita akan mengarungi Lautan Pasir dengan Jip, naik ke tebing Gunung Ider-ider, di batas bagian selatan Lautan Pasir, lalu turun ke Tumpang, dan kembali ke Resor ini lewat Nongkojajar. Hallo semua, apa kita sudah siap? Sudah ya? Mari Tuan.” Sehabis breakfast, sekitar pukul delapan, rombongan berangkat dari Bromo Cottage, menuju ke atas. “Kita akan melalui jalan kemarin itu Tuan. Kalau kemarin kita ke arah kiri, sekarang akan ke kanan, dan turun ke Lautan Pasir.” Rombongan itu menggunakan lima buah jip, satu Land Gruiser, satu CJ 7, satu Toyota Hardtop, dan dua Land Rover. Jesus naik Land Gruiser, yang berada di tengah. Di depan Hardtop dan CJ 7, di belakang ada dua Land Rover. Pelan-pelan, lima jip itu merayap menuruni tebing kaldera, menuju Lautan Pasir. Di depan, di arah selatan, berdiri dengan kokohnya Gunung Batok.

Di bawah, di Lautan Pasir itu, sudah terpasang beberapa tenda, beberapa jip diparkir, puluhan teknisi dan tenaga kerja sibuk memasang sound sistem, empat buah layar raksasa, panggung, kursi-kursi untuk VIP dan VVIP. Sebuah tenda induk berfungsi sebagai kantor sekaligus tempat menaruh perlengkapan panitia. Genset sengaja disembunyikan di sisi barat, dibalik Gunung Batok, hingga suaranya bisa sedikit teredam. Panggung itu dibangun setinggi dua meter menghadap ke Timur Laut, dengan latar belakang Gunung Batok. Letak panggung persis sebelum jalan dari arah Penanjakan itu pecah dua. Ke kiri langsung ke Puncak Bromo, lewat belakang Pura, yang lurus ke arah Cemoro Lawang. Layar besar pertama ditaruh persis di belakang panggung, di kaki Gunung Batok. Layar kedua dipasang di arah berlawanan, di tebing Gunung Penanjakan. Layar ketiga berada di Barat Laut, dekat jalan turun dari Penanjakan, dan layar keempat di tenggara, dekat jalan turun dari Cemoro Lawang. Semua persiapan itu dilaporkan panitia kepada Jesus Kristus. “Tuan akan datang dari arah ini tadi, kemudian istirahat di antara tamu VVIP, lalu naik ke panggung itu untuk berbicara. Pengunjung yang tidak bisa melihat Tuan secara langsung, bisa melihat melalui empat layar proyektor ini, yang di sana itu, ini yang di belakang kita dan yang di kiri, di arah sana. Acara ini akan disiarkan secara langsung oleh CNN ke seluruh dunia?”

Rombongan melanjutkan perjalanan memotong jalan melalui depan pura. “Ini seperti sebuah Sinagoga?” Jesus menunjuk ke arah Pura. “Bukan Sinagoga Tuan, itu Pura, tempat ibadat umat Hindu.” Mereka tidak menuju tangga Gunung Bromo, melainkan melintasi bagian tengah Lautan Pasir, ke sisi Timur Bromo, ke arah selatan menuju kaki Gunung Ider-ider. Di sini iring-iringan jip itu menanjak, memanjat tebing Gunung Ider-ider. Sesampai di puncak tebing, jalan sempit itu menurun bercabang dua. Jalan pertama menurun menuju kampung Ngadas. Jalan kedua naik menyusuri gigir tebing ke arah timur, lalu turun ke Ranu Pane. Di salah satu gigir Gunung Ider-ider ini, rombongan berhenti. Bromo dengan ketinggian 2.392 m dpl, adalah puncak paling pendek di seluruh kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, seluas 50.276,3 hektar, yang berada di empat kabupaten: Pasuruan, Malang, Lumajang dan Probolinggo. Puncak paling tinggi Gunung Penanjakan, 2.770 m dpl. Nomor dua Gunung Widodaren, 2.614 m dpl, kemudian Gunung Ider-ider 2.527 m dpl, Gunung Mungal 2.480 m dpl, kemudian Gunung Batok 2.440 m dpl.

Cuaca pagi itu sangat cerah, hingga di selatan sana, tampak hutan berbukit-bukit, dusun Ranu Pane, dan di latar belakang menjulang Gunung Semeru setinggi 3.676 m dpl.
Secara periodik setiap sekitar 10 sampai 15 menit, dari puncak Semeru itu menyembul asap putih keabu-abuan, yang membubung ke angkasa dan tak lama kemudian diseret ke arah berhembusnya angin. Dari arah bawah ada dua buah jip dari Tumpang yang dicarter  para pendaki Gunung Semeru.  Mereka harus melalui rute ini, untuk menuju Ranu Pane. Selain dari Tumpang, Ranu Pane juga bisa dijangkau dari Desa Senduro, Lumajang, yang terletak disisi timur Semeru. Ranu Pane adalah kampung yang terletak di tengah-tengah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Di sini ada dua danau kecil (ranu), yakni Ranu Pane di sebelah tenggara kampung Ranu Pane, dan Ranu Regulo di sebelah timur Ranu Pane. Di selatan Ranu Pane, dibalik jajaran bukit berhutan lebat, ada danau Ranu Kumbolo yang lebih besar. Di Ranu Kumbolo inilah biasanya para pendaki Semeru bermalam, sebelum melanjutkan perjalanan lewat Tanjakan Cinta ke Kali Mati dan Arcopodo.

Meskipun matahari sudah bersinar cukup terik, tetapi udara di gigir bukit yang merupakan kaki Gunung Ider-ider ini tetap sejuk. Paling tinggi, suhu udara siang hari di Dataran Tinggi Tengger, hanya sekitar 20° C. Sementara suhu malam hari, terutama menjelang pagi, rata-rata sekitar 3° C. Ketika cuaca cerah, tidak ada angin, pada dini hari bulan-bulan Agustus, dan September, suhu udara bisa turun sampai di bawah 0° C. Ketika itulah akan turun frost, kabut es, yang oleh masyarakat setempat disebut embun upas. “Selamat pagi, Bapak-bapak ini juga mau naik?” tanya anak-anak muda itu. “Selamat pagi, kami akan ke Tumpang. Kami dari Bromo.” Dua jip itu terseok-seok menyisir gigir bukit, di ujung timur, mereka berbelok menuruni lereng selatan gunung Ider-ider. Setelah melihat-lihat Lautan Pasir dan Bromo di utara, serta Ranu Pane dan  Semeru di selatan, rombongan itu turun dari ke arah Tumpang, belok kanan ke Nongkojajar, dan naik lagi menuju Penanjakan, lalu turun ke Bromo Cottage. Makan siang sudah disiapkan.

Syahdan, orang pun mulai berdatangan ke Tengger. Hotel-hotel di Malang, Pasuruan, Probolinggo, Lawang, Pandaan, Tretes, Batu, dan terutama di Tosari, Sukapura, Ngadisari, dan Cemoro Lawang, semua sudah dipenuhi tamu. Warung tiban bermunculan di Lautan Pasir. Anak-anak muda pecinta alam memasang tenda di lokasi-lokasi yang sudah ditentukan panitia. Wartawan dalam dan luar negeri standby. Tetapi ijin dari Kapolri tetap masih belum turun. “Bagaimana kalau sampai detik terakhir ijin belum juga turun? Sebab Mabes Polri mengatakan, ijin akan keluar, kalau ada rekomendasi dari KWI. Sementara sampai sekarang, KWI tidak pernah menjawab, ajuan permintaan rekomendasi dari panitia.” Ketua Panitia lalu menghubungi Jesus Kristus yang sedang ngobrol dengan wartawan Majalah Hidup. “Tuan, maaf mengganggu, sampai sekarang ijin dari Kapolri masih tetap belum turun.” Jesus mendehem, lalu menjawab. “Apakah Putera Allah yang ingin menyapa manusia, memerlukan ijin dari manusia ciptaannya sendiri? Jalan terus saja, tidak akan ada apa-apa.”

* * *

Rapat Koordinasi Bidang Polkam memutuskan, bahwa acara yang diselenggarakan oleh PT Garuda Perkasa Entertainment di Kawasan Taman Nasional Tengger, Jawa Timur adalah illegal. Aparat keamanan segera akan memanggil penanggungjawab acara tersebut. Menteri Dalam Negeri telah menegur Gubernur Jatim, yang dinilainya lalai dan membiarkan acara ini terpublikasikan ke seluruh dunia. Sebaliknya, Bupati Kabupaten Malang, Walikota Malang, Bupati Pasuruan, dan Probolinggo, menolak untuk menghentikan aktivitas ini. Bagi mereka, acara ini akan mendatangkan pemasukan yang lumayan di tengah krisis ekonomi berkepanjangan. Sebab orang akan berduyun-duyun mendatangi kawasan Tengger. “Biar saja menteri dan gubernur melarang. Bupatinya kan saya. Silakan dipecat kalau bisa. Saya menjadi bupati bukan ditunjuk menteri dan gubernur, melainkan dipilih rakyat. Yang bisa memecat saya rakyat, bukan menteri dan gubernur. Ya kan rekan-rekan? Sekarang sudah bukan jamannya lagi sedikit-sedikit dilarang, sedikit-sedikit diarahkan. Emangnya kita-kita ini kuda yang harus dikendalikan oleh Jakarta dan Surabaya?”

Menteri Hukum dan HAM segera memanggil Direktur Jenderal Imigrasi. “Manusia yang menyatakan dirinya sebagai Jesus Kristus ini sebenarnya siapa? Paspornya paspor mana? Kerajaan Jordania? Jadi memang benar namanya Jesus Kristus? O, cuma Jesus doang? Jesus Binti Jusuf? Lho, kalau di Quran kan Isa Binti Maryam. Lalu visanya dari Kedubes kita di Amman? Berarti dia masuk Indonesia secara legal. Tujuan kedatangannya? Untuk entertainment? Ya legal berarti. Secara hukum kita tidak bisa menangkap dia dan mendeportasikannya, sebab Jordania adalah negara sahabat. Kok dia bisa mendapat paspor Jordania ya? Coba kamu kontak pemerintah Jordania, paspor ini dikeluarkannya kapan, dan orang ini lahirnya kapan dan dimana? Sudah kamu hubungi? Jadi paspor baru ya? Lahirnya tanggal 25 Desember tahun 0001, di Bethlehem? Gila kamu itu? Mana ada orang lahir tahun 0001 sekarang masih hidup? Tapi ya sudahlah, berarti kita sudah kecolongan. Kalau sudah begini ini, kita-kita juga kan yang akan menanggung akibatnya? Kita yang akan repot. Sudah, sekarang saya harus lapor Presiden.”

Menteri Kehutanan juga memanggil Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. “Anda ini bagaimana? Ada Taman Nasional kita diacak-acak orang kok diam saja. Tidak lapor ke saya. Sebenarnya Anda ini masih mau jadi Dirjen, atau sudah mau dipensiunkan? Ini kalau sudah sampai menjadi konsumsi pers seperti ini, kita kan repot meredamnya. Itu kalau ada jutaan orang masuk Taman Nasional, masalah sampah bagaimana? Belum lagi masalah orang kencing dan berak? Anda itu katanya Doktor Kehutanan dari British Columbia, kok soal-soal seperti ini bisa sampai tidak tahu itu bagaimana? Ini barusan saya disemprot Presiden, sebentar lagi pasti akan dipanggil DPR. Anda tahu kan, kalau Pak SBY itu sedang mengupayakan agar citranya di masyarakat semakin membaik. Kok upaya yang sudah dibangun susah payah oleh Tim Sukses Beliau, Anda rusak sedemikian mudahnya. Ini UNEP, dan WWF, pasti akan segera melayangkan surat protes mereka. Yang saya takutkan, Greenpeace akan segera datang ke Jakarta dan menggelar demo di depan Istana. Kalau ini sampai terjadi, habislah kita.”

“Sudah Pak?”  Menteri Kehutanan itu tambah meluap amarahnya. “Apanya yang sudah? Aku ini sejenak berhenti ngomong, karena haus dan mau meneguk air putih ini. Kok Anda berani-beraninya menyela! Aku ini menteri tahu? Tidak usah pakai membela diri, tidak usah mencari-cari dalih untuk menyelamatkan diri, sebab nasib Anda sudah jelas. Aku akan rekomendasikan ke Presiden, agar Anda diganti oleh mereka yang kapabel. Ternyata S3 Kehutanan dari Kanada tidak menjamin kualitas kinerjanya.  Mending aku ini yang hanya S1 dari Kehutanan UGM, tapi bisa jadi menteri. Harus bagaimana lagi aku ngomong ke Pak Presiden ini nanti. Atau Anda sekalian ikut saja ke Istana sore ini nanti, biar disiapkan sekalian SK Pemberhentian Saudara! Saya malu sekarang ini. Malu! Di mana-mana ketemu orang yang ditanya soal Tengger. Ketemu orang yang ditanya soal Tengger. Aku sampai bilang begini: Memangnya aku ini Lurah Tengger apa kok kalian enak saja tanya-tanya soal Tengger? Apalagi para wartawan itu! Yang diuber-uber ya amplop, amplop, dan amplop, lalu kalau tidak kita siapkan, aku yang akan diperasnya!”

“Sudah Pak? Maksud saya, sekarang saya sudah boleh berbicara? Panitia, dan PT Garuda Perkasa Entartainment, sudah sejak jauh hari mendapat ijin resmi penggunaan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, untuk kegiatan ini. Ini Pak kopi ijinnya, yang tanda tangan juga Bapak sendiri. Sesuai dengan kesepakatan, pihak panitia juga sudah setor ke KBN sebesar empat èm. Sebenarnya panitia memang sudah menganggarkan sepuluh èm, tetapi yang enam èm, katanya untuk Tim Suksesnya Pak SBY. Saya tidak tahu Tim Sukses yang mana, dan yang saya takutkan, jangan-jangan Pak SBY sendiri juga tidak tahu hal ini. Wong Bapak saja juga tidak tahu kok. Saya juga baru tahu kemarin setelah marah-marah ke Kepala Taman Nasional. Jadi ini legal formal, dan ada dukungan politis, terutama dari Partai Demokrat. Lalu tentang lingkungan Pak, panitia sudah menyediakan ratusan mobil toilet, dan ribuan tempat sampah portable. Yang Pak Menteri juga perlu tahu, Pemkab Pasuruan, Probolinggo, dan Malang, telah menargetkan retribusi langsung masing-masing paling sedikit dua èm. Belum lagi pemasukan dari tax and service hotel serta restoran. Taman Nasional juga menargetkan pendapatan dari tiket masuk, tetapi nilainya tidak sampai èm.”

“Yang saya dengar Pak, ijin dari Kapolri sampai sekarang justru belum turun. Ya biasalah Pak, kalau dari sana biasanya baru akan beres pada detik-detik terakhir. Ini hajatan besar Pak. Jadi saya memang ekstra hati-hati. Di tingkat pelaksanaan, Kepala Taman Nasional, sudah berkoordinasi dengan empat kabupaten sekaligus: Pasuruan, Probolinggo, Malang, dan Lumajang. Sebab diduga akan ada massa yang masuk melalui Senduro ke Ranu Pane dan Gunung Ider-ider. Pemerintah Kabupaten juga sudah mengerahkan aparat kepolisian. Mereka yang akan masuk ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger diperiksa ketat. Untunglah Pak, panitia telah berbaik hati mendatangkan metal detector, hingga aparat kepolisian dan taman nasional, agak diringankan kerjanya. Selain tidak boleh membawa senjata api dan senjata tajam, pengunjung juga dilarang membawa minuman keras. Sebenarnya ini memang sudah standar sehari-hari kami, hanya sekarang ini pemeriksaannya lebih ketat lagi. Jadi sekali lagi, saya mohon Bapak masih tetap bisa mempercayai kami-kami yang di lapangan ini.”

* * *

“Saya selaku Sekretaris Jenderal Konferensi Waligereja Indonesia, menyatakan, bahwa KWI sama sekali tidak berurusan dengan Acara Penampilan Jesus Kristus di Tengger. Sesuai dengan hasil rapat Presidium yang lalu, sikap KWI sudah sangat jelas, yakni, Jesus Kristus sebagai Putera Allah, hanya bisa ditemukan dalam perayaan Ekaristi, bukan dalam diri orang yang menamakan dirinya sebagai Jesus Kristus, dan akan tampil di Tengger. Maka, dalam hal ini KWI juga menghimbau kepada seluruh umat Katolik di Indonesia, bahkan juga umat Katolik di negara-negara lain, untuk tidak datang ke Tengger. Kebijakan ini juga sudah dilaporkan ke Bapa Suci di Vatikan, dan diteruskan ke para uskup di seluruh Indonesia. Namun demikian, KWI juga tidak bisa melarang, apabila ada keuskupan yang tidak melarang umatnya untuk datang ke Tengger. Sebab 37 keuskupan di Indonesia, untuk hal-hal yang tidak secara langsung menyangkut hukum gereja, bisa membuat kebijakan masing-masing, tanpa harus berkonsultasi dengan keuskupan lain, maupun KWI. Dalam waktu dekat ini, Sekretariat Jenderal KWI,  juga akan berkoordinasi dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, menyangkut permasalahan umat Kristiani belakangan ini.”

“Begini ya rekan-rekan wartawan, terutama Wartawan Hidup itu ya? Kalian ini tidak usah meributkan kebijakan saya selaku Uskup Surabaya, dengan kebijakan keuskupan lain, bahkan dengan kebijakan KWI. Anda sebagai wartawan harus cermat. KWI tidak pernah melarang umat Katolik untuk datang ke Tengger. Sebab KWI memang tidak punya kewenangan untuk itu. KWI hanya menghimbau. Yang dilarang adalah menyembah Kristus yang tidak sesuai dengan hukum gereja. Itu yang tidak boleh. Dalam hal yang satu ini, saya juga bersikap sama dengan KWI. Juga uskup-uskup lain. Orang-orang Katolik yang datang ke Tengger itu kan hanya sekadar ingin tahu. Apa benar yang hadir di sana itu Jesus. Kan boleh saja orang ingin tahu? Kecuali, kalau orang yang menamakan dirinya Jesus ini, kemudian mempersembahkan misa di sana, lalu umat Katolik mengikutinya, kemudian menerima Sakremen Ekaristi, nah, ini yang tidak boleh. Sebab begini ya saudara-saudara, sekarang ini kan siapa saja bisa menamakan dirinya Jesus, lalu dengan teknologi modern membuat keajaiban-keajaiban, membuat mukjizat. Kalau sudah demikian, bisa kacau kan?”

“Ya saya ini memang Kardinal Indonesia. Tetapi jangan kalian ini, para wartawan, memaksa-maksa saya untuk mengatakan, apakah yang sekarang berada di Tengger itu benar Jesus Kristus atau bukan. Saya kan di Jakarta, dan memang tidak akan datang ke Tengger, takut berdesak-desakan, terinjak-injak. Kan saya sudah tua? Jadi saya tidak tahu apa itu benar Jesus Kristus atau bukan. Teman-teman kalian kan sudah ke sana? Tanya dong sama yang sudah kesana itu. Memang saya adalah Kardinal, pembantu Bapa Suci, tetapi setiap harinya tidak ada tugas rutin khusus selaku Kardinal. Tugas rutin saya ya sebagai uskup agung. Saya jelas tidak akan menganjurkan umat saya untuk ramai-ramai datang ke Tengger, tetapi sebaliknya kalau ada yang mau ke sana juga tidak akan saya larang. Kalau para imam di keuskupan saya ini akan datang ke sana, terutama imam projonya, ya akan saya tanya dulu. Kamu itu sedang mengajukan cuti lalu mau piknik, atau mau apa ke Tengger sana? Dan saya yakin, imam-imam saya tidak akan ada yang seperti itu. Yang bukan imam projo masih punya atasan masing-masing, yang tentu akan mengambil kebijakan yang sama.”

“Sebagai pengelola Majalah Katolik, kita mutlak harus mengirim wartawan ke sana. Kita mengirim wartawan ke sana, itu tidak ada kaitannya dengan percaya atau tidak percaya, juga tidak bertentangan dengan himbauan KWI. KWI itu menghimbau, agar umat Katolik tidak berduyun-duyun datang ke Tengger, sebab kalau lima juta umat Katolik itu semuanya datang ke Tengger, gereja akan kosong, kolekte tidak masuk. Jadi himbauan KWI ini sudah jelas. Karena sebagian besar umat tidak akan datang ke Tengger, maka kita wajib untuk meliputnya. Memang, masyarakat Katolik pasti sudah mendapat berita dari televisi, koran, majalah umum, bahkan juga internet dan SMS. Maka, hasil liputan kalian kelasnya juga jangan kelas SMS. Kalian wajib untuk memberi pencerahan kepada pembaca. Pertanyaan pokok mereka adalah, ini benar Jesus asli, atau Jesus gadungan. Menjawab pertanyaan ini pasti tidak mudah. Mukjizat ketika jumpa pers kemarin, belum menjawab pertanyaan tersebut. Maka yang perlu kalian lakukan, sebenarnya sederhana sekali.”

“Coba kalian dekati Romo Sujatmiko, atau roomboy Bromo Cottage. Minta ke mereka, agar bisa memperoleh sample rambut orang itu. Nanti kita tes DNAnya. Memang tes DNA mahal, tetapi kalau hal ini bisa kita lakukan, majalah kita akan unggul dibanding tivi sekalipun, yang beritanya hanya berita ècèk-ècèk gaya infotainment. Coba kalian lihat tayangan tivi apa kemarin itu?  Pertanyaannya kan ngawur sekali: Bagaimana sebenarnya hubungan Anda dengan Maria Magdalena? Apakah Anda pernah sempat menikah? Itu kan khas infotainment. Pertanyaan mereka sungguh tidak bermutu. Tetapi saya senang. Sebab dengan demikian, ada peluang bagi Anda semua untuk tampil. Kalau hasil kerja kalian hebat, maka majalah kita ini akan menjadi rujukan media sedunia. Apa kalian tidak bangga kalau hal ini bisa terjadi? Kalian akan diwawancarai CNN, Al Jazzera, New York Times,  Yumiuri Shimbun, dan lain-lain. Kalian bukan lagi sekadar wartawan, melainkan sudah sebagai nara sumber. Ini peluang besar, yang kalian bisa memanfaatkannya, bisa pula melewatkannya.”

“Cecurut sebelas ke kadal empat, ya cecurut sebelas ke kadal empat ganti. Oke, cecurut sebelas akan melaporkan bahwa semut sudah mengerumuni sarang, ya sarang sudah penuh dengan semut ganti. Cecurut sebelas melaporkan bahwa tidak mungkin menghalau semut-semut ini, dengan cara apa pun tanpa membahayakan mereka ganti. Cecurut sebelas juga baru saja ketemu dengan tikus delapan, ya tikus delapan ganti. Benar, tikus delapan mengatakan bahwa keberadaan merpati sudah terdeteksi ganti. Menurut tikus delapan, merpati sulit diberi umpan ganti. Cecurut sebelas sekarang sedang di lokasi syuting, ya di lokasi syuting ganti. Tidak tahu, cecurut sebelas tidak tahu kalau tikus sepuluh sudah meluncur kemari ganti. Tadi selain tikus delapan, cecurut sebelas juga ketemu dengan tikus duapuluh ganti. Cecurut sebelas tetap masih kenyang, ya cecurut sebelas tetap masih kenyang ganti. Cecurut sebelas akan kontèk sepuluh menit lagi ganti. Ya sepuluh menit lagi ganti.”

Fragmen Novel Para Calon Presiden

 


Tim Sukses Mega

$
0
0

“Ibu Mega itu Puteri Bung Karno. Ibu Mega itu juga bisa belajar dari kesalahan masa lalu. Ibu Mega itu juga sudah kenyang teraniaya, terutama pada jaman Orde Baru.  Ibu Mega juga sudah biasa dikhianati, ditinggalkan oleh mereka yang pernah dibesarkannya. Ibu Mega juga tidak pernah berniat untuk membasmi hama kutu loncat. Tahu kan apa yang aku maksud? Sebab kita harus jujur, bahwa tahun 1999 juga banyak kutu loncat yang pindah dari Pohon Beringin, ke Tengkuk Banteng Gemuk. Memang Ibu Mega juga banyak cacatnya. Beliau sangat menyadari hal itu. Memang tidak ada manusia yang sempurna. Beliau juga banyak sekali menghadapi ancaman. Tetapi beliau juga punya kekuatan, beliau juga punya peluang. Itulah yang selama ini selalu kita SWOT. Tugas kita adalah mengubah kelemahan menjadi kekuatan, dan menjadikan ancaman menjadi peluang. Semua itu sudah sama-sama kita ketahui, sudah sama-sama kita sepakati. Yang jadi masalah, adalah mereka-mereka yang masih bercokol di PDIP, tetapi hatinya ada di Demokrat. Ini yang agak susah.”

“Mas-mas, jangan ngomong muter-muter begitu. To-the-point saja, sampeyan itu maunya apa? Kami-kami ini mau disuruh ngapain? Katanya minggu lalu Masnya ini mau ketemu dengan Pak Arif? Ya sudah diceritakan saja hasilnya seperti apa, lalu kita mau bagaimana, lalu kami-kami ini harus mengerjakan apa? Mari kita bicara yang praktis-praktis saja, kita bicara yang penting-penting saja. Siapa sebenarnya yang mau jadi pasangan Ibu? Apa Pak Sultan? Apa Pak Hidayat? Atau Pak Prabowo? Atau siapa? Saya ini tentara, jadi kerjanya itu harus cepat, harus tegas, tanpa basa-basi. Kalau komandan bilang tembak, ya kami akan tarik pelatuk. Kalau komandan bilang serbu, ya kami pasti akan bergerak maju. Tolong yang agak tegas sedikit, sebab yang di seberang sana itu tentara semua. Pak SBY tentara, Pak Prabowo tentara, Pak Wiranto tentara, Pak Sutiyoso tentara. Hanya Pak Sultan dan Pak Kalla yang bukan tentara. Tetapi Pak Kalla kan pengusaha yang juga biasa berpikir cepat. Pak Sultan memang lamban tetapi beliau Raja Jawa. Kalau sudah berbicara akan langsung dipegang oleh seluruh orang Jawa. Ibu kita itu selama ini memang agak lamban. Biar saja, sebab yang harus gerak cepat bukan beliau, tetapi kita!”

“Saudara enak saja ngomong gerak cepat, gerak cepat. Ibu itu justru sudah nguber-uber kita semua. Tetapi saudara semua tahu kan? Golkar yang partai besar itu pun sekarang ini lamban sekali geraknya. Mengapa? Gizi mereka juga parah. Bahkan lebih parah dari kita. Mesin uang mereka sedang kolaps sekarang ini. Nah kalau saudara memahami hal ini, maka harusnya tahu, mengapa kita juga sedikit lamban. Yang gizinya cukup sekarang ini hanya Demokrat dan Gerindra. Hanura malah sudah kehabisan amunisi dari awal. Demokrat sudah jelas. Orang sebodoh apa pun tahu, dari mana mereka mendapat gizi cukup. Yang banyak dipertanyakan kan Gerindra. Ada yang bilang itu duitnya Thaksin, duitnya Sultan Brunei, duit dari Yordania dan lain-lain. Kita tidak usah meributkan hal itu. Gizi kurang tidak jadi soal. Ingat kan tahun 1999, bagaimana kondisi gizi kita? Parah sekali kan? Kita semua modal dengkul. Kok bisa? Kondisi 2004 lebih baik. Ketika itu Ibu incumbent, partai ada uang. Kok yang menang Golkar yang ketika itu justru kacau? Kok Ibu juga kalah dalam Pilpres putaran II?”

“Sebenarnya kita punya harapan Mas. Kita bisa mengulang sukses 1999, partai kita menang. Tetapi yang berat kan mendorong Ibu supaya jadi presiden. Pak SBY pun sebenarnya juga berat. Yang enteng itu Pak JK. Beliau itu kalau hanya ingin jadi wapres, sekarang ini sudah di tangan. Kalau beliau jadi pasangan Pak SBY, peluang Pak SBY paling besar. Andaikan beliau maju sendiri, dengan mesin Golkarnya meskipun bensinnya seret, juga oke. Misalnya pasangan dengan Pak Sultan. Bisa Pak Sultannya yang I, bisa pula yang II tidak ada masalah. Itu kalau Golkar menang di legislatif. Kalau Golkar nomor dua seperti 1999, Pak Kalla tinggal negosiasi dengan Ibu, maka peluangnya juga paling besar. Ini kombinasi paling tepat: Perempuan – Laki-laki, Jawa – Luar Jawa, Pendiam – Banyak Omong, Lamban – Gesit; dan jangan lupa Mas, di belakang beliau berdua ada PDIP serta Golkar. Jadi aman. Ini peluang paling baik bagi kita semua. Pak SBY itu memang bisa maju dengan pasangan bukan Pak JK, tapi pemerintahannya akan kacau. Sebab akan ada dua partai besar yang jadi oposan, ya kita dengan Golkarlah, kok masih tanya siapa.”

“Nanti dulu. Pak SBY itu bagaimana pun incumbent. Gizinya cukup. Dia bisa berpasangan dengan Pak Hidayat Nur Wahid, bisa dengan Ibu Sri Mulyani. Jadi tanpa Pak Kalla pun, Pak SBY itu tetap bisa punya peluang cukup besar. Kalau sudah jadi, tentang akan dijegal-jegal DPR seperti apa pun, beliau akan bisa mengatasi. Saudara ini kok seperti tidak tahu moral anggota DPR kita sih? Pak SBY dengan Bu Sri Mulyani itu peluangnya juga besar. Kemungkinan kondisi negara akan membaik cukup besar. Tetapi tenang saja saudara-saudara. Para Boss Besar tidak akan tinggal diam. Bu Sri Mulyani itu kan tidak disukai oleh para Boss Besar kita. Ingat dulu waktu Bu Miranda mau jadi Gubernur BI itu? Fit and Propertest sudah, rekomendasi dari Ibu juga sudah di kantong. Anggota Komisi 9 juga sudah diamankan. Bu Miranda itu blundernya ketika dalam Fit and Propertest ngomong mau menindak para Boss Besar, yang disebutnya sebagai konglomerat hitam. Malam itu juga habis dia. Uang dari Singapura malam itu turun ke Komisi 9 dengan jumlah jauh lebih besar lagi. Paginya, ketika hasil pilihan dihitung, yang jadi Pak Burhanudin, yang sama sekali tidak dijagokan!”

“Mas-mas, tolong tidak usah terlalu mendalam menganalisis lawan. Kita sendiri bagaiamana? Kita harus konsentrasi ke Ibu. Mereposisi ibu agar bisa beda dengan citra yang selama ini sudah melekat di masyarakat, kan tidak mudah? La itu lo, katanya Mas ini akan kontak Pak Arif? Hasilnya bagaimana? Lo, jangan sepelekan dia! Pak SBY pakai dia, Demokrat pakai, Golkar juga pakai dia. Dan ini Mas, yang heboh di Tengger ini, kan yang dapat proyek Pak Arif? Lo bukan! Ini tidak ada hubungannya dengan orang-orang Kristen kok. Tidak ada sama sekali. Ini murni bisnis, dan katanya juga soal kemanusiaan. Yang justru saya takutkan Mas, jangan-jangan proyek ini ada kaitannya dengan manufer Pak SBY. Sebab ini memang agak misterius kok. Dan kita juga belum tahu, acaranya itu nanti seperti apa? Ya kalau Pak SBY bisa memanfaatkan Nabi Isa Alaihissalam untuk mengumpulkan massa, lalu atribut Demokrat dipasang, lalu Pak SBY tampil, habislah ibu. Itu yang harus kita waspadai. Itu yang kami ini menunggu, dengan Pak Arif  itu hasilnya bagaimana?”

* * *

“Orang-orang yang di Lenteng Agung itu memang sudah keblinger semua. Partai kok dianggap seperti perusahaan. Bu Mega itu puteri Bung Karno, beliau itu pewaris Tahta Bung Karno. Kok dicari-cari kelemahannya, diapakan tempo hari itu? Di SEWOT? Ya siapa yang tidak akan sewot kalau pimpinan partainya dibuat main-main seperti itu. Kunci utama agar Ibu Mega bisa kembali naik, hanya satu. Beliau itu harus pegang Mas Suwito, sebelum ia terpegang oleh Pak SBY. Sekarang ini dia memang lebih condong ke Kanjeng Sultan. Nah, mestinya kan gampang. Kalau Kanjeng Sultan bisa menjadi wakilnya Ibu, semua akan selesai. Semua akan beres. Mas Suwito itu jangan dibuat main-main lo. Di tangannya sudah tergenggam seluruh Pulau Jawa, ya Ujung Kulon, Gunung Srandil, Gua Semar, Lawu, Alas Purwo, semua sudah ia kuasai. Jangan tanya soal Umbul Pengging, Tidar, itu kecil. Tidar itu memang penting karena ini kan pakunya pulau Jawa. Tetapi Mas Suwito itu pintar. Yang dia pegang bukan tengahnya, tetapi dua ujungnya, yaitu Ujung Kulon dan Alas Purwo. Ya selesailah pulau Jawa. Ayo, mau ngomong apa kamu Min? Jangan guyonan lo. Ini serius!”

“Paké, Paké, Ngadimin itu kan selalu serius to Paké! Bapaké saja yang suka pikun. Ya kan? Sudah Pikun kan? Aku kenal baik Suwito Paké! Sejak ia kabur dari Jombang, aku sudah kenal dia. Kungkumnya Suwito di Pengging kan aku yang ngajak Paké! Jadi aku ini tahu benar kelemahan Suwito. Benar memang, ia sudah pegang ekor dan moncongnya Pulau Jawa. Dia juga pegang pusernya Pulau Jawa, yaitu Gua Semar. Tetapi ujung jari Suwito belum bisa menyentuh kontolnya Pulau Jawa. Gunung Srandil itu kan hanya pringsilannya Pulau Jawa. Bukan kontolnya. Padahal Paké, kontolnya Pulau Jawa itu hampir putus, dan mau lepas. Paké, ini bagaimana to? Kontolnya pulau Jawa itu ya Nusakambangan. Dan disinilah letak kelemahan Suwito, juga Sultan. Yang selama ini memegang kontolnya pulau Jawa itu Kasunanan Surakarta. Paké mosok lupa? Kanjeng Sunan Pakubuwono XII itu dulu sedikit-sedikit kan selalu bilang Si Kontol Panjang. Beliau kemudian memang membelokkan, maksudnya Situasi, Kondisi, Toleransi, Pandangan dan Jangkauan! Tetapi yang beliau maksud sebenarnya ya Nusakambangan itu.”

“Wah, memang Cah Bagus tenan kamu itu Min! Bagus! Aku memang lupa yang ini. Benar! Di Nusakambangan itu, di Karang Bandung, kan memang ada Cangkok Wijaya Kusuma. Iyo Min, la kamu itu kok ya baru ngomong sekarang. Jadi kita memang tidak bisa mengabaikan Kasunanan, meskipun secara politik tidak ada apa-apanya, tetapi ya itu tadi, kamu itu nyebutnya kok tepat bener: Kontolnya Pulau Jawa! Ya bagaimana orang hidup kalau tidak punya yang satu ini ya Min? Memang ketika kerajaan pecah jadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, ada kesepakatan bahwa Kasunananlah yang melanjutkan tradisi mengambil Cangkok Wijaya Kusuma dari Karang Bandung untuk syarat jumenengan. Kasultanan merelakan hal ini. Hanya soal Gunung Merapi, memang ada kesepakatan lain. Kasultanan menyembah dari arah selatan, dengan Juru Kunci Mbah Maridjan sekarang ini, dan Kasunanan dari arah Selo dengan Juru Kunci Mbah Dwijo. Untung kamu ini mengingatkan aku Min!”

“Makanya, Paké! Sekarang terus terang, Paké punya kontak dengan orang kunci di Kasunanan atau tidak? Aku punya lo Paké! Jangan dihina Ngadimin ini Paké. Mbah Dwidjo aku kenal baik. Paké kan hanya kenal nama. Aku sering nginep di rumahnya. Mbah Maridjan itu kan hanya hura-huranya saja kalau soal Merapi. Mbah Dwidjo tidak. Paké tidak tahu kan kalau tiap tahun ada slametan di Pasar Bubar, di bawah Puncak Garuda? Ya, Paké ini bagaimana. Ya di Merapi to Paké. Dan itu semua Mbah Dwidjo yang berperan. Nah, kalau begitu Paké, logistik ya jangan didrop ke Suwito semua. Harus ada yang ke Ngadimin to Paké. Ya tidak usah urusan dengan Lenteng Agung, tidak usah urusan dengan Tim Sukses. Langsung saja menghadap Bunda. Jangan ke Ayahanda. Nanti langsung dipotong. Orang saya pernah diminta Bunda untuk mengambil air di Sendang Drajat di Puncak Lawu, baru saja mau berangkat, Ayahanda tahu langsung saya disemprot. Apa itu klenik seperti itu? Ngabis-ngabisin logistik. Tahu kan kalau kondisi kita sekarang beda dengan 2004, dan macam-macamlah Paké. Jadi bagaimana?”

“Ini yang saya tidak berani ngomong Min. Kamu harus usaha sendiri. Ya jelas tidak beranilah aku. Apalagi kalau sama Ibu harus ngomong soal kontol segala macam kan bisa repot Min. O, ya benar ya. Bilangnya bukan kontol tetapi lingga. Ya, ya, kamu itu sebenarnya memang encer kok Min utekmu itu. Tetapi saya tetap tidak sanggup kalau harus memotong logistiknya Mas Suwito, lalu didrop ke kamu. Tidak sanggup Min. Atau begini. Kita ketemu Ibu berdua, kamu yang ngomong, aku yang memperkuat. Bagaimana? Ya gampang kalau hanya ketemu Bunda. Tetapi harus kamu sendiri yang ngomong ke Bunda. Kamu itu kan tahu, kalau aku ini susah ngomong kan Min? Ya maksud aku kalau harus ngomong formal ke Bunda, bukan ngomong seperti sekarang ini. Tetapi benar ya kamu ada kontak dengan Kasunanan? Dengan Sinuwun langsung? Jangan sembrono lo Min. Ini serius. Ini menyangkut soal masa depan bangsa. Kalau Ibu tidak bisa naik lagi, kamu lihat kan selama lima tahun ini? Bencana, bencana, bencana, seperti tidak ada habis-habisnya.”

“Jadi Paké ini tidak percaya kalau Ngadimin kenal sama Sinuwun Surakarta? Ya sudah. Kalau dengan Sultan X saya memang tidak kenal Paké. Tetapi dengan Sinuwun, ya Sinuwun XII, ya yang XIII, Ngadimin kenal baik. La wong Sinuwun XIII itu sudah bolak-balik jalan sama Ngadimin kok Paké. Ya jalan kemana-mana. Ya kalau Paké tidak percaya ya tidak apa-apa. Ingat Pake, keraton di Jawa itu ada berapa? Kasunanan, Kasultanan, Mangkunegaran, Pakualaman, Kasepuhan, dan Kanoman. Nah, kalau kita ngomong yang paling tua, memang Kasepuhan di Cirebon. Tetapi kalau kita ngomong yang punya garis dengan Majapahit, ya jelas Kasunanan. Maka, siapa pun yang akan menguasai Indonesia, pertama-tama harus menguasai Jawa. Ini kan yang juga dilakukan Londo kan Paké? Lalu kalau mau menguasai Jawa, ya harus menguasai keratonnya. Ini juga dilakukan Londo kan Paké? Makanya, jangan sedikit-sedikit Mas Suwito, sedikit-sedikit Mas Suwito. Ngadimin ini juga penting lo Paké!”

* * *

“Mestinya Ibu Mega itu masuk Face Book. Litbang kan bisa mengurusnya. Ingat lo, Obama itu bisa menang, antara lain juga karena faktor Face Book. Lha kok ini semua orang sudah ada di Face Book, Bunda malah belum. Anak-anak buah Bunda malahan yang pada berebut masuk Face Book, dan Bundanya ditinggalkan. Sebenarnya sekarang ini juga belum terlambat. Mengapa Abang tidak mau kasih saran ke Bunda? Apa Abang kira ini bukan hal yang serius? Serius ini Bang. Ya, ya, memang benar. Bunda itu juga perlu les privat Public Speaking. Beda Bang, kalau bokapnya jelas beda. Bung Karno itu tokoh besar. Guru Orasinya siapa coba? Haji Omar Said Tjokro Aminoto, ya mertuanya sendiri. Lo, Abang kita ini bagaimana? Sebelum menikah dengan Bu Fat, ibunya Bunda, Bung Karno itu kan menikah dengan Utari, Puteri Pak Tjokro. Lalu Utari dicerai, dan beliau menikah dengan Bu Inggit. Jadi Bu Fat itu isteri ketiga Bung Karno. Tetapi dengan Utari dan Bu Inggit, Bung Karno tidak punya anak. Justru karena itu Bang. Saya menyarankan agar Bunda itu sedikit dipoles begitulah Bang.”

“Memangnya Bunda kita itu penyok-penyok lalu harus dipoles dengan dempul, diamplas, lalu dicat Duco begitu? Bunda kok kau samakan dengan mobil. Saran kau itu, Abang sudah lakukan lama. Kau lihat tidak penampilan Bunda sekarang? Lain kan? Sebenarnya ini sudah Abang lakukan ketika Bunda naik tahun 2001 dulu. Tetapi ya memang tidak mudah mengubah karakter orang yang sudah seusia Bunda itu. Tetapi yang tadi kau bilang fis buk itu barang apa itu? Bukannya kita sudah ada apa itu namanya? Web? Ya kan sudah ada kan? Lalu yang kau maksud itu yang bagaimana? Pokoknya yang lebih canggih begitu? Tetapi nanti mahal? Kalau itu memang ada manfaatnya, nantilah aku usulkan ke Bunda. Pokoknya kalau urusan dengan Bunda, serahkan saja ke Abang, semua akan beres. Saya memang lihat, tim kreatif kita juga lemah. Tetapi jangan sampai ke Ayahanda. Kau kayak tidak tahu saja? Kalau sudah sampai ke beliau, ya serba susah jadinya. Ya aku akan tetap usaha, tetapi tidak bisa janji. Abang ini kan gatèk kalau soal-soal begituan. Ya kau bikinlah tertulis, nanti aku sampaikan.”

“Abang kita ini memang gatèk bener kok. Web dan Face Book ya lain to Bang. Agak susah Bang menjelaskan sesuatu yang Abang tidak tahu. Pokoknya itu yang berhubungan dengan komputer dan internetlah. Abang ini tahunya teknologi kan hanya SMS. Selebihnya nol. Padahal di rumah kan ada komputer. Anggota DPR kan juga dapat jatah Laptop. Yang pakai Laptopnya siapa itu Bang? Sekretaris atau anak? Nganggur? Abang sebenarnya kan bisa belajar. Itu kan barang kelihatan Bang. Kalau Bunda ya lain. Bunda sudah terlalu tinggi untuk urusan seperti itu. Yang lain-lain saya kira juga begitu. Meski pun Bunda jelas tidak bisa disamakan dengan Obama. Orang Amerika pun, yang tua-tua juga gatèk. Ketika Obama memanfaatkan Face Book, sebenarnya kan dalam upaya merangkul yang muda-muda. Nah, di negeri kita, yang muda-muda juga masih banyak yang gatèk. Paling tidak mereka tidak kuat beli alatnya. Jadi meskipun upaya itu ditempuh Bunda, hasilnya belum tentu efektif.”

“Begini, meskipun Abang ini gatèk, tetapi bisa menangkap yang kau maksudkan. Yang abang sampai sekarang tetap bingung, itu orang-orang yang suka ke Kebagusan itu ada apa dengan mereka? Yang Abang tahu, mereka itu kalau ketemu Bunda, ngomongnya kelenik terus. Abang sampai pusing mendengar mereka. Itu yang namanya Suwito itu, bawa-bawa keris segala. Untuk potong apa itu keris? Untuk tusuk siapa? Ujung-ujungnya mereka minta duit. Tidak tahu itu. Bunda itu kadang juga mudah sekali kemakan hal-hal begitu. Katanya ada harta karun peninggalan Bung Karno segala. Ini tadi yang kau bilang tadi apa? Fis-buk? Ya, sudah ada itu internet canggih, kok mereka masih bawa-bawa keris segala. Tetapi aku pernah sampaikan ke Bunda, beliau bilangnya Yo Wis Bèn! Apa itu artinya Wis Bèn? Biarin begitu ya? Ya tidak bisa mereka dibiarin begitu saja. Kita musti agak keras ingatkan Bunda. Dulu Suwito, sekarang itu ada siapa itu yang dipanggilnya Paké itu? Sama yang anak muda itu, yang juga Jawa toh? Itu juga keleniknya kuat kan?”

“Tetapi soalnya, pihak sana mainannya juga begitu Bang. Kayak Abang tidak tahu saja. Semua mainannya begituan. Nah, repotnya kadang Bunda kita juga percaya. Padahal, kita semua harusnya mendorong Bunda agar bisa sedikit gaul. Obama itu kan karena ia agak gaul, maka para pemilih muda jatuhnya ke dia. Abang ingat kan ketika jaman Pak Surjadi dulu? Ya ketika masih PDI itu? Ya, ketika anak-anak ABG pakai mobil bokap mereka, dipilox, diberi spanduk merah, persis Bang. Abang masih ingat kan itu semboyan mereka: Metal, Merah Total! Anak-anak muda itu potensinya luar biasa. Clinton dulu, waktu pilihan yang pertama dulu, juga ditolong oleh generasi Baby Booming! Ini yang orang-orang deketnya Bunda kadang susah untuk diajak ngomong. Mereka tahu itu semua, mereka setuju, tetapi kalau mau diajak jalan mereka malas. Ya mereka kan generasi 70an, paling banter 80an. Sementara yang sekarang umur 18 sampai 20an, akhir tahun 1980an dan awal 1990an baru lahir. Para remaja tahun 80an, belum tahu HP, tidak kenal SMS, belum ada Face Book. Mereka yang lahir tahun 1990an, begitu remaja sudah petentang-petenteng pegang HP.”

“Iya, itu semua Abang juga tahu. Tetapi, lalu musti bagaimana kita? Musti kita apakan Bunda kita ini? Kan tidak mungkinlah Bunda kita suruh nyanyi duet dengan BCL? Tetapi bisa juga ya? Kan Pak SBY nyanyi sama Keris Patih? Tetapi apa itu tidak norak? Kau berpendapatlah, jangan hanya diam seribu bahasa begitu. Bunda saja sekarang sudah bisa lancar bicara kok kau malahan ikut diam seribu bahasa. Dengan siapa sebaiknya Bunda berduet? Apa dengan Inul? Nanti malah dikira pornoaksi. Apalagi dengan Dewi Persik ya? Bisa menjadi sasaran Demo Bunda kita. Kau mestinya bentuk tim kecillah. Siapa tahu kalau Bunda naik kau bisa jadi Dirjen ABG. Ya itu, Dirjen yang mengurus para ABG itu. Mereka kan juga harus diurus kan? Ya maksud Abang agar tidak terjebak dengan narkoba begitulah ceritanya. Pokoknya kan harus ada dalihnya, kalau akan membuat Direktorat Jenderal baru. Atau sekalian bikin Departemen baru. Ya paling tidak semacam Menteri Negara Urusan Peran ABG.” * * *

Fragmen Novel Para Calon Presiden

 


Kabut

$
0
0

Rapat Koordinasi Bidang Politik dan Keamanan, memutuskan, agar satu, Acara Menampilkan Jesus di kawasan Tengger, Jawa Timur, dianggap illegal, karena tidak ada ijin dari Kapolri. Dua, Direktur Utama PT Garuda Perkasa Intertainment dan Ketua Panitia akan dimintai keterangan. Tiga, Orang yang menamakan dirinya Jesus Kristus harus dideportasi secepatnya, dengan alasan, kehadirannya di negeri ini sudah membuat resah warga masyarakat. Empat, kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, dinyatakan tertutup untuk umum, semenjak pengumuman ini disampaikan, sampai dengan jangka waktu yang belum ditentukan. Aparat keamanan, akan dikerahkan ke Kawasan Tengger, dengan instruksi yang cukup jelas. Apabila ada yang mencoba menerobos masuk ke kawasan ini, akan diberitahu secara persuasif. Kalau yang bersangkutan membangkang, akan ada tembakan peringatan yang diarahkan ke atas. Kalau juga masih bandel, kaki mereka akan ditembak. Kalau masih juga melawan, akan langsung ditembak sampai mati.

Polisi, dengan dibantu oleh tentara, segera diberangkatkan ke Tengger. Jalan masuk ke kawasan ini ternyata macet total. “Kodok dua enam ke Kampret empat, ya ini Kodok dua enam, Kodok dua enam ke Kampret empat; di sini Kodok dua enam sudah siap di dua P dan segera naik ke dua T,  jalan macet total, keranjang tidak bisa masuk, kodok-kodok akan dilepas dan melompat ke dua T, Kodok dua enam ke Kampret empat.  Aparat keamanan dengan susah payah juga harus berjalan kaki ke Tengger lewat Tosari, ada yang lewat Sukapura, Ngadisari, Cemoro Lawang. “Bubarkan mereka dengan gas air mata, dengan bom asap, dengan kanon air!” Yang diberi tugas berdiri tegap, memberi hormat dan menjawab: “Laksanakan!” Tetapi kodok-kodok yang sudah di lapangan menggerutu. “Laksanakan sendiri saja! Ojek sepeda motor pun susah masuk, apalagi panser, apalagi truk, kami ini jalan kaki sekarang.” Yang di Jakarta tambah marah. “Kalian ini goblok semua, kerahkan heli, semprotkan gas air mata dari heli!” Yang di lapangan, kodok-kodok itu, tambah jengkel. “Kabut setebal ini heli juga bisa apa? Datangkan saja seratus heli, paling juga hanya akan muter-muter sebentar di sekitar Malang dan Pasuruan, lalu pulang ke Juanda atau Abdulrachman Saleh.”

Pada hari H itu, kabut tebal menyelimuti dataran tinggi Tengger. Kabut itu seperti selimut yang dihamparkan, nyangkut tertahan Gunung Munggal, Penanjakan, Batok, Bromo, Widodaren, Ider-ider, dan oleh tebing yang memagari Lautan Pasir. Maka Lautan Pasir itu tetap terang benderang. “Tuan, ini mukjizat lagikah?” Tanya ketua panitia kepada Jesus. “Jangan sedikit-sedikit dikaitkan dengan mukjizat. Coba tanya penduduk setempat.” Penuntun kuda itu, menjawab. “Ini memang biasa Pak, namanya kabut atas. Kabut yang hanya bergerak di atas sana, sementara di bawah tetap terang, sebab angin bertiup perlahan, dengan arah tetap, dan berlangsung agak lama. Bisa sampai sore begini terus Pak, dan dijamin tidak akan hujan.”  Bola matahari memang tampak di balik kabut, seperti bolam lampu putih dengan kaca susu. Jesus mengingatkan Ketua panitia. “Benar kan kata mereka? Ini gejala alam biasa? Makanya jangan sotoi, sedikit-sedikit dikaitkan dengan Mukjizat.” Demi melihat Jesus yang rileks, Ketua Panitia itu memberanikan diri bertanya.

“Gusti Jesus, eh Tuan, Tuan ini fasih sekali Bahasa Indonesia, tetapi mengapa kalau dalam acara resmi harus berbicara Bahasa Aram dan diterjemahkan?”
“Aku ini Allah Putera, ngomong apa saja bisa. Ngomong Jowo yo iso. Rak nggih ngoten to Pak?” Tukang Kuda, yang diajak ngomong, menjawab.
“Nuwun inggih, sendiko dawuh!”
“Tetapi untuk acara resmi, memang harus Bahasa Aram, itu kan kalian sendiri yang bikin aturan. Bukan saya, lalu saya sebagai tamu, harus patuh pada aturan main panitia. Maka nanti Romo Sujatmiko dan Pak Eric tetap masih akan menjadi penerjemah.”
“O, Tuané niki jebule nggih iso ngendikan Jowo? Untung mboten kulo rasani. Nek kulo rasani rak nggih ngertos to nggih Tuan?”
“Ya ngerti to Pak.”
“Niki terus mandap to?”
“Iyo!”
“Winginé, niko Panjenengané kok nitih napa niko, sing kados kapal, nanging andap, talingané njaplang dawa?”
“Kuldi, panitia nyilih saka Taman Safari Pandaan. Aku diapusi, jarené ditekakké saka Yordania, sak pawangé sisan.”
“Uwis. Panitia tak senèni. Aku ini Allah Putro kok diapusi.”

Wartawan Majalah Katolik, yang asli Flores, dan tidak tahu Bahasa Jawa, bertanya ke panitia. “Mereka itu ngomong apa Pak?” Panitia menjelaskan. “Itu tukang kudanya bilang, o, ternyata Tuannya ini bisa ngomong Jawa. Untung tidak digerundelin dengan bahasa Jawa, sebab pasti tahu. Lalu tukang kudanya juga menanyakan keledai yang kemarin dipakai ke Penanjakan. Dijawab kalau sudah dipulangkan ke Taman Safari Pandaan. Sebab kemarin itu panitia telah bohong mengatakan bahwa keledai itu didatangkan langsung dari Jordania lengkap dengan pawangnya.” Si Wartawan Flores itu tidak ikut ke Penanjakan. “O, jadi waktu ke Penanjakan naik keledai ya? Dan memang panitia bilang kalau didatangkan dari Jordania? Benar? Ya sampeyan ini juga aneh-aneh saja kok, Putera Allah kok dibohongi. Maksusnya supaya surprais begitu kan? O, waktu itu beliau juga menyatakan senang begitu? Ya, untung sampeyan tidak dikutuk menjadi kodok atau belalang. Mereka tampaknya asik itu ya ngobrolnya? Tetapi saya ya tidak mungkin ikut nimbrung.”

Meskipun panitia, yang bekerjasama dengan Pemkab Pasuruan, sementara sudah menutup pengunjung yang membanjir mau naik, namun kerumunan manusia masih menyemut di sepanjang jalan dari Bromo Cottage, Tosari, ke Penanjakan. Sebab tampaknya banyak di antara pengunjung yang lebih senang duduk-duduk dimana saja, di sepanjang jalan itu, hingga mereka yang masih akan berjalan menuju Lautan Pasir menjadi sulit untuk bergerak. Tampaknya, sebagian besar dari lautan manusia itu tidak peduli lagi bahwa acara segera dimulai. Bagi mereka acara itu menjadi tidak terlalu penting lagi. Sebab sebenarnya mereka bisa mendengarkan dan melihat acara itu dimana saja, melalui siaran langsung radio dan televisi. Tetapi berada di Tengger pada saat perhelatan akbar ini berlangsung, mempunyai makna tersendiri bagi sebagian besar yang datang. Maka rombongan Jesus yang rencananya akan naik kuda, diubah dengan naik jip. “Kuda akan susah bergerak di antara lautan manusia seperti ini.” Kata panitia.

* * *

Melihat tayangan langsung dari Tengger, pihak pemerintah marah-marah. “Jadi kamu bilang, pemerintah tidak mungkin membubarkan acara ini? Pemerintah itu punya aparat, punya tank, panser, gas air mata, kanon air, helikopter, kalau perlu mereka yang membangkang bisa ditembak di tempat. Itu Bupati Pasuruan dan Probolinggo sedang apa? Sedang ngopi di pendopo kabupaten sambil ngobrol sama stafnya ya? Itu Panglima Kodam V Brawijaya, juga ada dimana? Sedang main golf sama konglomerat Surabaya? Kapolda Jatim juga lagi ngapain? Kok bisa acara sudah dilarang, tetap berlangsung dengan mulus, tanpa ada tindakan apa pun dari aparat? Kalian ini sedang sibuk apa saja? Aku akan laporken ke Bapak Presiden, agar kalian semua itu diganti. Kewibawaan pemerintah akan hilang kalau sudah ada larangan, tetapi acara tetap saja masih terus berlangsung. Akan ditaruh dimana muka pemerintah ini? Habis sudah. Tidak ada lagi wibawa itu. Kalian ini bagaimana sih? Kalau polisi memang tidak bisa mengatasi masalah, aku akan perintahken ke Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan udara untuk menyerbu ke sana!”

“Lapor Pak Pemerintah, saya Bupati Kabupaten Pasuruan. Lain kali Pak Pemerintah, kalau mau melarang itu jangan acaranya besuk pagi, baru hari ini dilarang. Kalau acaranya di Senayan, Balai Sidang, atau TIM, acara nanti pukul 20.00, pukul 18.00 dilarang ya akan patuh. Ini Tengger Boss. Tengger! Sampeyan ini sebagai aparat pemerintah pernah ke Tenggar atau belum? Minimal Anda bisa tanya, Tengger itu berapa luas sih? Anda tahu, sejak jumpa pers seminggu yang lalu, manusia sudah berdatangan ke Tengger. Ini sudah ada jutaan rakyat di sini. Rakyat manusia Indonesia, bukan rakyat Kamboja, bukan rakyat monyet atau kecoak. Kalau Pak Pemerintah mau nembak atau ngebom mereka, silakan. Heli mau dikerahkan? Silakan datang dan sekalian masuk ke Kawah Bromo atau Jonggring Saloko di Semeru sana! Sampeyan itu kerjanya cuma nongkrong di Jakarta, begitu ada masalah di daerah jadi sotoi lagi. Kalau mau melarang itu ya sebulan lalu, jadi artisnya tidak usah sempat datang. Acara di Tengger hari ini, kok baru tadi malam dilarang. Datang ke Pasuruan sini kalau mau dikeroyok massa!”

“Siap Pak! Saya Pangdam V Brawijaya. Melaporkan, perintah sudah dilaksanakan, tetapi keadaan di lapangan tidak memungkinkannya. Massa tidak mungkin dibubarkan. Petugas juga sulit untuk membekuk panitia, serta dirut Garuda Perkasa. Orang yang menamakan diri sebagai Nabi Isa juga sulit didekati aparat intel, sebab Kapolda Jatim sudah terlanjur memberi arahan untuk mengamankan suasana, dalam arti event tetap harus berlangsung dengan sukses. Penjagaan oleh panitia dengan aparat sewaan juga sangat ketat. Laporan selesai.” Kemarahan aparat pemerintah di Jakarta memuncak. “Diancuk semua kalian ini. Ya Pangdamnya, ya Kapoldanya, itu Bupatinya, itu diancuk semuanya! Saya akan turun tangan langsung. Ngurus hal kecil seperti ini saja kalian tidak becus. O, iya itu Gubernur barunya itu juga sekalian diancuk! He ajudan, siapkan heli, granat, M 16 dengan amunisinya. Aku mau maju perang! Jangan tanya A atau B atau C. Laksanakan perintah secepat mungkin, atau kalian ikut kebagian diancuk dan saya pecat!”

“Saya selaku Bupati Probolinggo, tentu akan patuh pada pemerintah pusat. kalau memang acara ini dilarang, ya akan saya laksanaken. Tetapi orang-orang Jakarta itu memang kebangetan. Acara hari ini kok melarangnya tadi malam sudah pukul 22.00. Itu kan menunjukkan arogansi luar biasa. Ya kalau acaranya di alun-alun Probolinggo, pas acara sedang berjalan distop juga bisa. Ini di Lautan Pasir di Tengger, yang hadir jutaan orang. Dari data Retribusi Probolinggo selama seminggu ini sudah ada hampir tiga juta orang. Belum yang masuk melalui Pasuruan, baik lewat Tosari maupun Nongkojajar, belum yang lewat Malang, dan pasti ada yang dari Lumajang. Yang akan tampil juga Nabi Isa Alaihissalam. Itu orang Jakarta memang selalu bikin pusing yang di daerah ini. Kalau memang saya dipersalahkan, dan akan dipecat, akan saya lawan. Rekan saya Bupati Pasuruan lebih keras lagi. Dia mengatakan, yang memilih saya sebagai Bupati bukan Menteri Dalam Negeri, tetapi Rakyat. Yang bisa memecat juga rakyat.”

Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, meski mendapat laporan bertubi-tubi tentang acara Tengger, tetap tenang. “Ya Rakor Polkam kan sudah jelas rekomendasinya, bahwa acara ini illegal. Mau apalagi? Mereka tetap melangsungkannya? Ya distop. Tidak bisa, ya diambil tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku. Kamu ini mau minta petunjuk apalagi? Sejauh disana tidak ada huru-hara, tidak ada yang tewas, semua berjalan dengan tertib, kamu mau apalagi? Kamu yang mau bikin kacau? Itu kan cara-cara lama. Saya tidak mau lakukan itu. Kalau sudah selesai, dan terbukti mereka tidak mengindahkan larangan pemerintah, pihak-pihak terkait harus bertanggungjawab. Tidak usah pusing. Kamu ini ribut karena tidak kebagian jatah ya? Yang lain-lain sudah dapat, kamu belum? Memangnya lagi bokek?  Biar sajalah semua berjalan dengan baik, besuk kita gelar lagi Rakor Polkam, untuk membahas hal itu. Ya kalau kamu mau ke sana untuk perang silakan saja, saya tidak akan melarang.”

Maka, aparat keamanan pemerintah pusat itu segera meluncur ke Halim dengan paralatan perang. Herkules sudah disiapkan. Aparat itu naik, Herkules take off menuju Bandara TNI AU Abdulrahman Saleh, Malang, Jawa Timur. Herkules landing dengan mulus. Di sini sudah disiapkan heli Super Puma buatan IPTN, lengkap dengan senapan mesin dan amunisinya, serta granat dan bom. Aparat keamanan pemerintah pusat itu segera naik ke heli, lalu mengudara. “Ini kita sudah di atas Tengger? Kok cepat sekali ya? Padahal baru berapa menit kan? O, Tengger itu memang persis di atas Abdulrahman Saleh ya? Lalu bagaimana? Kita tidak mungkin mendarat di Lautan Pasir? Kabut apa ini kok tebal sekali ya? Memang di sini selalu berkabut ya? Alternatifnya? Dengen jip lewat Tumpang dan Gunung Ider-ider? Okey. Kita kembali ke Abdulrahman Saleh dan ganti jip. Tangan aku ini sudah gatal dan hanya bisa diobati dengan menembak mati para diancuk itu. Jelas acara sudah dilarang sesuai dengan rekomendasi Rakor Polkam, kok masih terus berlanjut. Kalau bukan aku sendiri yang turun tangan, mau siapa lagi coba?”

* * *

Lautan Pasir, lautan manusia, kabut di atas sana, lampu sorot, pentas dengan latar Gunung Batok, sound sistem super canggih sekian megawatt, tamu VIP dan VVIP duduk nyaman di jok empuk, yang dari seminggu lalu sudah diangkut dari Pendopo Kabupaten Pasuruan. Jesus Kristus, Isa Al Masih Alaihissalam, turun dari jip. Anounser mengumumkan bahwa Jesus sudah datang. Turun dari jip, Jesus disambut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, didampingi oleh Bupati Pasuruan dan Probolinggo. Mereka bersalaman, kemudian berpelukan, dan duduk di kursi VVIP. Pembawa acara mengumumkan, bahwa Bapak Presiden akan memberikan sambutan. Lautan manusia bergemuruh bertepuk tangan. Di langit heli meraung-raung sebentar, tetapi tidak bisa turun, tidak bisa menembak, dan juga tidak bisa menjatuhkan bom. Presiden naik ke podium berlambang Garuda Pancasila, yang selalu dibawa dari Jakarta. AC Allah telah membuat pagi itu tetap sangat sejuk, dan berudara segar.

“Saudara-saudara setanah air, Yang Mulia Nabi Isa Al Masih Alaihissalam, atau Tuhan Jesus Kristus, Assalamualaikum Warachmatullahi Wabarakatuh, Salam Sejahtera untuk kita semua. Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji dan syukur, ke Hadirat Allah Subhanahu Wa Taala, bahwa atas berkat dan rahmatnya, pada pagi hari ini, di Lautan Pasir, di dataran tinggi Tengger, kita semua masih tetap dikaruniai kesehatan, hingga bisa menghadiri acara ini. Saudara-saudara, berkat kehadiran Yang Mulialah, maka pagi ini, cuaca benar-benar sangat bersahabat. Tidak panas, tidak hujan, berkabut tebal, tetapi cuaca tetap terang benderang. Yang Mulia, dan saudara-saudara semua, saya atas nama pemerintah, dan bangsa Indonesia, mengucapkan selamat datang kepada Yang Mulia, yang telah berkenan datang ke negeri kami, yang sebagian besar penduduknya, merupakan umat Yang Mulia. Baik yang Kristen Protestan, yang Katolik, maupun yang Islam. Saya yakin, kehadiran Yang Mulia, akan membawa kebaikan bagi bangsa ini, maupun bangsa-bangsa lain di seluruh dunia.”

“Yang Mulia, dan saudara-saudara semua, saya hadir di tengah-tengah saudara semua, bukan untuk kampanye. Lihat, tidak ada satu pun atribut Partai Demokrat, di sekitar tempat ini. Yang ada justru atribut Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Tetapi poster dan spanduk-spanduk itu sudah dipasang sejak lama, dan tidak ada kaitannya dengan acara kita ini. Selain tidak untuk berkampanye bagi Partai Demokrat, kehadiran saya pada pagi yang sejuk ini,  juga tidak untuk berkampanye sebagai calon presiden. Sebab jadwal kampanye memang belum tiba. Bahkan jadwal pendaftaran para Capres ke KPU, juga belum tiba. Jadi, yang perlu saya tekankan, bahwa saya hadir di sini, hanya dengan maksud satu, yakni memberikan penghormatan, kepada Yang Mulia Jesus Kristus, Nabi Isa Alaihissalam. Hal ini perlu saya tekanken, sebab sekarang ini, saya sebagai pribadi, maupun sebagai Presiden RI, selalu banyak disorot, dan diisukan macam-macam. Yang Mulia, dan saudara-saudara sekalian …………”

Jip perang itu menanjak dari Tumpang menuju Gunung Ider-ider. Niatnya mau jalan cepat, tetapi jalanan juga macet total, karena imbas lautan manusia ternyata sampai kesini juga. Sinyal HP timbul dan tenggelam. Dalam keadaan seperti ini yang berperan tetap HT. “Elang dua kontek, elang dua kontek, di sini elang dua, ganti. Ya, di sini elang dua, apa? Elang dua mengkopi, garuda satu ada di padang rumput? Yang benar? Coba dikopi lagi?” HT segera dimatikan. “Letnan, coba berhenti dulu. Apa di sini ada tempat yang bisa dapat sinyal?” Yang dipanggil letnan berdiri menegakkan badan, memberi hormat dan menjawab. “Siap Jenderal, sebentar lagi akan ada ketinggian, disana ada sinyal.” Jip tetap tidak bisa tancap gas karena lautan manusia makin menyemut. “Letnan, stop di sini dulu, kita lari ke bukit itu, siapa tahu disana ada sinyal. Maka jenderal dan letnan itu lari menuju bukit kecil. “Benar kan firasatku, di sini sinyalnya bagus sekali. Coba ya saya kontak Panglima. Halo, elang dua kontak elang satu, konfirmasi, apa benar garuda satu ada di Tengger? Benar? Letnan, perang batal, kita ke Malang lagi!”

“Iyalah, you tidak usah worrylah, ai sudah instruksiken agar ijin disusulken, dengan tanggal kemarin. Okey, semua okey, ai sudah perintahken bahwa skenario A dibatalken dan diganti dengan minus A. Semua sudah okey. Ai akan terus pantau, banyak orang ai ada di lapangan. Dont worry. Ya, ya, thanks, okey, terimakasih sudah kontek ai.” Tayangan langsung acara Tengger itu telah mengubah skenario A menjadi minus A. Artinya dibalik. Ijin dari Kapolri disusulkan, dan semua harus dibuat serapi mungkin. Rakor Polkam juga berubah agendanya. Bukan lagi akan memanggil Ketua Panitia, direktur Garuda Perkasa, Bupati Probolinggo dan Pasuruan, melainkan justru mendukung  mengamankan acara. Bupati Pasuruan dan Probolinggo mesem-mesem menebar senyum. “Siapa sih tadi orang Jakarta yang misuh-misuh diancuk tadi? Sampeyan tidak tahu ya? Dia juga tidak menyebut nama kok. Ya biarin saja. Tadi saya juga bilang silakan pecat, sebab yang milih saya itu rakyat, maka yang bisa memecat saya juga rakyat.”

Bandar Udara Abdulrahman Saleh, Pangkalan TNI AU, Malang. “Pukul berapa pesawat ke Jakarta berikutnya? Ya, saya diinsud dan langsung dicekin, dan dibording sekalian. Ya yang pertama? Apa? Sudah tidak ada sit? Tidak mau tahu, pokoknya siang ini juga aku sudah harus ada di Jakarta lagi. Ini semuanya memang benar-benar diancuk. Siapa sih yang ngerjain saya ini? Saya sudah jengkel dan siap untuk bela negara, kok tahu-tahu Pak SBY ada disana. Apa tidak diancuk itu namanya? Sudah, aku mau tidur dulu sejenak, kalau ada telepon diterima saja ya Let, tapi aku jangan dibangunin.” Maka tak lama kemudian, nun di atas Lautan Pasir di Kaldera Tengger, kabut tersibak. Matahari pegunungan itu dengan hangat menyapu lautan pasir, juga lautan manusia. Ketika itulah Jesus berjalan diapit panitia, naik ke atas panggung. “Dia memang benar putera Allah!” Yang lain menyahut. “Aku yakin ini sungguh Nabi Isa Alaihissalam!” Di tengah lautan manusia, terdengar: “Ini cecurut sebelas ke kadal empat, ya cecurut sebelas ke kadal empat ganti, kok tahu-tahu garuda satu ada di sini, ganti……”

Fragmen Novel Para Calon Presiden

 



Linus Suryadi Sebagai Korban Kultur Jawa

$
0
0

Oleh F. Rahardi

Penyair Linus Suryadi AG (3 Maret 1951- 30 Juli 1999) dalam karya maupun hidup sehari-hari adalah khas stereotip Jawa. Senang perkutut, punya banyak keris tapi takut berkelahi apalagi membunuh. Doyan tongseng kambing meskipun darahnya tinggi dan selalu nrimo. Kepenyairannya dimulai dari tahun 1971. Saat itu Yogya sedang diperintah oleh “Presiden Malioboro” Umbu Landu Paranggi. Dia ini penyair Sumba yang bermukim di Yogya dan mengasuh Persada Studi Klub, lembar sastra dan budaya koran Pelopor. Salah satu anak didik Umbu adalah Linus. Meskipun waktu itu Linus belum apa-apa, sebab yang paling hebat karena puisinya bisa dimuat majalah Horison adalah Iman Budi Santosa.

Kepenyairan Linus periode 1971 sd 1974 (Langit Kelabu, Balai Pustaka 1980) termasuk biasa-biasa saja. Dia hanya kelanjutan dari kepenyairan Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad dengan kualitas yang pas-pasan. Tetapi tahun-tahun 1970-an itulah dalam khasanah Sastra Indonesia muncul fenomena puisi mbeling yang dimotori Remy Silado di Majalah Aktuil-Bandung. Pada tahun-tahun itu pula Rendra dan juga Taufiq Ismail laris membaca puisi di berbagai kota. Pelukis Jeihan dan Danarto melempar gagasan puisi konkrit. Lalu ada “Pengadilan Puisi” yang dimotori Slamet Sukirnanto dan kawan-kawan. Lahirlah kemudian genre kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri. Dalam kondisi semacam itulah (1978 sd 1980) Linus menulis prosa lirik Pengakuan Pariyem (Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1981) dan mendapatkan tanggapan ramai, pro dan kontra.

Yang paling pro dengan Pariyem jelas Umar Kayam. Sebab Linus “mempersembahkan” prosa lirik ini untuk dia. Juga Bakdi Soemanto dari Fakultas Sastra UGM sangat pro Pariyem sampai-sampai telaah akademisnya untuk S2 mengulas prosa lirik Linus ini. Jakob Sumardjo termasuk yang cs sama Pariyem. Linus dipujinya karena telah berhasil mengkristalkan kultur Jawa yang hampir lenyap (Pikiran Rakyat 6 Juni 1989). Faruk HT agak kritis. Bahkan dia persamakan, meskipun dia bedakan pula, pengakuan Pariyem dengan cerita silat Nogososro dan Sabuk Inten karya SH. Mintardjo (Minggu Pagi, 5 Januari 1986). Pandangan kritis juga datang dari Subagyo Sastro Wardoyo. Dia menganggap Pariyem sebagai ganjil dan tak kena. “Masih mungkinkah kita menjumpai seorang babu seperti Pariyem itu di dalam rumah tangga di Yogya atau di kota lain di Jawa Tengah?” (Tempo, 6 Juni 1981). Meski hanya dalam resensi pendek, J.B. Kristanto mungkin paling kritis terhadap Pariyem. Dia mempertanyakan, sikap tokoh Pariyem itu pasrah atau masochis? Bisa juga narsisis dan sadis. Kalau sikap menerima dunia Jawa itu dengan dalih demi harmoni, bukankah itu semua harmoni semu? Harmoni yang menghindarkan fakta dan realitas, bukan memecahkan (Kompas Minggu, 3 Mei 1981). Sikap pro dan kontra ini hemat saya seimbang. Darmanto Yatman, meski getol sekali menghajar Linus, dugaan saya hanya karena dia iri hati sebab Linus mengobral kosakata bahasa Jawa lebih banyak dari Darmanto.

Setelah Pengakuan Pariyem, karya-karya Linus cenderung kehilangan daya hidup. Dia masih terus menulis puisi-puisi pendek berbentuk lirik, tetapi tidak berhasil mengembangkan yang pernah dicapainya melalui Pariyem. Dalam Kembang Tunjung (Nusa Indah-Ende 1993) Linus banyak menulis puisi-puisi perjalanan dengan mutu seperti kebanyakan puisi-puisi perjalanan pada umumnya yang banyak bertebaran di berbagai koran. Tercatat selama kurun waktu 1980 (setelah Pariyem) sampai 1997, Linus telah menulis lagi sebanyak 5 judul kumpulan puisi. Dia juga menulis esei, baik esei sastra maupun non sastra. Tetapi eseinya yang terkumpul dalam Regol-Megal-Megol misalnya, kelihatan tanpa pendalaman dan banyak yang hanya berupa imajinasi atau menggunakan data-data sumir. Sejalan dengan itu Linus, dalam kehidupan sehari-hari mulai tertarik ke masalah supranatural yang oleh kultur modern sering dilecehkan sebagai klenik dan tahayul. Dia lalu mengoleksi keris, perkutut dan memraktekkan kegiatan “kejawen” secara serius.

Dalam ulasan kali ini, saya akan membatasi hanya membicarakan Pengakuan Pariyem. Sebab tampaknya di situ Linus benar-benar total meleburkan diri dalam proses kreatifnya. Karena saya tidak mungkin membaca ulang seluruh ulasan-ulasan yang pernah ada, maka bisa saja terjadi duplikasi. Untuk itu saya akan mencoba merambah ke masalah gender yang pada awal tahun 1980-an belum ramai dibicarakan, masalah kultural yang sangat erat kaitannya dengan kekuasaan, dan secara khusus saya akan mencoba mengungkap keterkaitan Linus dengan dunia supranatural. Sengaja saya memisahkan masalah supranatural dengan masalah kultural sebab gejala yang sudah mulai tampak sejak Danarto menulis Godlob, sampai sekarang belum pernah ada yang membicarakannya secara serius.

Masalah Gender

Linus adalah penganut faham animisme tulen. Kebetulan saja dia lahir dan dididik di lingkungan Katolik yang sekuler. Karenanya pandangan-pandangannya tentang moral (termasuk seks), etika dan dosa adalah khas pandangan-pandangan kaum sekuler. Di kalangan animisme maupun kalangan sekuler, perempuan dihormati. Di kuil Delphi di Yunani Kuno, pendetanya perempuan. Laki-laki atau perempuan, asalkan mampu, dapat menjadi apa pun, termasuk menjadi tokoh spiritual. Ketika faham Hindu masuk ke Jawa, perempuan mulai disisihkan. Dalam tradisi Hindu purba, kalau suami mati, isteri harus ikut dibakar hidup-hidup. Dewa-dewa penting selalu laki-laki. Mahar (emas kawin) dibayar oleh orangtua mempelai perempuan untuk orangtua mempelai laki-laki.

Katolik, yang menganut konsep Trinitas (Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus) sebenarnya merupakan variasi dari konsep Teologi Hindu yang percaya pada tiga dewa tertinggi. Brahma Sang Pencipta, Wisnu Sang Pemelihara dan Syiwa Sang Perusak. Baik Katolik maupun Hindu tidak memasukkan unsur perempuan dalam konsep Teologi mereka. Allah Bapa adalah laki-laki. Roh Kudus digambarkan hanya berupa sinar dan burung merpati, Allah Putera (Jesus) juga laki-laki. Dalam Hindu, Brahma, Syiwa dan Wisnu semua laki-laki. Konsep animisme, misalnya yang menganggap matahari dan bulan sebagai dewa tertinggi, maka matahari itu laki-laki dan bulan perempuan. Bapa angkasa (langit) selalu diikuti oleh ibu pertiwi (bumi). Karena faham animisme menganut konsep harmoni/keseimbangan.

Meskipun Linus saya anggap penganut animisme tulen, itu hanyalah sebatas pada sikap sekulernya terhadap moral, dosa dan etika. Tidak soal konsep Teologi. Sebab, bagaimanapun juga dia pernah dididik secara Katolik dan sangat banyak terpengaruh Hindu. Konsep teologi demikian membuat pandangan Linus terhadap perempuan juga khas Katolik/Hindu. Wanita adalah makhluk kelas dua. Hingga dalam Katolik tidak boleh menjadi Imam dan dalam Hindu (pewayangan) boleh dibakar hidup-hidup. Kristen, yang merupakan sempalan dari Katolik lebih demokratis hingga membolehkan perempuan sebagai pendeta.

Dari latar belakang tersebut, menjadi tidak aneh kalau Linus menciptakan Pariyem yang mau ditiduri anak bossnya, hamil dan tetap diperlakukan sebagai babu. Dalam tradisi bangsawan Jawa, kalau seorang babu hamil oleh majikan maka biasanya segera diangkat menjadi selir. Jadi sebenarnya, untuk ukuran normal Pariyem mestinya protes dan menuntut imbalan sebagai selir. Imbalan tersebut bukan hanya materi melainkan juga status sosial. Tetapi Pariyem pasrah, lego-lilo. Inilah yang menjadi keberatan J.B. Kristanto. Padahal, dalam tradisi tutur Jawa dikenal Kleting Kuning yang meskipun jelek, dia tidak mau ditiduri Yuyu Kangkang sebagai upah menyeberangi kali untuk “ngunggah-unggahi”  Ande-Ande Lumut. Kleting Kuning akhirnya terpilih menjadi permaisuri. Ada semangat besar untuk menang, minimal menjadi lebih baik. Dalam folklore Bawang Merah-Bawang Putih, si putri sengsara akhirnya hapy ending. Ungkapan Jawa menyebut : Sing sapa salah seleh (siapapun yang berbuat salah pasti akan kalah pada akhirnya).

Sikap pasrah, lego-lilo, sumeleh yang idealnya menjadi falsafah hidup siapa saja, pada prakteknya hanya menjadi milik rakyat. Kalau rakyat gembel seperti Pariyem ditiduri anak bossnya, dia harus pasrah. Tetapi juragan, pamong, bahkan raja boleh apa saja. Boleh rakus, boleh sewenang-wenang, boleh sadis. Ini barangkali merupakan pengaruh Tantraisme/Syiwaisme yang menyusup ke Jawa nebeng Hinduisme/Budhisme, dan sempat menjadi marak pada abad XIII. Mo limo (mencuri, membunuh, memperkosa wanita/melacur, berjudi dan mabuk/teler), adalah sah malah sakral dalam upaya mencapai Tuhan. Pada akhirnya mo limo bukan sekedar upaya melainkan tujuan. Dan salah satu korbannya adalah perempuan yang harus pasrah dan lego-lilo meski hak-haknya sebagai perempuan tidak diberikan. Sikap ideal yang mestinya hanya tertuju pada hal-hal yang sifatnya Illahiah, lalu dipukul rata dan diterapkan untuk melarikan diri dari kenyataan. Termasuk untuk menghindari konflik. Dan ini hanya berlaku untuk kaum lemah (wanita) dan rakyat. Sementara laki-laki serta penguasa boleh melakukan apa saja demi “mencapai Tuhan”.

Babad Tanah Jawi adalah dokumen yang penuh dengan intrik, konflik, perang, pembunuhan dan penjarahan di lingkungan elit penguasa Jawa. Sementara rakyat yang lemah harus tetap pasrah dan berserah diri pada penguasa. Wanita dalam tradisi jawa yang telah terpengaruh Hindu, Islam dan Katolik, hanyalah setara dengan barang dan ternak. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, yang menang perang selalu menjarah harta benda, ternak dan wanita. Juga dalam Babad Tanah Jawi. Dalam tradisi raja-raja Jawa, wanita termasuk komoditas yang wajib dipersembahkan sebagai upeti. Salahkah Linus memperlakukan Pariyem menjadi wanita yang lembek, pasrah dan lego-lilo? Bagaimanapun, penyair ini adalah bagian dari satu komunitas yang menganggap perempuan setara dengan barang dan ternak. Apa yang ditulis Linus hanyalah cerminan dari sikap hidup kultur Jawa yang salah dalam memandang perempuan. Pengaruh kultur lama ini demikian kuatnya pada Linus hingga dia lupa jaman telah melahirkan Kartini. Dari Kartini ini lahir Mooryati Soedibyo, Nyonya Suharti, NH Dini, Kartika Affandi dan sederet perempuan yang bisa jadi menteri. Marsinah, meski dia hanya buruh kecil adalah sosok yang tidak pasrah dan lego-lilo menghadapi penindasan kekuasaan.

Kultur Jawa dalam Kekuasaan

Linus adalah pribadi tipikal Jawa yang tidak menyukai konflik. Seks di luar nikah, kehamilan oleh anak majikan, semua wajar demi harmoni. Pengadilan keluarga Kanjeng Cokro Sentono di ndalem Suryomentaraman karena den baguse Ario Atmojo telah menghamili babu mereka Maria Magdalena Pariyem, berlangsung aman dan damai. Semua itu demi keharmonisan keluarga. Dalam hidup sehari-hari, Linus juga pribadi yang nrimo. Honor tidak dibayar juga nrimo. Karyanya dicacimaki dan dilecehkan juga nrimo. Itulah Jawa. Dan itu pulalah yang menyebabkan etnis ini santai-santai saja dijajah Belanda sampai ratusan tahun lalu dijajah penguasa sendiri selama puluhan tahun. Sebab rakyat memang harus nrimo. Perang Diponegoro, perang Suropati, adalah letupan kejengkelan rakyat sesaat. Dan kemudian dengan mudah harmoni dikembalikan oleh sang penguasa. Agak berbeda dengan rakyat Aceh, Timtim dan Vietnam yang mampu berjuang untuk jangka waktu tanpa batas.

Sikap pasrah terhadap Zat Tertinggi, telah diterjemahkan salah hingga juga diberlakukan bagi penguasa duniawi. Ketika bangsa Belanda nyata-nyata kuat dan sulit dilawan, orang Jawa pasrah dan menganggap itulah Tuhan. Sebutan “Kanjeng Gubermen” untuk penguasa Belanda sama dengan sebutan “Kanjeng Romo” untuk Allah Bapa dalam doa Katolik Jawa. Ken Arok yang sebenarnya bandit itu setelah jadi raja lalu dianggap titisan dewa. Sultan Jawa bukan hanya penguasa duniawi tetapi juga Panatagama (penguasa agama). Tampaknya, kultur Jawa sangat lemah apabila dipraktekkan menjadi falsafah yang mendasari struktur dan sistem kekuasaan. Abdi dalem yang saat ini dibayar puluhan ribu rupiah per bulan, merasa sangat berbahagia. Pariyem yang hamil dengan anak bossnya merasa kejatuhan rembulan hanya karena tetap diperbolehkan membabu dan tidak diusir. Pegawai negeri yang gaji bulanannya hanya cukup untuk hidup seminggu tetap saja nrimo, setia pakai seragam korpri tiap upacara tujuhbelasan. Sementara raja, presiden, menteri, bupati boleh korupsi, boleh hidup mewah, boleh sewenang-wenang.

Demokrasi tidak lazim dalam kultur Jawa. Kasta dalam bentuk strata sosial sangat dominan dan tercermin pada tata hidup sehari-hari. Sikap tubuh yang harus menunduk dan ngapurancang (menutup kemaluan dengan dua telapak tangan) apabila menghadapi yang lebih berkuasa adalah cerminan tak adanya demokrasi. Bahasa Jawa mungkin merupakan bahasa paling rumit di dunia karena adanya strata ngoko, krama ngoko, krama andap, krama madya, kromo inggil dan bahasa bagongan (bahasa di lingkungan elit keraton). Sebutan untuk orang kedua (engkau/kamu) menjadi sangat berstrata mulai dari kowe, kono, awakmu, sliramu, ki sanak, sampeyan, penjenengan, penjenengan dalem, nandalem, sampeyan dalem. Kalau penguasa salah sebut kepada bawahan. Misalnya seharusnya kowe menjadi nandalem, bawahan harus tertawa karena itu lucu. Tetapi kalau sebaliknya, atasan bisa mencabut keris dan membunuh bawahan yang keliru tersebut.

Kultur Jawa sebenarnya juga pernah agresif. Kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Tengah yang lebih agraris terbukti kalah ketika dua kali dihajar Sriwijaya yang lebih maritim dan terbuka. Keadaan baru berbalik ketika Majapahit di Jawa Timur menyadari hal ini lalu mengembangkan diri menjadi negara Maritim yang sangat kuat. Demak yang mencoba mempertahankan kejayaan Majapahit telah gagal karena intrik dan konflik keluarga berkepanjangan. Jawa menjadi makin lemah dan tertutup ketika pusat kekuasaannya ditarik masuk ke pedalaman. Sultan Agung yang juga berupaya keras mengembalikan kejayaan Majapahit menemui musuh yang lebih tangguh yakni VOC. Islam yang menggantikan dominasi Hindu dan Budha disusul oleh Kristen dan Katolik. Imigran-imigran Cina yang didatangkan Belanda untuk kepentingan ekonomi dan politik memperkaya kultur Jawa dengan Konfusiasisme dan Thaoisme. Namun kultur
Animisme, Tantraisme dan Syiwaisme tetap dominan.

Kultur Hindu yang sampai ke Jawa dipermak habis hingga terjemahan (saduran) Mahabarata dan Ramayana dari bahasa Sansekerta menjadi lebih halus dan lebih kaya dari versi aslinya. Candi Hindu dan Budha terbaik di dunia ada di Jawa. Bukan di India sana. Wayang kulit adalah kultur tinggi yang merupakan olahan lebih lanjut dari Mahabarata/Ramayana. Kesenian ini merupakan gabungan yang utuh antara seni sastra, seni suara/musik, seni rupa, seni pentas yang sarat dengan falsafah hidup serta ajaran moral.

Dalam hal kreatifitas untuk menjaga harmoni, kultur Jawa memang unggul. Simbol-simbol, slogan, gapura, menjadi lebih penting dari realitas hidup sehari-hari. Pernik-pernik lalu menjadi tujuan. Bukan sarana. Saat ini semua kota madya/kota Kabupaten di Jawa punya slogan. Mulai dari Semarang Kota Atlas, Tegal Kota Bahari, Purwokerto Kota Satria dan lain-lain. Atlas, Bahari, Satria adalah akronim yang bisa dideretkan panjang dan diberi arti macam-macam. Hadiah Adipura adalah tujuan. Sementara kebersihan kota dan ketertiban soal lain. Gapura-gapura batas kota, batas Kabupaten dan Propinsi dibuat besar dan megah dengan taman yang asri sementara toilet di terminal Bis dan kantor Pemda jorok dan berbau busuk. Ada kesalahan pola pikir kultur Jawa yang lebih mengutamakan kulit, ritual dan seremonial, sementara isi dan esensi dilupakan.

Penyair Linus Suryadi adalah korban tak berdaya dari kultur Jawa yang penuh carut marut animisme. Hindu, Budha, Tantraisme, Syiwaisme, Thaoisme, Islam dan Kristen. Linus menyerah. Pariyem tetap berbahagia tak kurang suatu apa sebagai babu ndoro Kanjeng Cokro Sentono di ndalem Suryomentaram. Sementara Rendra yang juga berasal dari kultur Jawa dan dididik secara Katolik, cenderung memberontak. Dalam ballada “Khotbah” yang teatrikal, para jemaat gereja yang kegerahan itu memperkosa, mencincang dan memakan daging pastor muda yang mulus dan tampan. Sutardji yang berangkat dari tradisi Riau, hanya mau menyerah pada Allah. Dalam sajak Tanah Air Mata, penderitaan rakyat justru menjadi kekuatan dahsyat. Air mata “kami” itu bisa mengepung dan menenggelamkan sang penyebab tumpahnya air mata rakyat. Bagaimanapun hal-hal yang tidak beres harus dilawan. Lebih-lebih kalau ketidakberesan itu berasal dari penguasa.

Gejala Supranatural

Supranatural, kekuatan gaib, daya magis adalah gejala alam yang sudah diketahui manusia sejak Nabi Musa (Mesir Kuno), Yunani Kuno dan di jaman Jesus. Tetapi sampai dengan detik ini gejala tersebut tetap tak pernah terungkap secara transparan. Agama dengan tegas menganggapnya sebagai klenik atau kekuatan setan yang jahat. Percaya pada kekuatan keris, batu akik dan jimat adalah terkutuk dan dosa. Ilmu pengetahuan juga menutup pintu rapat-rapat. Praktek paranormal dan perdukunan adalah bohong besar. Itu hanya ada di sinetron dan komik silat. Linus termasuk mereka yang aktif menekuni dunia supranatural. Seorang teman di Yogya mengaku pernah diberi tiga ekor perkutut oleh Linus. Karena merawatnya kurang baik seekor di antaranya berubah menjadi kodok. Teman tadi ketakutan lalu mengembalikan dua perkutut yang masih tersisa. Koleksi perkutut Linus memang puluhan. Juga keris. Konon dia juga praktek menolong orang sakit.

Agak aneh bahwa daya magis itu tidak tampak dalam lirik-lirik Linus. Minimal jika dibandingkan dengan sajak Sutardji yang beragkat dari mantra dan cerpen Danarto yang sarat daya supranatural. Padahal Sutardji tidak jadi dukun dan hidup normal seperti biasa. Danarto  setahu saya juga tidak segila Linus dalam melibatkan diri dengan urusan “kejawen”. Mungkin memang ada perbedaan yang tajam antara penyair dan dukun atau tokoh kejawen. Sutardji dugaan saya tidak pernah sengaja memagis-magiskan sajaknya. Demikian pula dengan Danarto ketika menulis cerpen. Dalam pengakuan Pariyem, dunia batin wanita Jawa itu tidak terlalu kelihatan. Yang dominan justru kepiawaian Linus dalam mendeskripsi alam dan lingkungan sosial sekitar Yogya. Sebagai upaya untuk mengungkap “dunia batin” wanita Jawa, saya cenderung menilai Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk lebih berhasil.

Yang pantas dihargai dari Linus adalah upayanya mengambil jalur prosa lirik yang memang merupakan tradisi Jawa. Tembang, seperti halnya mantra bukan melulu sarana hiburan atau bentuk kesenian. Tembang  juga merupakan sarana untuk mengundang daya supranatural. Inilah harta karun Jawa yang tidak dimiliki peradaban modern manapun. Chairil Anwar, menganggap dirinya sebagai “pewaris sastra dunia”. Sutardji menolak. Dia ingin mewariskan sesuatu yang tidak dimiliki oleh dunia. Kultur Jawa adalah dagangan menarik untuk ditawarkan ke pasar dunia. Tetapi, kultur itu tidak harus diperlakukan seperti keris. Dibagus-baguskan, dirumit-rumitkan, diindah-indahkan, padahal kenyataannya keris adalah alat pembunuh. Kultur Jawa, kalau mau dijual perlu dicincang, dilumatkan, diperam dan entah diapakan lagi agar sampai ke standar internasional.

Upaya Linus memerlukan sebuah kerja estafet yang panjang. Sebab kenyataannya, hal yang paling esensial dari tembang, yakni daya magis belum muncul. Linus secara tidak sengaja telah terjebak mengagumi harta karun Jawa itu, hingga dia tergoda untuk terjun terlalu jauh. Sementara tugasnya sebagai penyair terhenti hanya pada karya monumentalnya Pengakuan Pariyem. Dia memang merencanakan menggali lebih jauh ke jaman Mataram Hindu. Liriknya yang paling mutakhir Dewi Anjani baru tertulis 4 fragmen dari rencananya 12 fragmen. Kalau Chairil Anwar adalah dinamit yang “sekali berarti, sudah itu mati”, dan dia benar-benar mati pada umur 27 tahun; maka Linus adalah korban dari kultur Jawa yang menyedot habis energinya.

Sikap pasrah, nrimo dan lain-lain dalam kultur Jawa, tidak relevan untuk menghadapi kekuasaan yang cenderung tiran. Kultur kuno itu harus diberontak. Sebab kalau tidak, sastra Indonesia akan terjebak menjual lukisan-lukisan “Moi Indie” yang eksotis tapi tak bernyawa. Sastra Indonesia perlu mengaduk-aduk dan mengobrak-abrik kultur Jawa untuk menangkap rohnya. Dan roh magis itu mudah-mudahan ampuh untuk menggertak sastra dunia. ***

Jakarta, 9 September 1999
Makalah Diskusi Sastra mengenang 40 Hari wafat Linus Suryadi AG di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, TIM 11 September 1999.


Tim Cikeas

$
0
0

Siang, perumahan Puri Cikeas, Mas Suwito marah besar. “Ini kalian ini ibarat menyalip dari kiri, menggunting dalam lipatan, menusuk teman seiring. Apa sebenarnya mau kalian? Aku ini sudah mati-matian berjuang untuk Pak SBY, bukan hanya dengan omongan, tetapi juga dengan uang. Berapa èm coba yang sudah aku setor ke kalian? Tiba-tiba sekarang kalian bikin manuver. Mau cari muka ke Pak SBY? Aku juga bisa telepon ke Pak SBY sekarang ini juga. Kalian pura-pura bengong, kaget, tidak tahu menahu, tetapi sebenarnya semuanya sudah kalian atur rapi, dengan tujuan satu, yakni menyingkirkan saya, Suwito, dari lingkaran dekat Pak SBY. Ya kan? Lalu sekarang ini kalian kumpul di sini tanpa ngasih tahu saya ini juga bukti kan? Mau mungkir apalagi? Ini sekarang kalian sedang nonton hasilnya kan? Hebat, bisa menaikkan citra Pak SBY sekian persen, sambil menggusur saya sekian meter. Coba sekarang siapa yang mau ngomong ke saya untuk memberikan penjelasan. Saya juga barusan kontak dengan Panglima TNI, beliau mengatakan tidak tahu menahu.”

“Mohon maaf Pak Suwito, dari pagi tadi kami ini sudah kontak Bapak, tetapi mengapa HP Bapak semua tidak bisa nyambung ya? O, Bapak kalau baru saja bangun ya pasti tidak bisa terkontak. Kami juga sempat kontak Ibu, kata ibu, beliau sedang ada di Yogya, apa Ibu tidak kontak ke Bapak? Kami memberitahu Bapak, bahwa kita kumpul hari ini, karena acara di Tengger itu bukan dari kami. Tadi, kami malah mengira, Bapak ada disana dengan Pak SBY. Tetapi kami lihat di tivi kok Bapak tidak kelihatan. Berarti Bapak tidak disana. Ternyata benar. Jadi ini serius Pak, kami juga bingung. Sebab kemarin, Bapak masih menerima laporan hasil Rakor Polkam tentang ijin acara Tengger itu. Beliau mengatakan, ya laksanaken sesuai ketentuan yang ada. Kok tahu-tahu pagi tadi beliau sudah ada disana. Di satu pihak, kami jelas senang, karena Bapak sangat diuntungkan dengan kehadiran beliau di sana. Namun di lain pihak, tanpa ada koordinasi yang rapi, saya takut kalau sebenarnya ada agenda terselubung dari pihak lain, untuk menghancurkan Bapak.”

“Kalau begitu mari kita ke dalam saja, kita harus mengatur ulang rencana B. E, kamu coba ini, cari rokok sebentar ke depan.” Kelompok yang menyebut diri mereka tim Cikeas itu kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan. “Kita tidak boleh ngomong sembarangan di depan banyak orang. Ini sudah sangat serius. Kita sudah dipotong oleh pihak sana. Kalian tahu siapa sebenarnya dibalik manuver ini? Tidak ada yang tahu kan? Namanya Arif, menantu Jenderal Suryo. Ya Pak Suryo yang di Polonia itu, mau yang mana lagi. Ah, kalian ini tahu apa? Arif itu Preskom Garuda Perkasa Holding Company. Yang ngurus acara tengger itu Garuda Perkasa Entertainment. Beberapa minggu yang lalu, Arif ini memang pernah ditegur Pak Suryo. Sebab Jenderal Suryo itu pendukung kuat Sultan. Pak Suryo itu malah labih gila dari saya. Mosok golnya menjadikan Sultan sebagai Raja Indonesia. Katanya kita ini perlu Ratu Adil. Yang layak menjadi Ratu Adil itu hanya yang sudah menjadi raja, yaitu Sultan X. Aku sih iya-iya saja. Nah Pak Suryo ini tahu betul kalau menantunya ada main dengan Timnya Pak SBY. Sampai sekarang saya tidak tahu ini ulah tim yang mana lagi.”

“Lalu apa yang harus kita lakukan Pak? Mungkin Pak Suwito bisa melalui Jenderal Suryo menghubungi Pak siapa? Pak Arif ya? Lo, kalau Bapak juga kenal baik Pak Arif ya malah lebih bagus lagi. Masalahnya, kalau para donatur tahu bahwa yang mengarange, acara Tengger ini bukan kita, maka kepercayaan mereka ke kita akan berkurang. Mbok ya coba Pak Suwito menghubungi beliau sekarang. Supaya agak jelas begitu.” Suwito lalu menekan-nekan nomor. “Halo, Mas Arif ini ya? Suwito ini Mas, bagaimana kabarnya Ibu? Makin sehat kan? O, ya, ya. saya juga ikut prihatin. Bapak Suryo memang selalu cerita panjang lebar soal Ibu Tyas ini. Anu, begini ini Mas Arif, ini yang mengarange acara di Tengger ini Mas Arif kan? O, ya pasti, maksud saya kan perusahaannya Mas Arif begitu. Ya saya profisiatlah, sebab Bapak SBY bisa hadir di sana. Lo, jadi Mas Arif malah belum tahu? O, belum sempat baca koran belum sempat nonton tivi? Lo ini Mas Arif dimana? O, di Gunung Halimun? Lo, apa mereka tidak sempat lapor ke Mas Arif? O, memang sepenuhnya wewenang mereka ya? Ya sudah, saya juga akan ketemu dengan Bapak Suryo ini sebentar lagi. Terimakasih Mas Arif, ya sampai ketemu lagi.”

“Jadi tampaknya dia juga tidak terlalu tahu detilnya. Ya tadi dia juga mengatakan bahwa pernah ada gagasan bagaimana kalau Pak SBY hadir disana, tetapi kemudian tidak berlanjut. Lalu katanya dia sama sekali tidak tahu menahu. Katanya sih baru di Gunung Halimun. Saya sebenarnya juga agak curiga dengan anak ini. Dia itu sedikit-sedikit ke Gunung Halimun, ke Gunung Gede, ke Ujung Kulon, ke Merapi, saya curiga sebenarnya dia juga pegang proyek. Tidak tahu, tetapi bisa saja ini juga menyangkut Pak SBY. Dia sih katanya profesional, siapa saja akan dilayani, tetapi ya kita lihatlah, sebenarnya dia itu kerja untuk siapa? Ini sekarang sudah terbukti bisa membawa Pak SBY ke Tengger. Nanti akan ada manuver apa lagi. Kalian mestinya memang tidak hanya diam. Iya pasti, aku akan memberikan dukungan penuh. Tetapi jangan hanya saya maksudnya. Kalian itu tahu kan, kalau banyak orang yang tidak suka sama saya? Mereka itu ngiri sebenarnya. Tidak tahu apa yang mereka irikan dari saya.”

Siang itu ada dua tim lagi yang datang ke Cikeas. Boss dua tim ini juga marah-marah, menuduh Tim Cikeas bikin manuver. Setelah dijelaskan panjang lebar oleh Mas Suwito, baru mereka percaya. “Memang seharusnya ada koordinasi yang agak rapi ya. Jangan sampai kita ini sudah kerja keras sekian lama, termasuk mengumpulkan uang, lalu tiba-tiba ada pahlawan kesiangan datang, mengambil alih semua, lalu kita dibiarkan terlantar. Ini yang harus kita jaga. Kita juga tidak tahu mereka itu siapa. Mereka kontak ke dalam melalui siapa, saya juga tidak tahu. Ya ada kemungkinan bisa seperti yang disampaikan oleh Pak Suwito ini. Bisa saja mereka punya jalur khusus ke Pak SBY langsung. Sebab kalau normal, kan harus lewat kita-kita ini. Acara kenegaraan juga tidak. Saya sudah menghubungi Setneg, dan sekretariat presiden, tidak ada acara resmi presiden. Kalau acara pribadi mungkin saja, kata mereka.”

* * *

Rumah Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko, di Polonia, Jakarta Timur. Mas Suwito duduk di beranda, tidak lama kemudian Pak Suryo keluar, menyalami, lalu mereka ngobrol akrab. “Ratih dan Wulan itu nginep di sini, ribut melulu di belakang sana. Arif sedang di gunung mana itu saya lupa. Galunggung? Halimun? Lo kok kamu malah tahu Wit? O, telpon Arif. Tyas juga tidak tahu itu tadi pergi sama siapa, jadi ini tadi dari mana? Cikeas? La aku nonton tivi tadi itu Pak SBY malah ada di Tengger. Arif itu sudah saya bilang dari dulu, harus ikut keluarga mendukung Sultan. Kok, selonang-selonong kemana-mana. Cari duit ya cari duit tetapi prinsip kan harus dipegang, ya to Wit? Kalau kamu, dari dulu kan pasti ikut aku. Sekarang aku mau tanya ya Suwito, Sultan itu paling pas pasangan sama siapa? Ya pasti dia yang RI 1. Coba ayo. Aku ingin ngetes kamu ini. Sama Pak JK? Persis. Pak JK itu hebat. Beliau itu benar-benar cerdas dan tahu posisi. Ya to Wit? Kamu jangan hanya manggut-manggut melulu. Mana ini kopinya kok lama sekali?”

“Jadi jelasnya, kamu ingin saya menegur keras si Arif? Ya itu gampang. Dari dulu aku ini kan selalu keras sama dia. Tetapi Arifnya sendiri yang bandel. Ya kalau dia itu jadi timnya Pak SBY sekalian, saya malah setuju. Lha dia itu kan méncla-ménclé. Ini sekarang dia ke SBY, besuk ke Bu Mega, besuknya lagi ke Sultan. Itu namanya kan méncla-ménclé. Ibaratnya ésuk dhelé soré témpé. Kadang-kadang, kamu itu kan juga begitu kan? Lha ini tadi dari Cikeas ada apa? O, ya memang kalau tugas yang dulu itu tetap harus dijalankan. Kamu itu harus masuk kemana-mana, tapi harus lapor kemari. Sebab kalau saya itu sudah terlalu tua, juga terlalu tinggi. Saya datang ke Cikeas, semua orang ribut, datang ke Kebagusan, semua ribut. Bulan lalu itu saya kan ke Bu JK, bukan Pak JK, urusannya juga urusan anggrek, wah telepon dari mana-mana, katanya saya belok kanan mendukung Pak JK. Sekalian saya ngomong, memang saya mendukung Pak JK untuk jadi RI 2, RI 1nya Sultan. Setelah saya ngomong begitu, baru mereka diam semua. Orang-orang itu kalau kata Wulan dan Ratih itu, sukanya sotoi ya Wit ya?”

“Wito, Wito, ini ceritanya ini, yang datang itu apa benar Nabi Isa? Lha kok si Arif itu bukan ngurusi proyeknya kok ya malah di gunung. Ya, kamu percaya Wit? Kalau saya kok ragu-ragu. Ini jangan-jangan seperti sulapannya itu lo David Koperfil itu. Patung Liberti saja bisa dilenyapkan. Jadi kalau hanya sekadar menurunkan orang di depan Mesjid Al Aqso, itu kan pekerjaan mudah? Lalu dibilang itu Nabi Isa. Lalu kamu juga percaya? Apa buktinya coba? Itu, tadi ketika Pak SBY pidato, masih mendung, lalu ketika dia naik panggung, terus langitnya terang? Kamu itu katanya punya hubungan dengan orang-orang pinter sak jagat. La kok begitu saja gumun. Itu tadi, tinggal panitianya pakai pawang hujan lima saja sudah cukup. Pokoknya, kontraknya itu jam sepuluh langit harus terang. Ya itu memang pekerjaan pawang. Lalu orang-orang gumun. Kok bisa ya? O, berarti ini benar Nabi Isa. Kalau yang Kristen o, benar ini Gusti Jesus! Itu sulap. Memang sulap juga biayanya mahal kan? Dulu waktu mendatangkan David Koperfil itu kan juga mahal sekali.”

“Coba, ini saya tak ngomong sama Arif ya, itu anak memang harus terus diarahkan kok. Ya, ini Bapak, ya Bapak Rif. Ya di rumah di Polonia. Ini saya sama Suwito. Ya tidak ada apa-apa, kamu itu dari dulu memang sentimen bener kok sama Suwito itu. Ya tidak apa-apa, dia tadi dari Cikeas, lalu mampir kemari, ya terus mau pulang. Sebenarnya mau saya ajak ke Sate Kadir tapi bilangnya sudah dari Jagorawi, masuk Jagorawi lagi. Malas dia. Ini lo Rif, Suwito itu protes, kok Pak SBY bisa tampil di acaramu di Tengger itu bagaimana? Mestinya kan Sultan kan? Kok malah kamu jual ke Pak SBY. Lo kamu tidak dibayar oleh Pak SBY? Malah mbayar? Ini kok malah kebalik-balik ini bagaimana to? Jadi ada donatur? Sponsor begitulah ya? Ya memang bukan kamu, ya anak buahmu, lalu? Untuk tim suksesnya Pak SBY? Lalu kamu dapat apa? O, bersihnya dibagi dua antara kamu dengan tim suksesnya Pak SBY begitu? Jadi jelasnya kamu itu ngamen begitu to? Lo, kalau bukan kamu apa Pak SBY yang ngamen?
Ya, ya, kalau begitu nanti kita omonginlah bagaimana Sultan juga kamu begitukan itu ya? Ya, hati-hati ya? Ya ada itu Ratih sama Wulan di belakang sana. Ibunya yang pergi sama eyangnya. Ya sudah.”

“Jadi ini tadi begini Wito, kata Arif, acara ini tiba-tiba ada yang mau membeli, untuk menghadirkan Pak SBY. Lalu terjadilah tawar-menawar antara anak buahnya Arif dengan si donatur. Lalu donatur ini langsung kontak ke Pak SBY, dan ternyata beliau setuju. Jadi Arifnya juga malah tidak tahu. Dia itu ternyata tidak di gunung. Dia itu di resornya Sinar Mas, membuka pelatihan. Resornya itu memang di Gunung Halimun. Saya juga pernah diajak nginep disana kok. Bagus tempatnya, di tengah kebun teh, di pinggiran hutan. Enak tempat itu Wit, kapan-kapan kita ajak orang-orangnya Sultan untuk kongko-kongko disana, bikin kambing guling. Cuma jalan masuknya itu yang minta ampun. Jadi harus bawa yang dobel gardan. Kalau bangsanya Kijang ya susah. Apalagi sedan, ancur Wit. Itu lewat tengah hutan kok. Ya hutan Gunung Halimun, lalu ketemu kebun teh, naik lagi, nah disitu itu resornya. Jalannya yang di kebun teh juga sama-sama hancur. Minta ampunlah kalau jalannya. Kalau pakai heli memang enak Wit, turunnya di lapangan di kebun teh. Iya, ada lapangannya, banyak lapangan disana. Kamu itu kadang-kadang juga keluar kok pintermu itu.”

“Hanya begini ya Suwito, aku ini masih tetap curiga sama si Arif itu. Jangan-jangan dia itu memang sudah nggabung dengan Tim Cikeas sana. Maka cobalah kamu telepon ke orang-orang disana.” Suwito menghubungi Cikeas. “Ini Suwito. Sudah bersama Jenderal Suryo, Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko. Ini aku mau tegasken lagi ya, kalian ini tidak sedang main sandiwara kan? Sandiwara, maksudnya di depanku kalian bilang tidak ada apa-apa, tetapi di belakang kalian main dengan Mas Arif. Saya hanya akan menegaskan itu saja. Sebab beliau, Bapak Suryo ini, minta agar saya menegaskan hal ini ke kalian. Kalau memang kalian tidak kenal dengan Mas Arif ya sudah. Atau mungkin ada tim lain? Siapa? Dari Singapur? Didrop dana dari Singapur. Kalau boleh tahu berapa èm? Tidak tahu ya? Ada sepuluh? Lebih? Wah gila itu orang. Diserahkan ke siapa? Ya sudah kalau memang tidak tahu. Kapan Pak SBY pulang? O, sekarang sudah di Istana? Ya, ya, terimakasih ya atas infonya.”

* * *

Masih di sekitar Cikeas, tim itu terdiri dari lima orang. Mereka masih membicarakan Mas Suwito. “Ini orang yang bernama Suwito ini bisa dipercaya atau tidak sih? Aku sebenarnya agak curiga, juga jengkel. Kok tiba-tiba dia bisa perintah-perintah kita. Memangnya dia itu siapa? Orang partai juga bukan, pajabat bukan, pengusaha juga bukan, dulunya siapa sih yang membawa dia kemari? Kalau kita ini, semuanya kan jelas. Ada yang dari angkatan, dari perguruan tinggi, dan yang paling banyak memang dari Golkar. Suwito ini tidak jelas. Apa kita masih akan terus diam saja dibentak-bentak dia, diperintah-perintah dia? Bos kita itu kan Pak SBY? Apa pernah beliau membentak-bentak kita? Paling banter kalau kita salah kan diingatkan, diluruskan, bahkan kadang juga dibantu memecahkan masalah. Nah ini Suwito, datang-datang langsung ngomel yang tidak karuan juntrungannya. Dan jebul yang tadi dipermasalahkan itu, ternyata orang-orangnya sendiri. Jangan-jangan dia itu orang yang sengaja diselundupkan oleh pihak sana, untuk memata-matai kita?”

“Nanti dulu. Saya juga tidak suka dengan orang ini. Suwito itu memang menyebalkan. Kalau masih pegang pestol, sudah kutembak kepalanya itu. Tetapi soal diselundupkan dan sebagainya, itu tidak benar. Dia itu memang kita minta. Jadi ketika itu, ada orang kepercayaan Bapak, yang memberi masukan tentang sebuah pusaka peninggalan Majapahit, yang sebaiknya dipegang oleh Bapak. Saya lupa nama pusaka itu. Bapak lalu menghubungi para ahli tosan aji, juga bertanya ke ahli-ahli sejarah, apakah pusaka seperti itu memang ada, atau hanya legenda. Ternyata memang benar ada, dan hanya satu. Pusaka ini juga tidak mungkin dipalsukan, karena campuran logamnya sangat khas, dan ada cacatnya. Cacat inilah yang tidak mungkin ada dalam tiruannya. Dari orang Museum Pusat, Bapak mendengar bahwa yang tahu keris itu namanya Suwito. maka Mas Suwito itu pun kami panggil. Jadi bukan Suwito yang datang menawarkan diri, melainkan kita yang mencarinya. Dan dia memang bisa membawa keris itu ke Bapak.”

“Ya tentu Bapak tidak bisa langsung begitu saja percaya. Para ahli tosan aji, para ahli metalurgi, juga ahli isotop radio aktif dari BATAN, diundang Bapak ke Cikeas. Mereka mengatakan yang dibawa Suwito itu otentik. Sebab membedakan keris kuno dengan keris modern itu sangat mudah. Mereka menyarankan Bapak memegang pusaka tadi, dengan tujuan agar bisa lebih dekat dengan masyarakat kecil. Istilah yang populer sekarang ini, wong cilik. Sejak itulah kami ini sering minta bantuan Mas Suwito. Suwito itu memang menyebalkan, tetapi kalau soal pusaka, kemudian soal yang gaib-gaib, dia itu ahlinya. Sebenarnya dia itu juga tidak tahu apa-apa tentang pusaka, tentang yang gaib-gaib. Tetapi jaringan Suwito itu luas sekali. Dia kenal orang-orang keraton, museum, ahli purbakala, para juru kunci makam, dan juga macam-macam dukun. Bapak sendiri sebenarnya kan sangat rasional. Beliau tidak suka dengan yang begini-begini ini. Tetapi beliau juga tidak melarang, sejauh barang itu bisa membuat keyakian kami bertambah kuat. Begitulah cerita soal Suwito.”

“Tetapi begini ya, saya dengar, itu semua juga bagian dari rekayasa. Barang beginian kan nilainya èm-èm-an. Maka ia mulai menggarap orang-orang terdekat Bapak. Dia pasti suruhan orang, yang pintar bercerita tentang pusaka, yang disebut-sebut bisa menjadi syarat untuk seseorang seperti Bapak itu. Setelah umpan masuk, nah, barangnya harus disiapkan. Keris itu biasanya keris baru, tetapi dibuat tampak seperti keris tua. Keris baru, diberi soda juga akan terkikis hingga menjadi sangat tua. Hebatnya jaringan Suwito, dia juga sampai menggarap orang-orang Museum, orang-orang BATAN, orang-orang metalurgi dan lain-lain. Jadi begitu orang-orang itu dipanggil, mereka akan merekomendasikan, bahwa barang itu otentik. Model penipuan seperti ini sebenarnya sudah klasik. Orang datang ke kampung mencari-cari keris pusaka. Tidak lama kemudian datang orang lain lagi mau menjual keris pusaka. Orang kampung itu lalu membelinya. ternyata itu keris biasa yang nilainya sangat rendah.”

“Lho, berarti saya itu juga telah tertipu ya? Diancuk tenan Suwito itu. Tetapi saya akan coba tes itu orang-orang BATAN itu. Mosok sih mereka bisa ikut menjadi bagian dari jaringan penipuan seperti ini? Coba saya teleponnya ya, saya masih menyimpan nomor mereka kok. Mas Broto ini ya? Saya Makmun Mas, dari Jakarta, dari Kayumanis. Ini saya mau minta tolong ke Mas Broto. Ini ada orang yang perlu keris. Tolong dong, tarifnya berapa untuk merekomendasi? Limapuluh juta? Mosok sampai setinggi itu? Ini bukan keris yang èm-èman. Boss ini hanya mau membayar paling tinggi 100 juta rupiah. Apa tidak bisa turun itu Mas Broto? Okey, ya, ya, nanti saya hubungi lagi ….. Ya pantas mereka mau. Limapuluh juta. Gaji mereka setahun juga tidak ada segitu. Waduh, jadi surat keterangan, sertifikat dan lain-lain itu semua bisa diperdagangkan ya? Coba nanti saya akan kontak ke keraton, bisakah ngasih semacam sertifikat keaslian pusaka, dan berapa tarifnya. Kalau benar demikian, O…., Suwito itu memang benar-benar diancuk tenan!”

“Maka itu Mas, dari tadi kan saya sudah mengatakan, bahwa kita harus waspada dengan orang-orang seperti ini. Ideologi Suwito itu kan ideologi fulus. Bagi Suwito, partai itu seperti toko baju. Dia akan masuk toko A, toko B, atau toko C, tidak ada masalah. Yang penting uang mengalir masuk ke kantongnya. Kalau memang demikian, masih lumayan. Yang saya takutkan, sudah uang kita diporoti, ternyata dia adalah bagian dari Tim Sukses lawan. Wah, kalau ini yang terjadi, saya akan lapor Bapak langsung. Biar didor saja Si Suwito itu. Ada yang berani matur tentang hal ini ke Bapak? Kalau ada yang berani, sebaiknya kita laporkan saja si Suwito itu. Sebab begitu ada peluang menempel, orang seperti ini akan segera saja lengket. Tetapi memang ada baiknya kita tes ulang itu keris pusaka dari Suwito itu. Tetapi diam-diam saja, dan ke ahli tosan aji yang benar-benar netral. Disimpan dimana sekarang pusaka dari Suwito itu? Disini kan? Coba nanti saya telepon lagi orang-orang itu.” * * *

Fragmen Novel Para Calon Presiden

 


Mossad

$
0
0

Komplek Pelatihan BIN, Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Di ruang makan, para instruktur ngobrol santai, tentang orang yang menamakan dirinya Jesus Kristus. Mereka merasa telah kecolongan. Salah seorang di antara mereka mengatakan telah menghubungi koleganya di Yordania. Dari Amman, diberitakan bahwa paspor atas nama Jesus Binti Jusuf itu memang asli, dikeluarkan kantor imigrasi Amman, atas permintaan sebuah EO di Amman sendiri. Kantor imigrasi Jordania itu mempertanyakan, apa benar ini Jesus Kristus, Isa Al Masih itu? EO itu menjawab benar, maka tanggal lahirnya diisi 25 Desember 0001. Karena akte lahir tidak mungkin diperoleh, maka dibuatlah akte berdasarkan berita acara yang dibuat oleh Pemerintah Israel, bersama dengan Pemerintah Otoritas Palestina. Berita acara itu menyatakan, bahwa berdasarkan saksi-saksi, dan pengamatan para petugas Israel dan Palestina, maka benar bahwa Jesus Kristus itu telah turun dari langit, di halaman Kubah Sakhrah, di Kota Tua Jerusalem.

Jadi ketika menyeberang dari kawasan Otoritas Palestina ke Jordania, Jesus belum berpaspor. Dia hanya menggunakan pas masuk sementara. Paspor baru dibuat di Amman, dan Kedubes RI di sana mengeluarkan visa. “Apa teman-teman di Kalibata sudah dapat sample rambutnya? Ya dari roomboy di hotel tempat nginapnya itu? Sudah? Lalu tes DNAnya sudah dapat?” Lab tempat tes DNA itu ketakutan. Pertama hasil tes itu menunjukkan bahwa rambut itu bukan rambut manusia tetapi bulu simpanse. Padahal yang mereka tes jelas empat utas rambut manusia yang dibungkus rapi. Sebelum dilakukan tes, dicek bahwa empat rambut itu memang berasal dari satu orang. Tes kedua dilakukan. Hasilnya, diperoleh DNA sperm whale, paus kepala besar. Kemudian tiga orang secara serentak mengetes sample yang sama. Hasilnya DNA burung perkutut, kodok dan iguana. Petugas lab itu segera mengembalikan empat helai rambut yang sebagian sudah mereka potong untuk dites, ke kantor Kalibata.

Rencananya empat helai rambut itu akan dikirim ke empat lab berbeda. Baru saja mereka selesai rapat, HP salah seorang anggota berdering. “Halo, ya saya sendiri, ini dari siapa? Roomboy Bromo Cottage? Saya tidak ada urusan dengan Anda kan? Apa? Memerlukan rambut? Saya tidak pernah memesan rambut tamu hotel ke Anda kan? Dia baru saja potong rambut? Dia itu siapa?” Kata roomboy itu, tamu yang bernama Jesus itu minta dipanggilkan pemotong rambut. Katanya ia akan merapikan rambut dan brewoknya. Setelah selesai, rambut itu ia minta untuk dikumpulkan, lalu dibungkus rapi. Roomboy itu bertanya, ini untuk apa Tuan? Jesus lalu menulis nomor HP. “Coba hubungi nomor ini. Ia perlu rambut saya.” Anggota itu segera mematikan HPnya. HP itu berdering lagi. Bahkan setelah baterainya dicopot pun tetap berdering.  Ia lalu membuang HP itu ke dalam got, dan lari ke ruang bossnya. “Kamu itu dari mana kok lari-lari seperti orang ketakutan begitu? Ini ada telepon untuk kamu!”

“Saya menduga, jangan-jangan ini pekerjaan Mossad atau Shin Bet. Sebab CIA masih tidak bisa membuat yang sedemikian canggihnya. Kok roomboy hotel bisa tahu nomor HP anggota kita? Ini kan edan! Saya masih terus bertanya-tanya, apa sebenarnya agenda Mossad dengan melakukan hal ini? Kecurigaan saya kepada Mossad ini tidak berlebihan, sebab tiba-tiba dengan mudahnya Pemerintah Israel mau ikut membuat berita acara resmi tentang kedatangan Jesus Kristus. Ini memang juga menyangkut bisnis, dan kita tahu bahwa Jahudi itu pebisnis hebat. Sampai-sampai di Uni Eropa dan AS, sebutan untuk orang yang sangat kikir adalah “Jahudi”. Bisnis dan politik memang sangat kait mengait. Yang jelas, Israel, tentu juga melalui AS, sangat berkepentingan dengan Indonesia. Kita ini negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Bahkan kalau orang-orang luar sana bilangnya lebih simpel, Indonesia adalah negara Islam terbesar di dunia. Hanya yang masih harus terus kita cermati adalah motiv dari proyek ini: ingin membuat kekacauan, atau justru mau meredamnya?”

“Kamu siapa namanya? Alex? Alex siapa ya? Alex Tomohon? Apa kamu memang dari Tomohon? Kamu siapa kok pakai bawa-bawa Mossad segala? Angkatan berapa kamu? Kamu belum kenal aku? Aku Paul, Paul Gunung Kidul, makanannya tiwul. Jangan nyengir dulu kamu Lex. Aku empat setengah tahun ditaruh Pak Benny di sana, dua tahun di Tel Aviv, dua setengah tahun di London. Jadi tahu apa kamu tentang Mossad? Empat setengah tahun di sana Lex, aku tidak pernah tahu Mossad itu binatang apa, makanannya apa, dia binatang melata atau vertebrata, aku buta. Kalau aku ditanya orang tentang Mossad, maka yang bisa aku lakukan hanya menggeleng. Aku tidak pernah kenal anggota mereka, apalagi para bossnya. Mossad itu angin. Kita tahu kehadirannya, tanpa bisa melihat sosoknya. Kita hanya tahu ada angin karena daun-daun bergerak, bendera berkibaran. Tetapi anginnya seperti apa, tidak pernah ada orang tahu. Melihat pun susah, apalagi menangkapnya. Jadi masih mau ngomong tentang Mossad Lex? Tetapi maaf Lex, sebenarnya ini tadi kamu sedang mau ngomong tentang Mossad, atau mukjizat? Mosok ada telepon tanpa baterai bisa bunyi?”

“Pak Paul, kerja Mossad memang penuh mukjizat. Jadi yang mau saya sampaikan dua-duanya. Pak Paul ingat Operasi Entebbe, atau Operasi Halilintar? Tanggal 27 Juni1976, pesawat Airbus A300 Air France dengan nomor penerbangan F-BVGG, take off dari Bandara Ben Gurion, Tel Aviv, dengan tujuan Bandara Charles De Gaulle, Paris, dan transit di Athena, Yunani. Di atas Yunani, pesawat berpenumpang 248 orang dengan
12 awak ini dibajak oleh Populer Front for the Libration Palestine, dan dibawa ke Bandara Entebbe, Uganda. Pemerintah Perancis, maupun Uganda tak berdaya. Sampai tanggal 3 Juli 1976, pembajak masih di atas angin. Karena 94 di antara sandera itu warga negara Israel, malam itu 100 Pasukan Komando Israel diterbangkan ke Entebbe. Jarak yang ditempuh 3.580 km, lewat Mesir dan Sudan. Pesawat Komando Israel itu lolos dari layar radar. Pada dini hari, 4 Juli 1976, sandera berhasil dibebaskan dan dibawa kembali ke Tel Aviv. Delapan pembajak dan 45 tentara Uganda tewas, 11 pesawat rusak. Hanya empat sandera tewas, 10 terluka, dan satu pasukan komando Israel gugur. Ini Mossad yang hebat, atau mukjizat Pak Paul?”

* * *

Israel memang bangsa keras kepala, tetapi lebih sering terlunta-lunta. Abraham, Ibrahim, nenek moyang bangsa ini, datang ke Tanah Kanaan, pegunungan dan lembah di sekitar Sungai Jordan, Danau Galilea, serta Laut Mati. Abraham datang dari Mesopotamia, lembah di antara Sungai Tigris dan Euphrat. Abraham berada di Tanah Kanaan sebagai pendatang, atas nama Jahwe. Ketika Abraham datang, di Tanah Kanaan telah ada banyak suku lain, termasuk Palestina. Ketika itu, antara 2000 sd.1500 SM,  Tanah Kanaan berada di bawah kekuasaan Mesir. Yang disebut Bani Israel, adalah 12 orang cicit Abraham, cucu Ishak, atau anak Jakob dari dua isteri dan dua pembantunya. Mereka adalah Reuben (1), Simeon (2), Levi (3), Judah (4), Dan (5), Naphtali (6), Gad (7), Asher (8), Issachar (9), Zebulun (10), Joseph (11), dan Benjamin (12). Abraham pernah mengungsi ke Mesir karena Tanah Kanaan dilanda bencana kelaparan. Demikian juga dengan 12 Bani Israel beserta keturunannya. Populasi Bani Israel di Mesir bertambah banyak, dan derajat mereka turun dari Keluarga Joseph Sang Raja Muda, menjadi budak.

Musa telah membebaskan Bani Israel dari perbudakan di Mesir. Peristiwa ini dirayakan Bani Israel sebagai Hari Raya Paskah. Yang kemudian berhasil membawa masuk bangsa ini kembali ke tanah Kanaan, bukan Musa melainkan Josua.  Bani Israel berhasil kembali ke Tanah Kanaan dengan cara berperang, membunuh, dan menjarah. Puncak dari kejayaan Israel adalah ketika tahun 1047 – 1007 SM, Saul menjadi raja Israel, disusul oleh Daud (1007 – 970 SM), dan Solomon (979 – 938 SM). Pada pemerintahan Solomon inilah Bait Suci, Bait HaMikdash, dibangun. Setelah pemerintahan Solomon, Kerajaan Israel terus mundur, bahkan terpecah dua, yakni Israel di utara dengan ibukota Samaria, dan Judea di selatan dengan ibukota Jerusalem. Tahun 586 SM, Raja Nebuchadnezzar dari Babilonia, Mesopotamia, menaklukkan Israel, dan menghancurkan Bait Suci. Warga Israel, yang kemudian juga disebut Jahudi, diangkut ke Babilon sebagai budak. Mereka yang tidak tahan, kabur ke Mesir, Arab, dan negara-negara lain. Beruntung, tahun 537 SM, Raja Cyrus,  pengganti Nebuchadnezzar, berbaik hati  membolehkan warga Jahudi pulang, dan membangun kembali Bait Suci mereka.

Namun Bangsa Jahudi tetap tidak bisa merdeka. Setelah lepas dari Babilonia, tahun 550 -333 SM mereka dikuasai Kekaisaran Parsi. Tahun 331 – 305 SM, Israel ditundukkan Aleksander Agung dari Turki. Setelah itu berturut-turut tahun 305 – 198 SM berada di bawah kekuasaan Ptolomeus, Mesir, 198 -141 SM dibawah Seleucids, Mesopotamia,  141–63 SM dijajah Hasmonean,  63 SM – 330 diperintah Romawi, 330 – 638 dibawah Konstantinopel, Bizantium, 638 – 1099 dikuasai Kekalifahan Islam, 1095 – 1291 ditaklukkan Tentara Salib,  1187 – 1260 dibawah Kesultanan Ayubiyah Mesir, Damaskus, 1260 – 1516 dibawah Kasultanan Mameluk, Mesir, tahun 1516 – 1917 dikuasai Kasultanan Ottoman, Turki, dan 1918 – 1948 diambil Inggris, yang kemudian menyiapkan Mandat Palestina. Mandat ini membagi Negeri Palestina menjadi dua: Israel dan Palestina. Hingga praktis, Israel sebagai bangsa merdeka, hanya pernah terjadi selama 461 tahun, dari 1047 SM sampai 586 SM, dan 61 tahun dari 1948 sampai sekarang.

Pada perang melawan Romawi tahun 60 – 70, dan tahun 130an, populasi penduduk Israel turun drastis. Sebagian yang masih selamat diusir dari tanah Kanaan. Pada tahun 628, Kaisar Heraklius dari Bizantium, memerintahkan pembunuhan, dan pengusiran besar-besaran terhadap orang Jahudi. Populasi Umat Jahudi, terselamatkan setelah tahun 685 – 705, Abdul-Malik bin Marwan, khalifah kelima dari Bani Umayyah,  Mekah, menaklukkan Jerusalem. Tahun 687 – 691, ia mendirikan Kubah Shakhrah, Qubbat As-Sakhrah,  atau The Dome of The Rock, di bagian utara reruntuhan Bait Suci Jahudi. Kubah Shakhrah yang berlapis emas, sering dianggap Mesjid Al Aqsa. Sebenarnya As-Sakhrah bukan mesjid, melainkan cungkup untuk melindungi batu besar Baitulmuqaddis, tempat Nabi Muhammad SAW berdiri untuk diangkat ke Sidratul Muntaha, dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Masjid Al Aqsa sendiri, yang dibangun tahun 685 dan baru selesai 1035, berkubah abu-abu, dan terletak di ujung selatan fondasi Bait Allah, di kompleks Kota Tua Jerusalem. Berada di bawah Kesultanan Mameluk, dan Utsmaniyah, Bangsa Jahudi justru mendapat perlindungan.

Pembantaian Jahudi memang pernah dilakukan oleh Kaisar Romawi tahun 70 dan 132, Kaisar Bizantium tahun 628, Tentara Salib tahun 1095 – 1291, dan Hitler, Nazi tahun 1930 -1940an. Penguasa Muslim, termasuk Mameluk dan Otoman memperlakukan Bangsa Jahudi sangat baik. Mengapa? Kemungkinan besar karena Kekhalifahan dan Kasultanan Islam, merasa bahwa Ibrahim adalah nenek moyang bersama Islam, melalui Ismail, dan Jahudi, melalui Ishak. Dengan fakta seperti ini, Penguasa Muslim, Kekhalifahan maupun Kasultanan, tidak pernah berbuat kejam terhadap Bangsa Jahudi. Namun sikap Islam yang baik ini, justru menjadi bumerang bagi Islam sendiri. Mandat Palestina yang diusulkan Inggris setelah selasai Perang Dunia I, tidak pernah mendapat kata sepakat baik dari Palestina, maupun dari Jahudi. Tahun 1945, Inggris menyatakan menarik diri dari Mandat Palestina. PBB yang baru dibentuk pada 1945, menyetujui Mandat Palestina pada 29 November 1947.

Mandat ini ditolak oleh negara-negara Arab, sebab Israel dengan populasi jiwa hanya 30%, mendapat areal lahan sebesar 55%. Sebelum PBB menyelesaikan Mandat Palestina, pada tanggal 14 Mei 1948, David Ben-Gurion memproklamasikan kemerdekaan Israel dari Inggris. Tahun 1948 terjadilah perang Arab Israel pertama. Israel dikeroyok oleh Saudi Arabia, Mesir, Suriah, Yordania, Lebanon dan Irak.  Dalam waktu singkat Israel berhasil menguasai Jasirah Sinai. Atas tekanan AS dan Uni Soviet, Israel dipaksa mundur dari Sinai. Selanjutnya, tahun 1956 Israel melancarkan Perang Suez, tahun 1967 Perang Enam Hari, 1973 Perang Yom Kippur, 1982 Perang Lebanon, 1987 Perang Intifadah, 1991 Perang Irak,  tahun 2000 Perang Intifadah Al Aqsa, 2006 Konflik Israel-Lebanon, dan awal 2009 Perang di Jalur Gaza dengan Hamas. Ribuan tahun berperang, menjadi budak, menjadi negara terjajah, telah membuat Israel merasa harus mempunyai aparat intel yang tangguh: Mossad dan Shin Bet.

* * *

“Mas Arif, ini teman-teman dari BIN bertanya, apa benar Mas Arif sedang kerja untuk Mossad? Saya kira wajarlah mereka bertanya seperti itu bukan?” Arif, yang secara mendadak ditembak dengan pertanyaan seperti ini, menjawab dengan rileks. “Memangnya kalau iya terus BIN mau ngapain? Mau minta bagian?” Paul Gunung Kidul, Senior BIN itu, juga rileks.
“Memangnya kalau iya terus Mas Arif mau ngasih berapa?” Arif tetap masih rileks.
“Ya sebanyak teman-teman BIN minta. Mau satu èm, dua èm, tiga èm, maunya berapa?” Sekarang paul itu yang bernafsu.
“Serius ini Mas Arif?” Arif tetap masih tenang.
“Yang bilang kalau saya sedang guyonan siapa? Mau minta berapa?”
“Ya terserah Mas Ariflah, maunya ngasih berapa? Tapi ini saya juga serius Mas, benar ada kontak dengan mereka?”
“Mereka siapa? Mossadmu itu maksud lo?”
“Iya, sebab teman-teman BIN mulai curiga, siapa dibalik acara Tengger ini? Awalnya kami curiga CIA, tetapi indikatornya kurang kuat mengarah kesana. Yang kuat malah Mossad. Jadi bagaimana Mas Arif?”
“Maksud lo, Mossadnya atau duitnya?”
“Ya dua-duanya Mas. Kalau Mossadnya ya, berarti ada embel-embelnya dong?”
“Mossadnya tidak. Duitnya kalau teman-teman perlu, kontak saja Aris Bagio. Bilang saya yang suruh. Memang dari awal mereka sudah nganggarin kok.”
“Ini Pak Aris yang mana ya Mas?”
“Direktur keuangan gua. Eh, Pak Paul, bilang sama teman-teman BIN, Mossad bisa saja ikut main lo. Tetapi gua sama sakali tidak tahu, dan juga tidak akan pernah mau tahu. Yang gituan itu kan bagian elo, Pak! Bagian gua kan duitnya.”
“Serius ini Pak?”
“Nah, elo dididik Mossad tahunan, kayak gini masih bingung. Minta juga dong bagian dari mereka, jangan hanya ngompasin gua!”
“Maunya mereka ngapain Mas?”
“Ya ngasih duit gua. Maksud yang lain, ya urusan BIN, bukan urusan gua!”
“Memang sampeyan itu benar-benar diancuk kok Mas.”
“Nah, elo sendiri memangnya bukan biangnya diancuk?”
“Ha, ha, ha….. kita ini selalu cocok karena sama-sama biangnya diancuk ya Mas Arif?

Suroso hanya salah satu dari puluhan staf di lingkup PT Garuda Perkasa Grup. Ia staf Boss Wisnu Wardana, Direktur Utama Garuda Perkasa Holding Company. Tetapi peran sebenarnya lebih dari itu. Ia sangat sederhana, pendiam, jujur, selalu patuh, dan sangat sopan kepada siapa pun. Meski hanya staf, yang arti harafiahnya pembantu, ia orang kesayangan Pak Wis, dan sering kontak secara rahasia dengan Boss Arif. Hari itu ia disuruh Pak Wis untuk mengantar surat ke Boss Arif. “Kamu diminta Pak Wis buru-buru pulang atau tidak Ros?” Suroso menjawab dengan sangat sopan. “Tidak Pak, beliau kan meeting sampai malam nanti. Saya bebas, tapi kalau Bapak perlu saya, saya harus lapor dulu ke Ibu Dessy.” Arif minta Suroso lapor ke Bu Dessy, bahwa ia akan agak lama dengan dirinya.

“Ibu Dessy ya? Ini Suroso ibu, ya, sudah, ini saya sedang berada di depan Pak Arif Bu. O, tidak ada masalah apa-apa Ibu, hanya saya akan agak lama di sini ibu, tidak ada apa-apa ibu, hanya Pak Arif mengajak saya main catur. Mohon ijin ya Ibu? Ya, terimakasih ibu, selamat sore.” Halaman Rumah Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko itu luas dan sejuk. Pohon cemara laut, dan mahoni menjulang sangat tinggi. Di salah satu petak halaman rumah yang luas itu, Arif dan Suroso duduk berhadap-hadapan di bangku taman. Di depan meja mereka terbentang papan catur. Selama ratusan kali main catur, Arif belum pernah sekali pun bisa mengalahkan Suroso. Meskipun Suroso selalu memberitahu, bagaimana seharusnya mengalahkannya. Tetapi bagi Arif, itu tidak terlalu penting.
“Menurut kamu bagaimana upaya kita ini?”
“Sukses pak, tetapi baru kulitnya.”
“Maksud kamu?”
“Plan satu kita membackup calon nasionalis. Israel sangat berkepentingan dengan ini. Plan dua kita, membackup NU, dan mencegah Muhamadiyah dikooptasi oleh radikalis. Plan tiga, ini yang mungkin susah Pak, mengubah mereka menjadi lunak dan tidak radikal. Sebab yang radikal itu tetap perlu ada.”
“Plan empat masih ada lo Roso?”
“Apa itu Pak?”
“Habisi mereka!”
“Itu proyek lain lagi Pak. Kita harus dibayar mahal!”

“Tetapi heran lo Roso, manuver mereka juga hebat. Prabowo mereka garap intensif. Setelah Pak JK mengumumkan mau maju, mereka juga mulai berupaya menempel ke sana. Jadi sebenarnya mereka juga cerdas, dengan memanfaatkan ujung tombak nasionalis. Kalau Prabowo itu Roso, sudah sejak Dangrup dulu mereka garap. Maka ada istilah militer hijau dan militer merah putih. Mereka itu kecolongan ketika 1999 menggarap Amien Rais untuk menciptakan Poros Tengah. Langsung saja Mossad memasang Gus Dur di sana, dan ambruk manuver mereka itu. Aku tidak tahu, apakah Gus Dur tahu tentang hal ini atau tidak, tetapi ketika beliau jadi presiden, sayap militer hijau dihabisin, meskipun tidak pernah bisa 100%. Sekarang pun kader mereka masih ada yang eksis di AD. Tetapi tadi kok kamu bilang baru kulitnya itu tadi bagaimana?”
“Peluang nasionalis kalah masih besar Pak.”
“Lo, Golkar memang melemah, tetapi PDIP dan Demokrat kan menguat?”
“Maksud saya presidennya Pak. Kalau Poros Tengah II solid, lalu uang Prabowo tambah liquid, sementara suara nasionalis terbagi antara Mega, SBY, JK, dan Sultan, maka peluang Prabowo untuk lolos sangat besar.”
“Kita memang masih sulit meramal akan seperti apa konstelasi capres cawapres nasionalis pasca Pemilu Legislatif, dan tugas kita hanya membackup mereka. Kalau konstelasinya Mega dan SBY RI 1, lalu JK dan Sultan RI 2, akan aman. Salah satu dari mereka atau malah dua-duanya, akan lolos ke putaran II. Kalau Konstelasinya SBY-JK, atau Mega-JK, malah peluang untuk hanya satu putaran cukup besar. Sebab mesin Golkar, PDIP, dan Demokrat, sampai sekarang tetap paling solid. Meskipun pundi-pundi Golkar dan PDIP agak kempes setelah krisis finansial kemarin ini.”
“Jadi habis ini Pak Sultan ya Pak?”
“Maksudmu acara kita? Kalau lokasinya Parangtritis dulu, ya jelas Pak Sultan. Untuk Bu Mega saya masih bingung lokasinya. Di Surya Kencana terlalu sulit. Memang Tengger itu paling top ya Roso? Kalau Pak JK, agak lebih simple. Di Senayan juga okey. Bu Mega itu harus kolosal seperti Tengger, tapi di mana ya?”
“Usul saya ini Pak ya, Bu Mega dan Pak Sultan itu disatukan di Parang Tritis saja.
Lebih mudah ngurusnya.”
“Itu kalau konstelasinya sudah jelas. Sebenarnya kemarin itu Sultan sudah mau nyerah, jadi wakilnya Bu Mega. Tim suksesnya masih ragu. Ada yang maunya sama Pak JK, nunggu pinangan Pak SBY, malah ada yang tetap ngotot Sultan RI 1. Tapi saya dengar, sultan juga jengkel karena dimintai setoran.”
“Sebenarnya di Surya Kencana juga masih mungkin untuk diset lo Pak. Juga kolosal, malah dugaan saya bisa lebih simple dan efektif dibanding Tengger.”
“Saya juga berpikiran begitu. Teman-teman JIL bagaimana? Masih solid?”
“Sudah lama saya tidak ada kontak dengan mereka Pak. Tetapi saya dengar mereka juga sedang banyak proyek.”
“Bukan soal proyek. Itu mereka masih dihajar sama kelompok apa itu, kemarin-kemarin itu?”
“Ya masih Pak, tetapi sudah tidak segencar dulu. Tidak tahu kenapa kok sekarang agak kendor.” * * *

Fragmen Novel Para Calon Presiden

 


Kiai Murwito

$
0
0

Mohamad Murwito seorang kiai dari Bantul, Yogyakarta. Pesantrennya bernama Cipto Roso, berkapasitas sangat kecil, dengan Mesjid yang juga kecil dan sederhana. Penampilan Kiai Murwito sendiri juga sederhana. Kemana-mana memakai kemeja lengan pendek yang tidak pernah dimasukkan. Celana panjangnya biasa, ia jarang bersepatu, melainkan mengenakan sandal kulit. Kiai Murwito juga jarang sekali memakai peci, apalagi surban. Orang yang belum mengenalnya secara dekat, tidak akan tahu bahwa ia seorang kiai. Gaya bertutur Kiai Murwito sangat santun. Bicaranya pelan tetapi dengan intonasi jelas, dengan jeda yang juga cukup. Ketika berbicara dengan siapa pun, wajahnya selalu mencerminkan kecerahan. Bahkan ketika melayat pun, dia tidak pernah mengubah penampilan wajahnya, hingga tampak muram atau seperti mau menangis. Ia tetap berwajah cerah, tetapi tentu dengan sebuah empati yang mendalam. Maka setiap kali Kiai Murwito datang melayat, keluarga yang sedang berduka itu seperti orang kepanasan yang mendapat siraman air yang dingin dan jernih.

Kiai Murwito baru berusia 48 tahun, tetapi kiai-kiai sepuh menaruh hormat padanya. Kiai Murwito dihormati bukan karena dia hebat, melainkan justru karena sangat sederhana. Pesantren Cipto Roso memang sengaja dibuat tetap kecil oleh Kiai Murwito.  Di pesantren itu hanya ada satu Madarasah Aliyah, dengan tiga kelas. Masing-masing kelas hanya mampu menampung paling banyak 50 murid. Hingga satu madarasah  itu paling banyak hanya bisa menampung 150 murid. Kapasitas asrama Pesantren Cipto Roso juga dibatasi paling banyak 100 anak. Diharapkan 50 anak Madarasah Aliyah itu akan tinggal di luar pesantren. Pesantren Cipto Roso, menerima santri laki-laki, maupun perempuan, dengan asrama terpisah. Meskipun bangunan mesjid di seluruh kawasan Bantul sudah ditembok semua, Kiai Murwito tetap mempertahankan mesjidnya dari kayu. Demikian pula dengan bangunan sekolah, demikian pula dengan asrama para santri. Banyak yang akan membantu Madarasah dan Pesantren Cipto Roso, tetapi Kiai Murwito sangat selektif. Kalau bantuan itu untuk membangun sarana fisik, Kiai menolak. Kalau untuk membangun spiritual, diterima.

“Pendidikan itu bukan ilmu, bukan buku, bukan baju, bukan sepatu, bukan bangku, bukan komputer, bukan gedung, bukan mobil, melainkan akhlak! Pendidikan itu bukan untuk membuat anak menjadi hebat, melainkan untuk mengarahkannya menjadi orang baik. Pendidikan bukan untuk mencetak dokter, insinyur, guru, pengusaha, anggota legislatif, jenderal, dan lain-lain, melainkan untuk membuatnya menjadi seorang ayah atau ibu yang baik bagi anak-anak mereka, dan juga bagi masyarakat. Itu yang saya yakini, kalau sampeyan punya keyakinan lain, ya sumonggo mawon. Saya tidak akan pernah memaksakan keyakinan saya ini, kepada orang yang keyakinannya berbeda. Tetapi nyuwun tulung, saya juga jangan dipaksa untuk berubah keyakinan, dan mengikuti keyakinan sampeyan, yang tidak pernah saya yakini kebenarannya. Maka silakan kirim anak sampeyan ke sekolah hebat, ke pesantren hebat, supaya anak sampeyan ikut menjadi hebat. Kalau sampeyan ingin anak sampeyan menjadi orang baik, cobalah dikirim kemari. Insya Allah dia akan menjadi anak baik.”

“Kiai Murwito punya hubungan baik dengan siapa saja. Termasuk dengan mereka yang prinsip-prinsip hidupnya bertentangan dengan prinsip hidup yang ia yakini. “La kalau saya hanya gaul dengan orang yang sepikiran dengan saya, dengan orang-orang biasa, saya tidak akan teruji. Maka saya harus banyak gaul dengan pejabat korup, pengusaha kaya yang arogan, selebritis terkenal yang kawin-cerai, jenderal yang galak, dan lain-lain. Tujuannya bukan untuk mengajak mereka menjadi baik, tetapi untuk menguji iman saya sendiri. Apa bener Murwito itu bisa tahan uji kalau diiming-imingi uang, kekuasaan, dan paha mulus. Dan saya tidak pernah akan dinyatakan lulus dengan nilai baik, sebelum mati. Jadi ujian berat itu akan berlangsung terus sepanjang hidup. Kemarin lulus, mungkin hari ini tidak. Hari ini lulus, mungkin besuk tidak. Besuk tidak lulus, saya harus bekerja keras agar besuknya lagi lulus. Dalam menghadapi ujian ini, saya juga sering tidak lulus. Nilai dari Allah SWT kepada saya juga sering merah. Saya tidak perlu sedih, dan harus berusaha lagi agar besuknya nilai itu kembali biru.”

“Maka, meskipun dicaci-maki banyak orang, saya tetap saja berhubungan baik dengan Kanjeng Sultan. Dulu dengan Romo Mangun, dengan para mantan anggota PKI, dengan beberapa germo di Sarkem, juga dengan Pak Suryo yang sering dibilang Jenderal Korup. Pak Kiai Mur ini kok dekat-dekat dengan Pak Suryo to? Dia itu kan korup? Ya biar. Yang katanya korup kan dia, bukan saya. Apa saya harus hanya bergaul dengan KPK? Apa hanya dengan Departeman Agama dan MUI? Lha di sana juga ada korupsi. Pak Kiai, jangan dekat-dekat dengan Romo Sindhu lo, dia itu kan Kristen, orang Kristen itu kalau mati akan dipentang di kayu salib lo! Nanti Pak Kiai ikut-ikutan kalau mati dipentang di kayu salib! Orang sudah mati, mau dipentang di kayu salib, di kayu segitiga, diceburkan ke laut, ya sudah tidak merasa apa-apa. Kalau masih hidup dipentang di kayu salib, baru terasa sakit. Dulu, dengan Romo Mangun, saya ini sering sama-sama pusing melihat ulah umat. Umat saya bilang, Nabi Isa itu tidak pernah disalib! Baca coba Al Quran, yang disalib orang yang diserupakan dengan dia oleh Allah SWT.”

“Dia juga bukan Putera Allah. Dia itu nabi biasa! Nabi Isa Alaihissalam itu juga tidak bermaksud membuat agama baru, tetapi mempersiapkan agama Islam yang akan diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW. Kalau kemudian ada agama baru, itu tidak sah, tidak sesuai dengan ajaran Nabi Isa, tidak sesuai dengan perintah Allah.  Lalu umatnya Romo Mangun marah, dan mencari-cari kejelekan Islam. Orang yang suka begini ini, bukan hanya akan mempermasalahkan agama yang berbeda, melainkan juga dalam satu agama. Sama-sama Islam kan ada Sunni ada Syiah. Syiah itu kecil sekali, hanya sekitar 10%, dan hanya di separo Irak, sedikit di Iran. Yang 90% Sunni dengan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Mazhab Hanafi sekitar 45%, dominan di Pakistan, India, Bangladesh, sebagian Sri Lanka, Maladewa, Mesir Utara, separo Irak, Syria, Libanon, Palestina dan Chechnya. Maliki 25% dan dominan di Afrika. Syafii 28% dan berada di Turki, separo Irak, Syria, Iran, Mesir, Somalia, Yaman, Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, sebagian Sri Lanka, Malaysia, dan Brunei. Hambali hanya 5% adalah Islam di Saudi Arabia. Sama-sama Syafii, NU dan Muhamadiyah juga sering tidak akur.

* * *

Rumah Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko di Polonia, Jakarta Timur, ramai. Anak-anak, menantu, cucu, keponakan, menantu keponakan, cucu keponakan, teman, sahabat, sanak famili, relasi bisnis, relasi politik, semua kumpul. Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko selalu membisiki tamunya: “Ini sebenarnya dalam rangka penggalangan kekuatan bagi Sultan!” Tetapi secara formal, undangan yang dikirim adalah acara pengajian dalam rangka Maulid Nabi Muhammad SAW. Kiai aneh dari Bantul didatangkan ke Polonia Jakarta. Nama Kiai itu Murwito. Pesantrennya bernama Cipto Roso. Selain diminta untuk memimpin pengajian, Kiai Murwito secara khusus juga diminta bantuannya untuk kesembuhan Raden Ayu Siti Suryaningtyas, puteri bungsu Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko, isteri Arif Rahman, ibu dari Ratih dan Wulan. Sebenarnya, sudah lama Raden Ayu Retno Hastuti, “Bu Suryo” curhat kepada Kiai Murwito tentang sakitnya Tyas. Kiai mengatakan, ya nanti kalau Allah mau menyembuhkannya, dia akan sembuh Bu! Dan kini, Kiai itu secara resmi diminta bantuannya untuk kesembuhan Tyas.

“Ini Mbak Tyas, isterinya Mas Arif kan? Masih ingat saya, Kiai Murwito?”
“Ya masih ingat to Pak Kiai, saya kan pernah ke pesantrennya Pak Kiai di Yogya sana, di jalan yang mau ke Parangtritis itu lo! Kalau mau nginep di Parangtritis kan Bapak sering ngajak mampir ke Pak Kiai?”
“O, masih inget Mbaknya ini, tapi dulu sekali itu ya? Masih kecil waktu itu Mbak Tyas ya?”
“Ya, Pak Kiai, setelah kuliah saya hampir tidak pernah ke Parangtritis. Paling juga cuma ke Yogya, itu pun pasti sama teman-teman.”
“La Mbok sekarang ganti puterinya yang cantik-cantik itu diajak ke rumah Pak Kiai yang jelek!”
“E, tidak jelek lo rumah Pak Kiai itu. Saya itu kalau diajak Bapak atau Ibu mampir ke sana rasanya kan mak nyes, begitu. Rumah Pak Kiai itu adem. Kalau di rumah di Parangtritis itu kan panas. Di sini juga panas Pak Kiai.”
“Mbaknya ini bagaimana to? Rumah di Parangtritis ber AC, di sini ber AC, rumah saya berangin, kok malah dibilang rumah saya dingin.”
“Bener lo Pak Kiai, saya lalu jadi ingin ke sana lagi ngajak anak-anak. Boleh kan Pak Kiai?”
“Walah, Pak Kiai yang jelek ini ya senang sekali to Mbak, kalau Mbaknya ini mau rawuh ke sana. Kapan? Ini harus beneran lo! Bukan untuk membohongi Pak Kiai.”
“Pak Kiai, Pak Kiai, siapa yang berani bohong ke Pak Kiai? Sultan saja katanya takut sama Pak Kiai? Kalau saya bohong ya akan kualat to Pak Kiai.”

Pengajian itu khusuk. Dilanjutkan dengan santap malam, dan ramah tamah. Sebenarnya Kiai Murwito sudah dibookingkan kamar di Hotel Fiducia di Otista. “La untuk apa tidur di hotel membuang-buang uang. Wong mlungker di karpet situ juga tidur kok.” Bu Suryo meggeleng-gelengkan kepala. “Pak Kiai yang satu ini memang susah. Dari Yogya sudah dipesankan tiket dua dengan Bu Murwito, tidak mau. Katanya yang mau pengajian kan bukan ibunya, lalu maunya sendirian naik kereta klutuk turun di Jatinegara, dari Jatinegara naik Mikrolet, lalu sambung ojek, dijemput juga tidak mau. Ya sudah, wong kersané mengkono kok. Sekarang dipesankan kamar supaya bisa istirahat juga emoh. Ya sudah, kebetulan ngobrolnya bisa sampai pagi di sini. Memang ada yang mau saya tanyakan serius ke Pak Kiai, sini Eyang Kakung ke sini, juga Nak Arif itu!” Bu Suryo lalu berbisik-bisik ke Kiai Murwito. “Ini lo Pak Kiai, tentang Tyas ini, sakitnya itu sakit apa to? Sakit kok aneh begitu. Kemarin-kemarin, anehnya hanya sama Arif, sekarang sama Ratih sama Wulan juga sudah begitu. Anak-anak itu ngadu, Eyang-eyang, masak Bunda bilangnya Ayahanda Arif itu bukan Papah Wulan sama Ratih, kata bunda Papah Arif itu Pakdenya Ratih sama Wulan. Memang Papah Arif itu benar kakaknya Bunda ya Eyang? Lalu kata Bunda, Papahnya Ratih dan Wulan itu yang sebenarnya, katanya dokter siapa Dik? Dokter Robert ya? Emangnya benar begitu Eyang?”

“Ibu, dan Bapak Suryo, juga Mas Arif. Mbak Tyas itu tidak sakit. Dia hanya merasa bersalah, sebab telah menikah dengan calon suami kakaknya. Mbak Tyas juga sangat tidak rela kakak yang sangat dibanggakannya itu tidak ada lagi. Ini yang menyebabkan Mbak Tyas itu gerah begitu. Mohon maaf kalau pendapat saya ini salah. Ibu Suryo itu kan sudah lama cerita ke saya, lalu juga sering telepon, lalu saya othak-athik-gathuk, ya itulah pendapat saya. Lalu saran saya, Bapak dan Ibu Suryo, juga Mas Arif, tetap berobat ke dokter, tidak usah mencari-cari dukun ke mana-mana. Dukun itu singkatan dari ada duit rukun. Saran saya, sebaiknya Mbak Tyas itu jangan sering-sering berada di rumah ini. Saya dengar dari Mas Arif, tadi siang, ada yang menyarankan, rumah di Sentul itu yang jahat, lalu Mbak Tyas disarankan untuk kembali ke sini. Saran saya sebaliknya. Mbak Tyas akan lebih sehat kalau tinggal di Sentul. Bukan di sini. Tidak ada rumah yang jahat. Yang jahat itu ya manusianya. Rumah di sini ini, akan terus menggugah ingatan Mbak Tyas pada kakaknya yang sudah tidak ada. Lalu rasa bersalahnya timbul. Maka, dia pura-pura punya suami yang jadi dokter itu, dan menganggap suaminya sebagai kakak kandungnya.”

Arif merasa mendapat pencerahan baru. Padahal, apa yang disampaikan oleh Kiai Murwito tadi, sudah puluhan kali dikatakan oleh Psikolog Susan, dan Psikiater Bambang. Tetapi ketika yang mengatakan Kiai Murwito, kedengarannya lain. Mak Nyes! Tyas sendiri juga langsung mengatakan ingin ke Bantul, ke rumah Kiai Murwito. “Pak Kiai ini ilmunya ilmu apa sih, kok saya mendengar bahwa kiai-kiai sepuh hormat, bahkan takut sama Pak Kiai?” Kiai Murwito mendehem-dehem. “Ilmu saya bukan datang dari guru, tetapi langsung dari Allah. Semua orang diberi ilmu itu, tetapi banyak yang tidak mau pakai. Ilmu itu adalah ilmu jujur dan lurus. Kiai-kiai sepuh itu takut sama saya yang mereka takuti apa? Saya tidak punya jabatan, tidak punya kekuasaan apa-apa, kok mereka takut?” Mereka itu sebenarnya takut pada diri sendiri, takut pada Allah, karena tidak mengamalkan ilmu yang sudah diturunkan Allah SWT. Mereka sudah tidak jujur dan tidak lurus. Kiai kok urusannya sama kekuasaan, sama politik, sama bisnis. Kiai itu kodratnya mengurus umat agar akhlaknya baik.”

Setelah Pak Suryo, Bu Suryo, dan Arif, selesai membicarakan ihwal sakitnya Tyas dengan Kiai Murwito, saudara-saudara yang lain dipanggil untuk ikut bergabung. Pak Suryo lalu membuka pembicaraan, meminta pendapat Kiai Murwito tentang peluang Sultan untuk menjadi Presiden. Kiai Murwito menjawab. “Peluang Sultan itu hanya wakil presiden. Kecuali beliau dicalonkan oleh Golkar sebagai presiden, dengan wakil pak Jusuf Kalla, itu baru peluangnya agak besar.” Pak Suryo kecewa mendengar penjelasan Kiai Murwito. “Caranya bagaimana Pak Kiai agar peluang Sultan itu besar?” Kiai Murwito sambil tersenyum-simpul menjawab. “Sultannya sendiri harus menganut ilmu Allah tadi, yakni ilmu jujur dan lurus. Pak Harto dan Bung Karno itu dulu dipilih jadi presiden juga karena jujur dan lurus. Mereka baru mulai belajar bengkok-bengkok setelah lama menjadi presiden. Saya ini juga sudah lama menjadi kiai, hingga takut mulai belajar yang bengkok-bengkok.”

* * *

“Ini diundang pengajian habis mahrib, kok jam sepuluh baru nongol ini bagaimana Mas Suwito ini. Pak Kiai, ya inilah yang namanya Mas Suwito. Ini Pak Kiai Murwito dari Bantul. Nah saya akan tanya langsung ke Pak Kiai, kalau Suwito ini lurus atau bengkok?” Tetap sambil tertawa-tawa, Kiai Murwito menjawab. “Masnya ini kadang-kadang lurus, kadang-kadang bengkok. Kalau menerima uang tangannya harus lurus begini, ya kan Mas? Lalu kalau uang sudah diterima, ya harus bengkok, untuk memasukkan uang itu ke dalam saku jas atau celana. Saya kalau mengambil nasi ya harus lurus. Memasukkan nasi ke mulut, tangannya harus bengkok.” Mas Suwito tertawa terbahak-bahak, diikuti Pak Suryo, Bu Suryo dan yang lain-lain. “Makan dulu, ini makan dulu. Ini sate dan gule dari mana hayo? Ini Sate Kadir. Habis saya itu tadi jengkel Wit. Saya itu sudah janjian sama Laksamana Husein mau makan sate Kadir. Lo baru ingat kalau sekarang ini pengajian. Ya sudah to Wit, saya telpon saja untuk diantar kesini, sekalian untuk makan malam. La ini khusus untuk kamu!”

“Ini bagaimana ini Wit. Kamu harus banyak bantu-bantulah. Kamu ini kalau sedang diperlukan menghilang, menghilang terus, kalau tidak diperlukan tahu-tahu mak jedhul datang. Yaitu kelakuan Si Suwito. Tadi ketika kamu belum datang, saya sudah ngomong sama Arif. Ternyata dia itu memang punya pandangan jauh ke dapan. Ini nanti dia mau bikin acara lanjutan di Parangtritis, Nabi Isa akan tampil seperti di Tengger tetapi didampingi Kanjeng Sultan. Ya tetap akan diekspos ke mana-mana. Lalu Sultan akan bilang juga, kalau dia mendampingi Nabi Isa Alaihissalam, sebagai Raja Yogya, sekaligus sebagai Gubernur DIY. Ya persis seperti Pak SBY kemarin itu. Ini cantik Wito! Cantik! Caranya itu benar-benar cantik. Nah kata Arif lagi, dia juga masih akan membuat acara dimana itu katanya di alun-alun mana itu, dan Nabi Isa akan didampingi oleh Bu Mega. Jadi tidak terlalu mencolok begitu. Tetapi saya memang makin yakin bahwa Arif itu menantu yang baik. Menantu yang akan patuh pada mertua. Ya memang itu perlu sebab dia itu kan yatim piatu toh? Bagaimana pendapatmu Wit?”

“Saya itu agak beda Pak. Saya masih tetap yakin, bahwa Mas Arif itu punya agenda tersendiri, yang masih terselubung, yang kita belum tahu. Jadi pesan saya, Bapak harus ekstra hati-hati. Sebab Mas Arif itu menantu, sekaligus juga musuh. Ini kan repot Pak? Musuh, tetapi sekaligus juga menantu. Saya juga mulai ragu-ragu dengan Nabi Isa ini. Kalau benar ini Nabi Ngisa, berarti kiamat sudah dekat. Ya to Pak Kiai? Ini, kalau Nabi Ngisa ini datang, kan berarti kiamat sudah dekat kan? Ya benar kan? Nabi Isa itu kalau kata orang-orang itu memang tidak jadi disalib seperti yang diyakini umat Nasrani. Dia diangkat ke langit oleh Allah SWT. Yang ditangkap serdadu Romawi itu murid Nabi Isa, yang oleh Allah SWT dibuat mirip Nabi Isa. Jadi sampai sekarang, Nabi Ngisa itu masih hidup, hanya tidak ada seorang pun yang tahu ada di mana. Yang tahu ya Allah sendiri. Beliau itu kan baru mau datang pas hari kiamat, lalu Allah SWT juga akan mencabut nyawa beliau, supaya beliau itu mengalami meninggal. Maka saya mulai ragu-ragu dengan Nabi Isa ini. Kalau menurut pak Kiai bagaimana?”

“Kalau menurut saya, orang mau percaya boleh, tidak percaya juga boleh. Agama itu terutama bukan soal benar atau salah, tetapi yakin atau tidak yakin. Nabi Isa akan datang lagi di Quran juga begitu, di Injil juga begitu. Tinggal kita percaya pada Injil, Al Quran, atau percaya pada dongeng, dan kasak-kusuk. Kalau saya bilang semua agama itu baik, nanti didamprat para Kiai Sepuh. Saya tidak takut dengan Kristenisasi. Maka para santri saya, saya ajari pula Agama Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu, Kong Hu Cu, dan Kejawen. Ini juga dicurigai para Kiai Sepuh. Mereka mengatakan saya penganut Zionisme. Wah, saya senang dituduh demikian. Ini inspirasi baru. Santri saya beri tambahan pelajaran agama Jahudi, dan saya suruh belajar tentang Israel. Saya tambah dibenci para Kiai Sepuh. Kamu itu nantangin saya ya Mur? Kata salah satu Kiai Sepuh itu. Saya mengatakan, tidak Pak Kiai. Kata dia lagi, kok aku bilang kamu itu Agen Zionis, malah santrimu kamu beri pelajaran agama Jahudi? Saya katakan Agama Jahudi itu induk dari Nasrani dan Islam, jadi kata-kata Pak Kiai telah memberi inspirasi kepada saya untuk mengajar mereka dengan mata pelajaran baru. Lalu kapan mereka belajar Quran? Saya jawab mereka sudah khatam semua, tetapi tetap saya wajibkan tiap hari terus membaca dan mendiskusikannya.”

“Saya juga sampaikan ke para Kiai Sepuh itu, bahwa sambil belajar agama-agama lain, saya tantangin mereka. Kalau kamu menganggap Kristen lebih baik, silakan masuk Kristen, saya akan dukung! Mereka menjawab, yang ajarannya paling hebat itu Budha. Lo mengapa kamu tidak masuk Budha? Mereka cengèngas-cengèngès saja dan tidak bisa menjawab. Lalu saya tanya mereka: Bu Kiai Murwito dengan Bu Sinden Sunyahni itu cantik siapa? Ya cantik Bu Sinden, kata mereka. Lo, kok saya tidak meninggalkan Bu Kiai dan menikah dengan Bu Sinden? Mereka tetap pringas-pringis tidak bisa menjawab. Lalu saya katakan. Agama selalu punya kelebihan dan kekurangan, karena yang Maha Sempurna hanya Allah. Jadi kita ini manganut Islam, bukan karena kita menganggap Islam yang terbaik, tetapi karena kita ingin menjadi orang baik, bahkan menjadi yang terbaik. Ada jaminan kalau kalian pindah agama akan menjadi orang yang lebih baik dari sekarang? Ada jaminan kalau Kiai Murwito cerai dengan Bu Kiai lalu menikah dengan Bu Sinden akan lebih berbahagia? Para santri tertawa, dan ada yang mengatakan, kalau Pak Kiai menikah dengan sinden, akan  diamuk oleh putra-putri Pak Kiai.”

“Jadi saya tetap tidak bisa menjawab pertanyaan Mas Suwito, apa yang kemarin tampil di Tengger itu benar Nabi Isa, atau hanya seseorang yang berdandan seperti Nabi Isa, saya tidak tahu. Kalau saya sudah ketemu dia, baru saya bisa diyakinkan, atau malahan dibuat tidak yakin. Kalau sekarang tidak bisa. Nanti katanya beliau akan tampil di Parangtritis. Saya akan coba melihat, apa benar ini Nabi Isa Alaihissalam, atau selebritis. Kalau saya masih belum bisa yakin, ya tidak apa-apa. Dia tidak rugi, saya juga tidak rugi. Bahkan ketika saya yakin kalau dia Nabi Isa pun, dia tidak diuntungkan, karena pengikutnya sudah milyaran,  saya juga tidak akan mendapat tambahan santri baru. Maka hidup ini bagi saya, agak beda dengan Mas Suwito itu.” Suwito kaget lalu agak mendongak. Kiai Murwito menambahkan. “Memang jauh sekali bedanya kan? Mosok Mas Suwito tidak melihat perbedaan itu? Saya jelek dan miskin, Mas Suwito ngganteng dan kaya. Urusan saya mengajar para santri, Mas Suwito mengajar para calon presiden, jadi beda kan?”

Fragmen Novel Para Calon Presiden

 


Sela

$
0
0

Iring-iringan mobil itu merayapi jalan raya yang menanjak berliku-liku. Kadang di kiri jurang, di kanan tebing terjal, kadang sebaliknya. Tebing-tebing itu selalu penuh dengan rumput gajah untuk pakan sapi perah. Sering pula jalan raya itu meliuk-liuk di antara ladang jagung, dan tembakau. Iring-iringan mobil itu berasal dari Bandar Udara Adisucipto Yogyakarta. Dari Adisucipto, mereka mengarah ke kanan menuju Surakarta. Di Klaten, mereka berbelok ke kiri menuju Boyolali. Di Boyolali iring-iringan mobil berbelok lagi ke kiri, ke arah Sela. Makin lama udara terasa semakin sejuk. Di jendela mobil selintas tampak dua gunung. Di kiri Merapi, yang puncaknya selalu mengepulkan asap putih, dan di kanan Merbabu dengan dua puncaknya, Sarip dan Kenteng Sanga. Selo adalah sebuah kecamatan yang terletak persis di celah antara Merbabu dan Merapi. Kecamatan Selo masuk Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Selo adalah kawasan tertinggi di jalan raya Boyolali – Blabag, Magelang. “Inilah kawasan wisata  yang namanya Selo Tuan. Kota kecamatan ini diapit dua gunung. Itu namanya yang berasap itu Merapi, ini yang di kanan Merbabu.”

Di Selo ada sebuah resor sederhana, namanya Selo Pass, meskipun lokasinya tidak pas berada di puncak ketinggian. Kemudian ada pula guest house Pemkab. Boyolali, dan puluhan homestay. Rombongan besar itu ada yang menginap di guest house Pemkab Boyolali, ada yang di homestay. Rombongan utama yang membawa “tuan” ini bermalam di sebuah homestay di sebelah kanan Pasar Selo dari arah Boyolali, agak sedikit masuk ke dalam. “Tuan, di sinilah kita akan bermalam. Ini rumah rakyat yang dijadikan menginap para turis. Kebetulan ini rumah Pak Dwijo, Juru Kunci Merapi Kasunanan Surakarta.” Homestay Pak Dwijo ini hanya berkamar empat, hingga rombongan lain berpencar menginap di beberapa homestay di sekitar rumah Pak Dwijo. Rombongan memarkir mobil di halaman rumah, tas-tas diturunkan, para penumpang turun. Pak Dwijo menyambut. Dia menyalami “turis asing” itu, serta rombongan yang mengantarnya. “Sugeng Rawuh, saya sampaiken kepada tuan. Ya inilah rumah saya tuan. Lha ini anak saya Pardi.” Pak Dwijo mempersilakan rombongan itu masuk ke dalam rumah. Di dalam sudah disiapkan kopi, dan teh panas.

Ruang tamu itu berukuran sekitar empat kali sepuluh meter, dan menjadi tampak sempit sekali, karena disesaki oleh dua pasang meja dan kursi tamu, dengan rak-rak yang berisi macam-macam. Di dinding ruang tamu itu juga terpasang Foto Bung Karno, Presiden Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati, Susilo Bambang Yidhoyono, Sunan Pakubuwono XII, dan foto Mbah Dwijo sendiri. Di dalam ada empat kamar dengan masing-masing satu tempat tidur kapasitas dua orang, ruang makan, televisi 24 inci dengan karpet yang digelar di depannya. Di belakang lagi ada dapur dan kamar mandi. Pak Dwijo, dan anaknya Pardi tinggal di semacam paviliun di bagian paling belakang rumah yang dijadikan homestay itu. Di halaman rumah ada nursery sederhana yang menjual aneka tanaman hias, benih stroberi, dan toko kelontong yang baru satu tahun ini dibuka. “Turis Asing” itu duduk di salah satu kursi, rombongan pengantarnya ada yang ikut menemani, ada yang buru-buru menanyakan letak toilet, ada pula yang masih mengeglesot di lantai, di teras depan.

Pak Dwijo, dan para pemilik homestay di Selo, memang melihat di televisi, acara penampilan Nabi Isa Alaihissalam di Tengger. Tetapi mereka sama sekali tidak mengira, kalau rombongan turis lokal dan turis asing yang menginap di Selo ini, adalah rombongan Nabi Isa Alaihissalam. Para wartawan pun kembali  terkecoh. “Dulu, mereka boleh menipu kita. Kita mencari ubek-ubekan di Bali, ternyata adanya di Tengger. Sekarang kita harus atur strategi. Memang harus tetap ada wartawan yang mencari rombongan ini di hotel-hotel di Yogyakarta. Tetapi, kita juga harus mengejar mereka ke Kaliurang, Tawangmangu, dan Bandungan. Kemungkinan besar mereka nginap di Bandungan. Tetapi di dekat Candi Borobudur itu juga ada resor bintang. Coba ada yang nyambangi ke sana. Dan itu lo, siapa tahu rombongan itu justru sudah ada di Queen of The South Beach Resort, di Parangtritis sana. Pokoknya kita tidak boleh terkecoh untuk yang keduakalinya.” Para wartawan itu sama sekali tidak memperhitungkan Selo, sebab kawasan ini belum tumbuh sebagai tempat tujuan wisata, dengan hotel dan resornya. Obyek wisata yang sudah ramai justru Keteb Pass, yang juga belum dilengkapi hotel serta resor.

Hanya ada satu wartawan dari Majalah Hidup, yang terselip di antara rombongan itu. Namanya Monoz. “Saya pesan ya Pak Monoz, ini bukan untuk semacam wawancara eksklusif atau yang semacam itu. Boleh saja nantinya bahan dari Selo ini dimuat di majalah, tetapi harus ada tenggang waktunya. O, ini majalah mingguan ya? Kalau begitu ya tidak apa-apa keluar minggu depan ini. Sebab kalau langsung keluar besuk, atau besuknya lagi, wartawan lain akan berdatangan kemari, dan kami semualah yang akan kerepotan melayani mereka. Tamu Agung kita kan juga capek. Ini beruntung sekali lo Pak Monoz bisa ikut rombongan inti ini. Sebab rombongan wartawan resmi, semuanya kan menginap di Yogyakarta. Panitia inti sudah ada di Hotel Queen di Parangtritis sana. Ini kok Pak Monoz bisa nyelip di antara kami ini yang memasukkan siapa?” Monoz, wartawan Majalah Hidup itu juga bingung. “Saya juga tidak tahu Pak, tiba-tiba saja saya diminta untuk berangkat ke Selo, lalu harus ketemu dengan Bapak. Ya tugas biasa dari Kantor. Tidak tahu siapa yang menghubungi Hidup. Tetapi, saya tetap bisa memperoleh waktu untuk ngobrol dengan beliau kan Pak?”

Ketika iring-iringan rombongan itu merayapi jalan raya Boyolali Selo lewat Cepogo, cuaca pagi masih sangat cerah. Ketika rombongan tiba di Selo, matahari juga masih menyiram kawasan Selo dengan panasnya yang lembut. Tetapi tidak lama cuaca meredup, kabut turun disertai angin dingin dan titik-titik air yang segera mengembun di mana-mana. Rombongan inti yang menginap di rumah Mbah Dwijo, siang itu makan nasi jagung, dengan urap daun adas, gulma othok-owok, sambel orek, ikan asin, tempe goreng, dan kerupuk karak. “Ini menu kami sehari-hari Tuan.” Seluruh tamu, termasuk Jesus Kristus, menyantap makanan itu dengan sangat nikmat. Disajikan pula buah kesemek. “Lho, ini kok ada buah persimon?” Tanya salah satu peserta rombongan. Mbah Dwijo menjawab, “Ini namanya buah kledung Pak. Di sini banyak pohon kledung, dan sekarang sedang saatnya berbuah. Selain jagung, sayuran, adas, dan kledung, di Selo juga banyak sapi perah, ini benar-benar susu murni. Coba silakan dicicipi.”

* * *

“Jadi sekarang kita akan berangkat mendaki Gunung Merapi Tuan. Kita akan berangkat sekitar pukul delapan malam. Dengan berjalan perlahan-lahan, kita akan sampai di Pasar Bubar sekitar pukul 12 malam. Di sini kita bisa beristirahat sejenak, baru kemudian mendaki menuju sisa-sisa Puncak Garuda, dan menikmati sunrise.” Puncak garuda di sisi utara, juga Geger Boyo di sisi selatan, adalah kubah lava dari letusan tahun-tahun terdahulu. Pada letusan tahun 2006 Puncak Garuda dan Geger Boyo, runtuh, tetapi tumbuh kubah baru yang lebih tinggi dari Puncak Garuda. Letusan tahun 1994, telah membuat track jalur selatan melalui Desa Kinahrejo, tempat tinggal Mbah Marijan, hancur total karena tersiram awan panas. Namun para pendaki “gila” masih dimungkinkan untuk mendaki jalur selatan ini. Pada letusan tahun 2006, track jalur selatan ini tambah hancur, karena tertimpa reruntuhan kubah Geger Boyo, yang ambrol. Sejak itu, pendakian hanya bisa dilakukan dari jalur utara, melalui kota kecamatan Selo. Selain jaraknya lebih dekat, jalur ini merupakan rute pendakian paling aman.

“Siap Tuan? Kita akan berangkat sekarang! Pak Monoz jadi ikut kan? Tidak apa-apa, kita akan berjalan pelan-pelan. Katanya sambil mau ada yang ditanyakan sama beliau? Ya sekarang inilah saatnya.” Rombongan pendaki malam itu hanya terdiri dari delapan orang, meskipun seluruh rombongan yang menginap di Sela, berjumlah 30 orang. Dari delapan orang yang ikut mendaki ini pun, tiga orang adalah penduduk Selo, terdiri dari seorang pemandu, dan dua orang porter. Tiga orang lain sudah berangkat terlebih dulu menuju Pasar Bubar, membawa air, kompor gas, cerek, gelas, gula-kopi-teh, penggorengan, sutil, minyak goreng, snack berupa jadah dan tempe bacem. Begitu rombongan tiba di Pasar Bubar, mereka sudah siap dengan jadah dan tempe hangat, serta kopi dan teh panas. Dari rumah Mbah Dwijo, rombongan diangkut dua buah jip. Setelah menuruni jalan kampung sekitar 50 meter menuju jalan utama di depan pasar, rombongan  belok kanan, menuju arah Blabag. Sekitar 500 m, dari pasar, iring-iringan berbelok ke kiri menuju New Selo. Dari sini jalan terus menanjak tajam dengan tingkat kemiringan ada yang mencapai 45°

New Selo adalah lokasi start pendakian. Di sini ada tempat parkir, gardu pandang, dan shelter untuk berteduh. Di atas shelter itu terpasang huruf-huruf dari kerangka dan plat besi, NEW SELA, yang bisa terbaca dari bawah sana. Di sisi kiri New Selo, ada jalan setapak, yang biasa dilalui para pencari rumput, kayu bakar, serta penduduk Selo. Melalui jalan setapak yang sangat kecil inilah pendakian Merapi dimulai, masing-masing orang, termasuk Jesus Kristus, harus membawa lampu senter. Jalan itu melintasi ladang yang ditanami aneka sayuran, singkong, jagung, keladi, dan ganyong. Di batas terasering, saling berbagi tempat, tanaman adas dan rumput gajah. Sekitar setengah jam perjalanan, rombongan masuk ke kawasan reboisasi. Akasia gunung tampak mendominasi kawasan ini. Jalan mulai menanjak dan berbatu-batu. Jalan terus menanjak, dan di bawah tampak kerumunan lampu kota Selo, di langit tampak bintang yang sangat terang karena langit bersih. “Pak Monoz, katanya mau sambil ngobrol sama beliau? Kok jalannya jauh di belakang terus? Kita istirahat di sini!” Rombongan sampai ke Patok I, yang juga disebut Watu Belah, atau Selokopo Ngisor. Gundukan batu-batu besar akasia gunung, dan udara terasa makin dingin.

“Jangan terlalu lama istirahat ya? Kita jalan lagi.” Jalan dari Patok I sedikit menurun lalu menanjak lagi, dan terus menanjak. Sesekali rombongan harus berjalan dengan merayap. Angin terasa makin kencang dan sangat dingin. “Kalau kita berhenti terlalu lama, dingin ini akan makin terasa, ya Tuan?” Rombongan sampai ke Patok II atau Selokopo Nduwur. Sedikit di atas Patok I jalan menjadi datar dan luas, ada sebungkah batu besar mirip tubuh seekor gajah, hingga orang-orang menamakannya Watu Gajah, kadang juga disebut Gajah Mungkur. Jalan memang mendaki lagi tetapi tidak setajam antara Patok I ke Patok II, sampai kemudian mereka tiba di Pasar Bubar. Ini adalah sebuah cekungan lembah yang diapit batu-batu serta tebing, sementara di depan sana Puncak Merapi menantang untuk didaki. Disebut Pasar Bubar karena angin yang terjebak di lembah ini menimbulkan gema yang gemrenggeng, mirip dengan suara pasar yang ramai. Karena tidak ada kios, warung dan orang-orang yang berjualan, maka pasar itu dianggap sudah bubar.

“Pukul berapa ya? Baru pukul satu malam? Berarti kita berjalan cukup cepat. Ayo, jadah dan tempe hangat sudah siap, siapa mau teh, siapa mau kopi? Susu juga ada. Itu Pak Monoz katanya ada yang mau ditanyakan?”  Monoz mendekat ke Jesus dengan takut-takut. “Siapa dia ini? Wartawan? Apa yang akan ditanyakan? Apa saya benar Jesus atau bukan? Jadi kau, sepanjang perjalanan, pikiranmu hanya terkonsentrasi pada keinginan untuk menanyakan yang ini tadi? Kamu tidak akan pernah menemukan jawabnya! Mengapa? Seharusnya kau nikmati udara bersih, langit cerah, cuaca dingin, di bawah sana lampu-lampu, ini gunung apa di depan kita ini, kok besar sekali? Merbabu? Indah bukan? Itu kota mana yang sangat jauh itu? Surakarta? Solo? Mengapa kamu tampak seperti tidak happy dengan ini semua Pak Monoz? Mengapa kamu ikut rombongan ini? Hanya karena diberi tugas boss? Itulah sebabnya kamu tidak happy. Sebab kamu tidak jujur! Iya, kamu sebenarnya ingin sekali datang ke acara di Tengger kemarin. Allah mengabulkan keinginanmu itu. Maka kamu sekarang diistimewakan. Wartawan lain mencari-cari saya di bawah sana, kamu bersama saya di tempat ini.

“Jadi masih akan bertanya saya ini benar Jesus Kristus itu, atau hanya badut? Sekarang aku yang akan bertanya, menurut kamu aku ini badut, atau benar Jesus Kristus?
Tidak bisa menjawab? Kalau kamu sulit untuk menjawab, maka juga akan sulit untuk menerima jawaban dari saya. Kalau aku mengatakan sebenarnya hanya aktor yang didandani dan berperan menjadi Jesus, kamu ragu-ragu. Ketika aku menjawab bahwa benar aku inilah Jesus Kristus itu, kamu juga akan tetap ragu-ragu. Sebab pada dasarnya kamu sudah ragu-ragu. Hilangkan keragu-raguan itu! Bantah: You itu hanya badut! Atau bersujud mencium tanah, sambil menyatakan: Memang benar Paduka Jesus Kristus Putera Allah. Atau: Prek! Emang gua pikirin? Elo mau Putera Allah kèk, Putera Sampurna, Putera Jawa Kelahiran Sumatera, gua kagak ada urusan! Maka Pak Monoz, ayo salaman dengan saya. Hidup tidak cukup hanya lurus, tidak cukup hanya jujur. Hidup harus kuat, harus bersemangat, harus total membuka diri terhadap yang di sekitar kita, termasuk yang tidak kita sukai. Maka Roh Allah bisa masuk dan bekerja.”

Pasar Bubar, gundukan batu-batu, pasir, kerakal, muntahan material vulkanis dari puncak Merapi. Sepi, hanya gemrenggeng angin yang terperangkap di lembah ini. Dingin. “Kalau kita berhenti terlalu lama memang akan semakin dingin, tetapi biar saja. Waktu masih agak longgar. Nanti kita akan naik, dengan perhitungan, pas sampai di atas pas matahari terbit. Tetapi harus hati-hati, dari Pasar Bubar ini ke sisa puncak Garuda, tidak ada track. Kita akan merangkak di antara celah batu-batu, pasir, dan kerikil vulkanis. Senter harus tepat diarahkan ke tempat yang akan kita injak.” Sambil menyeruput kopi panas, sambil mengunyah jadah dan tempe bacem hangat, Monoz mulai berpikir, jangan-jangan ini Jesus beneran? Kalau ya, berarti gua dapat materi liputan yang langka, bersama Jesus di tempat setinggi ini? Tiba-tiba orang didepannya menepuk pundaknya. “Nikmati kopi, jadah, dan tempe  hangat, di udara sedingin ini. Jangan mulut mengunyah tempe, tetapi otak memiikirkan yang lain. Hidup jadi tidak selaras.”

* * *

“Ini menginap di mana dia ini ya? Di Yogya tidak ada. Di Parangtritis tidak ada. Di Kaliurang kosong. Bahkan ada teman yang melacak sampai ke Bandungan, Kopeng, Tawangmangu, Baturaden, Guci, semua kosong. Padahal di Bromo jelas sudah tidak ada. Apa malah ke Bali ya? Jangan-jangan dibalik. Ketika kita mencari-cari di Bali, dia disembunyikan di Bromo. Ketika kita mencari-cari di Yogya dan Jawa Tengah, ia justru disembunyikan di Bali. Coba kita kontak teman-taman di Bali! Siapa? O, sudah ada yang kontak ke sana juga kosong ya? Padahal jelas. Sebagian panitia sudah ada di Garuda, sebagian lagi langsung ke Queen of South Beach, Parangtritis. Tetapi dianya tidak ada. Ini, kita memang sudah merencanakan, mau menjebak Jesus Kristus alias Isa Al Masih ini, dengan pertanyaan yang selama ini mengganjal di hati kita semua. Sebenarnya dia ini pernah disalib dan meninggal lalu bangkit lagi seperti keyakinan umat Nasrani, atau benar telah diselamatkan oleh Allah, dengan cara langsung dianggkat ke langit, lalu disembunyikan untuk datang lagi pada hari kiamat, seperti keyakinan Umat Islam?” HP wartawan itu berdering. “Ya, saya ini Richard, lo kamu di mana Noz? Bersama dia? Di mana? Rahasia? Anjrit lo!”

Pagi, ruang tamu rumah Mbah Dwijo yang sempit, panitia, Jesus Kristus, wartawan Monoz, duduk-duduk santai, sambil menikmati susu murni, dan singkong goreng. Setelah selesai berbicara serius melalui HP, Monoz memberanikan diri bertanya kepada Jesus. “Apa Pak Monoz? Mereka bertanya, apakah aku ini pernah disalib atau tidak? Apakah aku ini Putera Allah atau bukan? Memang mereka senangnya meributkan hal-hal yang tidak perlu. Ada korupsi mereka biarkan, ada ketidakadilan mereka cuèk, ada kekejaman terhadap rakyat yang lemah, mereka pura-pura tidak tahu. Tetapi soal saya disalib atau tidak, mereka sampai bisa saling bunuh-membunuh. Mereka selalu menuntut, yang benar siapa? Kami, atau mereka? Aku selalu mengatakan kalian tidak ada yang benar satu pun. Sebab perintahku bukan itu, melainkan cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri. Perintahku kalian abaikan, yang bukan aku perintahkan justru kamu jadikan alasan untuk saling membunuh. Memangnya kalau aku ini benar mati di kayu salib, orang Islam harus dipaksa jadi Nasrani? Lalu kalau benar aku ini tidak pernah disalib semua Nasrani harus masuk Islam?”

“Marilah kita sama-sama meneguk susu murni yang baru saja dianugerahkan Allah melalui seekor sapi. Lalu mari kita makan singkong goreng ini, sebagai ‘manna’ yang ditebar Allah di ladang-ladang Pak Tani. Kalian ini sukanya hanya menuntut pada Allah, minta-minta pada Allah. Termasuk Pak Monoz ini. Aku tahu itu karena aku ini Allah Putera. Anaknya sakit berdoa minta pada Allah, kantongnya kosong berdoa minta pada Allah agar kantongnya selalu penuh, di kantor sedang ada masalah, berdoa minta pada Allah agar masalah selesai. Anda ini telah tidak utuh melihat Allah yang maha sempurna. Anda hanya melihat Allah seperti biro konsultasi, ATM, atau dukun. Segala hal harus diatasi Allah. Padahal Allah juga maha lemah, maha miskin, maha tertindas, maha menderita. Derita Anda itu Pak Monoz, sebenarnya derita pura-pura. Beda dengan derita Allah yang sudah sangat serius. Allah juga ikut menjadi korban Lumpur Lapindo, Allah juga tewas dan luka-luka di Jalur Gaza, Allah juga dikejar-kejar Tramtib di Jakarta sana, Allah juga diperas oleh preman, oleh polisi, oleh aparat pemerintah yang korup. Anda selalu minta-minta pada Allah, kapan bisa gantian membantu Allah Pak Monoz?”

“Tidak usah sedih Pak Monoz, aku ini kan hanya badut yang sedang berperan sebagai Jesus, karena dikontrak oleh PT Garuda Perkasa Entertainment.” Monoz lalu takzim memandangi Jesus. “Tuan, lalu harus bagaimana saya, kalau yang saya lakukan selama ini, ternyata salah menurut Tuan?” Jesus mengernyitkan dahi. “Anda ini memang sungguh pelit ya? Susah sekali untuk memberi, dan selalu hanya meminta-minta. Kali ini Anda minta petunjuk. Anda ini bebas. Mau apa saja bebas. Sekali-sekali berilah petunjuk pada Allah yang tersesat jalan, sekali-kali berilah nasehat pada Allah yang sedang bingung, sekali-sekali tuntunlah Allah yang sedang berjalan tertatih-tatih dan mau jatuh. Kalau semua itu Anda lakukan Pak Monoz, otomatis Allah akan selalu bekerja dalam diri Anda, hingga Anda tidak usah minta-minta, tidak usah repot memohon-mohon, tidak usah merengek-rengek di depan Allah. Anda merekam suara badut ini bukan? Mudah-mudahan itu pemberian Allah terakhir, karena Anda memintanya. Selanjutnya Anda akan lebih banyak memberi, hingga tanpa pernah Anda minta sekalipun, Allah akan selalu memenuhi kebutuhan Anda.”

“Pak Monoz, saya sedih melihat mereka yang berbondong-bondong ke Lourdes minta kesembuhan dari simbok saya, mereka yang datang ke Gua Kerep untuk minta agar usahanya sukses juga dari simbok saya. Bukannya saya ngiri karena kalah ngetop dari nyokap, tetapi kasihan pada mereka itu. Setelah minta-minta pada simbok saya dan terkabul, yang dibantu malah orang-orang yang sebenarnya tidak memerlukan bantuan. Misalnya, jalan ke lokasi para peminta-minta itu diaspal mulus, bangunannya dibuat seperti istana, patungnya dibuat sebagus mungkin. Sementara Allah yang terlunta-lunta, dan sebenarnya sangat memerlukan bantuan, tidak mereka gubris. Tahu mengapa mereka didera sakit? Tahu mengapa usaha mereka bangkrut? Karena telah melupakan Allah yang miskin, telah menolak Allah yang sakit, telah menindas Allah yang lemah. Mereka minta-minta pada simbok saya, sambil menangis meratap-ratap, sementara hatinya tidak pernah terbuka karena telah digembok Iblis. Hingga yang membantu dia sembuh, yang membantu dia sukses, sebenarnya bukan simbok saya, melainkan Iblis.”

“Ya, nyokap saya memang Baik. Di lokasi pemujaan untuk dia pun, Iblis tetap ia biarkan buka praktek. Sikap nyokap saya terhadap Iblis, lain dengan sikap aparat keamanan terhadap pedagang kakilima atau PSK. Nyokap saya membiarkan Iblis buka praktek di Lourdes, di Kerep, di Puhsarang, karena mayoritas orang yang datang kesana, dari rumah sudah berbekal Iblis yang sama. Untuk piknik, untuk mencari kekayaan, untuk minta kesembuhan, sementara dilain pihak ia tetap membuat sakit banyak orang, tetap membiarkan sengsara banyak manusia. Mereka yang hatinya terbuka terhadap Bunda, selalu bisa kontak langsung dengan beliau kapan pun, dan di mana pun mereka mau.” Monoz asik mencatat mesti alat perekamnya juga tetap berfungsi baik. Memang harus begitu wartawan yang baik. Dia mendongakkan kepalanya, memandang Jesus lalu bertanya. “Mengapa Allah tidak menghukum mereka, yang datang ke Bunda Maria dengan hati tidak bersih itu?” Jesus menjawab. “Karena mereka sudah dengan sangat baik menghukum diri mereka sendiri!”

Fragmen Novel Para Calon Presiden

 


Tim Sukses Sultan

$
0
0

Pemilihan umum memang perlu uang. Dengan uang, para calon bisa memperkenalkan dirinya sejelas mungkin kepada rakyat. Dengan uang pula rakyat bisa tahu, kualitas para calon. Mereka yang kualitasnya paling baiklah yang layak untuk dipilih. Maka iklan ditayangkan di televisi, disiarkan radio, dipasang di koran dan majalah, baliho, poster dan spanduk terpasang di mana-mana. Sosoknya seragam, gambar wajah dan slogan-slogan yang manis, tanpa informasi apa pun. Padahal rakyat yang mengeluarkan uang untuk membeli koran dan majalah, rakyat yang sudah membeli produk yang diiklankan di televisi, perlu info dasar. Siapa nama calon itu, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, alamat, pendidikan, pekerjaan/profesi sekarang, dan program yang dia ajukan sebagai calon anggota legislatif. Tetapi info itu tidak pernah ada. Rakyat sengaja dibiarkan tetap buta, hingga harus meraba-raba dalam gelap. Padahal yang akan dipilih banyak. Ada 38 partai, hampir dua kali lipat dari partai peserta Pemilu 2004 yang hanya 22. Lebih banyak 10 partai dibanding Pemilu 1999 yang diikuti 34 partai. Meskipun, masih kelihatan sedikit bila dibandingkan dengan pemilu 1955, yang diikuti oleh 172 partai politik. Masing-masing partai akan mengajukan beberapa calon, untuk DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR Pusat, dan DPD.

Pemilihan pasangan presiden dan wakil presiden, akan lebih sederhana. Sebab calonnya lebih sedikit, dan yang dipilih hanya presiden dan wakilnya. Maka pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota, serta DPD, menjadi sulit untuk dilaksanakan oleh rakyat kecil. “Aku bingung Nduk, ini coblosannya itu katanya gambarnya banyak sekali ya? Lo bukan dicoblos tapi dicontrèng? Nyontrèngnya pakai apa ya? Pakai pensil? Balpèn? Spidol? Partainya ada berapa to Nduk? Ada 38? Banyak sekali ya? Lalu mana yang harus dipilih? Lo, yang dicontrèng itu partainya, atau orangnya? Kalau Partainya gampang sajalah. Ibumu ini tidak akan memilih partai yang macam-macam itu. Tinggal partainya Pak Harto, Bung Karno, atau Gus Dur. Partainya Pak Harto itu Golkar Nduk, partainya Bung Karno PDIP, partainya Gus Dur yang ijo-ijo gambar NU itu lo. Yang lain-lain embuh aku tidak tahu. Yaitu, paling gambar matahari partainya Pak Amien Rais. Lalu gambar kepala garuda pothol, partainya Pak Prabowo. Dia itu kan menantunya Pak Harto kan? Lo wis pegatan to Nduk? Cerai dia sama anaknya Pak Harto ya? Yang menjadi istrinya Pak Prabowo itu siapa to Nduk? Mbak Tutut, atau Mbak Mamiek? Titiek? O, puterinya Pak Harto itu ada tiga to? Puteranya juga tiga ya? Tetapi aku emoh, milih partai kepala garuda pothol itu. Ya masih lebih baik partainya Pak Harto. Ya tidak peduli sekarang yang mimpin siapa. Pokoknya kan partainya Pak Harto to Nduk?”

“Lo jebul yang harus dicontreng itu orangnya ya? Ibumu ya tidak tahu mereka to Nduk. Mau milih yang mana? Ya paling ibumu akan mencontreng yang sering muncul di tivi. Kan banyak penyanyi dan pemain sinetron kan? Kalau pusing-pusing tidak usah dicontreng juga boleh. Katanya tidak ikut nyontreng juga tidak dihukum kok. Atau cukup datang saja ke tempat pungutan, lalu nyontreng partainya saja. Terserah orang Ibu juga tidak kenal mereka kok. Kalau Pak JK ya Ibu tahu. Wong dia itu Wakilnya Pak SBY kok. Yang lain-lain itu embuh Nduk. Ini pemilu ini sebenarnya untuk apa to Nduk? Kalau kata  eyang buyut ya Nduk, dulu pada jaman Belanda itu tidak pernah ada pilihan seperti ini, yang ada hanya pilihan lurah, tetapi rakyatnya makmur, barang-barang murah, maling tidak banyak. Itu kata eyang buyutmu lo. Kalau ibumu ya tidak tahu. Kalau eyangmu kan pada jaman Belanda masih kecil. Ibu ini dulu ketika pemilu tahun berapa itu, yang jaman Bung Karno itu, ya masih kecil to Nduk. Tetapi ibu ingat, ketika itu diajak eyangmu, eyang buyutmu, ke tempat coblosan. Ada dapur umum, lalu anak-anak itu dikasih nasi bungkus, lauknya itu daging Nduk!”

“Kalau presidennya Nduk, kalau Kanjeng Sultan jadi calon, ibu akan memilih beliau. Tidak ada pilihan lain. Ya hanya Kanjeng Sultan itulah yang layak ibu pilih. Yang lain-lain ibu tidak tahu. Kalau Kanjeng Sultan tidak maju. Ibu akan pilih Pak SBY atau Ibu Mega. Tidak yang lain. Ibu tidak suka yang lain. Tidak suka itu ya bagaimana ya? Seperti kamu tidak suka sayuran itu lo. Kamu itu sukanya kan daging, dan ikan. Sayuran emoh. Tidak suka ya emoh. Kecuali memang tidak ada yang lain. Kanjeng Sultan tidak ada, Ibu Mega tidak ada, Pak SBY tidak ada, maka ibu terpaksa memilih Pak JK. Mengapa? Ya karena Pak JK sudah pengalaman jadi wakil. Kalau Pak Prabowo kan belum. Kanjeng Sultan Nduk? Memang Kanjeng Sultan belum berpengalaman sebagai presiden maupun wakil presiden, tetapi beliau itu kan raja. Kanjeng Sultan itu penguasa Yogya dan juga Laut Kidul. Laut Kidulnya itu sangat penting Nduk! Penting! Siapa pun yang berkeinginan menguasai negara Indonesia, harus menguasai Laut Kidul. Kanjeng Sultan itu bersuamikan Nyai Roro Kidul lo! Kalau kencan di mana? Ya di Parangtritis sana. Di Parangkusumo sana. Beliau bermeditasi, Kanjeng Ratu Kidul datang, lalu mereka bersatu. Lo, bersatunya itu goib Nduk. Bukan saru!”

“Ibu itu memang disuruh Mas Kardi untuk milih Sultan. Ya Mas Kardimu itu to Nduk. Mas Kardi itu memang apa itu, dia itu bagian yang kampanye itu lo. Apa? Tim Sukses? Ya itu, Mas Kardi itu, Tim Sukses. Ya untuk menjadikan Sultan sebagai presiden. Yo bukan Raja to Nduk. Ya tidak bisa. Raja Yogya ya raja Yogya. Indonesia itu republik, jadi presiden. Biar saja itu Ndoro Suryo itu, ke mana-mana bilang begitu. Ibu juga tidak suka kok sama Ndoro Suryo itu. Biar saja dia kaya, biar saja dia jenderal ibumu tidak takut. Dia itu inginnya kan Kanjeng Sultan menjadi Raja Indonesia. Namanya saja Republik Indonesia kok punya raja. Memang Ndoro Suryo itu sudah kebanyakan duit kok. Orang kalau kebanyakan duit kelakuannya jadi aneh-aneh. Ya waktu itu memang pernah datang ke rumah Nduk. Bukan menanyakan kesehatan ibu, bukan ziarah ke makam bapakmu, yang dia sampaikan hanya soal Sultan dan Sultan terus. Ibu juga sudah bilang, bahwa ibu ini juga mendukung Kanjeng Sultan, tetapi bukan untuk menjadi Raja. Tetep saja Ndoro Suryo ngotot. Ya terserah. Dia mau apa terserah. Ibu hanya mau manut kepada pemerintah. Bukan kepada Ndoro Suryo!”

“Minggu lalu itu ada orang datang, katanya utusannya Ndoro Suryo. Ibu diminta tanda tangan. Ibu bilang tidak bisa tanda tangan, karena tangan ibu gemeteran. Disuruhnya cap jempol. Untuk apa? Katanya untuk memberikan dukungan kepada Kanjeng Sultan sebagai Raja Indonesia. Katanya Kanjeng Sultan akan menjadi Ratu Adil. Ibu tidak mau. Nanti kalau ketahuan polisi, ibu bisa ikut diciduk. Kalau disuruh mendukung Kanjeng Sultan menjadi Presiden, ibu mau. Kalau menjadi raja ibu tidak mau. Sultan itu sudah menjadi Raja Yogya. Itu cukup. Kalau mau maju, sebagai presiden, wakil, atau menteri. Kalau gubernur, sekarang ini Kanjeng Sultan sudah Gubernur Ngayogyokarto. Itu orang-orang itu marah, lalu bilang sebenarnya kalau ibu teken katanya ada uangnya. Nah itu orang-orang itu mengapa tidak bilang dari tadi? Maka ibu ya lalu cap jempol dan diberi seratus ribu lo Nduk! Lumayan. Dulu itu orang-orang Bu Mega juga datang tetapi hanya memberi lima puluh ribu. Juga lumayan itu Nduk. Mudah-mudahan nanti orangnya Pak SBY juga datang ya Nduk ya? Kalau orangnya Pak Prabowo itu pelit. Kesini bolak-balik tidak pernah ninggali apa-apa.”

* * *

Sebuah rumah bergaya country di Parangtritis, Yogyakarta. Ini salah satu tempat peristirahatan keluarga Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko. Hari itu habis santap siang, Raden Tumenggung duduk di singgasana, sebuah sofa besar. Ia diapit oleh Mas Suwito, Amir, Lukas, dan Siboro. Di kursi lain berderet dan bergerombol para nayoko projo. Sebagai tim sukses Sultan, mereka mengadakan pertemuan informal. Tak jauh dari rumah itu deburan ombak Laut Kidul bergemuruh. Turis lokal berseliweran, meskipun ini bukan hari libur, dan masih merupakan jam kerja. Di luar udara panas, meskipun angin telah membantu mengurangi rasa panas itu. Di dalam rumah ini sejuk, AC Split 2,5 PK dipasang di mana-mana. Pohon sawo kecik, tanjung, dan trembesi juga sudah sangat rimbun hingga suasana halaman rumah lebih teduh dibanding rumah-rumah lain. Meskipun ruangan ber AC, para hadirin tetap merokok kretek maupun putih. Raden Tumenggung mengisap Romeo & Julieta Short Churchills, buatan Cuba. Dia sebenarnya sudah dilarang merokok oleh dokter, terlebih merokok cerutu. Tetapi jawaban Raden Suryo adalah, “Dokter, kalau detik ini juga saya mati karena merokok, saya iklas. Umur saya sudah 70 tahun, jadi memang sudah saatnya!”

Asap tembakau, dua  buah fan penyedot udara, kopi, teh, soft drink, cendol, bir, Raden Tumenggung menggebrak meja. “Semua sudah gila! Termasuk menantuku Arif itu. Berkali-kali dia memang mengatakan tidak berurusan langsung dengan eksekutif di kantornya, tidak berpihak ke salah satu partai, ke salah satu calon, prakteknya kita tidak tahu. Saya juga curiga Suwito ini sebenarnya mata-matanya SBY. Bagaimana Suwito kamu?” Suwito tetap cengar-cengir, mengambil gelas, dituangi bir, lalu disodorkan ke Raden Tumenggung. “Ini Pak, biar ngomongnya lebih kenceng!” Raden Tumenggung tersenyum kecut. “Kampret kamu itu Wito! Kita ini sedang serius, kamu itu guyonan terus. Kita ini sedang dikerjai orang. Tim kita ini akan dipecah belah, akan dicaraiberaikan. Kamu malah cengèngèsan begitu. Tak tempèlèng ndhasmu pecah Wit! Mikir, itu panggung sudah dibangun, layar sudah dipasang, sound sistem. Ini hajatan besar Wit. Amir, Salim, kalian ini dari tadi juga bengong terus. Bagaimana ini, Sultan kita mau ditampilkan di sini, bersama Nabi Isa, kita sebagai Tim Inti sama sekali tidak diajak rembugan.”

“Sekarang siapa yang masih tidak setuju kalau Sultan mau saya jadikan Raja Indonesia? Siapa? Siapa yang tidak setuju kalau kita punya Ratu Adil? Orang tua seperti saya ini pengalamannya sudah seabreg. Saya ini pernah menjadi tangan kanannya Bung Karno, abdinya Sultan IX, lama membantu Pak Harto, kok kalian masih mau membantah. Ini semua taktik! Tapi jangan diomongkan kemana-mana ke siapa-siapa. Suwito ini mulutnya sukanya keceplosan melulu. Ini Taktik. Sultan X itu sekarang sudah gubernur. Kalau hanya jabatan Menteri, sudah di tangan! Kalau kita mematok target Wapres, dapatnya menteri. Kalau mematok presiden, dapatnya wapres. Maka aku akan mematok target Sultan Sebagai Raja Indonesia, sebagai Ratu Adil. Kalau target tercapai, itu bagus. kalau hanya dapat presiden. Lumayan kan? Jadi, kerja itu harus taktis dan strategis. Tidak ngamuk bak-buk asal pukul, kecapekan, lalu lawan memukul dan kita jatuh. Amir ngomong! Suwito nanti saja. Dia itu dari kemarin-kemarin sudah terlalu banyak bacot. Bosen aku mendengarnya. Ayo Amir!”

“Ngomong apa Pak Ya? Saya itu malah bingung. Saya itu sebenarnya mau disuruh kerja apa? Saya itu guru. Ini tadi sudah mbolos. Ijin sama kepala sekolah. Kalau Salim sebagai aparat Pemkab, di kantor atau di luar kantor sama-sama tidak kerja. Pekerjaanmu itu apa Lim? Duduk, baca koran, ngobrol, ngopi, mengisi TTS, lalu pulang. Katanya kita ini Tim Inti. Tim Suksesnya Sultan itu kok banyak sekali ya? Semua ngaku sebagai tim sukses. Ada wartawannya, ada aktivis LSM, ada dosen UGM, ada politikus, semua tim sukses. Kalau mau, Pak Suryo, kita ini diresmikan sebagai tim perklenikannya Sultan begitu saja kenapa sih? Saya ini hanya guru. Salim itu hanya aparat rendahan di Pemkab. Ditarik-tarik ke sini ini kan hanya karena kami-kami ini sedikit bau paranormal begitu kan? Kalau tidak mana ada orang yang mau melirik kami. Nggih ngoten to Mas Suwito? Panjenengan sendiri kan juga begitu. Coba kalau hanya Suwito dari Jombang, lalu menyodorkan diri, diseret satpam keluar. Tetapi karena faktor Ki Joko Piturun, Kutang Onto Kusumo, Apa lagi Pak Wit? Nah mereka mau tidak mau memperhatikan kita-kita ini. Akan tetapi, anggarannya itu mana? Mana? Dari dulu cuma, pokoknya ada, pokoknya ada. Ada itu mana?”

“Amir, Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko, paling tidak suka kalau ada orang belum mulai bekerja sudah ribut soal duit. Ya, memang kamu benar. Maksudnya, daripada ribut belakangan, begitu bukan? Memang kita ini bernama Tim Siluman. Jangan tertawa kamu Lim. Amerika yang negeri adidaya itu pun punya pesawat siluman, yang bisa tidak tertangkap oleh radar lawan. Semua Capres sekarang ini pasti punya beberapa tim resmi, tim bayangan, tim tidak resmi, dan tim rahasia atau tim siluman. Kita ini masuk kategori tim siluman. Jadi jangan tanya SK, jangan tanya honor. Uang operasional memang harus ada. Suwito, jadi Amir dan Salim ini belum kamu kucuri dana ya? Mereka tidak mungkin bisa gerak kalau kamu tidak kucurkan dana. Cepat sana, kamu pegang cash atau tidak? Kalau tidak ya pakai cek biar nanti mereka cairkan. Telebanking juga bisa, tapi apa mereka sudah ada rekening? Kalau mereka tidak cepat bergerak, kita akan didahului lawan. Kalau Gerindra dan Prabowo biar saja. Dalam dunia pewayangan itu ada Cakil, ada Ksatria. Cakil memang harus keluar duluan, pecicilan kesana-kemari, tetapi begitu Arjuna, Satria Piningit itu keluar, habislah si Cakil.”

“Yang aku khawatirkan sekarang ini, ternyata ada tim siluman lain. Suwito, kamu tahu bagaimana tiba-tiba Sultan akan tampil besuk ini di sini? Ya bukan di Parangtritis tetapi di Parangkusumo. Tidak tahu kan? Aku ini kan mertuanya Arif. Tetapi sepertinya aku ini cuma dikentuti sama dia. Suwito, sekarang kamu dengan Amir dan Salim gerak. Cari tahu, agenda apa yang dirancang oleh pihak sana, supaya antisipasi kita juga jelas. Cek, apakah Ki Joko Piturun masih tetap berada dalam posisi aman. Besuk Arif akan datang dengan Tyas, Ratih dan Wulan, serta suster mereka. Aku akan damprat itu Arif, bagaimana kok Suwito tidak diajak ngomong. Bagaimana tiba-tiba Sultan akan ditampilkan tanpa agenda jelas. Ini untuk menaikkan pamor Sultan, atau justru untuk menjerumuskannya. Sebab kalau SBY sudah tampil di Tengger sana, lalu Sultannya baru sekarang, sama saja dengan memosisikan Sultan sebagai orang kedua. Padahal target Sultan bukan sekadar menjadi RI 1, melainkan Raja Indonesia I. Nama Sultan bukan lagi Hamengkubuwono X, melainkan Hamengku Indonesia I.”

* * *

“Entah sejak kapan, entah siapa yang melansir pertama kali, kita ini mendapat julukan baru sebagai tim sukses lintas Capres. Padahal aslinya, kita ini jelas Tim Rahasia Sultan X. Karena banyaknya tawaran dari pihak luas kepada Sultan, maka tim kita inilah yang diminta untuk berunding. Akhirnya tim kita kenal dengan satu dua tim lawan, lalu hampir semuanya punya kontak. Kita lalu tahu banyak tentang formasi kekuatan secara keseluruhan. Akhirnya, kita tidak hanya sekadar menjadi tim sukses Sultan, tetapi sudah menjadi tim sukses lintas Capres. Enaknya, kita bisa makan dimana-mana. Datang ke Tim Sukses Ibu Mega, lalu ikut makan. Datang ke Tim Sukses Pak SBY, ikut makan lagi. Datang ke Tim Sukses Pak Prabowo, langsung nimbrung makan. Sialnya, kalau kita dianggap sudah makan di tim sebelumnya, hingga di mana-mana tidak ditawari makan. Padahal perut dari pagi belum terisi. Yang kita emban kali ini menjadi sangat berat. Luar biasa berat. Hanya kita masih punya semangat bukan? Saya juga baru nyadar ya, ternyata tim kita ini yang kualitasnya paling baik.”

“Memang tidak pernah ada dalam cerita, bahwa ada orang memuji-muji lokomotiv alias kepala kereta api. Ambon, Ambon!” Yang disebut Ambon melotot. “Maksud loh…..?” Kardi terpaksa menjelaskan. “Yang dipuji-puji pasti kepala sendiri. Edhasé dhéwé!” Si Ambon tambah marah. “Gué kagak muji-muji kepala sendiri. Yang aku puji-puji kan tim ini. Apa mata eloh udah picek? Doktornya ada berapa hayo? Ada penyanyi sohor, pelukis, penyair, budayawan, wartawan, kolumnis, pengusaha, jenderal purnawirawan, apa kurang komplit? Kita kan juga tim yang sejak dari dulu kompak. Kita juga satu-satunya tim yang tidak pernah memikirkan duit……!” Kardi memotong. “Setuju, Kangmas Ambon. Hanya orang kentir yang memikirkan duit. Duit kok dipikirin. Duit itu ya diterima. Kita semua memang tidak ada satu pun yang memikirkan duit. Menerima la iya to?” Ambon bangkit dari kursi, menggerak-gerakkan badan seperti gerakan senam, memutar-mutar lengan, sambil mengepalkan telapak tangan, siap untuk menempeleng. “Coba rasakan tempelengan saya ya Pak Dé. Eloh ini sudah kelewatan memang. Ayo kita mau ngapain sekarang?”

“Sebelum Pemilu Legislatif selesai, kita memang tidak usah ngapa-ngapain. Kita kumpul-kumpul makan Soto Kadipiro, Sate Samirono, dan Ayam Goreng Tohjoyo. Duitnya dari mana? Ya bantingan to Mbon! Dasar Ambon yang paling jarang membanting uang. Ambon dan Manado itu biasanya tidak pelit. Ini ada Ambon satu kok pelitnya minta ampun. Kamu itu bukan miskin Mbon. Kamu itu pelit. Coba sekarang dompet dibongkar, siapa yang uangnya paling banyak. Berani taruhan, pasti Ambon. Ya habisnya mau ngapain? Semua sudah ada yang ngurus. Kalau soal formasi Capres, Cawapres, sebelum Pemilu Legislatif ada hasilnya, tidak akan ada yang berani ngomong apa pun. Ya PDIP, ya Golkar, Demokrat, PAN, Gerindra, PKS, semua masih diam seribu bahasa. Baru ada ceritanya sekarang ini ya, jabatan wakil presiden lebih menentukan dibanding presidennya. Siapa pun capresnya, sulit untuk menang tanpa disertai cawapres yang tepat. Saya tidak bilang kuat tetapi tepat. Kalau ngomong paling kuat, sesuai hasil pooling indpenden, ya SBY Sultan. Tetapi itu mustahil bukan?”

“Kok kamu pakai tanya mengapa? Ya karena Pak SBY tidak suka sama Sultan. Mengapa lagi? Kamu masih ingat kan waktu gempa dulu? Pak SBY sudah ada di sini, gubernurnya belum ada. Kemana coba? Ya itu antara lain yang bikin jengkel pak SBY. Tapi namanya juga politik. Kalau perolehan suara PDIP nomor satu, Golkar nomor dua, lalu Ibu Mega berpasangan dengan Pak JK, ada kemungkinan Pak SBY tidak akan ragu-ragu menggandeng Sultan. Jadi politik itu ibarat bola. Dengan mudahnya menggelinding kesana kemari, tergantung siapa yang menendangnya. Beda dengan dadu. Kemungkinannya memang hanya ada enam, hingga bisa diperhitungkan secara matematis, dengan teori kemungkinan. Artinya setiapkali dadu dilempar, masing-masing angka bisa keluar dengan kemungkinan seperenam. Kalau bola tidak bisa. Maunya ditendang ke tengah gawang, bisa melenceng ke kiri, ke kanan, atau melambung ke atas. Ditendang asal-asalan, ternyata malah masuk. Itulah bola, itulah pula politik.”

“Jadi aku akan tanya ya Mbon, ya. Kalau kamu, inginnya Sultan itu jadi apa, lalu berpasangan dengan siapa?” Si Ambon menyedot kereteknya dalam-dalam, dan mengembuskannya ke atas. “Eloh ini pakai tanya-tanya segala Pak Dé! Jelas di lingkungan Sultan itu kan juga ada banyak suara, dan saya tetap konsisten agar Sultan jadi RI 1. Di Golkar sendiri, yang tampaknya kompak itu, sebenarnya kan juga ada banyak faksi. Ada yang ingin Pak JK tetap berpasangan sama Pak SBY. Ada yang ingin Pak JK jadi RI 1. Ada yang ingin ada dia cukup jadi RI 2. Ada yang ingin agar Golkar menjaring calon alternatif melalui DPC dan DPD. Yang kurangajar, ternyata ada yang ingin agar Pak JK itu secepat mungkin digusur dari Golkar. Maka ketika Pak JK mengumumkan kesiapannya untuk maju sebagai RI 1, sebenarnya hanya untuk meredam perpecahan di dalam. Ya, Pak Dé, Eloh kan tahu, di sini ada yang ngebet Sultan jadi wakilnya Bu Mega. Ada yang ngotot Sultan pasangan sama Pak JK. Ada yang kasak-kusuk agar Sultan dilamar Pak SBY. Dan mereka yang ingin agar Sultan maju sendiri, juga masih sangat kuat.”

“Pertanyaan saya itu cukup jelas Mbon! Kamu ingin Sultan jadi apa, dan berpasangan dengan siapa? Itu jelas kan? Bukan soal formasi pasangan capres cawapres pasca Pemilu Legislatif. Aku kan tahu elonya bukan pakar politik. Maka yang aku tanya, keinginanmu pribadi.” Ambon menguap, meski tidak sedang ngantuk. “Aku jelas ingin Sultan jadi presiden diusung Golkar, wakilnya Pak JK! Kalau hanya target wakil sih sudah lebih jelas konstelasinya. Selain alternatif tadi, agak berat bagi Sultan untuk maju sendiri sebagai RI 1. Kecuali ada hil yang mustahal. Baru siapa pun bisa naik. Hil yang mustahal itu ya seperti waktu Pak Harto menggantikan Bung Karno, seperti waktu Habibie menggantikan Pak Harto, Gus Dur menggantikan Habibie, dan Megawati menggantikan Gus Dur. Waktu SBY terpilih oleh rakyat menggantikan Mega pun, sebenarnya juga ada unsur hil yang mustahal itu. Yakni, dia seakan-akan teraniaya. Maka, kalau bisa direkayasa, seakan-akan Sultan itu teraniaya, hil yang mustahal itu  bisa saja terjadi.” * * *

Fragmen Novel Para Calon Presiden

 


Parangtritis

$
0
0

Empat kursi kelas bisnis Garuda Indonesia, itu masing-masing untuk Bapak Arif Rahman,  Ibu Raden Ayu Siti Suryaningtyas, dua puteri mereka, Raden Ayu Ratih Suryaningmas, dan Raden Ayu Wulan Suryaningrat; dua suster mereka Mbak Diah dan Mbak Suci, sekretaris Ibu Suryaningtyas, serta Pak Bambang, sekretaris Bapak Arif. Supaya tidak harus bangun pagi-pagi, mereka ambil fight pukul 11.00 siang. Sampai Yogya semolor-molornya pukul 13.00, rencananya langsung makan di Hotel Garuda. Arif akan menginap di sini, dan siang ini juga langsung meeting dengan beberapa orang. Pak Bambang akan mendampingi Arif. Narto, sopir Arif, dan Mendos, sopir Tyas, sudah lebih dulu berada di Yogyakarta, naik kereta api. Rencananya, Tyas, Ratih dan Wulan, dua suster mereka Diah dan Suci, serta Ratna, akan menginap di Parangtritis. Tetapi pada detik-detik terakhir, niat itu berubah. Tyas didampingi Ratna sekretarisnya, ingin menginap di Pesantren Cipto Roso, di Bantul. Dia sudah berjanji kepada Kiai Murwito, untuk menginap di sana. Anak-anak, suster, dan Mendos sopir mereka, akan langsung ke Parangtritis. Eyang kakung dan Eyang Puteri mereka sudah seminggu ini ada di sana.

Panggung besar dipasang di ujung timur Parangkusumo, di sebuah gumuk pasir di sudut barat laut pertigaan jalan. Panggung itu menghadap ke selatan, agar yang di atas panggung maupun yang tamu di depannya tidak silau oleh sinar matahari pagi. Di kiri kanan panggung, dipasang tenda ukuran sedang, dan di depan panggung sebuah tenda raksasa dibentangkan, kursi ditata, untuk tamu biasa, VIP dan VVIP. Sound sistem dan sebuah layar raksasa dipasang di ujung barat Parangkusumo, menghadap ke timur. Di belakang panggung, juga dipasang dua layar, satu menghadap ke utara, satu menghadap ke selatan. Panggung raksasa keempat dipasang di ujung timur Parangtritis, persis di depan The Queen of South Beach Resort, Parangtritis, menghadap ke arah barat. Di sepanjang pantai Parang Kusumo dan Parangtritis, juga dipasang puluhan layar ukuran sedang. Sepuluh pawang hujan didatangkan. Bukan untuk mengusir hujan, melainkan untuk mendatangkan mendung, tetapi tidak sampai menjadi hujan, agar tayangan di semua layar itu bisa kelihatan. Dengan matahari pantai bersinar terik pada pagi hari, tayangan setajam apa pun akan kabur hingga tidak jelas ditonton. Panitia tidak mau untung-untungan, meskipun Jusus Kristus sendiri sudah mengatakan, bahwa mendatangkan mendung itu soal kecil baginya. Ketika panitia mengatakan akan mendatangkan 10 pawang hujan, Jesus mengatakan, itu baik sebab akan ada 10 keluarga yang mendapat nafkah.

Sudirman Suitte Room Inna Garuda Hotel, Yogyakarta bertarif US $ 318 per hari. Arif tidak tahu akan berapa hari ada di sana, sebelum bergabung dengan mertua, isteri, dan dua puterinya di Ndalem Parangtritis. Di Inna Garuda sebenarnya juga bermalam beberapa petinggi PT Garuda Perkasa Entertainment, tetapi Arif selaku Preskom Garuda Perkasa Holdings, sama sekali tidak ada urusan dengan mereka. Kali ini Arif sedang berurusan dengan Tim Siluman beberapa Capres, termasuk Tim Siluman Lintas Capres. Arif menerima dana cukup besar dari kelompok Jahudi moderat di AS dan UE, untuk berbagai proyek, guna memperkuat kelompok nasionalis, juga kelompok Islam Moderat di Indonesia. Kalau mau, Arif juga ditawari dana untuk dikucurkan ke Kelompok Islam Fundamentalis, agar mereka bisa sedikit lebih moderat. Arif belum berani memutuskan, akan menerima, atau menolak tawaran itu. Kelompok Jahudi Moderat di AS dan UE, sekarang memang mencoba strategi baru, setelah strategi mereka memrovokasi Protestan Fundamentalis AS dan UE, ternyata justru merusak tata perekonomian dunia, terutama tata finansialnya.

Eyang kakung dan eyang puteri itu senang sekali ada dua cucu mereka datang. Ndalem Parangtritis itu serentak jadi semarak. “Main di pantai boleh, tetapi mandi di laut dilarang ya! Ini tadi sudah makan atau belum? Bunda kok tidak ikut ke sini. Kemana dia? Di Pondok Pesantren Cipto Roso, Hua, ha, ha, ha……, bunda kalian mau jadi santri! Itu bunda kalian mau jadi santri! Dia nginep di sana sama Mbak Retno? Hua, ha, ha, ha……, itu Mbak Retno juga mau ikutan jadi santri! Nanti Eyang Kakung juga mau ikutan nginep di sana supaya jadi santri. O……, kalau hanya nginep saja tidak bisa jadi santri ya? Lalu bagaimana caranya supaya jadi santri? Sekolah? O……, Bundamu itu tidak ikut sekolah ya? Bunda hanya nginep ya? Kalian genduk-genduk kecil ini ketemu sama Kiai Murwito yang sangat baik itu ya? Salaman dan cium tangan? Wah, bagaimana? Kiai Murwito itu baik apa jahat? O…….., Pak Kiai mau mengobati Bunda? Emangnya Bundamu itu sakit apa? Masuk angin, atau ……..” Eyang puteri yang sejak tadi mendengarkan dialog Eyang kakung dengan Ratih dan Wulan segera menyambar. “Sama genduk Ratih dan Wulan ngomong soal sakitnya Bunda segala, sini Nduk, ikut Eyang Puteri saja. Eyang punya sesuatu untuk kalian!”

Udara pagi di Selo sangat cerah. Jesus, didampingi dua orang panitia dan Mbah Dwijo, berjalan-jalan ke arah utara, melalui jalan setapak, di antara ladang yang ditanami kol, daun bawang, wortel, seledri, adas, dan jagung. Di antara petak-petak ladang itu kadang ada rumpun pisang, kadang ada pohon kesemek, dan yang pasti, di semua batas petakan lahan, terutama di tebing terasering, selalu penuh dengan rumput gajah untuk pakan sapi perah. Jesus banyak bertanya tentang tanaman-tanaman itu, juga tentang nasib petani. Kali ini Jesus lebih banyak mendengarkan, juga ketika Mbah Dwijo bercerita tentang Ki Kebo Kanigoro, tentang Mbah Petruk, tentang Gua Jepang, dengan sangat fasih. Sampai sekarang, Mbah Dwijo dan masyarakat Selo tetap tidak tahu, bahwa tamu yang datang itu Jesus Kristus, yang juga dipanggil Isa Al Masih Alaihissalam. Mereka hanya tahu bawa rombongan yang datang itu mau rapat, dan ada turis asingnya. Jalan setapak yang mereka lalui kadang mendaki, kadang datar, kadang lebar dan bersih, sering pula sempit dan ditumbuhi rumput sangat tinggi. Pagi itu, rumput masih basah oleh embun tadi malam. Di kejauhan kabut tampak mengambang sepotong-sepotong. Dan di depan mereka, di selatan sana, tegak dengan kokohnya Gunung Merapi. Dari puncaknya mengepul asap putih yang segera tersapu angin ke arah barat daya.

Tim Siluman II Kanjeng Sultan, berkumpul di salah satu bungalow di The Queen of South Beach Resort, Parangtritis. Sebenarnya jumlah mereka ada tujuh orang, tetapi kali ini yang hadir hanya empat, Prof Moeso guru besar emeritus UGM, Alex redaktur koran nasional, Mas Bowo eselon II di Depdagri, dan Bu Lastri pengusaha nasional. Mereka duduk di teras bungalow, supaya bisa leluasa merokok. “Sebenarnya aku ini ingin minum jus jambu biji, ada tidak ya di sini?” Mas Bowo bertepuk memanggil petugas hotel. “Dik, dik, ada jus jambu biji tidak ya?” Yang ditanya membungkuk memberi hormat, lalu menyarankan. “Mohon maaf, silakan Bapak pesan langsung ke restoran melalui telepon di dalam Pak.” Mas Bowo sewot. “Kurang ajar itu anak. Ditanya baik-baik malah ganti perintah sama orang tua.” Bu Lastri menghardik. “Ya situ saja yang sotoi. Itu tadi petugas lanscape, lu tanya jus jambu. Mana tahu?” Siang itu Mas Bowo memang sedang suntuk. “Mereka itu dimana sih sebenarnya? Atau kalian kasihlah kami ini kontak dengan mereka langsung. Masalahnya apa sih?”

* * *

Para wartawan kegerahan. Bukan karena udara panas, melainkan mereka dimarahi, bahkan diancam akan dipecat oleh redaktur mereka. Richard, wartawan tivi nasional, menggerundel. “Nyaris, sebenarnya nyaris aku dapat lokasi mereka berada. Si Monoz itu tiba-tiba kontak gua, pamer kalau dia diajak panitia inti bersama mereka. Aku tanya kan, dimana? Dia bilang rahasia. Bodohnya dia itu lha kalau dia telepon pakai HP, koordinatnya kan terekam. Aku segera kirim data ke kantor untuk dilacak koordinatnya. Hilang mas data kontak barusan. Aku bilang kontak saja langsung ke HP Monoz, ternyata tidak diaktifkan. Anjrit betul! Hebat juga itu Jesus ya? Jadinya sampai sekarang ya tidak terlacak. Anehnya, mosok selama lima hari ini Monoz tidak mengaktifkan HPnya? Ya mungkin ini campur tangan Jesusnya. Dia sih mau ngapain saja ya bisa. Ini bukan sekedar hebatnya panitia yang ngumpetin dia, tapi ya karena yang diumpetin itu sakti punya. Nyerah deh aku. Coba kalian mau komentar apa? Hasil pelacakan ke Bandungan, ke Tawangmangu, ke Kopeng seperti apa? Nihil kan? Panitianya saja di sini kok. Ya di Yogya sini. Di Inna Garuda, sama di Queen Parangtritis sana.”

“Mereka sebenarnya mau datang kapan sih Chard? Ya Jesus dan rombongannya itu? Langsung besuk? Berarti mereka itu ya cuman di sekitar-sekitar sini saja. Oh, tahu gue. Tempat yang agak mirip-mirip dengan Bromo itu kan Dieng? Lu bawa mobil nggak Chard? Bawa? Yo kita cari di Dieng yo?” Maka lima wartawan itu meluncur dengan Kijang Inova ke Ring Road, masuk Jalan Raya Magelang. “Aku tahu jalan tembus lewat Borobudur, jadi tidak usah masuk Magelang dan Secang. Ya lewat Salaman, terus naik ke Kretek, sudah nyampèk Wonosobo. Jangan takut, gua sudah bolak-balik lewat jalan itu. Jalannya bagus dan sepi. Ya masuknya dari itu setelah Muntilan. Bukan Mungkid, sebelum Mungkid.” Sore itu mereka sudah ada di Dieng. “Lu bilang apa Chard? Kita pura-pura tanya kamar? La kalau masih kosong? O, bilang bukan untuk sekarang. Okey. Memang ya kalau kita tanya nyari orang bisa saja mereka bilang tidak ada, padahal hotel penuh.” Maka mereka pun selalu bertanya, apakah ada hotel kosong. Jawab petugas hotel. “Mau satu RT masuk semua ya masih muat Mas, wong sekarang ini lebih banyak kosongnya!” Lima wartawan itu lalu saling menyalahkan. “Tadi siapa yang punya ide kemari?” Dieng memang lain dengan Bromo. Orang datang ke Dieng bisa PP dari Yogya, dan menginap di Yogya.

Maka, mereka kembali ke Yogya. Ternyata hari itu ada jumpa pers oleh panitia, dan juga oleh Tim Sukses Sultan. Kali ini Tim Sukses Resmi, bukan Tim Siluman. Sejak enam hari yang lalu 10 orang pawang hujan sudah disiapkan. Mereka harus kerja berat. Sebab kalau biasanya mereka menolak hujan, dan menyingkirkannya agar jatuh di lokasi lain, maka sekarang justru harus mendatangkan mendung, tetapi tidak boleh sampai hujan. “Siang tadi kan masih panas terik, sunsetnya juga bagus karena sudah ada sedikit awan, kok tiba-tiba sekarang mendung ya? Apa panitia tidak menyediakan pawang? Kalau besuk pagi sampai hujan, kanjeng Sultan kan malu. Mosok hajatan yang dihadiri beliau sampai kebobolan hujan. Apa panitia itu tidak kuat membayar pawang, atau mereka tidak percaya ya? Ini tiba-tiba mendungnya seperti ini. Kalau bisa jatuh lebat sekali nanti malam, memang bagus sebab besuk di Parangkusumo tidak akan terlalu panas. Tetapi bukankah Kanjeng Sultan itu akan tampil bersama Nabi Isa Alaihissalam? Pasti beliau sudah mengantisipasi hal ini. Nabi Isa itu kan jago untuk urusan yang ghoib-ghoib begini.”

“Tadi itu jumpa persnya ngapain? Cuma teknis ya? Tapi beliaunya belum ikut? Ya beliau dua-duanya, ya Sultannya ya Jesusnya? Belum ya? Ada fasilitas apa saja besuk? Standar biasa ya? Press Centre, Hotspot, wawancara dengan beliau setelah acara formal? Wah itu dia. Kok tumben panitia agak longgar? Mungkin karena di Yogya kali ya? Ini siapa lagi ini sudah tengah malam begini, jangan-jangan dari kantor. Lo, ini Monoz, Lu kok HP tidak pernah diaktifin sih? Apa? Tidak pernah dimatiin? Anjrit bener. Lu ini dimana sih sebenarnya? Di Sala? Di mana? Sela? Di mana itu? Boyolali naik. Emangnya ada hotel di sana? Di rumah penduduk? Anjrit betul. Ya dicari-cari, diuber-uber sampai Dieng segala kagak bakalan nemu. Kamu ngapain baru ngasih tahu lokasi sekarang? Sudah diijinkan panitia. Memang dasar elonya sendiri juga anjrit kok. Lalu sekarang masih di sana? Jam berapa katanya pada mau cabut? Jam lima pagi? Ya udahlah, coba kalau siang tadi kamu telpon, gua akan nyusul ke situ Noz. Ya mosok lu nggak percaya sama gue sih? Ya sudahlah, ini sudah jam segini kok.”

Hotel Inna Garuda di Jalan Malioboro, Yogyakarta, dan The Queen of South Beach Resort di Parangtritis, seperti tidak tidur. Orang silih datang dan pergi tak henti-henti. Jalan raya Yogra Parangtritis sejauh sekitar 25 km, dibuka tutup agar bisa searah. Akhirnya sejak tengah malam, jalan raya Bantul Parangtritis dijadikan satu arah ke arah Parangtritis. Itupun hanya sampai pertigaan setelah jembatan kali Opak. Kendaraan yang akan kembali ke Bantul atau Yogya, harus melalui Seloharjo, Sriharjo, dan Imogiri. Jalan dari jembatan Kali Opak, sampai ke Parangkusumo dan Parangtritis tertutup untuk mobil. Hingga pengunjung hanya bisa berjalan kaki, naik sepeda motor pribadi maupun ojek. Dengan cara ini kemacetan bisa dikurangi. Menjelang subuh, kendaraan sama sekali sudah tidak bisa bergerak. Hingga mobil hanya diperbolehkan sampai Bantul. Selanjutnya harus disambung dengan ojek sepeda motor atau jalan kaki. Mobil panitia juga tidak mungkin bisa masuk, karena padatnya arus manusia. Panitia sudah mengantisipasi hal ini, hingga para tamu VIP dan VVIP, akan diangkut dengan heli, dari Alun-alun Utara ke lapangan di Parangkusumo, beberapa ratus meter dari panggung tempat acara diselenggarakan.

“Jadi Mbak Tyas tidak akan ke Parangtritis sekarang? Memang macet sekali. Kalau Mbak Tyas masih kerasan di Pesantren Cipto Roso ini, saya sangat senang. Pak Arif juga masih di Yogya ya Mbak Tyas? Ini lucu. Bapaknya ada di Yogya sendirian, ibunya ada di pesantrennya Kiai Murwito sendirian, puteri-puterinya bersama eyang kakung dan eyang puteri di Parangtritis. Tetapi saya benar-benar sangat senang Mbak Tyas tampak sehat, tampak gembira, di Pesantren ini. Padahal tidurnya ya hanya di amben bambu, daharnya ya hanya seperti itu. Saya benar-benar bersyukur kepada Allah Subhanahu wa ta’alla, bahwa Ibu Tyas ini telah dikaruniai Rahmat dan Hidayahnya. Saya sendiri juga malas untuk ikut ke sana Bu. Pak Bupati sebenarnya mengajak, tetapi ya biar sajalah Pak Bupati dikawal para Camat. Saya akan di rumah saja. Para santri saya bebaskan. Mau datang ke sana silakan, mau tidak datang boleh juga. Sebab sekolah kan juga sedang libur, jadi terserah mereka. Ini tadi siang macetnya sudah luar biasa, saya tidak bisa membayangkan besuk ini. Mungkin jalan Bantul Parangtritis akan ditutup, atau dibuat searah. Barangkali itu lo Mbak Tyas!”

* * *

Pagi itu tidak ada sunrise. Cuaca mendung, tetapi mendung atas. Tidak ada angin, hingga dijamin sampai beberapa saat cuaca akan seperti ini terus. Pantai Parangtritis dan Parangkusumo benar-benar padat dengan manusia. Jalan raya Yogya Bantul macet total. Jalan raya Bantul Parangtritis, baik yang langsung maupun yang lewat Imogiri, sama sekali tidak bisa dilewati mobil karena penuh dengan pejalan kaki. Bahkan sepeda motor pun ikut macet. Pejalan kaki pun hanya bisa bergerak perlahan sekali menuju Parangkusumo. Helikopter Bell dan Super Puma entah sudah berapa puluh kali ulangalik Yogyakarta Parangkusumo. Panitia mencarter sampai lima buah helikopter, hingga para tamu VIP dan VVIP tidak terlalu lama menunggu di Alun-alun utara. Beberapa wartawan asing yang menginap di Hotel Inna Garuda, juga diangkut ke Parangkusuma dengan heli. Cadangan aparat medis, baik dokter, perawat dan apotekernya, yang masih berada di Yogyakarta juga diangkut dengan heli. Suasananya seperti sedang perang. Heli meraung-raung di udara, cuaca mendung, dan jalan raya penuh dengan manusia.

Dua kapal besar buang sauh di lepas pantai Parangkusumo dan Parangtritis. Beberapa speedboat ukuran sedang mondar-mandir dari muara Kali Opak, sampai ke ujung Pegunungan Seribu. Petugas penyelamat pantai didatangkan dari Kuta, Bali, dan berderet pagar betis di sepanjang Parangtritis – Parangkusumo. Semua untuk berjaga-jaga, agar jangan sampai ada orang yang nekad nyebur ke laut dan hanyut. Pukul sembilan pagi, semua kursi tamu telah terisi, kecuali kursi VIP dan VVIP yang baru terisi sebagaian. Sebenarnya para tamu penting dari Yogya maupun Jakarta semua sudah standby, tinggal menunggu diangkut dengan heli ke lokasi acara. Tamu-tamu yang datang dari Jakarta pagi itu, langsung naik heli dari Bandara Adisucipto, ke Parangkusumo. Rombongan Jesus Kristus yang subuh berangkat dari Sela, sengaja tidak dibawa masuk ke Alun-alun utara, melainkan juga naik heli dari Bandara Adisucipto. Mereka terlebih dahulu masuk ke lounge, untuk menunggu, agar Sultan terlebih dahulu berada di Parangkusumo. Hingga ketika tamunya datang, Sultan akan berdiri untuk menyambut dan menyalami. Rencananya, Sultan akan terlebih dahulu berbicara sekitar 15 menit, kemudian Jesus Kristus alias Isa Alaihissalam akan berbicara sekitar 45 menit. Jadi total acara akan memakan waktu satu jam. Tidak ada sambutan lain, tidak ada laporan panitia. Sebelum acara dimulai, publik akan dihibur dengan musik campursari dan kasidahan.

“Saudara-saudaraku, warga masyarakat Yogyakarta, dan juga para tamu yang datang dari luar Yogyakarta, yang saya muliakan Nabi Isa Al Masih Alaihissalam, Assalamualaikum Warachmatullahi Wabarakatuh, Salam Sejahtera untuk kita semua. Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji dan syukur, ke Hadirat Allah Subhanahu Wa Taala, bahwa atas berkat dan rahmatnya, pada pagi hari yang mendung tetapi tidak hujan ini, kita masih dikaruniai kesehatan, hingga bisa berkumpul di Pantai Parangkusumo, serta Parangtritis ini. Saudara-saudaraku, serta yang saya muliakan Nabi Isa Al Masih Alaihissalam, saya sebagai Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sekaligus sebagai Raja Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat, mengucapkan selamat datang, di Parangkusumo dan Parangtritis. Saudara-saudaraku, kalau ada pihak yang menuduh kehadiran saya dalam acara ini sebagai kampanye terselubung, saya nyatakan hal itu tidak benar!” Massa bertepuk tangan gemuruh. Sultan melanjutkan. “Mengapa tidak benar? Karena ini memang terang-terangan kampanye, tidak ada yang terselubung!” Massa tertawa serentak.

Sultan Hamengkubuwono X mengakhiri sambutannya, dengan harapan, agar kunjungan ke Parangtritis dan Parangkusumo kali ini bukan merupakan yang terakhir. Sebab Yogyakarta kaya akan berbagai obyek wisata. Bahkan ada dua obyek wisata Yogyakarta yang sengaja dititipkan lokasinya di Jawa Tengah, yakni Candi Prambanan dan Candi Borobudur. Seusai Sultan memberi sambutan, pembawa acara mengumumkan bahwa tiba saatnya Jesus Kristus Sang Putera Allah, Nabi Isa Alaihissalam, akan tampil di panggung. Massa bersorak dan bertepuk tangan histeris, mengiringi langkah Jesus. Sebelumnya, Ia berdiri, menyalami Sultan yang baru saja turun dari panggung, membungkuk hormat, lalu ganti berjalan naik ke panggung. Begitu ia sudah berada di atas panggung, yang juga tampak di empat layar besar, puluhan layar ukuran sedang, dan ratusan tivi sirkuit, maka massa serentak diam. Suasana menjadi sangat sunyi. Romo Sujatmiko berdiri di sampingnya. Sekarang ia akan menerjemahkan Bahasa Aram Jesus hanya ke dalam Bahasa Indonesia. Hingga para wartawan asing yang tidak bisa berbahasa Indonesia, masing-masing harus membayar penerjemah profesional.

“Kanjeng Sultan, dan saudara-saudaraku. Saya tahu, dalam hati, Kanjeng Sultan dan saudara-saudaraku semua, tetap masih terus bertanya-tanya, siapa sebenarnya orang ini. Apa benar Jesus Kristus, Putera Allah, apa betul ia Nabi Isa Alaihissalam? Saya mengatakan, keragu-raguan itu baik. Manusia memang kadang-kadang harus tegas, kadang-kadang harus ragu, kadangkala perlu curiga. Kanjeng Sultan, dan saudara-saudaraku, saya hadir di sini, memang sedang berkampanye untuk Kanjeng Sultan.” Massa bertepuktangan dan bersorak gemuruh berkepanjangan. “Sama dengan ketika sedang di Tengger sana, saya sedang berkampanye untuk Pak SBY. Sebentar lagi, panitia juga akan menghadirkan saya dengan Ibu Megawati, entah di tempat mana saya belum tahu. Saudara-saudaraku, meskipun sedang berkampanye, saya tidak akan memuji-muji Kanjeng Sultan, sambil menjelek-jelekkan Pak SBY, Ibu Mega, dan yang lain-lain. Bagi Allah semuanya baik. Bagi Iblis semuanya menjadi tidak baik. Jadi kalau saudara-saudaraku ingin berada di jalan Allah, pandanglah semua dengan niat baik. Kalau ingin berada di jalan Iblis, lihatlah semua dengan nafsu jahat.”

Saudara-saudaraku, juga Kanjeng Sultan. Anda semua pasti bertanya-tanya. Untuk apa Jesus Kristus, nabi Isa Alaihissalam, tiba-tiba datang ke dunia? Apa sudah saatnya akan kiamat? Benar! Tetapi kedatangan saya bukan untuk mempercepat kiamat, melainkan untuk menyadarkan Anda semua, agar mau mencegah kiamat itu. Kalau ozone yang bolong kalian biarkan menganga, maka petaka Sodom dan Gomora akan terulang. Tidak ada yang bisa mencegahnya, tidak ada yang bisa menghindarinya, kecuali Anda semua, seluruh umat manusia, bersedia bahu-membahu melakukannya. Kalau udara makin panas, maka permukaan laut juga akan naik, maka banjir bandang seperti jaman Nabi Nuh juga akan terulang. Tidak ada yang bisa mencegahnya, tidak ada yang mampu menanggulanginya, kecuali seluruh umat manusia mau rukun, dan bekerjasama mengatasinya. Kanjeng Sultan, dan Saudara-saudaraku, Allah telah menganugerahkan kepintaran, dan kebebasan yang hampir tanpa batas kepada umat manusia. Allah berharap, anugerah itu dimanfaatkan oleh umat manusia untuk memelihara kehidupan. Bukan untuk menghancurkannya, sambil melemparkan tanggung jawab soal kiamat, kepada Allah …….” * * *

Fragmen Novel Para Calon Presiden

 



Pernyataan Bersama KWI dan PGI

$
0
0

Konferensi Waligereja Indonesia, dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, mengeluarkan pernyataan bersama menanggapi terselenggaranya acara di Tengger dan Parangtritis. Majelis Ulama Indonesia, ikut mendukung pernyataan KWI dan PGI tersebut, tetapi MUI akan mengeluarkan fatwa tersendiri. Dalam pernyataan tersebut, dua lembaga yang representatif mewakili umat Katolik dan Protestan ini, mengatakan, bahwa acara di Tengger dan Parangtritis yang menghadirkan seseorang yang menamakan dirinya Jesus Kristus, adalah peristiwa politik. Bukan peristiwa keagamaan. Hingga KWI maupun PGI sama sekali tidak mau terlibat maupun ikut campur tangan. Sebab dalam dua acara tersebut, para pejabat tinggi pemerintahan yang hadir di sana, maupun orang yang menamakan dirinya Jesus Kristus, juga sama sekali tidak membicarakan masalah keagamaan. Masalah keagamaan yang sedikit disinggung dalam acara tersebut, bersifat sangat umum, dan lebih bernuansa sosial kemanusiaan, hingga tidak bisa dikaitkan dengan lembaga-lembaga keagamaan, yang secara resmi merupakan wakil gereja, Umat Katolik, dan Umat Protestan di Indonesia.

Mendukung pernyataan bersama KWI dan PGI, Majelis Ulama Indonesia, juga mengeluarkan fatwa, yang isinya menegaskan, bahwa seluruh Umat Islam Indonesia, diharapkan tetap berpegang teguh pada Al Quran. Kitab Suci Al Quran, telah dengan sangat jelas dan juga final, menulis tentang Nabi Isa Alaihissalam, melalui Surat Al Baqarah 2:87,136; Surat Aali ‘Imraan 3:45,46,49,52,58,59,61,84; Surat An Nisaa 4:156,157,158,159,163,171,172; Surat Al Maa-Idah 5:46,72,75,78,110,111,112,114,116;  Surat Maryam 6:85; Surat Al Mu’Minuun 23,24,25,26,30,34; Surat Al Ahzaab 33:7; Surat Asy Syuuraa 42:13; Surat Az Zukhruf 43:57,58,59,61,63; Surat Al Hadiid 57:27; dan Surat Ash Shaff 61:6,14. Karena belakangan ini di Indonesia hadir seseorang yang disebut-sebut sebagai Nabi Isa Al Masih Alaihissalam, maka seluruh umat Islam diminta untuk waspada. MUI mensinyalir, ada sebuah indikasi, bahwa kehadiran orang yang disebut sebagai Nabi Isa ini, direkayasa oleh kaum Zionis Israel, guna melemahkan Umat Islam di Indonesia. Sebab dengan adanya seseorang yang ditampilkan seakan-akan sebagai Nabi Isa, yang dalam agama Kristen Protestan dan Katolik, disebut sebagai Jesus Kristus, Allah Putera, maka akan ada pertentangan pendapat di kalangan akar rumput. Dalam keadaan seperti inilah Kaum Zionis, dan juga Komunis akan bisa memperoleh keuntungan.

KWI, dan juga PGI, kemudian menghimbau umat Katolik dan umat Kristen Protestan, untuk tidak melibatkan diri dengan kegiatan, yang menghadirkan seseorang, yang menamakan dirinya sebagai Jesus Kristus. Jesus Kristus dalam agama Kristen Protestan dan Katolik, hanyalah yang terdapat dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Dalam jumpa pers di Pendopo The Queen of South Beach Resort, Parangtritis, yang dihadiri oleh wartawan dalam dan luar negeri, kopi surat pernyataan bersama KWI dan PGI, serta Fatwa MUI itu diserahkan kepada Jesus. Wartawam meminta kepada Romo Sujatmiko untuk menerjemahkan pertanyaan mereka secermat mungkin, agar Jesus bisa menangkap pertanyaan mereka dengan tepat. Jesus memotong. “Iki rak bocah Semarang to? Iso ngomong Jowo yo? Aku ini Allah Putro kok kok paido! Ini Romo Sujatmiko duduk di sini sebagai penerjemah, sebenarnya bagian dari atraksi. Supaya para wartawan asing itu yakin, supaya lebih dramatis. Aku ini ngomong Jowo iso, Arab oke, arep njaluk boso apo?” Wartawan itu tersipu. Romo Sujatmiko lalu menyampaikan pertanyaan wartawan tadi dalam bahasa Aram. Wartawan asing mengira, barusan Jesus juga berbicara dalam Bahasa Aram, tetapi mengapa para wartawan Indonesia banyak yang tertawa?

Jesus kemudian memberikan tanggapan. “Apa yang dikemukakan dalam pernyataan bersama oleh KWI dan PGI, yang juga didukung oleh MUI, melalui pernyataan tersendiri, semuanya benar secara normatif. Namun selain menjadi sesuatu yang tekstual dalam kitab suci, Jesus Kristus, dan Isa Alaihissalam, juga tetap merupakan sesuatu yang kontekstual. Jesus juga Allah yang tetap hidup. Jesus juga simbol penderitaan, simbol keberpihakan, simbol pembebasan, simbol keselamatan. Sayang, bahwa umat manusia sekarang lebih mementingkan Jesus Kristus, Allah Putera, Nabi Isa Alaihissalam, yang sudah dimampatkan, sudah dipadatkan hingga menjadi huruf-huruf, yang dicetakkan dengan tinta di atas kertas, kemudian dipres dijepit di antara dua lembaran kertas. Yang tertulis di Kitab Suci itu, adalah Jesus yang mati. Sementara Jesus yang hidup selalu berada di antara umat manusia. Nabi Isa Alaihisalam yang hidup, juga berada di sana, dan bukan hanya di antara Umat Islam. Jadi jangan Anda mempertentangkan saya dengan para pejabat agama di KWI, di PGI, dan di MUI. Mereka harus menjalankan tugas mereka dengan baik, saya juga harus menjalankan pekerjaan saya dengan baik pula. Masih ada pertanyaan? Apa? Maria Magdalena kamu katakan PSK, apa itu PSK? Lonte? Itu Pelacur bukan? Kamu Katolik atau Protestan? Katolik ya? Di sini ada yang Katolik atau Protestan, yang bisa menjawabnya?”

Seorang wartawan Protestan mengacungkan tangan, lalu menjawab. Dalam Injil, tidak pernah disebut-sebut adanya pelacur. Dalam Lukas 7:36-50 hanya disebutkan “Di kota itu ada seorang perempuan yang terkenal sebagai seorang berdosa. Ketika perempuan itu mendengar, bahwa Jesus sedang makan di rumah orang Farisi itu, datanglah ia membawa sebuah buli-buli pualam berisi minyak wangi. Sambil menangis ia pergi berdiri di belakang Jesus dekat kakiNya, lalu membasahi kakiNya itu dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian ia mencium kakiNya dan meminyakinya dengan minyak wangi itu.”  Perempuan berdosa itu juga bukan Maria Magdalena yang disebut dalam ayat lain, yakni Lukas 8:1-3 sebagai berikut. “Keduabelas muridNya bersama-sama dengan Dia, dan juga beberapa orang perempuan yang telah disembuhkan dari roh-roh jahat atau berbagai penyakit, yaitu Maria yang disebut Magdalena, yang telah dibebaskan dari tujuh roh jahat, Yohana isteri Khuza bendahara Herodes, Susana dan banyak perempuan lain. Perempuan yang berbuat zinah, perempuan lain lagi, dalam Yohanes 8:11, juga tidak pernah disebut sebagai pelacur. “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian.” Kemudian Jesus menjawab: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Jadi perempuan yang mengurapi kaki Jesus, perempuan yang berbuat zinah, dan Maria Magdalena, adalah tiga figur yang berbeda, dan mereka hanya disebut seorang berdosa, dibebaskan dari tujuh roh jahat, dan berbuat zina, bukan pelacur. Mendengar penjelasan itu Jesus manggut-manggut.

“Jadi sudah cukup jelas ya? Bahwa Maria Magdalena bukan pelacur, lalu saya adalah guru dari semua murid maupun pengikut saya. Maria Magdalena adalah seorang perempuan yang kuat. Sama dengan Bunda saya Maria. Orang percaya, bahwa merekalah yang berdiri di bawah kayu salib, ketika saya dieksekusi. Jadi ia seorang perempuan yang tabah, bukan pelacur yang merayu saya. Kalian yang Katolik dan Protestan, agak cermatlah membaca Kitab Suci, ya benar, yang Islam pun juga harus cermat membaca dan menangkap isi Al Quran. Kembali ke KWI, PGI dan apa yang satu? MUI, itu adalah lembaga yang kuat. Mengapa saya tidak lapor ke mereka? Siapa tadi yang bertanya itu? Saya kesini diurus oleh sebuah Event Organizer. Jadi urusan dengan perijinan, saya tidak tahu. Seharusnya KWI dan PGI kalau ingin tahu tentang saya, bertanya kepada Event Organizer. Tetapi barangkali mereka sangat sibuk, hingga cukup membuat pernyataan tertulis. Memang umat Katolik dan Protestan, harus patuh pada KWI dan PGI. Umat Islam harus patuh pada MUI. Itulah ajaibnya, tiap hari dalam doa, dalam ibadat, mereka selalu menyebut nama saya, bukan nama KWI, tetapi dalam praktek kehidupan, mereka lebih memperhatikan himbauan KWI, dan melupakan ajaran saya.”

* * *

Seorang Uskup yang tidak bersedia disebutkan jati dirinya, mengajak makan siang Romo Vikaris Jenderal, dan Romo Vikaris Episkopal di keuskupannya.  Sambil menyantap makan siangnya, uskup itu menggerundel. “KWI membuat pernyataan bersama seperti ini, sebenarnya tidak tepat. Pernyataan itu menyatakan sesuatu yang sebenarnya sudah sangat jelas. Kalau acara di Tengger dan Parangtritis itu memang mereka anggap hanya sebagai peristiwa politik, bukan peristiwa keagaamaan, la ya sudah. Mengapa harus bikin pernyataan segala? Pernyataan itu secara tersirat juga sudah menjatuhkan vonis, bahwa yang datang ke Indonesia ini hanya orang yang menamakan dirinya Jesus Kristus. Yang kita sembah, Allah Putera itu, bukankah juga orang yang menamakan dirinya Jesus Kristus? Yang kita sembah itu, namanya kan bukan Prawiro, bukan Robert, bukan Yunus to? Itu juga sudah sangat jelas, tetapi masih pula dibuat pernyataannya. Yang saya takutkan Mo, kalau ternyata yang datang itu benar junjungan kita lalu bagaimana? Ini Presidium KWI ini sepertinya hanya mau cari muka saja. Ya nggak tahu mau cari muka ke pemerintah, atau ke Vatikan.”

Romo Vikjen dan Vikep itu agak bingung. “Monsinyur, bukankah monsinyur juga angota presidium, dan hadir dalam rapat yang menghasilkan pernyataan ini?” Uskup itu manggut-manggut. “Ya memang benar. Aku sudah katakan semua itu kepada presidium. Mereka jawabnya mudah saja, yakni divoting. Karena yang tidak setuju hanya saya, ya kalah. Harus ikut yang banyak. Bagus, bahwa sampai sekarang, Bapa Suci sama sekali belum mengeluarkan pernyataan apa pun. Repotnya, kalau pernyataan Vatikan berbunyi, bahwa benar yang datang itu Jesus Kristus, lalu bagaimana? Yang sangat saya takutkan, mereka itu, dengan dukungan MUI, juga akan melapor ke Mabes Polri. KWI dan PGI sama-sama merasa terganggu, karena ada lembaga yang mendatangkan seseorang, yang menggunakan atribut, bahkan nama, yang menyamai figur yang menjadi selama ini disembah oleh Umat Katolik serta Protestan. MUI katanya malah lebih keras, menuntut bahwa siapapun yang mengaku-ngaku sebagai Nabi Isa Alaihissalam, harus ditangkap oleh aparat keamanan, diadili dan kalau perlu dihukum mati dengan cara disalib. Katanya KWI, PGI, dan MUI itu lembaga keagamaan. Acara yang mereka permasalahkan mereka sebut sebagai acara politik, tetapi lembaga itu menanggapi acara tersebut, bahkan kemudian menuntut, dengan cara-cara yang juga bersifat sangat politis.”

“Lalu kalau menurut Monsinyur, kita harus bagaimana? Kalau usul saya, kita harus tetap patuh dengan yang sudah digariskan oleh KWI, sambil terus mencermati perkembangan selanjutnya.” Uskup itu agak cemberut mendengar pertanyaan dan usulan Vikjennya. “Pertanyaan dan Usul Romo Vikjen itu sama dengan pernyataan KWI. Kita patuh pada yang digariskan KWI itu jelas, mengapa harus disebutkan? Keputusan KWI yang strategis, pasti harus melalui Sidang Pleno, yang kita ada di dalamnya. Presidium biasanya mengambil keputusan yang mendesak, tetapi tidak terlalu strategis. Semuanya harus dipatuhi. Saya justru berharap Romo Vikjen dan Vikep memberi masukan kepada saya, bukan malah minta petunjuk seperti imam dan umat biasa. Bagi saya, tidak penting apakah yang tampil itu Jesus asli atau hanya selebritis, sebab yang disampaikannya itu memang penting dan mendesak untuk gereja saat ini. Meskipun saya Uskup, yang bisa menegur dan menasehati bukan hanya Bapa Suci. Umat pun bisa menasehati saya. Misalnya ketika mereka mengeluh bahwa kotbah saya jelek. Saya sangat berterimakasih, karena keluhan itu bagi saya sebuah nasehat bagus.”

“Monsinyur, mohon maaf kalau saya sebagai Vikep, selama ini lebih banyak diam. Saya diam saja, dipersalahkan umat, dan juga beberapa romo. Saya bicara soal ini tadi, Jesus Tengger dan Parangtritis, juga dipersalahkan macam-macam, saya bicara lagi dipermasalahkan lagi. Maka Monsinyur, saya kemudian menghitung untung rugi. Saya diam dipermasalahkan, ya tidak rugi apa pun. Saya sudah susah-susah berbicara, dipersalahkan. Ini yang tidak enak Monsinyur. Apa yang dirasakan Monsinyur, sebenarnya juga saya rasakan pula. Umat kita menderita, kita mengatakan, gereja kan bukan kantong ajaibnya Doraemon, apa saja bisa diperoleh dari sana. Itu memang benar, tetapi menjadi tugas gereja untuk menguatkan, dan mengembalikan semangat umat. Ini memang telah dilakukan, tetapi energi dan intensitas untuk itu, tidak terlalu besar. Tidak sebesar ketika dalam Tata Perayaan Ekaristi Baru, gereja harus mengubah kalimat. Tuhan besertamu, dan besertamu juga, menjadi Tuhan besertamu, dan beserta Rohmu. Sebab untuk itu buku harus dicetak baru, diubah dan disesuaikan dengan TPE Baru. Kemudian ada proyek, ada anggaran yang cukup besar. Dan imam serta umat juga sedikit bingung.”

“Romo Vikjen dan Vikep, apakah Anda berdua percaya bahwa yang tampil di Tengger dan Parangtritis itu benar-benar Jesus, atau bukan? Romo Vikep ragu-ragu? Ya, lalu Romo Vikjen yakin itu bukan Jesus? Saya justru percaya penuh bahwa itu benar Jesus. Kalau saya ditanya mengapa percaya, memang agak sulit untuk menjelaskan, tetapi terasa di hati. Sebelumnya saya juga ragu-ragu, lalu tidak percaya. Terutama karena dia tampil bersama pejabat pemerintah, wah ini hanya kampanye politik, lalu figur agama dibawa-bawa. Kemudian saya ngobrol dengan Uskup Surabaya. Dia bertanya kepada saya, mengapa Monsinyur mempercayai Jesus, orang yang hidup di tanah Israel 2000 tahun yang lalu? Bukankah Monsinyur tidak pernah ketemu dan kenal dia? Juga tidak pernah ada pemaksaan? Orang memang boleh percaya kepada Jesus, kepada Muhammad, kepada Sidharta Gautama, kepada Sang Hyang Brahma, Wisnu dan Syiwa, tetapi boleh pula tidak percaya kepada siapa pun. Itu Uskup Surabaya itu memang agak kurang ajar. Dia juga mengatakan, kalau agama-agama itu baik, mengapa kita tidak boleh memeluk semuanya saja sekaligus ya? Saya lalu mencermati, yang disampaikan orang ini, melulu hanya kebaikan. Bukankah tugas utama kita juga menyebarluaskan kabar baik?”

“Hanya begini ya Romo Vikjen dan Romo Vikep, yang saya sampaikan ini tadi sifatnya pribadi. Sebagai Uskup, saya tetap harus sejalan dengan yang sudah digariskan oleh Presidium KWI. Tentu sambil menunggu perkembangan lebih lanjut. Kalau ternyata kemudian ada upaya penangkapan dan sebagainya, saya akan mengusulkan ada sidang pleno, dan saya akan ngotot menyatakan bahwa itu semua tidak benar. Sebab secara formal kita ini pengikut Jesus, tetapi dalam praktek berbuat seperti ahli kitab, dan penguasa Jahudi serta Romawi. Ya seperti tadi yang Romo Vikep telah kemukakan tadi. Tetapi yang punya pendapat seperti saya ini, di KWI hanya minoritas. Meskipun Romo, sekarang saya agak berbesar hati, sebab makin banyak uskup-uskup muda yang terbuka dan egaliter. Jadi saya mulai agak ada temannya. Meskipun yang muda tetapi tertutup dan berpandangan sangat konservatif juga ada. Ya saya sebagai sesama uskup tidak perlu menyebut nama, tentu Romo Vikjen dan Romo Vikep sebenarnya juga sudah tahu.”

* * *

Coffee Shop Grand Indonesia, Jalan Thamrin Jakarta, Romo Bonnie menyeruput Expresonya. Ini sudah cangkir kedua. Di sekelilingnya ada aktivis LSM, ada polisi, ada seorang Kiai, ada pendeta Protestan, dan Mas Suwito. “Ini kita harus gerak cepat! Harus kita hajar mereka itu. Sekarang mereka sudah berhasil menjual Ibu Mega ke pihak luar. Harus kita gagalkan. Pernyataan bersama KWI dan PGI, terlalu lembek. Itu pernyataan banci. Apalagi MUI, ya jelas kalau Umat Islam itu harus berpegang pada Al Quran. Anak kecil juga sudah tahu! Seharusnya mereka lapor ke polisi, agar semua yang terlibat dengan acara Tengger dan Parangtritis itu ditangkap, diadili, dan dihukum seberat-beratnya. Lalu badut yang mereka beri peran Jesus itu juga harus ditelanjangi, lalu dideportasi ke negara asalnya. Kalau dia bilang turun langsung dari surga, harus dideportasi ke surga, alias dieksekusi mati. Di pihak kita ada Mas Suwito. Mau apa lagi? Yang paling saya takutkan, kalau hal semacam ini dibiarkan, gereja akan kosong, mesjid juga kosong, kolekte tidak masuk, gereja ambruk, dan mesjid serta mushola ditinggalkan umatnya. Kalau ini terjadi, mereka akan bertepuktangan keras!”

Mas Suwito, menyeruput Cappuccinonya, sambil menyedot keretek dalam-dalam. “Saya memang benar-benar kagum sama Romo Bonnie ini. Kalau semua Romo dalam gereja Katolik seperti Romo Bonnie, Indonesia ini akan cepat maju. Saya akan dukung Romo, dan juga teman-teman semua untuk bergerak. Kita tidak bisa tinggal diam. Kalau saya bilang mendukung, Romo pasti tahu, bahwa masalah logistik tidak perlu dirisaukan lagi. Di belakang saya ada banyak sekali ATM. Ada BCA, ada Mandiri, ada BRI, ada BII, jadi amanlah ke mana Romo akan bergerak, dengan siapa, dan kapan. Mau mulai malam nanti semua juga sudah siap. Ya logistiknya, ya personilnya, ya transportasinya, ya senjatanya. Mau pentungan, samurai, slepètan, atau malah bom sekalian? Suwito sudah siapkan semua. Goal kita itu kan sudah jelas, Ibu Mega tahun ini harus kembali naik lagi. Dan itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Maka kalau sekarang ada yang akan menampilkan Ibu Mega dengan Nabi Isa Alaihissalam, sama seperti Pak SBY dan Sultan, itu namanya sebuah pelecehan. Saya sebenarnya sudah puluhan kali mengatakan langsung kepada Ibu Mega, agar jangan mau. Tetapi Bapaknya maunya kan lain? Jadi kita harus menggunakan strategi baru. Untuk itu saya percaya 200% kepada Romo kita ini.”

Mata aktivis LSM itu berbinar-binar. Sudah lebih dari lima bulan ini dia luntang-lantung. Teman-temannya yang selama ini rajin memberi job, sekarang semua sibuk kampanye. ATM mereka juga hanya bisa diklik dengan PIN kampanye. PIN lain tidak berlaku. Sementara dia sendiri, tersingkir dari bursa Caleg. Bahkan partai yang paling kecil dan paling gembel pun, menolaknya. Memang banyak temannya yang menawari pekerjaan, tetapi harus ngantor tiap hari, harus berpakaian rapi, harus mengetik, harus ikut meeting, dan yang paling ditakutkannya adalah, ada target. Kalau target tidak tercapai, ya wassalam. Maka semua ditolaknya. Ia ingin ada job rutin, meski hanya sebagai Korlap tidak apa-apa, yang penting bisa numpang makan, bisa numpang mejeng di depan kameraman televisi. Sejak job itu seret, wajahnya memang relatif jarang mèjèng di televisi. Maka kumpul-kumpul sekarang ini sangat diharapkan bisa memperbaiki nasib. Kalau ngumpul awalnya sudah di Grand Indonesia, maka proyeknya pasti juga Grand. Apalagi ia harus kerja dengan Romo Bonnie, yang sejak dulu memang sudah sehati.

Pendeta Protestan itu tidak merokok. Dia tampak tersiksa dengan asap tembakau dari meja ini, juga dari meja-meja yang lain. Tetapi toleransinya masih tinggi. Dia minum jus semangka. “Saya sarankan, kita sedikit berhati-hati. Bergerak itu maksudnya apa? Sekadar demo, membuat kekacauan, atau sampai ke perusakan dan pembunuhan? Kalau kita yang diserang, kita yang dianiaya, tidak apa-apa. Itu bagian dari perjuangan. Tetapi kalau sudah sampai ke mengacau, merusak, apalagi membunuh, itu sudah melawan ajaran cinta kasih Jesus Kristus. Maka saya sarankan, kita harus ekstra hati-hati. Saya tetap akan mendukung gerakan untuk perbaikan nasib bangsa, tetapi tetap harus dihindari penggunaan cara-cara kekerasan. Saya ini kan pendeta, yang juga harus jadi contoh bagi para jemaat. Kalau pendetanya preman, bagaimana dengan jemaatnya? Meskipun tadi yang disampaikan Pak Suwito itu, saya setuju 100%. Tahun 2009 ini, Ibu Mega harus kembali memimpin Bangsa Indonesia. Itu saya setuju, dan memang tidak ada alternatif lain lagi. Untuk itu saya tidak ada kompromi!”

Tensi Romo Bonnie naik. “He Bung! Jadi pengikut Jesus itu tidak boleh lembek! Kita harus berani. Jesus itu sampai disalib pun tidak takut. Bung ini telah salah menafsirkan ajaran cinta kasih Jesus. Cinta kasih itu artinya, kalau kita dicintai, ya harus ganti mengasihi. Kalau gereja kita dibakar, markas mereka ganti kita bom. Di sini ada Pak Kiai yang ada di pihak kita. Santri Pak Kiai ini akan ada di barisan depan gerakan kita. Ajaran Jesus kalau ditampar pipi kiri berikan sekalian yang kanan, sebenarnya merupakan ajaran untuk membela diri. Artinya, pertama-tama pipi kiri kita ditampar orang. Jesus mengatakan berikan yang kanan, begitu musuh ingin menampar pipi kanan, langsung secepat kilat, dengan sekuat tenaga, kita sodok ulu hati atau kemaluannya. Maka ia akan roboh seketika. Memahami ajaran Jesus tidak bisa hanya secara lurus dan harafiah. Kita harus cerdas! Kita harus mengembangkan makna ajaran tersebut secara kontekstual. Gereja itu bisa bertahan selama 2000 tahun karena cerdas dan kuat. Bukan lembek dan banci. Maka kalau Bung sebagai pendeta takut untuk ikut bergerak, tidak apa-apa. Memang tidak semua harus ada di barisan depan. Harus ada yang bersedia  mengurus dapur umum!”

Sampai larut malam mereka ngedugem di Coffee Shop Grand Indonesia. Dilanjutkan dengan santap malam, lalu bubaran. Kiai yang ikut pertemuan itu juga banyak terlibat dengan urusan politik. Dia juga bukan Kiai Murwito yang sederhana dan lembut hati. Tetapi sambil pulang ke hotelnya di Jalan Raden Saleh, Pak Kiai itu terus bergumam. “Katanya saya itu diundang untuk menggalang kekuatan bagi Ibu Mega, melalui gerakan damai. Apakah sekarang gerakan damai memang sudah berubah seperti yang dikatakan Romo tadi? Kalau memang benar, saya kok lebih baik disebut pengecut, penakut, pengkhianat, atau apa saja, asalkan saya tidak ikut-ikutan yang seperti itu tadi.” Maka, malam itu, dalam kondisi lelah yang bertumpuk-tumpuk, Pak Kiai itu tertidur dengan sangat pulasnya. Dalam tidur itu dia bermimpi tangan dan kakinya dipegangi oleh orang banyak, lalu salah seorang di antara mereka itu memukuli dadanya, perutnya, kepalanya, sampai babak belur. Selintas, Pak Kiai ini melihat, orang yang memukulinya itu, wajahnya mirip dengan Romo Bonnie. * * *

Fragmen Novel Para Calon Presiden

 


Kebun Raya Cibodas

$
0
0

Rumah Arif di Bukit Sentul itu sekarang ramai. Ibu Tyas, isteri Pak Arif sekarang lebih sering ada di rumah. Ratih dan Wulan juga tidak perlu merengek-rengek minta diantar ke Polonia lagi. Sekarang Eyang Kakung dan Eyang Puteri lebih sering berada di Sentul. Eyang Kakung, Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko, mempunyai alasan tersendiri, mengapa ia senang berada di Sentul. “Ya kalau mau ke Cisarua untuk menyantap sate Kadir, menjadi lebih dekat. Kalau ibumu ini memang susah. Dia takut sekali sama dokter. Dokter bilang jangan makan sate, nurut tidak makan sate. Jangan makan goreng-gorengan, nurut tidak makan goreng-gorengan, dokter bilang ibu jangan minum kopi lagi ya, nurut tidak pernah mau minum kopi lagi. Allah itu menciptakan makanan agar diantap manusia, bukan ditolak. Tentu menyantapnya harus tahu diri. Jangan terlalu banyak, dan jangan terlalu sering. Coba, kata dokter air putih itu paling sehat diminum. Kalau minumnya satu galon bagaimana? Bedah perutnya. Maka, makan sate Kadir itu, kalau hanya seminggu sekali 10 tusuk dengan sopnya, ya nyamleng. Dan ke sate Kadir di Cisarua sana, dari Sentul menjadi makin dekat.”

“Kalau Ratih sama Wulan itu memang sukanya ngadu-ngadu. Ya mengadu ke Bundanya, ke Papinya, tetapi terutama ke Eyang Puterinya. Ya pas saya itu lapar sekali, dan memang sudah hampir sebulan tidak ke Cisarua, lalu Ratih dan Wulan ikut dikawal suster mereka. Mereka itu maunya pesan sop, pesan sate sepuluh, minum jus melon. Ya tidak habis. Narto aku suruh ngembat habis tidak mau. Tidak tahu apa memang kenyang atau malu karena ada dua suster, tidak tahu. Susternya genduk-genduk itu saya suruh ngabisin juga emoh. Kalau mereka berdua ini makannya memang seperti kucing kok. Katanya biar tetap langsing. Maka ya terpaksalah Eyang Kakung, Raden Tumenggung Bagas Suryosentiko ini seketika itu menghabiskan sate 25 tusuk, dan dua mangkok sop. E, sampai di rumah dua genduk cilik itu ngadu ke Bundanya, ke Papinya, ke Eyang Puterinya. Mereka geger, ribut, la wong sayanya tidak apa-apa. Mereka ngotot lalu memanggil dokter Broto. Dokter datang memeriksa tensi, gula darah macam-macam, lo ini orang-orang ini yang ditakuti itu apa? Mati kok ditakuti. Kalau Eyang kakungnya mati ya dikubur to Nduk. Kalau Allah itu ingin mencabut nyawa Eyang Kakungmu ini Nduk, ya dulu waktu dines dulu sudah ditembak musuh!”

Demi puteri bungsunya yang sakit, Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko memang bersedia melakukan apa saja. Terlebih ketika yang memberi saran itu Kiai Murwito, maka segera saran itu dilaksanakan. Setelah lebih dari seminggu berada di Pesantren Cipto Roso, Raden Ayu Siti Suryaningtyas mulai mau menjalankan salat lima waktu. Ketika tahu hal ini, Eyang Kakung dan Eyang Puteri tidak mampu menahan rasa haru. Mereka berdua menitikkan air mata, tanpa berkata sepatah pun. Setelah Genduk Tyas menanggalkan rukuhnya, Eyang Kakung dan Eyang Puteri memeluk erat puteri mereka. Kali ini tangis Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko, dan Raden Ayu Retno Hastuti, tidak dapat terbendung lagi. Tyas yang kemudian terheran-heran. “Ini Bapak sama Ibu ini pada ngapain sih? Ngeliat orang salat kok lalu pada nangis begini?” Setelah reda tangisnya, Eyang Kakung berucap. “Genduk, bapak dan ibumu ini terharu, senang, bangga, bahagia, entah apa lagi perasaan campuraduk, begitu melihat Genduk itu menjalankan salat! Ini barangkali jalan yang ditunjukkan Allah agar suamimu juga ikut, agar dua orang tua bangkotan ini juga bisa sekalian disadarkan.”

Kawasan Bukit Sentul itu masih sangat gersang. Rumah juga masih jarang. Pertumbuhan properti memang aneh. Banyak hal tidak rasional yang menyertainya. Rumah juga bukan sekadar sebagai tempat tinggal, bukan hanya benda pakai, melainkan juga sarana investasi. Maka, meskipun kawasan Sentul sudah lebih awal dibuka, yang berkembang terlebih dahulu justru kawasan Cibubur ke arah Cileungsi. Hingga kapling di sekitar rumah Arif masih banyak yang kosong. Yang sudah dibangun pun, kebanyakan juga belum ditempati. Yang sudah ditempati pun, juga masih telanjang tanpa pepohonan. Hingga, rumah Arif yang berhalaman luas itu menjadi seperti oasis. Sebelum rumah dibangun, Arif memang sudah menanam macam-macam pohon. Terutama yang cepat tumbuh seperti albisia, dan lamtoro. Yang paling ia senangi adalah pohon Ylang-ylang. Kenanga Filipina ini dibelinya ketika ia sebagai aktivis mengikuti sebuah pertemuan di  negara tetangga tersebut. Baru kemudian ia tahu bahwa di Malingping sudah dikebunkan.

Dibandingkan dengan keteduhan rumah Eyang di Polonia, rumah Arif di Sentul tentu kalah. Pohon-pohon di sana sudah lebih dari sepelukan orang dewasa. Bahkan pohon angsana itu sudah sekitar dua pelukan orang dewasa. Tetapi kawasan Polonia itu terkesan terlalu tertutup, terlalu gelap. Oasis di rumah Arif ini masih sangat terbuka. Pandangan bisa diarahkan ke selatan, utara, dan terutama barat daya ke arah jalan tol Jagorawi, dengan latar belakang Gunung Salak. Sementara di belakang, di arah timur, terhampar hutan Gunung Pancar, yang terus bersambung dengan hutan lindung di kawasan Puncak, yang juga terus bersambung dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. “Kiai Murwito itu memang benar-benar waskito ya Rif. Dia itu kan belum pernah kamu ajak kemari to? Kok bisa tahu bahwa rumah ini adem? Saya juga merasakan hal itu lo Rif. Di sini hawanya tenang hingga perasaannya ngantuk terus. Kalau Ratih sama Wulan itu ya lain. Mereka itu kan tidak pernah bisa diam. Ada saja yang mereka mainin. Bosan Pé-ès, ngasih makan ikan, nggodain kucing, renang. Wong dingin-dingin hujan, ya renang. Dibilang susternya nanti masuk angin, malah susternya diseret nyemplung kolam. Ya itu, memang eyangnya itu dulu yang kurangajar seperti mereka itu!”

Rumah Arif di Sentul ramai, bukan sekadar karena Tyas instrinya, dan Eyang Kakung serta Eyang Puteri lebih banyak berada di sini. Kelompok Tim Siluman Lintas Capres juga lebih sering berkumpul di rumah ini. “Enak di sini, tidak banyak yang memergoki kita. Kalau di restoran, di hotel, selalu ketemu orang yang kita kenal, lalu mereka curiga. Di sini siapa yang mau melihat kita? Kita ini lucu ya? Tidak punya uang, tidak punya media, tidak ada yang ahli politik, tidak ada dukungan dari partai, kita ini semuanya kan non partisan, tetapi kok justru malah dipercaya banyak pihak. Semua mau memberi uang. Mau membeli maksudnya. Ya mas Arif jelas tidak mau. Prinsip Mas Arif itu, kalau mau kerja cari uang ya kerja. Kalau mau berjuang, ya harus lurus berjuang. Bukan berjuang demi uang. Tetapi tidak banyak yang bisa memahami jalan pikiran Boss kita yang satu ini. Bahkan Bapak Besar pun kadangkala masih ngomel-ngomel terus, minta agar menantunya yang satu ini hanya mendukung satu Capres, Sultan Hamengku Buwono X. Mas Arif ya jelas tidak mau, enakan tetap jadi Siluman Lintas Capres.”

* * *

Kamar depan, lantai dua, Guesthouse Medinilla, Kebun Raya Cibodas, Kabupaten  Cianjur, Jawa Barat. Kamar mandi di dalam, jendela menghadap ke hamparan rumput, dan koleksi aneka tanaman dari seluruh dunia, khususnya yang berhabitat dataran tinggi basah. Di kamar yang cukup luas itu ada satu tempat tidur dobel, dan satu singgel, meja rias dengan cermin cukup besar, lemari, satu meja kecil dan dua kursi tamu. Disitulah Jesus menginap. Di Guesthouse Medinilla, total ada sembilan kamar, masing-masing kapasitas dua orang. Di samping kanan Guesthouse Medinilla, dengan posisi lebih tinggi, terletak Guesthouse Sakura dengan lima kamar, kapasitas masing-masing dua orang. Dua guesthouse di Kebun Raya Cibodas ini telah dibooking panitia selama dua minggu penuh. Hanya panitia inti yang menginap di sini. Panitia besar ada yang menginap di Puncak Pass, ada yang di Hotel Sultan, Jakarta. Arsitektur bangunan Guesthouse Cibodas itu bergaya country, dua-duanya menghadap ke arah timur laut. Di belakang dua guesthouse itu ada bangunan rumah kaca untuk menyimpan aneka koleksi tanaman, yang tidak mungkin ditanam di alam terbuka.

Di lantai satu Guesthouse Medinilla, ada satu meja makan, dua set meja kursi tamu lengkap dengan sofa panjangnya. Di pojok ruangan ditaruh lemari kecil dengan televisi 27 inci di atasnya. Di sisi kanan ruangan itu, ada tangga yang cukup lebar menuju ke lantai dua. Di sisi kiri, tepat berseberangan dengan tangga, ada sebuah perapian yang cukup besar. Panitia telah menyediakan tumpukan kayu bakar yang relatif kering, satu botol minyak tanah, dan satu gulung tisu untuk menyalakannya. “Misalnya bapak-bapak dan ibu-ibu ini tidak tidur semalam suntuk, dan perapian ini perlu menyala terus agar ruangan jadi hangat, kayu bakar ini cukup. Ini kayu saninten yang keras, hingga baranya akan tahan sampai pagi. Coba saja besuk Bapak lihat, baranya pasti masih ada.” Petugas guesthouse itu tampak sudah sangat berpengalaman menangani perapian. Di Guesthouse Sakura juga ada perapian yang sama besarnya dengan di Guesthouse Medinilla. Ruang tengah di Guesthouse Sakura, lebih luas dari di Medinilla, sebab jumlah kamarnya lebih sedikit. Jesus sangat menikmati guesthouse ini. Di samping kanan guesthouse, ada jalan berbatu yang agak menurun membujur dari barat daya ke arah timur laut. Jalan ini hanya selebar sekitar dua meter, dan di kiri serta kanan penuh ditumbuhi pohon agatis raksasa.

Meskipun siang hari panas terik, berjalan-jalan di Kebun Raya ini masih terasa sejuk. Terlebih pada pagi hari, ketika langit cerah, udara terasa sangat segar, dengan suhu rata-rata sekitar 18° C. Gunung Gede dan Gunung Pangrango, tampak  sangat jelas dan dekat di arah tenggara. Cibodas memang sudah cukup tinggi. Kebun Raya ini berada pada ketinggian 1300 -1425 m dpl. “Tuan akan puas berjalan-jalan di Kebun Raya ini, sebab luas totalnya 125 ha. Kalau Tuan masih juga belum puas, masih bisa tracking ke Gunung Gede, sejauh sekitar 11 km. Atau cukup sampai Air Panas, atau Air Terjun Cibeureum, yang cukup dengan berjalan kaki selama satu jam. Semua terserah tuan, sebab waktu kita di sini cukup longgar.” Cibodas memang tidak sedingin Tengger, bahkan juga Sela. Namun tetap masih sangat dingin apabila dibandingkan dengan Parangtritis yang lembap dan panas. Di kebun raya ini tersimpan sebanyak 10.800 koleksi tumbuhan yang berasal dari seluruh dunia, termasuk pohon Sakura dari Jepang, termasuk makadamia dari Australia. “Zaitun, anggur, dan Ara tidak bisa tumbuh di sini Tuan, karena terlalu lembap, dan basah”

“Bagi manusia tidak bisa, bagi Allah semuanya serba bisa!” Maka di samping kiri guesthouse itu tampak beberapa batang pohon ara, di halaman depan ada deretan pokok anggur, dan di pojokan depan kiri tampak pohon zaitun berbuah lebat. Seorang panitia yang dari tadi berada dalam guesthouse berlari keluar, lalu berbicara serius dengan Jesus. “Mohon Tuan bersedia mengembalikan pohon-pohon itu ke bentuk semula, sebelum petugas kebun raya tahu. Kalau mereka tahu, kemudian masyarakat, terlebih pers tahu, maka kebun raya ini akan dibanjiri pengunjung, dan Tuan, kita pasti akan kerepotan.” Maka Jesus pun mengibaskan tangannya, dan semua menjadi seperti sediakala. “Tolong jangan menantang beliau untuk membuat mukjizat, sebab yang akan repot ya kita semua. Jesus manggut-manggut. “Apakah Romo Sujatmiko ada? O, Romo, siapa hambaku yang berkuasa di sini? Maksud saya uskup di sini? O, Kebun Raya ini masuk Keuskupan Bogor ya? Jadi Uskup Bogor itu juga uskup bagi koleksi tumbuh-tumbuhan dari seluruh dunia. O, ada dua kebun raya seperti ini? Di Bogor juga ada? Saya akan panggil hambaku itu untuk datang kemari.”

Uskup Bogor itu tampak berjalan pelan-pelan dari arah depan. Ia mendatangi kerumunan orang di depan Guesthouse Medinilla. Sesampai di depan Jesus, dia menyembah “Tuan, ini hambamu gembala umat di Keuskupan Bogor, menghaturkan sembah!” Jesus memegang pundak uskup, lalu memintanya berdiri. Sudahlah, ada sesuatu yang perlu saya sampaikan ke semuanya. Tadi Bapak Uskup bilang apa? Gembala umat? Hati-hati lo menggunakan istilah itu. Kalian semua mau saya ajak piknik?” Belum sempat semuanya menjawab, Jesus sudah mengibaskan tangannya, hingga sekitar enam orang yang berkerumun di depan Guesthouse Medinilla itu, sekarang sudah berada di pedalaman Australia. Mereka berdiri di bawah tegakan pohon ekaliptus, di luar pagar kawat sebuah ranch. Di dalam ranch itu tampak kerumunan domba yang digiring oleh beberapa ekor anjing. Jesus mengibaskan tangannya lagi, lalu mereka berada di lokasi lain. Di sini ranch itu berisi ribuan ekor sapi, yang juga digembalakan oleh beberapa ekor anjing.

“Jesus lalu tertawa terbahak-bahak. Kalian kaget bukan. Pertama kalian kaget, karena inilah untuk pertama kali melihat saya tertawa. Di dalam Injil, apalagi Al Quran, saya memang dibuat seserius mungkin. Padahal sebagai manusia, saya juga sering tertawa. Kedua, kalian kaget karena sekarang penggembala ternak itu bukan lagi manusia melainkan anjing. Jadi apakah Bapak Uskup mau disebut ASU?” Uskup Bogor itu hanya mesem-mesem, sementara beberapa orang tertawa terbahak-bahak, termasuk Romo Sujatmiko, yang lalu berbisik ke terlinga uskup. Seketika itu juga Uskup Bogor ikut tertawa terbahak-bahak. “Jadi aku ini Uskup ASU! Bukan hanya aku, semua uskup, bahkan juga pastor, ASU semua!” Mereka lalu berjalan-jalan di atas rumputan, di antara pohon-pohon ekaliptus. Tidak jauh dari ranch itu ada sebuah winerry yang juga ada restorannya. Ada yang membawa uang? Satu pun tidak ada yang membawa dompet? Ya, bendahara panitia sudah ada di dalam sana, ayo kita sarapan steak, dan mencicipi wine di sini. Bukan. Bukan steak GUK-GUK tetapi steak lembu, juga steak wedhus gembel.”

* * *

Romo Vikaris Jenderal Keuskupan Bogor kebingungan, sebab pagi itu, secara tiba-tiba Bapak Uskup menghilang. Dompet ada, mobil dan kuncinya ada, tetapi HP tidak ada. Vikaris Jenderal itu lalu merogoh HP dari sakunya lalu memencet nomor Bapak Uskup. Di sebuah restoran bergaya country di tengah ranch dan kebun anggur, di pedalaman Australia, dalam suasana santai menyantap steak, roti, dan wine, telepon seluler Uskup Bogor berdering. “Ya ini Michael, Romo Vikjen. O, sekarag saya berada di Puncak Pass, sedang makan panekuken. Ya tadi itu saya sedang di halaman keuskupan lalu ada teman menculik saya, tidak sempat membawa dompet segala, ya ini sedang ngobrol-ngobrol, pasti agak lama karena ini teman karib. Sudah kamu sajalah yang mewakili saya, bilang ada rapat mendadak antara komisi keluarga dengan KWI, tidak apa-apa, kan masih ada Romo Vikep, masih ada ekonom. Kamu sama ekonom kan bisa tanda tangan cek. Ya bisa sampai siang sebab ini teman baik, lalu halo…., halooo…….” Sambungan putus. Pulsa habis. Vikaris Jenderal itu bingung, baru bicara sebentar sekali kok pulsa habis? Dia tidak tahu bahwa Bapak Uskup itu bukan di Puncak Pass tetapi di pedalaman Australia.

Setelah puas menyantap steak dan roti, sambil meneguk red, white, dan sparkling wine, Jesus bertanya ke Uskup Bogor. “Michael, kamu percaya kalau aku ini Jesus Kristus, atau tidak percaya, dan menganggap semua ini trik, hingga aku ini semacam David Copperfield? Bagaimana?” Uskup Bogor itu merogoh saku HPnya. “Saya percaya ini bukan trik, juga bukan mimpi. Ini tadi HP saya kan bunyi, dan saya dihubungi Vikjen. Tetapi saya akan lebih percaya lagi, kalau pulsa HP saya ini menjadi Rp 100 atau 200 ribu. Ini malu-maluin, HP Uskup pulsanya tinggal Rp 16.000.” Jesus memandang serius Uskup Bogor itu. Kalau pulsa HP itu tambah, berarti aku telah jadi pencuri pulsa. Tetapi aku akan kurangi sedikit pulsa kolegamu, sesama uskup, juga uskup agung, juga kardinal. Coba lihat sekarang pulsamu ada berapa?” Uskup Bogor itu kaget. Pulsanya ada Rp 4 juta lebih. Jesus juga kaget. “Wah, saya telah keliru mengklik HP Uskup se Asia Timur! Ya tidak apa-apa, setahun ini kamu tidak perlu beli pulsa lagi. Bagaimana, sekarang sudah percaya?”

Pagi itu, sekelompok wartawan, termasuk wartawan bodrek, membeli tiket masuk Kebun Raya Cibodas. “Lu denger dari siapa info ini? Awas kalau lu bohong, seumur-umur gua kagak akan percaya lagi sama loe!” Yang ditanya menjawab dengan mantap. “Ini otentik. Pokoknya dia menginap di Guesthouse Medinilla, di kamar depan atas.” Maka dengan sangat bersemangat mobil mereka meluncur meliuk-liuk di dalam komplek kebun raya. Mereka parkir di halaman belakang Wisma Medinilla. “Aku ini sudah bolak-balik nginep di sini, jadi percayalah!” Kata wartawan tadi mantap. Mereka lalu menemui panitia. “Apa? Jesus siapa ya? Ini yang menginap di sini ini karyawan Departemen Pertambangan dan Energi. Tapi ya silakan saja ini kamarnya dibuka semua kok. Itu sebagian lagi kongko-kongko di sana. Silakan lihat kamar-kamar mereka, ayo, aku antar. O, di kamar yang besar itu ya? Ya ayo naik. Kamar ini ya? Ini di pintunya tertulis, yang tidur di sini namanya Agus dan Robert. Lihat di dalam sana!” Di kamar Jesus Kristus itu kebetulan ada dua panitia duduk ngobrol di kursi tamu. “Bagaimana? Kalian puas? Kalau masih mau keliling-keliling mencari teman kalian itu, silakan saja!”

Siang itu, Sekretaris Eksekutif KWI menerima telepon dari Sekjen KWI. “Saya dan Ketua KWI, sekarang ini sudah ada di wisma Kemiri. Tadi baru saja bertemu dengan Romo Kardinal. Coba Romo membantu mengatur, saya dan Ketua KWI siang ini juga akan bertemu dengan Uskup Bandung dan Uskup Bogor. Kalau bisa Uskup Bogor dulu, karena jaraknya lebih dekat.” Sekretaris Eksekutif itu segera memanggil staf Sekretariat Jenderal KWI, dan menyampaikan pesan dari Sekjen KWI tersebut. Dengan HPnya, ia menghubungi Uskup Bogor. Di restoran di tengah winerry di pedalaman Australia itu, telepon seluler Uskup Bogor kembali berdering. “Ya, saya sendiri, waduh, ini saya masih berada di Puncak, tetapi ….. tut…..tut……” Uskup Bogor itu lalu ganti kontak ke HP Sekretaris Eksekutuf KWI. “Halo, pulsanya habis ya? Ini HP saya ini memang penyedot pulsa, sudahlah saya saja yang menelepon. Jadi siang ini ya. Oke bisa. Ya saya akan segera kesana.” Klik. “Tuan, sekarang saya sudah percaya, tetapi bagaimana caranya saya bisa kembali ke keuskupan? Ya, ya, saya tidak akan menceritakan semua yang saya alami ini ke siapa pun.”

Maka setelah bendahara panitia membayar semua bill dengan US $, dan merelakan kembaliannya untuk tips, mereka pun segera kembali ke Cibodas, dan Uskup Bogor itu juga kembali ke Keuskupan Bogor. Setelah Jesus dan rombongan itu kembali duduk-duduk di beranda Wisma Medinilla, para wartawan yang tadi datang, lewat di depan wisma. Mereka melambaikan tangan, dan Jesus juga panitia, membalas lambaian tangan mereka. Rombongan wartawan itu masih terus berputar-putar di Kebun Raya sampai bosan, baru kemudian mereka pulang sambil menyumpah-nyumpah. “Otentik, pasti ketemu, pasti jadi headline, ternyata karyawan Departemen Pertambangan. Mau alasan apa lagi? Maka pedoman bahwa wartawan itu harus check and recheck itu mutlak. Ini kita sudah habis bensin, tol, bayar tiket masuk, sarapan, kita juga masih harus makan siang.” Wartawan yang kena semprot itu berbicara pelan. “Kok sarapan, dan makan siang dibawa-bawa? Kalau kamu tetap di Jakarta, bukankah juga harus sarapan dan makan siang, dan harus bayar sendiri? Ini tadi sarapan yang bayar siapa? Bensin yang bayar siapa, tol yang bayar siapa, tiket masuk yang bayar siapa? Memangnya kamu mau bayar makan siang kita semua ini nanti?”

Kantor Konferensi Wali Gereja Indonesia, Ketua, dan Sekjen KWI, berbicara serius dengan Uskup Bogor. “Ini kita harus lapor polisi, untuk mencari orang yang mengaku-ngaku Jesus itu. Dia harus ditangkap dengan tuduhan penipuan. Minggu depan ini akan ada acara dengan Ibu Megawati di Gunung Gede. Ini kan gila! Masyarakat akan punya kesan, bahwa gereja sudah berpolitik. Sebab Jesus itu identik dengan Katolik dan Protestan. Memang benar bahwa dia tidak mengaitkan dirinya dengan gereja, tetapi kesan itu tetap akan ada. Karena lokasi pertemuan itu di wilayah Keuskupan Bogor, maka KWI berharap Bapak Uskup Bogor yang melaporkan hal ini ke polisi.” Uskup Bogor itu diam sejenak. “Ini wewenang KWI dengan Mabes Polri. Wilayah Keuskupan Bogor, hanya sebatas paroki, biara-biara, rumah retret dan lain-lain komunitas yang terkait dengan gereja. Gunung Gede bukan wilayah Keuskupan Bogor, jadi sebaiknya memang KWI yang harus lapor ke Mabes Polri. Keuskupan Bogor akan mendukung sepenuhnya langkah KWI ini. Tetapi saya pribadi menyarankan, agar KWI agak menahan diri, sebab aktivitas yang melibatkan figur Jesus belakangan ini, bukan aktivitas gereja. Kedua, mereka sama sekali tidak melakukan perbuatan kriminal, yang secara langsung merugikan gereja.” * * *

Fragmen Novel Para Calon Presiden

 


Pernyataan Mabes Polri

$
0
0

Alexander Sihotang Sarjana Hukum, dari Kantor Pengacara Sihotang & Partners, didampingi oleh Komisaris Besar Polisi Wijayanto, dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, menggelar jumpa pers di Mabes Polri, Jl. Trunojoyo, Jakarta. Wartawan media cetak, radio, televisi, kantor berita, dan news dot com, baik dalam maupun luar negeri menyimak dengan takzim. Fotografer dan kameraman berderet di barisan paling belakang. “Saya di sini mewakili Bapak Kapolri, dan hanya mendampingi Pak Sihotang selaku Kuasa Hukum PT Garuda Perkasa Entertainment. Mabes Polri, atas desakan dari berbagai pihak, memang telah memanggil jajaran pimpinan PT Garuda Perkasa Entertainment, sehubungan dengan telah diselenggarakannya dua acara di Tengger dan Parangtritis, dan juga acara-acara lain yang masih akan diselenggarakan, dengan menampilkan seseorang yang menamakan dirinya Jesus Kristus. Selaku kuasa hukum dari PT Garuda Perkasa Entertainment, Pak Alexander Sihotang dari Kantor Pengacara Sihotang & Partners, telah memenuhi panggilan Mabes Polri, dan memberikan keterangan sesuai dengan kapasitasnya.”

“Secara formal, dalam waktu dekat ini Mabes Polri akan memberikan keterangan pers. Tentu setelah mendengarkan pula, keterangan, dan penjelasan dari pihak-pihak terkait yang lain. Sekarang silakan Pak Sihotang.” Alexander Sihotang SH, mengambil mik, menarik napas, lalu mulai menjelaskan. “Jadi, tadi, saya selaku kuasa hukum PT Garuda Perkasa Entertainment, telah memenuhi panggilan dari pihak Mabes Polri, dan telah menjawab serangkaian pertanyaan yang diajukan kepada klient kami. Pertanyaan pertama adalah motif diselenggarakannya event Tengger dan Parangtritis, serta yang masih berupa rencana, dan akan direalisasikan dalam waktu dekat ini. Saya jawab, bahwa motif kegiatan Tengger hanya bisnis, yakni memperoleh keuntungan finansial. Bahwa kemudian ada kekuatan politik yang memanfaatkan kami, motif kami juga tetap bisnis. Ada pihak donatur yang telah membayar kami dengan nilai cukup tinggi, dan sebagian dana itu kami salurkan ke kekuatan politik bersangkutan. Pertanyaan kedua di sekitar tokoh yang kami tampilkan, yakni Jesus Kristus, atau Isa Al Masih Alaihissalam. Pertanyaan kedua ini antara lain berbunyi, siapa Jesus Kristus itu? Jawab saya, dia itu Nabinya orang Nasrani. Kalau Isa Alaihissalam Nabinya Umat Islam.”

“Penanya membentak saya, Ya, tetapi siapa dia? Saya jawab, sudah jelas dia itu bernama Jesus Kristus, kok masih bertanya siapa dia! Ternyata maksudnya, dia itu otentik atau tidak. Saya jawab tidak tahu karena hasil tes DNA belum selesai. Pertanyaan ketiga, siapa yang membiayai kami? Jawaban saya, lembaga donor dari luar negeri, dan semua ada datanya untuk urusan audit sehubungan dengan PPH 23, 25 dan 29. Pertanyaan keempat, siapa yang berada di belakang PT Garuda Perkasa Intertainment? Jawaban saya, yang berada di belakang PT Garuda banyak sekali. Aparat keamanan, tukang dekor, sound sistem, tim visual, transportasi, akomodasi, konsumsi dan lain-lain. Ternyata kami salah. Yang dimaksud oleh pihak kepolisian adalah kekuatan sosial politik mana yang berada di belakang kami. Tegasnya partai politik mana yang mendanai kami? Berdasarkan bukti-bukti yang berkasnya juga kami bawa, kami justru memasukkan dana ke partai politik, dan capres yang kami ajak kerjasama. Misalnya, dalam acara Tengger, kami membuat kontrak dengan salah satu Tim Sukses Pak SBY. Deal dengan Partai Demokrat malahan tidak ada. Dalam acara Parangtritis, kami mengadakan kontrak dengan Pemprov DIY, dan memasukkan dana untuk Tim Sukses Sultan.”

“Dalam acara di Gunung Gede nanti, kami menjalin kerjasama dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Semua resmi, semua transparan dan semua teraudit. Pertanyaan lebih lanjut adalah, bagaimana hubungan antara PT Garuda Perkasa Entertainment dengan CIA dan Mossad. Kami menjawab dengan tegas bahwa Klient kami tidak mempunyai hubungan apa pun dengan CIA dan Mossad. Sebab klient kami adalah lembaga bisnis. Bukan lembaga intelijen seperti BIN. Mereka mengatakan, bahwa ada indikasi, klient kami ada kontak dengan mereka. Sekali lagi saya tegaskan klient kami sama sekali tidak ada hubungan dengan apa pun dengan lembaga intelijen. Indikasi, bukan merupakan alat bukti pelanggaran hukum, hingga klient kami sama sekali tidak bisa diberi sanksi secara hukum. Kalau lembaga intelijen mengawasi kami, itu mungkin saja. Lalu tadi juga kami sampaikan ke pihak Mabes Polri, bahwa kalau klient kami memang benar telah melakukan pelanggaran hukum, kami siap untuk menjalani proses hukum sesuai dengan ketentuan undang-undang. Sebaliknya, apabila ada pihak-pihak yang merugikan klient kami secara material, maupun moral, kami selaku kuasa hukumnya, juga akan mengambil tindakan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”

“Saya selaku Kuasa Hukum, PT Garuda Perkasa Entertainment, juga tidak mengijinkan tamu kami Jesus Kristus, Nabi Isa Alaihissalam, dipanggil Mabes Polri untuk dimintai keterangan. Tamu Klient kami ini pemegang Paspor Kerajaan Jordania, dan mengantongi visa dari Kedubes RI di Amman. Jadi beliau bukan kategori pendatang haram. Selama di Indonesia, tamu dari klient kami ini juga tidak pernah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan lain yang mengganggu ketertiban umum. Acara di Tengger dan Parangtritis berjalan dengan sangat tertib, hingga tidak sampai ada korban cedera, apalagi sampai meninggal. Lalu apa dasar hukum Mabes Polri memanggil beliau untuk dimintai keterangan? Karena yang beliau sampaikan ketika tampil di depan publik, semua sudah terekpose di media massa, hingga tidak perlu ada keterangan lebih lanjut. Pemanggilan tamu klient kami, terlebih penangkapan, jelas akan berpengaruh negatif terhadap hubungan RI – Jordania, yang selama ini terjalin dengan sangat baik. Jordania adalah negara sahabat, yang pasti akan merasa sangat terganggu, apabila warga negaranya yang sedang menjadi tamu kehormatan di Indonesia, dipanggil oleh Mabes Polri ……… “

Belum selesai Alexander Sihotang Sarjana Hukum memberi penjelasan kepada pers, di kursi tengah yang semula kosong, di antara kursi yang ia duduki dengan kursi tempat duduk Komisaris Besar Polisi Wijayanto, telah duduk dengan santainya Jesus Kristus, Isa Alaihissalam. Para insan pers sama sekali tidak tahu, kapan dan dari mana ia masuk ke ruang jumpa pers di Mabes Polri tersebut. Para fotografer dan kameraman serentak mengabadikan kejadian ini. Alexander Sihotang Sarjana Hukum dan Komisaris Besar Polisi Wijayanto, juga kaget. Mereka segera menyalami tokoh tersebut. Jesus mengenakan celana lapangan warna cokelat, T Shirt Taman Nasional Gunung Gede dan Pangrango, serta jaket warna gelap. Rambutnya yang gondrong tersisir rapi, demikian pula dengan kumis, cambang dan janggut yang menjadi ciri khasnya. Suasana jumpa pers menjadi agak gaduh. Kombes Wijayanto mengetuk-ngetuk mik mencoba menenangkan para wartawan. Setelah bersalaman, dengan Alexander Sihotang dan Kombes Wijayanto, Jesus tampak berbisik-bisik dengan mereka berdua. Alexander Sihotang melanjutkan.

* * *

“Rekan-rekan pers, karena tamu dari klient saya, yang tadi saya sebut-sebut, sekarang sudah berada di sini, maka saya akan mempersilakan beliau untuk sekalian memberikan penjelasan.” Alexander Sihotang, kembali membisikkan sesuatu kepada Jesus Kristus, yang kemudian menunjuk ke arah para wartawan. Ternyata di antara para wartawan itu sudah berdiri Romo Sujatmiko, yang kemudian maju ke mik yang sedianya akan digunakan oleh para wartawan yang akan mengajukan pertanyaan. Alexander Sihotang melanjutkan. “Rekan-rekan wartawan, tamu dari klient saya akan berbicara dalam Bahasa Aram, dan akan diterjemahkan oleh Penerjemah beliau Romo Sujatmiko. Silakan. Maka Jesus pun memberikan penjelasan pers, disekitar kehadirannya di Indonesia, maupun kehadirannya saat ini di Mabes Polri. Dia berbicara dengan pelan-pelan, beberapa kalimat, yang kemudian diterjemahkan oleh Romo Sujatmiko ke dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Dalam penjelasannya, Jesus mengatakan bahwa keadaan dunia selama 2000 tahun ini, sudah berubah dengan sangat pesat, namun perangai manusia masih tetap sama.

Ia kemudian juga menjelaskan, daripada panitia mendapat kesulitan untuk menghadirkannya ke Mabes Polri, maka sekarang ia sudah hadir secara sukarela. Kalau Polisi Indonesia akan meminta penjelasan dari dirinya, sebaiknya sekarang langsung saja bertanya di depan para wartawan, bukan secara rahasia di ruang khusus. Ia tidak takut disiksa, sebab sudah berpengalaman bukan hanya dengan siksaan melainkan juga pembunuhan. Kombes Wijayanto tampak manggut-manggut. Tidak lama kemudian HPdi kantongnya berdering, lalu ia menempelkan HP itu di telinga kanannya, sambil sedikit membungkukkan badan ke depan. Ia lalu mencolek Alexander Sihotang, membisikkan sesuatu dari arah punggung Jesus. Alexander Sihotang manggut-manggut. Kombes Sujatmiko kemudian juga mencolek Jesus yang sedang berbicara. Ketika Jesus menengok ke arahnya, Kombes Wijayanto membungkuk hormat. Jesus juga menganggukkan kepalanya. Kombes Wijayanto lalu berdiri dan bergegas meninggalkan ruangan jumpa pers. Jesus melanjutkan memberi keterangan pers.

Ia mengatakan, bahwa ternyata ia tidak takut datang ke Mabes Polri. Malah polisi yang ternyata takut kepada dirinya, dan kemudian pergi. Wartawan dan juga Alexander Sihotang tertawa tergelak-gelak. Karena banyak sekali wartawan yang mengacungkan telunjuknya tanda ingin mengajukan pertanyaan, maka Alexander Sihotang mempersilakan Romo Sujatmiko maju dan duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Kombes Wijayanto. Alexander Sihotang lalu menunjuk salah satu wartawan untuk mengajukan pertanyaan. Belum sempat wartawan itu berbicara, satu regu Brigade Mobil bersenjata lengkap masuk ke ruang jumpa pers. Mereka menangkap Jesus, memborgolnya dan membawanya pergi. Alexander Sihotang yang mencoba protes dihalang-halangi oleh anggota Brimob itu. Demikian pula para wartawan yang mencoba untuk mengikuti regu penangkap itu. Alexander Sihotang tampak panik. Baru saja ia mengemasi map-map yang terhampar di meja, pundaknya dicolek, ternyata Jesus masih tetap duduk di sebelahnya. Ia mempersilakan Alexander Sihotang kembali duduk, untuk melanjutkan acara. Wartawan yang tampak kebingungan, berebutan mengacungkan tangan, tanda ingin mengajukan pertanyaan.

Romo Sujatmiko mengetuk-ngetuk mik. “Tolong agak tenang saudara-saudara, baru saja saya diberi tahu oleh beliau bahwa waktu kita sangat longgar. Silakan ajukan pertanyaan sepuas-puasnya, beliau akan siap menjawab semua pertanyaan Anda. Setelah tanya jawab itu memuaskan dahaga para kuli tinta, maka mereka pun pergi meninggalkan ruang jumpa pers. Beberapa wartawan yang masih belum puas, segera mendekat ke meja depan untuk mengajukan pertanyaan lebih detil ke Alexander Sihotang, maupun langsung ke Jesus Kristus, melalui Romo Sujatmiko. Namun baru saja mereka mau mengajukan pertanyaan, temen-teman mereka yang di luar memanggil. Mereka lalu berlarian ke ruangan lain. Di sana ternyata sudah ada jumpa pers oleh Kepala Hubungan Masyarakat Mabes Polri. “Saudara-saudara, baru saja Tokoh yang menamakan dirinya Jesus Kristus, dan tampil dalam acara yang diselenggarakan oleh PT Garuda Perkasa Entertainment, telah datang memenuhi panggilan Mabes Polri, dan sekarang sedang dimintai keterangan oleh sebuah tim yang dibentuk oleh Mabes Polri. Beliau datang tanpa disertai oleh seorang pun anggota panitia, juga staf dari PT Garuda Perkasa Entertainment yang tampak ingin lepas tangan ………. dst.”

“Ya, memang benar, yang akan didalami oleh Mabes Polri adalah, siapa sebenarnya jati diri beliau ini. Sebab Mabes Polri wajib melindungi warga masyarakat dari praktek penipuan. Untuk itulah sebuah tim telah dibentuk, termasuk tim yang akan melakukan uji DNA dari tokoh ini. Ada kemungkinan, apabila terdapat pelanggaran hukum, misalnya pemalsuan dokumen keimigrasian, maka Mabes Polri akan menahan yang bersangkutan, juga seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan acara ini. Saya tidak bisa menjelaskan berapa lama beliau akan berada di Mabes Polri untuk dimintai penjelasan. Sekarang ini sebuah tim Buru Sergap, sedang kami kirim ke kantor panitia, juga kantor PT Garuda Perkasa Entertainment untuk membawa paksa beberapa orang yang kami curigai, ke Mabes Polri. Kami belum bisa menjelaskan secara rinci, siapa-siapa saja yang akan kami datangkan secara paksa tersebut. Memang surat pemanggilan sudah kami layangkan sesuai dengan prosedur, namun hanya ditanggapi oleh kuasa hukum dari PT tersebut. Hingga untuk itulah Mabes Polri melakukan pemanggilan paksa terhadap pihak-pihak yang kami curigai.”

“Perlu kami jelaskan, bahwa yang kami panggil dan kami mintai keterangan, bukan Jesus Kristus, Alah Putera yang dimuliakan oleh Umat Kristiani, juga bukan Nabi Isa Alaihissalam, yang dimuliakan oleh Umat Islam, melainkan seseorang yang telah menamakan dirinya sebagai Jesus Kristus, serta Nabi Isa Alaihissalam. Jadi tindakan preventif yang telah dilakukan oleh Mabes Polri, tidak ada kaitannya dengan Iman Umat Kristiani, maupun Iman Umat Islam. Mabes Polri justru terpaksa mengambil tindakan tegas seperti ini, karena dorongan dari institusi keagamaan resmi yang diakui pemerintah Indonesia, yakni Konferensi Waligereja Indonesia, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, dan Majelis Ulama Indonesia. Tiga institusi ini telah dengan sangat baik menangkap gejala keresahan di kalangan umat dari masing-masing agama, yakni Katolik, Protestan, dan Islam. Penjelasan resmi tentang kasus ini hanya akan disampaikan oleh Mabes Polri, hingga rekan-rekan dari media massa, diharapkan cukup bijaksana dan berhati-hati dalam  memberitakan informasi dari lembaga-lembaga lain yang tidak berkompeten, agar masyarakat tidak semakin bingung.”

* * *

Ada 20 wartawan, dan cameraman, 10 dari stasiun tivi nasional, 10 dari stasiun tivi internasional, yang berkumpul di depan wisma Medinilla, Kebun Raya Cibodas, Cianjur, Jawa Barat. Langit sangat biru, cuaca cerah, tetapi udara tetap sejuk. Di teras Wisma Medinilla duduk Jesus Kristus, diapit panitia, dan Romo Sujatmiko sebagai penerjemah, dan Ketua Tim Sukses Capres Megawati Soekarnoputeri. Pertama-tama panitia menjelaskan, bahwa rencana penampilan Jesus Kristus, bersama dengan Capres Megawati Soekarnoputeri di Alun-alun Suryakencana, Taman Nasional Gunung Gede dan Pangrango, tetap akan dilangsungkan, karena memang tidak ada hambatan apa pun. Baik tamu kehormatan Jesus Kristus, Nabi Isa Alaihissalam, maupun Capres Ibu Megawati Soekarnoputeri, juga sudah siap untuk tampil di sana. Persiapan dari pihak panitia juga berjalan dengan lancar, karena semua pihak, termasuk pihak aparat keamanan, telah memberikan dukungan sebagaimana yang diharapkan, demi kelancaran acara ini.

Memang panitia juga telah mensinyalir ada pihak-pihak tertentu yang bermaksud menggagalkan acara ini, namun secara teknis panitia tidak mengalami kesulitan apapun untuk mengatasinya. Tiba giliran Jesus Kristus untuk berbicara. “Penguasa lembaga agama di Indonesia, telah melapor ke aparat keamanan, bahwa kehadiran saya, yang mereka sebut sebagai seseorang yang menamakan dirinya Jesus Kristus, telah meresahkan masyarakat, khususnya umat Kristiani dan Muslim. Jaman berubah tetapi watak manusia tidak. Dulu para pemuka Agama Jahudi juga melapor ke aparat Keamanan Romawi, dan mengatakan hal yang sama seperti sekarang ini. Manusia tidak pernah mau belajar. Padahal jelas, Kekaisaran adidaya itu sudah tidak ada, sementara Kerajaan Allah yang dulu teraniaya, sekarang masih ada. Padahal, meragukan kehadiran saya, sama saja meragukan kehadiran Allah yang hidup. Sebab para pemuka agama, lebih senang menyembah Allah yang mati, yang terperangkap dalam lembaran kertas kitab suci. Kertas mereka sucikan melebihi yang lain-lain, sementara hati mereka biarkan berlepotan dosa.”

“Allah yang hidup selalu bersama umat manusia. Dia juga ikut sakit, ikut menderita, ikut tertimpa bencana, dan dijauhi oleh mereka, para penyembah Allah yang mati,  huruf-huruf di kitab suci.” Jesus tidak mau berbicara terlalu banyak. “Ajaran yang telah saya sampaikan 2000 tahun yang lalu, sudah lebih dari cukup. Maka silakan kalau ada yang mau bertanya, ada yang mau mendebat saya, ada yang mau mencerca saya. Pertanyaan gencar diajukan. Jesus menjawab satu per satu dengan sabar, dengan tenang. “Pertanyaan klasik yang selalu diajukan adalah, bagaimana hubungan saya dengan Maria Magdalena, lalu, siapa sebenarnya bapak biologis saya, ada pula yang menanyakan isu tentang kepergian saya ke Tibet, kalau tentang apakah saya benar disalib atau tidak, sudah terlalu ramai diributkan, dan itu membuat saya menjadi sangat bosan mendengarnya, dan juga heran. Apakah mereka itu sudah sedemikian makmurnya, hingga tidak perlu bekerja, tidak perlu melakukan apa-apa, lalu iseng memperdebatkan sesuatu yang tidak banyak manfaatnya bagi sesama?”

“Baiklah, itu pertanyaan tentang siapa bapak biologis saya, ya jangan diajukan kepada saya tetapi ke ibu saya, Bunda Maria. Beliaulah yang paling tahu, siapa bapak biologis saya. O, saya sama sekali tidak pernah marah diberi pertanyaan seperti itu. Bunda juga begitu. Yang akan marah ya para pengikut saya yang kebetulan berotak bebal itu. Mereka yang cerdas pasti tidak akan marah. Memang ketika masih kecil pun, saya juga sudah mendengar banyak isu tentang bapak biologis saya. Ada yang mengatakan seorang serdadu Romawi, ada yang bilang petinggi Romawi, ada pula yang mengatakan seorang Ahli Taurat. Saya tidak pernah peduli, sebab secara hukum bapak saya Jusuf atau Josef, sementara yang mengimani saya, yakin bahwa saya ini Anak Allah. Tentang apa saya pernah ke Tibet, wah, memang waktu itu sudah ada kontak dagang antara Timur Tengah dengan China, dan India. Jadi praktis, perjalanan dari Nazareth ke India, dan Tibet dimungkinkan.

Namun demikian, untuk apa saya ke sana? Menimba ilmu? Di Tanah Judea sendiri, ilmu itu banyak sekali. Memang banyak orang yang berimajinasi, bahwa ajaran Trinitas saya, merupakan contekan dari Tiga Dewa Utama Hindu, yakni Hyang Brahma, Hyang Wisnu, dan Hyang Syiwa. Sementara ajaran cinta kasih saya, dianggap nyontek Ajaran Yang Mulia Sidharta Gautama atau Sang Budha. Tidak apa-apa. Itu resiko orang yang lahir belakangan. Tetapi Anda tahu bukan, bagaimana ajaran keyakinan di masyarakat Mesir, Asiria, dan Babilonia, bisa sama dengan ajaran keyakinan di masyarakat Aztex, Maya dan Inca? Apa mereka pernah saling berhubungan? Jadi Anda sekalian berpikirlah kritis, tetapi sekaligus juga logis. Apalagi? Apakah saya juga pernah pilek, sakit perut, kentut, mencret? Itu pertanyaan bodoh. Ya pastilah. Mengapa tidak ditulis di Injil? Injil bertujuan mencatat ajaran saya, serta sedikit biografi. Nanti ditanyakan juga, bajunya beli dimana? Yang mendanai gerakan saya siapa? Memangnya saya pimpinan LSM?”

Malam itu para penonton tivi di Indonesia, bingung. Jesus hadir dalam acara jumpa pers di Mabes Polri, dan kemudian disiarkan ia ditangkap aparat keamanan. Humas Mabes Polri mengatakan orang yang menamakan dirinya Jesus Kristus datang dengan sukarela untuk memberikan keterangan. Tetapi pada jam yang sama ia berbicara secara langsung di depan wartawan tivi di suatu tempat yang tidak disebutkan detil lokasinya. Stasiun televisi dihujani pertanyaan dari penonton. “Ini yang benar yang mana sih? Dia ditangkap, atau menyerahkan diri? La kok itu masih ada siaran langsung dari mana itu? Wah pusing aku. Pusing. Tetapi katanya acara di Alun-alun Surya Kencana itu juga akan tetap berjalan sebagaimana biasa? Mana yang benar ini? Mana?” Klik, tivi dimatikan. “Mending duduk slonjor di sini, sambil menyeruput teh hangat, dan mendengarkan suara BCL dari radio tetangga itu. Lo kok diganti dangdut to itu. Wah diganti De Masif, ya sudah, mending masuk kamar dan tidur. Capek aku!” * * *

Fragmen Novel Para Calon Presiden

 


Alun-alun Surya Kencana

$
0
0

“Suwito, Suwito, kamu itu masih inget aku kan? Aku ini Nur Hasanah, Wito. Mabyu Nur. Kemarin aku nonton tivi, katanya Ibu Megawati itu mau pidato di Alun-alun Surya Kencana. Itu alun-alun kota Bogor atau Bandung? Seingetku, Surya Kencana itu adanya di Bogor. Apa kamu bilang? Di Gunung Gede? Kamu itu kok ngawur to Wito. Ngawurmu itu ko ya kebangetan. Alun-alun kok di gunung. Alun-alun itu tempat yang lapang, rata, ada pohon beringinnya, ada penjual dawet, ada penjual bakso, di bagian barat ada mesjid, ada pendopo kabupaten, ada pasar, lalu ada terminal bis. Itu namanya alun-alun. Kalau pas musim hujan alun-alun ditumbuhi rumput hijau. Kalau kemarau panjang, rumputnya kering, dan banyak debu dimana-mana. Begitu Wito! Kamu itu mentang-mentang aku dagang beras kamu boss. Boss itu ya bossok! Busuk hatimu itu! Orang Jombang itu kalau lupa sama tanah kelahirannya, akan dikutuk oleh roh para pinisepuh yang sudah almarhum. Kamu akan dikutuk menjadi kuda, dikutuk menjadi ular, bisa-bisa kamu dikutuk menjadi cacing yang terperangkap di aspal panas.”

“Suwito, kalau kamu bener bahwa Alun-alun Surya Kencana itu ada di gunung, harus jalan lewat hutan, ya aku tidak bisa ikut ke sana. Padahal aku ini ingin melihat Ibu Megawati pidato. Ya sudah, melihat di tivi saja. Meskipun melihat di tivi itu tidak marem. Ya biar saja. Lalu Ibu Mega itu naik apa ke sana? Kalau jalan kaki ya pasti tidak mungkin kuat. Wong badannya gemuk, pantatnya besar seperti itu kok mau jalan naik gunung. Kalau dia ya mestinya naik helikopter ya? Tetapi apa helikopternya kuat ya? Mestinya ya kuat sebab pabriknya pasti sudah merancang sebaik mungkin. Ibu Mega itu kata di tivi itu, akan pidato bersama dengan Nabi Isa. Kok Nabi Isa hidup lagi? Lalu naik apa Nabi Isa ya? Nabi Isa kok ikut kampanye to? Kampanye itu harusnya ya dengan artis dangdut, dengan campursari, ini kok malah nanggap Nabi. Nabi kok ditanggap untuk ngeramaiin kampanye. Bu Mega itu kok ya aneh-aneh saja to? Kalau dulu ketika di Bromo dan Parangtritis itu kan bukan kampanye. Pak SBY menyambut Nabi Isa ya biasa wong dia presiden. Pak Sultan nyambut Nabi Isa ya wajar wong dia itu raja Yogya. La sekarang ini Bu Mega kan calon presiden, la kok kampanye ngajak Nabi?”

“Tetapi ya biar saja, aku itu dari dulu selalu mantep memilih Bu Mega. Ya biar gemuk, biar kata orang pantatnya segede truk, sekali Bu Mega tetap Bu Mega. Budé Joyo sih milihnya Pak SBY. Aku emoh. Pak SBY itu kalau meringis kan jelek. Pak JK juga. Kalau Bu Mega itu kalau mèsem, apalagi kalau tertawa wah kata simbah dulu, seperti Bung Karno. La iya to Mbah, wong Bu Mega itu jelas anaknya Bung Karno kok. Kalau yang mèsemnya benar-benar bagus itu ya Pak Harto. Pokoknya aku ini kalau memilih presiden yang pertama saya lihat ya mulutnya. Kalau mulutnya itu mèsem dan bagus, memilihnya itu mantap. Kalau pak Prabowo itu aku juga emoh. Terlalu gemuk dan sepertinya badannya itu glombyor-glombyor begitu lo, dan jarang mèsem. Ya jelas masih mending Pak SBY kalau badannya. Bu Mega memang lebih gemuk, tetapi ya biar saja wong itu pilihanku kok! Lagi pula, dia kan anaknya Bung Karno, dan mèsemnya tetap oké.”

“Wito, Wito, sebenarnya kamu itu orangnya siapa? Pak SBY ditempel, Sultan ditempel, Bu Mega ditempel, Pak JK juga ditempel, Pak Prabowo juga kamu dekati. Kamu itu ndukung siapa? Ya tidak bisa kalau kamu mau mendukung semua. Mendukung satu saja kalau yang didukung Bu Mega kan sudah berat sekali. Kok kamu itu mau mendukung semua. Badanmu itu kan kecil to Wito? Salah satu sajalah. Yang akan naik jadi presiden itu kan cuma satu. Kan tidak mungkin Pak SBY, Bu Mega, Sultan, Pak JK, Pak Prabowo, semua akan jadi presiden, lalu tinggal di Istana Merdeka bareng-bareng. Kalau mereka kemudian kerja bareng-bareng, itu bagus. La kalau kemudian mereka korupsi bareng-bareng, negara ini ya bangkrut. Orang korupsi itu bagaimana to? Uang bukan miliknya kok tenang saja diambil. Aku itu ada orang belanja beras dompetnya ketinggalan ya hanya saya singkirkan, tidak berani aku membukanya. Ketika orangnya datang mengambil, aku suruh hitung uangnya, ya masih utuh.”

“Budé Joyo itu sering mengeluh pada saya. Sekarang ini nduk, keadaan kok seperti ini ya? Kapan keadaan yang seperti ini akan berakhir. Orang seperti kita ini inginnya kan aman, lalu pasti. Sekarang ini selain tidak aman, juga tidak pasti. Tiap saat keadaan berubah. Orang dagang itu kan harus ada rasa aman dan rasa pasti. Kalau harga tiba-tiba bisa ambleg, bisa membubung tinggi, semua akan susah. Petaninya susah, pedagangnya susah, yang mau makan nasi juga susah. Kalau yang mau makan tinggal menyendok, ya tidak apa-apa. Rakyat kecil itu kerja hari ini untuk beli beras hari ini juga. Kalau tidak ada kepastian bagaimana? Upahnya tetap, tapi beras tiba-tiba bisa naik. Untuk bisa makan pun mereka susah. Apalagi untuk senang-senang. Hanya saya juga heran lo Nur, kata Budé Joyo, itu kere-kere itu, gelandangan itu, kok hidupnya seperti seneng terus ya Nduk? Wah, Budé, Budé, mana ada kere hidupnya seneng? Tertawa tidak selalu seneng lo Budé! Tertawa itu juga bisa berarti sedih, jengkel, atau marah.”

“Aku sebenarnya ingin sekali ke Alun-alun itu, tetapi harus berjalan kaki? Harus lewat hutan? Harus naik gunung? Ibu Mega itu memang aneh-aneh kok. Ya maklum. Puteri Bung Karno, jadi ya pasti banyak yang aneh-aneh. Kampanye kok ya di gunung. Kalau di alun-alun Bogor, di alun-alun Cibinong, orang seperti saya bisa datang dengan mudah, tidak usah jalan kaki. Nabi Isanya nanti naik apa ya? Kalau Nabi pasti bebas. Dia bisa naik kuda, bisa ikut naik helikopter, bisa saja dia pergi sendiri, terbang seperti Raden Gatotkaca. Sebenarnya kalau Nabi tidak usah terbang juga sampai. Dia bilang aku mau ke Jogja, detik itu juga sampai Jogja. Aku mau ke Ambon, detik itu juga sudah ada di Ambon. Tetapi menjadi Nabi juga banyak tidak enaknya. Tugas dari Allah pasti macam-macam. Ya aku saja oleh Budé Joyo diberi tugas macam-macam, Pak Carik diberi tugas macam-macam oleh Pak Lurah. Nabi pasti disuruh ngurus orang-orang berdosa oleh Allah. Urusan sama orang baik-baik saja sudah susah, apalagi ngurus orang jahat. Tetapi Nabi harus manut sama Allah.”

* * *

Alun-alun itu luas, berbentuk seperti bulan sabit, melengkung dari arah barat daya memanjang menuju timur laut. Dari alun-alun itu, ke arah barat laut, Gunung Gede tampak seperti gundukan yang penuh ditumbuhi perdu. Rumput, rumpun edelweis, suara elang jawa kadang kedengaran jauh sekali melengking, ketika pagi dan cuaca cerah. Sepi, dingin, dan biasanya dari Desember sampai Maret, kawasan ini tertutup untuk umum. Dengung lalat terdengar sangat jelas dan keras, dalam sepi yang sebenarnya itu, ketika tak ada suara apa pun, ketika angin juga mati. “Tuan, kita bisa menjangkau alun-alun ini dari tiga titik. Pertama dari Pos Gunung Putri, di atas Cipanas. Kedua dari Pos Cibodas, dan ketiga dari Pos Selabintana. Rute terakhir ini jarang sekali dilalui pendaki. Dari Pos Gunung Putri, para pendaki akan langsung sampai di Surya Kencana. Dari Pos Cibodas, kita akan terlebih dahulu ketemu Puncak Gunung Gede. Kalau kita kembali melalui rute Cibodas, tidak akan ketemu Surya Kencana. Apabila kita turun dari Puncak Gede melalui rute Gunung Putri, pesti akan melalui alun-alun yang luas ini. Meskpun tidak seluas Lautan Pasir di Bromo saja.”

Helikopter itu takeoff dari Lapangan Cipanas, terus membubung ke atas, hanya dalam hitungan menit, alun-alun itu sudah berada di depan. “Lucu juga ya? Sebenarnya saya ini bisa saja terbang sendirian. Bahkan tidak usah terbang, kalian mengatakan ingin saya hadir dimana, maka saya sudah akan hadir di tempat itu. Tetapi sekarang ini semua terserah panitia. Dalam acara ini, panitia menjadi lebih berkuasa dari Allah Putera.” Sebuah helipad darurat terpasang di bagian ujung alun-alun, di arah timur laut. “Inilah alun-alun itu Tuan. Panggung di sana itu, letaknya persis di tengah-tengah, di bagian dari lengkung alun-alun yang terluas. Kalau di Tengger, latar belakang panggung Gunung Batok, maka di Surya Kencana ini latar belakangnya Gunung Gede. Layar besar akan dipasang di arah rute Gunung Putri, dan Selabintana. Di sana agak di ujung timur laut sudah dipasang helipad darurat. Ini tenda-tenda untuk tamu VIP dan VVIP, itu tenda untuk kru dan peralatan mereka. Sama halnya dengan di Tengger, acara akan diselenggarakan sekitar pukul 10 pagi. Saya tidak tahu, kalau cuaca cerah apakah gambar di layar itu akan kelihatan cukup jelas?”

Beberapa hari terakhir kesibukan di alun-alun meningkat. Toilet mobil ditaruh dalam jarak setiap 50 m, di sepanjang lengkung alun-alun. Para pekerja menginap dalam beberapa buah tenda regu. Perapian dipasang setiap sore dalam potongan-potongan drum. Kayu bakar didatangkan langsung dari bawah, juga dengan heli. Dapur umum dengan kompor gas, panci-panci, cerek, penggorengan, dandang, beberapa tukang masak dari asrama tentara direkrut untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi para pekerja di alun-alun ini. Kabel listrik dan selang air darurat ditarik dari Gunung Putri ke Surya Kencana. Sebuah tenda khusus dengan fasilitas hotspot diperuntukkan khusus bagi para wartawan dalam dan luar negeri. Ada lagi tenda yang difungsikan sebagai toko darurat yang menjual kebutuhan sehari-hari. Panitia kawatir, para pengunjung kehabisan logistik. Kepala Taman Nasional langsung melakukan pengecekan tetek-bengek detil persiapan acara ini, dan setiap perkembangan harus dilaporkan ke Dirjen PHKA. “Sebagai birokrat, kita jelas netral dan tidak mendukung siapa-siapa dalam kampanye Pemilu 2009 ini. Tetapi kalau ada pihak yang memerlukan fasilitas kita, harus kita layani sebaik mungkin. Apalagi dalam acara ini akan hadir banyak wartawan asing. Jadi pelayanan kita harus lebih baik lagi.”

“Kamu itu ngomong kok ya selalu salah. Mau ada wartawan asing, hanya ada wartawan bodrek, tidak ada wartawan, pelayanan tetap harus standar. Pelayanan kepada siapa pun harus kita berikan sebaik mungkin. Teman-teman birokrat itu biasanya baru akan memberikan pelayanan baik, apabila ada atasan mau datang. Pelayanan untuk publik justru harus dilakukan dengan serumit mungkin, dengan sesulit mungkin. Setelah publik bingung, mereka bisa diberi tawaran kemudahan, dengan bayaran lebih tinggi. Ngurus KTP, SIM, STNK, paspor, pajak, ijin usaha, semua sama. DPR dan DPRD sejak era reformasi juga seperti menemukan lahan baru. Eksekutif yang sebelumnya suka ngerjain pengusaha dan rakyat, sekarang ganti dikerjai DPR dan DPRD. Tawar menawar setoran menjadi hal yang biasa. Ini saja, proyek kita ini, baru bisa mulus setelah kita tambal DPR Pusat dan DPRD. Kalau tidak, jangan harap persetujuan mereka bisa keluar. Alasannya pasti macam-macam. Ini seperti hukum karma. Para eksekutif yang menjadi raja pada era Orde Baru, sekarang harus menghadapi raja baru, bernama DPR dan DPRD. Persiapan kita kali ini bagaimana?”

“Beres Pak, di sepanjang track dari tiga titik pendakian sudah kita bangun pos-pos darurat, masing-masing dengan tiga petugas. Ada logistik air minum, snack, dan obat-obatan. Track Selabintana tetap kita sediakan petugas juga, meskipun tidak sebanyak track Cibodas. Yang benar-benar kita perkuat yang dari Gunung Putri. Tetapi ngomong-ngomong, ini yang datang kemari ini benar Nabi Isa Pak? Bukannya tidak yakin, saya ini memang sama sekali tidak tahu. Nabi Isa itu sebenarnya nabinya orang Islam, atau nabinya orang Kristen ya Pak? Katanya Nabi Isa itu orang Israel? Ya bukannya usil ingin tahu, tetapi saya ini memang benar-benar tidak tahu. Memang saya tidak peduli. Bagi seorang Muslim seperti saya ini, yang penting ya Pak Kiai, Pak Ustad, dan para pengurus mesjid. Nabi-nabi itu cukup kami dengar kalau ada ceramah dari Pak Ustad dan Pak Kiai itu. Kami-kami ini kan memang malas membaca Pak! Jadi kami ini memang tidak terlalu tahu tentang nabi-nabi itu. Kata Pak Ustad nabi itu jumlahnya banyak sekali, semuanya beragama Islam, dengan Nabi Adam sebagai nabi pertama. Nah ini yang saya agak bingung Pak. Yang menyiarkan Islam itu kan Nabi Muhammad SAW, sebagai nabi terakhir. Lha, kok nabi-nabi sebelumnya juga beragama Islam itu bagaimana ya Pak?”

“Sudahlah kamu jangan lalu meributkan soal nabi. Cukup Nabi Isa yang akan datang ini saja yang kita urus, bersama dengan Ibu Mega. Kita memang kader PKS, tetapi kita juga aparat, hingga mengurus Ibu Mega sebagai Ketua PDIP juga wajib. Apalagi beliau itu Puteri Bung Karno. Memang banyak teman kita yang tidak suka, tetapi ya maklum mereka itu fanatiknya memang luar biasa. Terserah, yang menggaji kita itu pemerintah, bukan mereka itu. Besuk ini kita pasti akan kerja lebih berat lagi. Untung ada tambahan honor yang lumayan dari panitia. Untung juga ada tambahan tenaga sukarela dari para pecinta alam itu. Kalau tidak, kita ini akan mampus semua. Mau diberi honor berapa pun kita ini tidak akan mampu mengurus. Kita jalan sedikit saja sudah capek, sekarang harus naik gunung. Untung juga ada heli ya? Jadi kita tidak terlalu capek. Kalau tidak mungkin saya sudah pingsan. Kita bukan jagawana, urusan kita administrasi, umur juga sudah mulai lanjut. Jadi harus sadar diri. Kerja berat harus mulai agak dikurangi. Memang kalau melihat honornya ya lumayan lo sebenarnya.”

* * *

Sejak dua hari sebelum acara berlangsung, pengunjung sudah berdatangan ke Alun-alun Surya Kencana di Taman Nasional Gunung Gede – Pangrango. Mereka membawa tenda, logistik, dan peralatan memasak. Hampir semuanya menyewa porter. Puncak kedatangan pengunjung adalah sehari sebelum acara berlangsung. Banyak di antara mereka akan mulai mendaki dari Gunung Putri sore hari, paginya menghadiri acara dan langsung turun. Panitia menyediakan heli khusus untuk mengangkut mereka yang kecapekan dan sakit, serta mendatangkan logistik. Potongan drum untuk tempat api unggun diperbanyak, sebab mereka yang datang pada dinihari diperkirakan akan sangat kedinginan hingga memerlukan penghangat. Pedagang sarapan, mulai dari bubur ayam, nasi uduk, nasi goreng, ketupat sayur, didatangkan. Hingga para pengunjung yang baru saja datang dan tidak membawa logistik tidak akan kelaparan. “Surya Kencana memang agak beda dengan Tengger. Tengger memang bisa massal, dan murah. Ini lain. Semua harus diangkut dengan heli. Mereka yang ingin datang harus naik heli atau jalan kaki naik gunung. Jadi meskipun skalanya lebih kecil, kualitas acara ini diharapkan lebih unggul.”

“Benarkah ini acara kampanyenya Ibu Mega? Mengapa Tuhan Jesus Kristus kita mau mendampingi Ibu Mega berkampanye? Ketika di tengger Pak SBY hadir sebagai Presiden RI. Ketika di Parangtritis, Sultan Hamengku Buwono X hadir selaku Gubernur DIY. Sekarang ini, Ibu Megawati hadir di Alun-alun Surya Kencana sebagai Ketua PDI Perjuangan, sekaligus sebagai kandidat presiden dalam Pilpres 2009 bukan? Itulah yang saya herankan, mengapa Tuhan Jesus Kristus kita bersedia dimanfaatkan oleh Ibu Mega ya? Apa kelas beliau tidak turun? Harusnya kalau Tuhan Jesus Kristus kita itu mau turun tangan, ketika Barack Obama dari Partai Demokrat di AS berkampanye, beliau menemani. Jadi martabat beliau tidak turun. Sekarang ini, beliau hadir di negeri dengan mayoritas penduduknya Muslim, dan menemani salah satu Capres yang juga Muslim. Inilah yang saya sebagai umat Kristiani merasa kurang pas. Mengapa beliau tidak mendukung Partai Damai Sejahtera, atau partai-partai lain yang Kristiani? Kalau ada dukungan dari beliau, kan lain? Ini kok malah mendukung partai besar.”

Dini hari, Alun-alun yang tinggi, dingin, tetapi terang benderang. Suasananya seperti pasar malam, tetapi tidak berisik. Balai Taman Nasional memang tidak mengijinkan adanya bunyi-bunyian, radio, dan lain-lain sebelum dan sesudah acara berlangsung. Selama acara berlangsung, penggunaan pengeras suara juga dibatasi, cukup bisa didengarkan dalam jarak dekat, dan tidak sampai menimbulkan satwa liar terganggu. Menjelang pagi, pengunjung yang tiba di alun-alun semakin banyak. Sejak setengah enam pagi, heli sudah mulai datang untuk membawa peralatan yang masih harus didatangkan. Pukul tujuh pagi, tamu-tamu juga mulai didatangkan dengan heli. Dimulai dari yang kurang penting, lalu agak penting, sampai tamu-tamu yang sangat penting. Mereka dipersilakan melihat-lihat pemandangan di Alun-alun, atau langsung duduk di tenda yang sudah disediakan. Pukul setengah sepuluh, Megawati turun dari helipad dan dikawal menuju kursi kehormatan. Pukul sepuluh kurang seperempat Jesus Kristus, Nabi Isa Alaihissalam juga turun dari heli, dan segera diantar ke kursi kehormatan.

Para wartawan dalam dan luar negeri, diberi kesempatan mengabadikan Megawati bersalaman dengan Jesus Kristus, Nabi Isa Alaihissalam. Tidak ada sambutan macam-macam, pukul sepuluh tepat, pembawa acara mengumumkan, bahwa Ibu Megawati Soekarno Puteri, Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Calon Presiden dalam Pemilihan Presiden RI 2009, akan tampil ke panggung untuk berpidato. Dia bangkit dari tempat duduknya, menghadap ke Nabi Isa, membungkukkan badan, lalu didampingi dua ajudan menuju panggung. Ketika menaiki tangga panggung, salah satu ajudan menuntunnya. Di depan podium yang sudah disediakan, Ketua PDI Perjuangan itu diam sejenak. Ajudan meletakkan teks pidato persis di depan Megawati, sambil menunjukkan mana yang harus dibaca. Megawati membetulkan letak kacamatanya, menatap seluruh audiens, mengangkat tangan kanannya ke atas, mengepalkannya, lalu berteriak keras: “Merdeka!”, dan serentak seluruh pengunjung menyambutnya “Merdeka!”  Sekali lagi Megawati berteriak “Merdeka!” sambil tetap mengacungkan tangan kanannya yang terkepal. Massa menyambutnya “Merdeka!” Demikian dilakukannya sampai sebanyak tiga kali.

“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Massa serentak menjawab. “Walaikumssalam!” Mega melanjutkan. “Terimakasih, terimakasih. Pertama-tama, saya selaku Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menghaturkan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya, kepada Yang Mulia, Nabi Isa Alaihissalam, yang telah berkenan hadir di antara kita semua. Selamat datang di Indonesia, khususnya di Alun-alun Surya Kencana. Yang Mulia, dan saudara-saudara semua, saya tidak perlu bercerita panjang lebar. Saudara-saudara semua telah sama-sama mengalami, bagaimana kondisi kehidupan kita semua selama lima tahun terakhir ini. Bencana silih datang berganti-ganti, PHK terjadi di mana-mana, harga sembako juga semakin melambung, dan kehidupan rakyat kecil menjadi semakin sulit. Apakah kalian semua mau semua ini segara berubah?” Massa menjawab serentak “Mau!” Megawati melanjutkan. “Baiklah. Kita harus sama-sama mengubah keadaan ini hingga menjadi lebih baik dalam lima tahun yang akan datang. Apakah saudara-saudara semua bersama saya siap untuk mengubah keadaan ini? Bagaimana? Siap?” Massa menjawab serentak “Siap!!!” Megawati melanjutkan lagi. “Apakah saudara-saudara siap memenangkan PDI Perjuangan dalam Pemilu 2009. Baimana? Siap?” Masa serentak menjawab. “Siap!!!”  Mega mengakhiri. “Terimakasih, Walaikumssalam Warahmatullahi Wabarakatuh!”

Jesus Kristus, Nabi Isa Alaihissalam, menyalami Megawati, yang baru saja turun dari panggung. Pembawa acara mengumumkan, bahwa Jesus Kristus, Nabi Isa Alaihissalam, berkenan untuk naik ke atas panggung dan berbicara. Jesus lalu berjalan ke atas panggung, juga diapit oleh panitia. Di atas panggung, Jesus meraih mik, menarik kabelnya hingga putus, lalu melemparkannya ke samping. “Ini alat buatan manusia, saya akan berbicara pelan-pelan saja tanpa alat ini. Apakah yang di sana bisa mendengar?” Serentak massa menjawab. “Bisa!” Jesus melanjutkan. “Tolong, panitia mematikan kamera itu.” Panitia lalu mematikan kamera. Tetapi gambar di layar tetap kelihatan. Pengeras suara juga tetap hidup. Sementara panitia dan teknisi masih kebingungan, Jesus melanjutkan. “Marilah kita kembali lebih percaya kepada kebaikan Allah, dan bukan lebih percaya kepada benda-benda buatan manusia. Marilah kita kembali berbuat baik seperti kebaikan yang telah digariskan oleh Allah, dan bukan kebaikan yang dibuat oleh manusia. Apakah kalian masih mendengarkan saya? Apakah kalian masih mendengarkan?”  Serentak massa menjawab. “Mendengar!” Jesus melanjutkan. “Baiklah, saya akan melanjutkan ……….”  * * *

Fragmen Novel Para Calon Presiden

 


Proyek A

$
0
0

Ki Gendheng Saèstu dan Ki Dhudha Bodho, manggut-manggut. “Kami siap untuk menangkapnya. Ini memang bukan urusan polisi, tetapi tugas kami. Tetapi bagaimana dengan KWI, PGI dan MUI? O, begitu. Jadi yang melapor ke polisi malah justru tiga lembaga ini. Kalau demikian halnya, kami berani melaksanakan. Kalau ini hanya perintah Kapolri, atau malah Presiden sekali pun, kami tetap takut. Sebab andaikan KWI, PGI dan MUI marah, yang kemudian diikuti oleh umat Katolik, Protestan dan terutama umat Islam di seluruh Indonesia, habislah kami. Bapak-bapak dan ibu-ibu semua juga harus percaya pada kami berdua. Yang perlu dicatat, yang akan bekerja bukan hanya kami berdua melainkan ada sekitar 23 orang teman, jadi termasuk kami berdua total akan ada tim beranggotakan 25 orang. Tim ini akan dipecah masing-masing lima orang yang akan menangani empat arah mata angin. Dua orang akan menjadi koordinator tim berikut wakilnya, dan tiga orang, termasuk kami berdua yang akan bertanggungjawab terhadap keseluruhan operasi ini. Kami yang akan sepenuhnya mengendalikan.”

Eddy Gombal adalah Kolonel AD desersi, sementara Petrus Wedhus Letnan Dua desersi. Mereka berdua juga manggut-manggut. “Kami ini sudah berpengalaman merekrut dan menggerakkan Korlap. Kami berdua ini ibarat siluman. Jejak kami selalu terlihat, tetapi kami berdua selalu selamat. Yang ditangkap, yang dihukum mati, yang ikut meledak bersama bom, bukan kami melainkan para kroco itu. Kami berdua adalah “untouchables”. Sebenarnya di belakang kami ada seorang Brigjen Purnawirawan yang sangat peduli dengan rakyat kecil, baliau sangat menginginkan adanya perubahan. Beliau sangat prihatin dengan kondisi negara, lebih khusus lagi dengan kondisi TNI yang menurut beliau sudah sangat bobrok. Beliau miskin, sangat militan, dan kalau perlu juga bersedia gugur demi perjuangan. Kami semua non partisan, non sektarian. Ideologi kami adalah profesionalitas. Bisnis kami adalah demo, kerusuhan, penculikan, teror, dan pembunuhan. Tetapi kami tidak bertanggungjawab terhadap dampak dari perbuatan kami. Itu 100% tanggungjawab pemberi order. Sukses melaksanakan tugas, bagi kami lebih penting dari pada uang.”

“Nama saya Suwito. Ideologi saya uang. Bisnis saya apa saja asal menghasilkan uang. Agama saya menghalalkan segala cara untuk memperoleh uang. Agama saya? Jelas Agama Islam. Ini bukan Islam yang disyiarkan oleh Nabi Muhammad SAW, melainkan Ingsun Slamet. Ingsun itu saya, slamet itu selamat. Jadi agama saya, yang penting saya selamat. Orang lain celaka, masuk bui, mati dan masuk neraka, bukan urusan saya. Agama saya tidak punya Nabi, tidak punya kitab. Tempat ibadah saya ada di mana-mana. Di restoran, di lobby dan kamar hotel, di panti pijat, di lokalisasi PSK, di kantor partai politik, di rumah tokoh tim sukses. Ibadah kami adalah mengintimidasi siapa saja sesuai order, meneror siapa saja sesuai pesanan, tetapi saya tidak suka kekerasan, apalagi pembunuhan. Biarkan saya orang-orang itu menjadi tua dan mati dengan sendirinya. Itu lebih menghemat waktu, tenaga, dan ongkos. Soal pembunuhan dan penghilangan jejak, urusan Eddy Gombal dan kawan-kawan. Saya tidak mau urusan yang seperti itu. Bagi saya yang penting ada uang masuk, lalu order sudah dilaksanakan. Siapa yang melaksanakan, bagi saya tidak penting.”

“Order membunuh Nabi Isa Alaihissalam? Kalau bisa menangkap hidup-hidup? Kalian sudah gila semua ya? Saya memang algojo. Tetapi saya pilih-pilih order. Saya hanya mau membunuh orang, kalau yang bersangkutan memang bersalah, dan merugikan rakyat banyak. Biasanya saya terima order justru dari polisi. Mereka mengatakan begini. Orang seperti ini, kalau ditangkap, kemudian diadili, paling lama kan dihukum sekitar lima tahun. Lalu setelah dipotong remisi dan lain-lain, paling lama ia menjalani hukuman tiga tahun. Kalau dia rajin nyogok jaksa, dan orang-orang Lembaga Pemasyarakatan, maka dua sampai dua setengah tahun sudah bisa bebas, lalu kembali berkarya. Maka, para polisi lalu memberi mandat kepada saya untuk segera memensiunkan orang-orang seperti ini. Saya bebas. Mau saya tembak, saya tikam, saya kerjai hingga mobilnya kecelakaan, saya racun, tidak jadi masalah. Anggaran dari Polisi biasanya sangat terbatas. Maka saya juga diberi keleluasaan oleh Polisi untuk fundraising. Biasanya saya lalu menghubungi para pihak yang selama ini dirugikan oleh yang bersangkutan. Tetapi membunuh Nabi Isa Alaihissalam? Sorry ya!”

“Pak Wis, Pak Wis, saya dengar info, katanya ada gerakan untuk membunuh Nabi Isa Alaihissalam. Ini bagaimana Pak Wis? Yang bertanggung jawab terhadap keselamatan beliau adalah PT Garuda Perkasa Entertainment. Kita bisa repot kalau sampai upaya pembunuhan ini berhasil. Pak Wis tidak takut? Mengapa Pak Wis? Memang kadang-kadang efek dari teror itu lebih jahat dari pada tindakan langsungnya. Sebagai staf PT Garuda Perkasa Entertainment, saya tetap akan menjalankan tugas sebaik mungkin. Hanya sedikit banyak, kinerja saya akan terganggu. Mungkin memang itu yang diharapkan oleh para penebar teror itu ya? Saya tidak tahu siapa dalang dari aktivitas ini. Golkar? Ah, tidak mungkin Pak Wis. Sejak awal kita kan sudah mengagendakan acara penampilan Nabi Isa dengan pak JK. Tidak mungkin Pak Wis. KWI dan PGI? Saya juga agak ragu-ragu kalau mereka berbuat sejauh itu. Ah, terserahlah, saya tidak peduli siapa pelakunya, siapa dalangnya, sebagai staf PT Garuda, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk mengamankan beliau. Pak Wis, mengapa sebagian besar bangsa ini masih tidak percaya kalau yang kita datangkan ini benar Nabi Isa ya?”

“Beres Pak Dé. Saya sudah drop ke mereka semua. Baru separo memang. O, saya tidak berani langsung ngedrop penuh ke mereka. Takutnya begitu sudah didrop 100%, mereka foya-foya lalu tidur. Jadi biar saja. Janji saya ke mereka. Kalau mereka berhasil, baru yang 50% bisa mereka ambil. Lo, Nabi Isa, Jesus Kristus itu kan juga manusia kan? Memang saya tahu Pak Dé, maka saya minta Ki Gendheng Saestu, dan Ki Dhudho Bodho, untuk membantu manangani hal ini. Yang saya dengar, mereka akan mengerahkan sampai 20 paranormal untuk membackup proyek ini. Kata Kolonel Eddy, proyek ini dia beri nama Proyek A. Tidak tahu mengapa Pak Eddy menamakannya begitu. Bagi saya yang penting dengan kehadiran Pak Eddy, dengan adanya Ki Gendheng Saestu, peluang untuk gagal menjadi sangat kecil. Saya memang belum ambil Pak Dé. Ya uang dari Pak Dé itu cukup. Kan masih ada sisa proyek Medan kemarin Pak Dé. Memang KWI dan PGI juga sudah menyiapkan. Bukan formal Pak De, ya orang-orang dalamlah. Tetapi secara formal memang tidak melibatkan dua lembaga ini.”

* * *

Rapat konsultasi antara KWI, PGI dan MUI, di Departemen Agama, Jalan Lapangan Banteng Barat, Jakarta. Rapat membahas isu akan adanya penangkapan dan pembunuhan terhadap Jesus Kristus, Nabi Isa Alaihissalam. Rapat dipimpin oleh Sekjen Departemen Agama, mewakili Menteri Agama yang berhalangan hadir karena harus mendampingi Wakil Presiden yang sedang mengadakan kunjungan ke Aceh. Sekretaris Eksekutif KWI, mewakili Ketua dan Sekjen KWI yang juga berhalangan hadir melaporkan adanya gerakan lintas agama yang liar dan tidak terkontrol. Mereka masing-masing mengatasnamakan Katolik, Protestan dan Islam, lalu merencanakan pembunuhan terhadap orang yang selama ini menamakan dirinya Jesus Kristus, Nabi Isa Alaihissalam. Sekjen PGI yang juga mewakili Ketua PGI yang sedang berada di New York, juga melaporkan hal yang sama. Pihak Protestan yang terlibat dengan aktivitas liar ini cukup banyak, tetapi mereka sebenarnya kelompok minoritas. HKBP, yang merupakan gereja Lutheran satu-satunya di Indonesia, Gereja Kristen Calvinis yang terbanyak pengikutnya di Indonesia, sama sekali tidak terlibat. PGI sedang meneliti, kelompok mana saja yang terlibat dengan agenda ini.

Salah seorang wakil ketua MUI, yang mewakili Ketua MUI yang juga berhalangan hadir, dengan tegas menyatakan, bahwa mereka tidak ada urusan dengan acara Nabi Isa Alaihissalam, dan juga tidak tahu menahu dengan adanya rencana pembunuhan. Hingga mereka yang terlibat dengan rencana pembunuhan ini, adalah oknum yang mengatasnamakan MUI. Maka dengan ini MUI menyatakan tidak bertanggungjawab atas segala hal yang akan terjadi sebagai dampak dari aktivitas oknum tersebut. MUI akan mengambil segala tindakan terhadap karyawan, staf dan segenap jajaran pimpinan MUI yang diketahui ikut terlibat dengan permasalahan ini. Ketua MUI telah memberikan pengarahan kepada para ulama di seluruh Indonesia, agar tidak gegabah, dan mengambil tindakan sendiri-sendiri. Semua harus terkoordinasi dengan aparat terkait, khususnya aparat Departemen Agama, aparat Pemerintah daerah, dan MUI sendiri. Maka, dengan ini MUI menghimbau kepada seluruh umat Islam di Indonesia, agar tetap tenang, namun bersikap waspada terhadap aneka hasutan dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Selesai rapat konsultasi, KWI, PGI dan MUI mengadakan jumpa pers. Wakil Ketua MUI menjadi juru bicara, didampingi Sekretaris Eksekutif KWI, Sekjen PGI dan Sekjen Departemen Agama. “Saudara-saudara, saya telah ditunjuk oleh rekan-rekan dari KWI dan PGI, untuk menjadi juru bicara dalam acara jumpa pers ini. Ya, saya sendiri dari MUI. Ini Bapak Sekjen Departemen Agama mewakili Bapak Menteri. Dari KWI ini rekan Sekretaris Eksekutif, dan dari PGI Sekjennya. Tadi baru saja kami mengadakan rapat konsultatif, sehubungan maraknya pemberitaan tentang acara penampilan orang yang menamakan dirinya Jesus Kristus, atau Isa Al Masih. Kami sengaja menyebut beliau dengan orang yang menamakan dirinya sebagai Jesus Kristus alias Isa Al Masih, sebab kami belum punya cukup bukti, bahwa yang hadir itu benar Jesus Kristus, dan atau Nabi Isa Al Masih Alaihissalam. Kapan kami akan bisa diyakinkan, kami sendiri tidak tahu. Kemungkinan besar, yang selama ini diributkan oleh media massa itu, justru hanya seorang aktor, atau tukang sulap semacam David Copperfield. Mengapa kami beranggapan demikian? Ya karena sekarang ini peralatan sulap sudah sedemikian canggihnya, hingga apa pun bisa dilakukan ……..”

Belum selesai Wakil Ketua MUI itu berbicara, di sebuah kursi yang masih kosong, di deretan kursi wartawan paling depan, tiba-tiba telah duduk Jesus Kristus alias Isa Al Masih. Para wartawan gaduh dan sibuk mengabadikan. Para tokoh yang sedang duduk di depan, mereka abaikan. Sampai Sekjen Departemen Agama mengetuk-ngetukkan palu ke atas meja. “Saudara-saudara saya harap tenang ya. Tenang, ini kantor bukan pasar. Tolong ya kembali ke tempat masing-masing.” Mereka sebenarnya juga kaget, karena tiba-tiba saja orang yang mereka sebut-sebut itu sudan berada di antara mereka. “Ini sulap apa lagi, siapa di antara kalian yang telah menjadi agen mereka? Kok tiba-tiba dia bisa hadir di sini? Tolong segera dipanggilkan satpam.” Jesus memandang mereka yang ada di depan dengan sorot mata tajam. “Tidak usah kalian panik dan takut. Aku tidak akan menyantap kalian. Aku bukan tukang sulap, dan juga bukan aktor. Aku juga tidak pernah menamakan diriku sebagai Jesus Kristus, apalagi sebagai Isa Al Masih. Sebab yang memberi nama saya jelas ayah ibu saya, juga para pengikut saya, atas petunjuk Allah. Saya juga tahu kalian tidak suka dengan kehadiran saya di sini.”

“Tidak usah memanggil satpam atau polisi untuk menangkap saya. Kalau kalian ingin membunuh saya, tidak usah menyuruh orang lain, silakan bunuh sekarang juga. Itu di meja kelian telah saya sediakan alat pembunuh. Ada pistol, bedil, golok, pedang, pisau, racun serangga, tali untuk menjerat leher. Mau apa lagi?” Tiba-tiba di atas meja, di depan para pejabat itu, telah tersedia pestol, senapan, magasen, amunisi, pisau, golok pemotong daging, pedang, tali, dan racun serangga serta gelasnya. Para wartawan gaduh. Para pejabat di depan mereka termangu-mangu, wajah mereka agak pucat. “Kelihatan kalian tidak berani bukan? Kalau begitu saya akan panggilkan para algojo kalian. Tolong para wartawan agak mundur sedikit. Ya silakan. Di sisi kiri ruang pertemuan itu tiba-tiba telah berderat, Ki Gendeng Saèstu, Ki Dhudha Bodho, Kolonel desersi Eddy Gombal, Letnan Dua desersi Petrus Wedhus, dan Suwito. Mereka terheran-heran, mengapa sekarang berada di satu ruangan yang asing. Jesus mendekati mereka, dan menyalaminya satu per satu sambil memperkenalkan diri. “Saya Jesus Kristus, Isa Al Masih.”

“Bapak-bapak, itu di meja sana ada alat untuk membunuh saya. Tidak usah saya disantet. Silakan tembak, tusuk atau bacok. Kalau Anda semua mengira saya bukan Jesus tetapi jagoan, itu di pojokan ada ranting bambu wulung, ada pelepah keladi, dan ranting serta daun kelor. Mau apa lagi? Lo kok tidak kunjung ada yang mau membunuh? Apa perlu satu regu eksekutor?” Tiba-tiba di ruang itu sudah ada satu regu pasukan entah apa yang bertubuh kekar. Para wartawan sibuk memotret, dan mengabadikan adegan ini dengan kamera tivi mereka. “Tidak ada yang berminat? Silakan ayo!” Jesus menyodorkan tangannya ke  para algojo itu, tetapi mereka tetap saja diam. “Benar tidak ada yang mau? Kalau demikian, saya akan pergi. Selamat tinggal.” Sosok Jesus itu tiba-tiba menghilang. Ia kembali ke Wisma Medinilla di Kebun Raya Cibodas. Mereka yang berada di ruang jumpa pers itu kebingungan. “Ini senjata ini mau diapakan ini?” Tanya yang satu. “Lo, kok saya tiba-tiba ada di sini ini bagaimana?” Tanya yang lain. “Pak Suwito kok juga ada di sini sih?”

* * *

Ruang tengah lantai satu, Wisma Medinilla, Kebun Raya Cibodas, malam itu terang benderang. Api di perapian sudah menyala. Api itu bukan hanya menyala, tetapi sudah membara. Kayu yang dimasukkan ke dalam perapian, akan langsung terbakar. Jagung manis dan ubi cilembu sudah disiapkan untuk dibakar. Seorang petugas wisma, dan pembantu yang dibawa panitia, standby untuk melayani para tamu. Kopi, teh, jahe panas tinggal menyeduh. Jesus duduk di salah satu kursi. Di kursi lain juga duduk panitia, staf PT Garuda Perkasa Entertainment, dan beberapa karyawan kebun raya. Di luar sana kabut turun disertai gerimis. Angin juga bertiup sangat kencang. Jendela-jendela dan pintu ditutup rapat, agar angin dingin itu tidak menyerbu masuk. Para karyawan kebun raya itu heran. Tamu ini seperti orang bule, tetapi kok bisa bahasa Indonesia, malahan juga fasih ngomong Sunda? Dan seperti yang mereka lihat di tivi, katanya ini Nabi Isa Alaihissalam. Mereka lalu memberanikan diri untuk bertanya.

“Mohon maaf Tuan ya, apakah memang benar Tuan ini Nabi Isa Alaihissalam? Kalau benar, bagaimana Tuan bisa berbahasa Indonesia, dan juga Sunda?” Jesus menjawab. “Terimakasih. Ini Pak siapa? Pak Anih? Itu Pak siapa? Pak Usep. Yang itu siapa? Pak Nana. Ya, benar, saya Nabi Isa. Mengapa bisa berbahasa Indonesia, kemudian Sunda? Saya akan ganti bertanya. Pak Anih, Pak Usep dan Pak Nana kerjanya apa? Merawat pohon dan tanaman. Apakah tanaman bisa berbicara bahasa manusia? Tidak? Oke. Apakah Pak Anih, Pak Usep dan Pak Nana menguasai bahasa pohon? Tidak? Oke. Apakah Bapak-bapak ini sering berkomunikasi dengan pohon-pohon itu? Setiap hari? Kok bisa? Berkomunikasi dengan hati. Persis Pak Anih, Pak Usep dan Pak Nana, berkomuninasi dengan hati. Jadi yang penting ya Pak, bukan soal bisa berbahasa Inggris, Arab, atau China, melainkan, bagaimana kita bisa berbicara dengan hati. Memang benar juga, kalau Nabi, mau berbicara dengan bahasa apa saja bisa. Ya, siapa Pak? Nabi Sulaiman? Benar, Nabi Sulaiman Alaihissalam, malahan bisa berkomunikasi dengan segala macam binatang ……….”

Gubrak! Tiba-tiba pintu depan, dan belakang wisma, serentak dibuka dengan paksa dari luar. Angin dingin dengan kabut dan gerimis menyerbu masuk. Sekitar dua puluh orang berseragam tentara, tetapi tanpa tanda pangkat dan identitas, berlarian masuk. Seragam dan sepatu lars mereka basah kuyup. Tangan mereka masing-masing memegang M16 yang sudah terkokang dan siap ditembakkan. Salah seorang di antara mereka, mengenakan jas hujan. Di tangannya tergenggam tongkat komando. Tampaknya ia komandan pasukan tak beridentitas ini. “Mana yang bernama Jesus Kristus, alias Isa Al Masih? Ini ya?” Komandan tadi menuding Jesus yang duduk di kursi, dengan tongkat komandonya. “Yang lain silakan minggir ke sini, ya ke arah sini.” Orang-orang yang duduk mengelilingi Jesus itu ketakutan, dan minggir ke arah kiri. Tiga orang anggota pasukan memegang lengan Jesus, menariknya berdiri dari kursi, lalu menyeret dan mendorong ke arah tembok di dekat perapian. “Cukup! Tembak……..!!!”

Pasukan tak dikenal itu mengacungkan M16 mereka, lalu terdengar berondongan peluru, disertai gemerincing selongsongan yang berhamburan di lantai. Suara tembakan beruntun dari belasan senapan M16 itu benar-benar memekakkan telinga. “Cukup! Lo, benar dia  tidak mempan peluru. Berarti benar dia mengenakan Kutang Onto Kusumo, atau Kulit Kerbau Landoh! Seret dan bawa dia!” Empat orang lalu menggelandang Jesus keluar ruangan. Mereka menggunakan lima buah jip yang diparkir di halaman belakang. Dalam deras gerimis, angin dan kabut Cibodas yang dingin, mesin jip itu menderu, lalu menjauh, menuruni kawasan kebun raya. Orang-orang yang berada dalam Wisma Medinilla masih kebingungan. Mereka yang di Wisma Sakura juga berhamburan keluar, menuju Wisma Medinilla. Di tengah kebingungan dan ketakutan itu, Jesus menenangkan. “Sudah, jangan takut, mereka sudah pergi. Ayo kita duduk-duduk lagi, dan melanjutkan cerita kita, melanjutkan makan jagung bakar, dan minum jahe panas. Ayo, mereka sudah jauh, dan tidak akan datang lagi, karena aku juga tetap akan bersama mereka.”

Malam itu gerimis terus turun berkepanjangan disertai angin kencang. Kadang gerimis itu sebentar berubah menjadi hujan yang sangat deras. Kilat dan petir silih berganti. Cuaca Cibodas terasa makin dingin. Panitia menghubungi aparat keamanan di Kabupaten Cianjur. Tidak lama kemudian tiga peleton anggota brimob datang ke areal Kebun Raya Cibodas. Satu peleton menjaga pintu masuk di jalan raya Cimacan, satu peleton berada di pintu masuk kebun raya, dan satu peleton lagi berada di sekeliling Wisma Medinilla dan Sakura. Beberapa anggota Brimob diminta ke dalam, karena para karyawan kebun raya itu masih ketakutan. Mereka tidak bersedia berada di dalam, lalu duduk-duduk di beranda depan dan belakang. Malam itu gerimis terus berlanjut. Sungai Ciliwung meluap, dan Jakarta Banjir. Burung hantu bertengger di sebuah cabang mati, sambil matanya mengawasi rumput di bawahnya. Dia tidak terlalu peduli dengan hujan. Ia berharap di rumputan itu melintas tikus, atau ular    untuk disambarnya.

Tetapi tikus dan ular itu ternyata lebih senang berada dalam lubang mereka yang aman. Biasanya ketika hujan sudah reda, ketika langit kembali cerah, lalu bintang, juga bulan, berpendaran di atas sana, maka tikus-tikus itu akan mulai memburu apa saja yang bisa dimakan. Terutama sisa-sisa makanan yang ditinggalkan para pengunjung berceceran di rumputan itu. Ular juga tahu, hingga ketika itulah ia akan keluar untuk menyergap tikus itu. Sebenarnya burung hantu itu juga tahu, bahwa sekarang ini belum saatnya tikus dan ular itu keluar. Tetapi dia berharap ada kodok yang akan berlompatan keluar dari kolam di bawah sana. Kodok hijau adalah santapan yang cukup lezat, dan biasanya akan senang bercengkerama keluar dari parit dan kolam, justru ketika hujan turun berkepanjangan. Ketika itulah, di bawah lampu kebun raya, kodok-kodok itu, bersama dengan cecak, akan berpesta menyantap serangga malam. Maka burung hantu itu terus saja menunggu, sambil sesekali melengkingkan jeritannya,yang pendek namun keras dan tajam. * * *

Fragmen Novel Para Calon Presiden

 


Viewing all 484 articles
Browse latest View live