Lambang Keraton Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat terpasang di gerbang, di tembok depan, dan dalam rumah Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko. Rumah itu besar, dengan halaman luas, terletak di kawasan Polonia, Jakarta Timur. Selain di Jakarta, Raden Tumenggung juga punya rumah di Anyer, di Parangtritis, dan di Tawangmangu. Semua rumah itu diberi lambang kasultanan, berupa mahkota kerajaan di bagian atas, beledu merah tahta kerajaan dampar kencono di tengah, dengan huruf jawa HB, yang dilingkari bulu sayap burung garuda, di kiri dan kanan. Selain warna merah beledu dampar kencono, semua komponen lambang itu berwarna emas. Lambang kasultanan itu sebagian besar terbuat dari Kuningan, hasil kerajinan rakyat dari Bantul, Yogyakarta. Lambang itu juga dipasang di bagian depan dan belakang semua mobil: sedan, minibus, pickup, dan truk, agar semua orang tahu, bahwa pemilik mobil ini masih kerabat Kasultanan Yogyakarta.
“Selain jenderal purnawirawan, saya ini memang juga trah Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat, keturunan keempat Sultan Hemengkubuwono V. Jadi saya masih berhak menggunakan gelar Raden Tumenggung, sekaligus juga berhak menggunakan lambang kasultanan. Sebagai salah seorang kerabat kasultanan, saya harus berjuang untuk Sultan Sepuluh. Bukan hanya sekadar sebagai calon presiden RI, melainkan sebagai raja. Kalau mau lepas dari kemelut berkepanjangan, negeri ini harus dipimpin oleh Sang Ratu Adil. Indonesia memang harus kembali menjadi kerajaan. Menjadi monarki. Dengan Sultan Yogya sebagai Ratu Adilnya. Lihatlah di luar sana. Negara-negara yang makmur dan stabil selalu berbentuk monarki. Kerajaan Inggris Raya, Negeri Belanda, Kekaisaran Jepang, Saudi Arabia, Thailand, Malaysia, semua kerajaan bukan? Dulu Kepulauan Nusantara ini mencapai puncak kejayaannya, juga ketika berbentuk kerajaan, yakni Sriwijaya dan Majapahit.”
“Saya pribadi sebenarnya yakin haqulyakin, bahwa Bung Karno adalah Raja Indonesia pertama, dan Pak Harto adalah Raja Indonesia kedua. Bung Karno mempersiapkan Raja Indonesia kedua dengan sangat baik. Sementara Pak Harto, karena lalai, tidak pernah mempersiapkan Raja Indonesia ketiga. Akibatnya Indonesia lalu diperintah oleh presiden yang hanya berkuasa sangat singkat. Ya, mereka memang benar-benar presiden, bukan raja, bukan pula Ratu Adil yang bisa mendatangkan kemakmuran pada rakyat banyak. Karenanya, saya harus terus berjuang, agar Indonesia bisa kembali punya Ratu Adil. Indonesia adalah negara besar, yang harus diperintah oleh seorang raja Gung Binathoro. Tetapi saya, dan juga teman-teman, tidak mau sekadar menunggu datangnya Sang Ratu Adil. Kami akan menyiapkannya. Ratu Adil tidak akan datang kalau kita hanya duduk-duduk termenung, atau malah tidur pulas. Ratu Adil itu harus kita cari, lalu kita dorong untuk menjadi raja, seperti anak-anak muda mendorong Sukarno – Hatta agar memproklamasikan kemerdekaan kita.”
“Pertama-tama Sultan X harus menjadi presiden terlebih dahulu. Bukan sekadar wakil. Itu hukumnya wajib. Kalau beliau tidak menjadi presiden terlebih dahulu, sampai kiamat pun Indonesia akan tetap akan diperintah oleh presiden yang lembek. Sultan IX dulu, salahnya hanya bisa jadi Wakil Presiden. Beliau orangnya terlalu baik. Terlalu baik itu juga tidak baik. Manusia memang ditakdirkan hidup dengan kebaikan dan kejahatan, dan dua hal ini harus seimbang. Kata orang-orang, kejahatan dalam diri kita harus dikalahkan terlebih dahulu oleh kebaikan yang juga dalam diri kita. La, kok seperti mainan apa gitu lo, ada kalah ada menang segala. Orang hidup itu ya kadang-kadang baik, kadang-kadang jahat. Kalau baik terus 100% namanya malaikat. Kalau jahat terus 100% namanya syaiton. Yang Maha Sempurna ya Allah. Maka ketika orang-orang itu memuji-muji saya sebagai orang baik, saya bilang Prèk! Ketika orang mengatakan saya jahat, aku bilang, émang gua pikirin?”
“Jadi ketika tahu bahwa Sultan X ini tidak sebaik ayahandanya, saya justru sangat senang. Berarti dia punya peluang lebih besar untuk menjadi Presiden RI ke VII. Tujuh itu angka keramat lo! Hari jumlahnya ada tujuh. Kata Pak Kiai, langit konon juga berlapis tujuh. Keluarga Jawa yang baru pertama kali akan punya anak, harus mengadakan selamatan tujuh bulanan bagi bayi yang ada dalam kandungan. Ini memang sebuah perjuangan berat. Itu angket atau apa namanya itu, polling-polling begitu, memang hanya menempatkan Kanjeng Sultan pada urutan buntut. Biarkan saja. Yang akan memilih presiden kan bukan mereka, tetapi rakyat. Rakyat Indonesia itu paling banyak Jawa. Orang Jawa pasti akan memilih sesama orang Jawa yang trahnya paling tinggi. Lalu siapa lagi orang Jawa dengan trah tertinggi kalau bukan Kanjeng Sultan? Maka jajak pendapat biarkan saja terus berjalan, tetapi perjuangan juga harus terus berlanjut.”
“Alhamdulillah, istri, anak-anak, para menantu, bahkan juga cucu-cucu yang sudah besar, semua ikut saya mendukung Kanjeng Sultan. Kecuali Arif. Ini menantu, suaminya Si Tyas, anak bontot saya, kok malah mendukung Pak SBY. Ya ini memang negara demokrasi. Kata orang demokrasi itu harus bisa menenggang rasa dalam berbeda pendapat. Arif itu kan bukan sekadar beda pendapat. Dia sudah beda prinsip. Dia sudah berani melawan mertua sendiri, melawan saudara-saudara iparnya. Pertama, ia tidak pernah mau menempelkan lambang kasultanan di mobil dan di rumahnya. Mosok dia bilang lambang kasultanan itu norak, dan lebih bagus lambang negara RI. Tetapi nyatanya, ia juga tidak menaruh lambang Garuda Pancasila itu di mobil dan rumahnya. Yang dipasang di kaca mobilnya malah stiker Sea World Ancol, stiker Taman Safari, bahkan stiker Taman Wisata Mekarsari. Itulah yang sering membuat bludreg saya kumat.”
* * *
“Bapak, sudah berapa kali saya tegaskan, bahwa saya memang mendukung Pak SBY dan Pak Jusuf Kalla, karena sekarang ini beliau berdua adalah presiden dan wakil presiden RI. Saya sebagai warga negara RI harus mendukung beliau berdua. Hanya itu. Tentang beliau-beliau ini akan maju sebagai calon presiden pada Pilpres 2009, saya tidak ada urusan. Kalau Bapak berniat mendukung Sultan, ya silakan. Saya tetap tidak akan mendukung siapa-siapa. Bahkan sudah berapa kali saya katakan, bahwa saya tidak akan ikut memilih. Bukan karena tidak ada yang cocok di hati saya, tetapi karena memilih, dan dipilih itu sesuai dengan konstitusi, merupakan hak semua warga negara. Hak itu boleh dipakai, boleh pula tidak. Lain dengan kewajiban. Kalau kewajiban tidak dijalankan, ada sanksi hukumnya. Jadi saya boleh menggunakan hak pilih saya, boleh pula tidak, dan UUD 1945 yang sudah diamandemen itu, menjamin saya untuk menggunakan, atau tidak menggunakan hak pilih saya. Maka sejak Pemilu 1997 dulu, saya tidak pernah ikut memilih.”
“Saya memang sedang mendapat pekerjaan dari Tim Siluman Pak SBY. Ini soal lain lagi Pak. Kalau Bapak sebagai salah satu anggota Tim Siluman Sultan mau memberi pekerjaan ke saya, akan saya laksanakan juga. Demikian pula dengan Tim Sukses Bu Mega, Pak Prabowo, dan lain-lain, kalau mereka memberi pekerjaan ke saya, ya jelas akan saya terima. Saya ini profesional Pak. Maksud saya perusahaan-perusahaan di bawah Garuda Perkasa Holding Company milik saya. Jadi pekerjaan apa saja akan saya terima, asal harganya cocok, dan tidak melanggar hukum. Bahkan pekerjaan mendatangkan Jesus Kristus yang sangat beresiko itu pun, saya terima kok Pak. Padahal saya ini Islam, Presdir saya, dirut-dirut saya, semua kan juga Islam, tetapi ini bisnis Pak! Bisnis! Pada saat para anggota komisaris ribut, ketika rencana Proyek X mereka dengar, saya hanya bilang bahwa yang kita urus bukan Jesus Kristus, tetapi fulus! Ini murni bisnis, yang tidak ada kaitannya dengan iman, apalagi institusi agama.”
“Dibanding Proyek X, pekerjaan dari Tim Silumannya Pak SBY itu kecil sekali nilainya. Mengapa Bapak ributkan? Mengapa bukan Proyek X ini yang Bapak protes? Lagi pula Pak, saya juga sangat keberatan kalau kemana-mana Bapak berkampanye agar Sultan menjadi Sang Ratu Adil, menjadi Raja Indonesia. Maaf, itu bukan hanya kampungan tetapi juga memalukan Pak! Sebenarnya putera-puteri Bapak, para menantu, semua juga risih setiap kali Bapak pidato soal “Sang Ratu Adil”. Kalau orang-orangnya Sultan mendengar hal ini Pak, Bapak juga bisa repot. Sebab saya yakin, mereka juga tidak suka dengan rencana Bapak itu. Jadi yang wajar-wajar sajalah Pak. Bapak mendukung Sultan untuk maju menjadi RI 1, sangat saya hormati. Mau minta bantuan finansial dari saya, akan saya bantu. Bantuan teknis, saya siap. Tetapi jangan memaksa saya untuk hanya membantu Bapak. Siapa pun akan saya bantu, tanpa kecuali. Lalu yang lebih serius lagi Pak, Bapak jangan terlalu dekat dengan Suwito. Dia itu bandit Pak! Benar-benar 100% bandit.”
“Semua putera-puteri Bapak juga tahu kalau Suwito itu bandit. Mereka semua pernah kena. Tetapi mereka sungkan untuk bicara terus terang ke Bapak. Lalu Bapak sendiri, juga dengan sangat mudahnya terbuai oleh bujukan Suwito. Sudah berapa em Suwito menerima dari Bapak? Dan apa saja hasilnya? Yang terjadi, Bapak menjadi bahan tertawaan masyarakat. Mulai dari nutrisi Sang Putera, benih padi super, energi alternatif dari air, nanti apalagi saya tidak tahu. Tetapi Bapak juga tidak kunjung sadar. Selalu saja kemana-mana membanggakan kecerdasan Mas Suwito. Saya tahu pak, ide Sang Ratu Adil, ide kembali ke monarki dan lain-lain itu, kan datangnya juga dari Suwito. Lalu Bapak ditenteng-tenteng ke Puncak Lawu, ke Alas Purwo, Ke Ujung Kulon. Kalau sekadar untuk adventure saya sangat senang Pak. Tapi Bapak ini diajak Garuda Perkasa Adventure ke Halimun untuk kesehatan tidak mau, diajak Mas Suwito ke Lawu, untuk urusan klenik, justru antusias.”
“Padahal, Suwito itu hanya sekadar ingin mengincar uang Bapak. Ingat Pak, Bapak itu kaya raya. Tapi ya itulah. Kekayaan kalau hasil korup memang juga mudah dikorup orang lain. Maaf lo Pak. Saya memang tidak peduli orang tua sendiri, saudara, mertua, kalau salah ya akan saya bilang salah, kalau benar ya akan saya bilang benar. Kalau Bapak ditipu Mas Suwito, saya akan terus membela dan melindungi Bapak, tetapi kalau suatu ketika nanti Bapak dipanggil KPK, saya tidak akan campur tangan. Ini juga prinsip Pak. Jadi bukan hanya Bapak sendiri yang punya prinsip. Saya, Arif Rahman, menantu Bapak yang paling bandel ini, juga punya prinsip. Berapa kali saya sarankan, agar sebagian harta hasil korup itu dihibahkan ke fakir miskin. Bapak selalu menolak dengan berbagai alasan. Arif, Arif, orang miskin itu jangan dibiasakan diberi ikan. Mereka harus diberi kail. Tetapi Bapak juga tak kunjung memberi kail. Dan begitu yang datang Suwito, minta sampai ratusan juta sekali pun, detik itu juga Bapak sediakan.”
“Saya sebenarnya tahu Pak. Bapak memang sangat berbahagia apabila bisa ditipu orang. Kemudian Bapak akan bercerita kemana-mana, bahwa Suwito baru saja menipu Bapak. Tampak betapa Bapak merasa sangat bangga, sekaligus juga sangat berbahagia, ketika bisa menceritakan hal seperti ini kepada banyak orang. Putera-puteri Bapak, menantu-menantu, bahkan juga cucu, semua tahu bahwa Bapak sangat menyukai hal seperti ini. Juga Ibu. Pernah suatu kali Ibu bercerita kepada saya, bahwa Bapak baru saja marah-marah, dan bersumpah tidak akan lagi berurusan dengan Suwito. Belum selesai marah-marah, diluar tampak mobil Suwito, dan kata Ibu, dengan tergopoh-gopoh Bapak menyongsongnya. Kata Ibu, Ibu hanya mesem-mesem saja, lalu Bapak memelototi Ibu, dan ibu juga terus mesem-mesem, dan Bapak membentak-bentak. Ibu juga terus senyum-senyum, sambil membayangkan, entah berapa ratus juta lagi akan melayang ke dompet Suwito.
* * *
Kecerdasan Otak Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko, sebenarnya dibawah rata-rata. Tetapi nyali dan loyalitasnya sangat tinggi. Dia bisa marah besar sampai kalap, hanya karena seseorang melecehkan atasannya, terlebih Sri Sultan Hemengkubuwono IX. Tahun 1980an, Raden Suryo, begitu orang-orang selalu mamanggilnya, pernah menempeleng seorang kolonel, hanya oleh sebab yang sangat sepele. Kolonel itu sedang ngobrol dengan beberapa temannya. “Tahu nggak mengapa Sultan IX sangat sayang pada Bu Norma? Karena empat istri Sultan sebelumnya, kalau ketemu selalu hanya “nyuwun sewu”, ya Sultan ngasih Rp 1.000. Bu Norma kalau ketemu Sultan bilangnya kan “nyuwun semilyar” lalu Sultan ya ngasih Rp 1 milyar.” Tanpa bilang apa pun, Raden Suryo langsung mendatangi kolonel itu, menempelengnya tepat di rahang, hingga sang kolonel jatuh terlentang. “Sana lapor sama komandanmu, maka komandanmu itu juga akan aku tempeleng lebih keras dari yang ini.”
Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko, saat ini berumur 70 tahun. Istrinya Raden Ayu Retno Hastuti berusia 65 tahun, juga sama-sama trah Ngayogyokarto. Raden Ayu masih keturunan Hamengkubuwono VI. Mereka menikah tahun 1965, menjelang peristiwa G 30 S. Anak mereka enam orang. Yang tertua laki-laki, Raden Tumenggung Galih Suryo Sumitro, 42 tahun, sudah berkeluarga, tinggal di San Fransisko, Amerika Serikat. Nomor dua juga laki-laki, 40 tahun, Raden Tumenggung Guno Suryo Sentono, anggota DPR RI dari Partai Golkar. Anak ketiga pun laki-laki, Raden Tumenggung Tondo Suryo Sumirat, 38 tahun, Direktur PT Perkebunan Nusantara, sebuah Badan Usaha Milik Negara. Anak keempat baru perempuan, Raden Ayu Sri Suryandari, seorang aktivis yang hilang tahun 1996, ketika masih berusia 24 tahun. Anak kelima laki-laki lagi, 34 tahun, Raden Tumenggung Giri Suryo Sudiro, bisnisnya jaringan restoran ayam goreng di beberapa kota provinsi. Anak keenam, bungsu, 32 tahun, perempuan, Raden Ayu Siti Suryaningtyas, adalah isteri Arif Rahman, pengusaha papan atas Indonesia.
Meskipun paling sering berbeda pendapat, dan beradu mulut dengan keras, Raden Suryo justru paling dekat dengan Arif, sang menantu. Dalam urusan apa pun, Ariflah yang selalu diajak rembukan. Mereka juga sering jalan berdua, untuk urusan yang remeh temeh, terutama untuk berburu makanan enak. Raden Suryo, dan Arif dikenal sebagai jagoan kuliner. Meski sudah berusia 70 tahun, Raden Suryo masih melahap apa saja. Sate kambing, jeroan sapi, emping, minum juga kopi kental dan harus sangat manis. Rokoknya dari muda dulu tidak pernah ganti-ganti, yakni cerutu. Awalnya cerutu Tarumartani, lalu Willem I, dan kemudian Romeo and Juliet. Raden Suryo adalah tipikal orang yang benar-benar menikmati hidup. Tidak berselingkuh, tidak suka judi, tidak pernah menenggak minuman keras. Cacat Raden Suryo adalah, larut dalam korupsi berjamaah, dan kemudian sangat mempercayai perklenikan. Puncaknya, ia yakin akan datangnya Sang Ratu Adil, yang akan membawa kejayaan negeri.
“Arif, sekarang Bapak mau tanya serius ya. Itu proyekmu itu, yang katanya mendatangkan Nabi Isa itu, siapa sih sebenarnya yang ngaku-ngaku begitu itu? Orang Amerika, atau Eropa?”
“Bapak ini, soal Ratu Adil bisa yakin seyakin-yakinnya. Tetapi soal Nabi Isa, justru meragukan. Bapak ini masih Islam kan? Jangan-jangan sebentar lagi bukan hanya Nabi Isa Alaihissalam yang Bapak ragukan. Jangan-jangan Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassalam pun juga Bapak ragukan?”
“Lo bukan begitu to Rif. Ini kan tidak logis begitu lo. Wong, manusia yang hidup……. berapa tahun yang lalu itu Rif Nabi Isa itu? Duaribu ya? Ya, duaribu tahun yang lalu kok tiba-tiba sekarang mau datang kemari, itu bagaimana to Rif? Yang saya herankan, kamu percaya, bahkan kemudian menanganinya. Lalu kalau kamu tidak dibayar bagaimana? Bangkrut kan usahamu?”
“Pak, yang memperebutkan proyek ini ada ratusan perusahaan. Kebetulan saya yang menang Pak. Lalu saya ini juga hanya ngesub Pak. Yang pegang proyek ini konsorsium perusahaan Eropa dan Jepang. Bukan Amerika lo Pak. Jadi saya ini hanya sekadar ngesub.”
“Iya, saya tahu. Tetapi yang mau datang ini siapa, lalu orang mana?”
“Jadi Bapak tidak percaya kalau Nabi Isa Alaihissalam itu benar-benar ada?”
“Itu saya percaya Rif, tetapi Nabi Isa kan sudah mati to Rif?”
“Meninggal Pak! Nabi kok mati. Bapak ini bagaimana sih? Lagi pula, menurut agama kita, Islam, Nabi Isa itu sebenarnya tidak pernah meninggal, melainkan langsung diangkat ke langit oleh Allah SWT.”
“Iyalah, sudah meninggal, atau seperti katamu itu, diangkat ke langit, tetapi itu sudah lama sekali kan?”
“Pak, yang mengatakan Nabi Isa diangkat ke langit itu Al Qur’an Pak. Bukan saya. Itulah Pak, kalau Islam hanya KTP.”
Iya Rif, Iya, tetapi itu semua kapan Rif?”
“Duaribu tahun yang lalu Pak!”
“La, iya, duaribu tahun yang lalu kan? Kok tiba-tiba sekarang mau datang kemari?”
“Pak, dalam Islam, Nabi Isa Alaihissalam itu, tidak pernah meninggal. Beliau berada entah di mana, hanya Allah SWT yang tahu. Nabi Isa juga nabinya orang Kristen. Bagi orang Kristen, Nabi Isa Alaihissalam itu Allah Putera. Dia itu Tuhan, yang sekaligus juga manusia. Dan memang dijanjikan, baik dalam Islam maupun Kristen, bahwa suatu ketika Nabi Isa Alaihissalam itu akan datang kembali ke dunia ini. Lha Bapak ini Ratu Adil yakin. Nabi Isa Alaihissalam justru diragukan?”
“Mumet aku Rif ngomong sama kamu. Ada Allah kok manusia, punya anak lagi. Mumet. Sekarang kamu mau mendatangkannya kemari. Nanti kan kamu ditangkep aparat keamanan, dijebloskan ke Cipinang sana. Sudah banyak kan kasus-kasus penipuan seperti ini……”
Tampaknya Raden Tumenggung Bagas Suryo Sentiko sedang heppy. Dia sedang lupa dengan Sang Ratu Adil. Dia juga lupa mendamprat menantu yang satu ini, yang selalu mengritik Sang Ratu Adil, tetapi justru ingin mendatangkan Mesias. Entah mengapa, suasana hari Raden Suryo kali ini benar-benar sedang ringan. Bu Suryo, panggilan akrab Raden Ayu Retno Hastuti, menyebut perangai suaminya yang susah ditebak ini sebagai kumat-kumatan. “Kadang Bapakmu itu waras, kadang kalau sedang kumat semua orang akan didamprat, terutama ya kamu itu to Nak Arif. Untungnya menantuku yang satu ini sabarnya luarbiasa. Mendukung Sultan supaya jadi presiden ya boleh-boleh saja, bagus-bagus saja. Tetapi kok Sultan mau dijadikan Ratu Adil itu bagaimana to Nak Arif? Lalu sedikit-sedikit ngasih uang ke Suwito, sedikit-sedikit nulis cek ke Suwito. Tabungan Bapakmu itu nanti ya habis hanya untuk Suwito, dan anak cucunya tidak dapat bagian. Tapi sampeyan ini Nak Arif, mbok ya agak tegas sedikit to sama Bapak. Cobalah diingatkan, agar dengan Suwito itu jangan terlalu royal.”
Karena suasana hati yang sedang oke, sore itu Raden Suryo mengajak Arif ke Cisarua. “Bapakmu ini ya Rif, tidak tahu sudah berapa lama ya tidak makan Sate Kadir. Ayo sekarang kita jalan-jalan. Ibumu itu mau pesan apa itu? Biasanya pukad sama pisang tanduk. Ya pakai sopir to Rif, itu Narto diajak sekalian daripada ribut nggodain genduk-genduk di belakang sana itu. Ayo To, kamu mau makan sate atau tidak? Sate manuk, ya manukmu itu sendiri sono disate. Aku sama Arif mau ke Cisarua, ke Sate Kadir. Diseret saja Rif, anak kok lelat-lelet begitu. Perjaka itu harus gesit. Dulu, Bapak ini ketika seumur kamu selalu trengginas. Ada gemerisik sedikit saja segera siap menodongkan senjata dan menarik picunya. Kalau tidak begitu, ya sudah. Berapa teman-teman Bapak yang gugur waktu itu? Ayo Rif, Narto di depan. Nanti kalau Wawan capek ya kamu yang gantiin ya? Kamu tidak capek kan Wan? Ya orang seharian juga tidak ke mana-mana kan?” * * *
Fragmen Novel Para Calon Presiden
